Minggu, 27 Mei 2012

DIDROGESTERON DAN PENANGANAN ANCAMAN ABORTUS


Didrogesteron (dydrogesterone) adalah suatu hormon progetogen. Duphaston adalah contoh sediaan dagang yang mengandung didrogesteron yang diproduksi oleh Abbot. Didrogesteron digunakan secara luas pada penanganan kasus-kasus ginekologis. Didrogesteron umum digunakan dalam penanganan:

  1. Menorrhagia
  2. Dismenorrhea
  3. Pencegahan abortus spontan pada wanita dengan riwayat abortus (Abortus habitualis)
  4. Endometriosis
  5. Sindrom premenstruasi
  6. Terapi pengganti hormon
Rumus struktur didrogesteron


Sediaan dagang didrogesteron

Namun penggunaan didrogesteron pada kasus-kasus abortus ini kurang direkomendasikandibeberapa negara. Bahaya didrogesteron pada wanita hamil belum diketahui. (BNF 57.2009)

Didrogesteron adalah progestogen generasi baru yang kurang androgenik dibandingkan dengan progestogen generasi sebelumnya, seperti norethisteron, norgestrel maupun levonorgestrel. Disrogesteron merupakan analog Progesteron.

Penggunaan yang lebih umum dari didrogesteron adalah untuk terapi penggantian hormon/ hormone replacement therapy (HRT) pada wanita menopause atau premenopause dengan dosis 20 mg perhari selama 12-14 hari setiap siklus. Serta untuk indikasi proteksi endometrium dengan dosis 10-20 mg perhari selama 12-14 hari setiap siklus. Dalam HRT, didrogesteron relatif lebih aman dibanding progestogen lainnya, karena senyawa ini tidak memberikan efek androgenik. (Dipiro)

Sedangkan penggunaan didrogesteron pada kasus abortus yang mengancam atau abortus habitualis, diasumsikan dalam hubungannya dengan kasus insufisiensi luteal. Insufisiensi luteal mengakibatkan produksi progesteron ovarium yang tidak memadai dan akhirnya mengakibatkan sekretori endometrium yang tak lengkap dan implantasi sel telur pada dinding rahim yang tidak efektif. Abortus spontan dan abortus habitualis terjadi pada sekitar 15% kehamilan. 

Dalam penanganan abortus ini, didrogesteron diasumsikan memberikan peranan dalam dua tahapan berikut:
  1. Dengan mengembalikan fungsi luteal, sehingga mengurangi angka kejadian abortus pada trimester pertama kehamilan
  2. Melalui relaksasi otot polos uterus, sehingga janin lebih terlindungi.
Terakhir diketahui bukti bahwa respon imun ibu selama masa kehamilan juga berpengaruh terhadap keberhasilan terapi dengan didrogesteron ini. Dalam kasus abortus, didrogesteron memberikan angka keberhasilan hingga 70%. Kendati demikian Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia tidak merekomendasikan penggunaan didrogesteron untuk kasus abortus, karena resikonya yang belum diketahui dengan pasti. Di beberapa negara lain, penggunaan didrogesteron pada kehamilan diperbolehkan dengan alasan:
  1. Tidak memiliki efek penghambatan pada ovarium
  2. Tidak mengubah pola normal sekresi endometrium
  3. Tidak menghambat pembentukan progesteron plasenta pada masa awal kehamilan
  4. Tidak menyebabkan efek maskulinisasi pada janin perempuan, karena didrogesteron tidak memiliki efek androgenik.
Didrogesteron memiliki struktur yang hampir sama dengan progesteron alami, namun memiliki sifat unik yang potensial yaitu merupakan progestogen yang aktif pada pemberian oral. Didrogesteron diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral. 

Pada pemberian didrogesteron secara oral, didrogesteron memberikan keuntungan-keuntungan farmakologis dibandingkan dengan progesteron endogen, diantaranya:
  1. Aktif pada dosis rendah
  2. Memiliki sifat selektif progestonik tanpa aktivitas hormonal seperti halnya progestogen generasi terdahulunya
  3. Jumlah didrogesteron yang diabsorbsi dapat diperkirakan karena tidak dicerna pada saluran cerna
Didrogesteron dikarakteristik melalui aktivitas progestasional dan anti-estrogen. Potensi progestonik oral didrogesteron 20 kali lipat lebih besar dibandingkan progesteron. Didrogesteron juga tidak menghilangkan manfaat estrogen dan mengganggu organ-organ lain. Didrogesteron mempunyai afinitas yang rendah pada reseptor androgenik, itulah yang menyebabkan hormon sintetik ini tidak menghasilkan aktivitas androgenik meskipun digunakan pada dosis tinggi dan pada terapi jangka panjang.

Didrogesteron sebagaimana progestogen lainnya dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat tumor hati atau kerusakan hati. Selain itu dikontraindikasikan pula pada wanita yang menderita kanker payudara atau saluran genital, penyakit-penyakit arterial, perdarahan vaginal yang tak diketahui penyebabnya, dan porphyria akut. Progestogen juga tidak boleh digunakan pada wanita dengan riwayat kehamilan dengan idiopatic jaundice, pruritus, dan pemphigoid gestationis.

Pemberian progestogen (didrogesteron) ini harus dipantau pada pasien-pasien yang mengalami kondisi-kondisi yang dapat memperburuk retensi cairan, seperti: epilepsi,hipertensi, asma, migrain, disfungsi ginjal atau jantung, dan tromboembolism terutama pada penggunaan dosis tinggi. Begitu pun pada pasien dengan riwayat kerusakan hati dan depresi. Progestogen juga dapat menurunkan toleransi terhadap glukosa pada penderita diabetes melitus.

Didrogesteron dan progestogen lainnya berinteraksi dengan bosentan, karbamazepin, siklosporin, kumarin, diuretik, fosamprenavir, griseofulvin, lamotrigine, tizanidin, nelfinafir, nevirapin, okskarbazepin, phenindion, primidon, atorvastatin dan rosuvastatin.

Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan didrogesteron:
  1. Pendarahan, resiko meningkat sebanding dengan dosis
  2. Perubahan fungsi hati dengan atenia dan malaise
  3. Sakit kuning dan nyeri abdomen
  4. Ruam, pruritus, urtikaria, edema, dan angiodema
  5. Anemia hemolitik

Disarikan dari berbagai sumber: Dipiro, BNF, Wikipedia.