Jumat, 23 Oktober 2015

ANTIBIOTIK SEBAGAI TERAPI ALTERNATIF APENDIKSITIS AKUT SELAIN APENDEKTOMI


Di Amerika Serikat sekitar 300.000 orang setiap tahunnya menjalani apendektomi, dengan angka apendiksitis sekitar 7-14% yang diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, angka harapan hidup, dan keterulangan diagnosis. Apendektomi juga banyak dilakukan pada pasien yang tidak terdiagnosis apendiksitis (apendektomi negatif), sehingga angka apendektomi digunakan sebagai pengganti angka apendiksitis. Meskipun insiden apendektomi sama diantara laki-laki dan perempuan, namun laki-laki memiliki angka apendiksitis yang lebih besar dibandingkan perempuan.

Penggunaan pencitraan canggih dan laparoskopi meningkatkan jumlah pasien yang terdiagnosis apendiksitis. Apendiksitis telah diidentifikasi pada sekitar 30% pasien yang menjalani pemeriksaan laparoskopi, dan hanya sekitar 24% pasien yang dinyatakan mengalami apendiksitis dari kelompok pasien yang menjalani pemeriksaan observasi, dimana kedua kelompok pasien tersebut memiliki keluhan utama yang sama.

Patofisiologi


Pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi apendiksitis sangat penting dalam mengevaluasi potensi-potensi strategi pengobatan dengan antibiotik. Menurut sejarahnya, apendiksitis dihasilkan dari obstruksi luminal dengan sebuah fekalit (feses yang terperangkap masuk ke dalam apendiks), distensi (penggelembungan), pertumbuhan bakteri yang berlebihan, peningkatan tekanan intraluminal, dan kompromi jaringan yang progresif yang disertai gangren dan perforasi. Meskipun, sebuah studi terbaru yang mengukur tekanan intraluminal pada kelompok pasien dengan apendiksitis, hanya sekitar 25% diantara pasien tersebut yang menunjukkan adanya peningkatan tekanan intraluminal. Dengan cara yang sama, dalam sebuah studi, fekalit telah diidentifikasi hanya pada sekitar 18% pasien apendiksitis. Bukti yang berkembang juga menunjukkan bahwa perforasi belum tentu merupakan hasil yang tak terelakkan dari obstruksi apendiks. Apendiksitis dengan atau tanpa perforasi lebih sering terjadi pada pasien dengan respon-respon inflamasi yang telah mengalami perubahan atau adanya perubahan dalam mikrobioma kolon.

Strategi dan Bukti


Diagnosis

Diagnosis apendiksitis didukung oleh adanya riwayat nyeri perut yang bermula dari bagian tengah dan bermigrasi ke kuadran bawah kanan, kelembutan palpasi pada saat latihan fisik, mual/muntah, leukositosis ringan, dan demam ringan, tapi gambaran-gambaran ini tidak hadir secara konsisten, dan kurang dari 50% pasien yang mengalami semua gejala tersebut. Dalam sebuah studi yang melibatkan pasien-pasien dengan keluhan utama nyeri perut dan suspek apendiksitis (tapi belum dikonfirmasi melalui ultrasonografi (USG)), prediktor terkuat apendiksitis adalah bermigrasinya rasa nyeri ke kuadran bawah kanan dan muntah. 

Penggunaan tes diagnostik pencitraan, terutama computer tomography (CT) dan USG dapat meminimalisir kesalahan diagnosis dan mengurangi kajadian apendektomi yang tidak diperlukan. Meskipun sensitivitas dan spesifisitas uji pencitraan ini sangat bervariasi, namun sensitivitas dan spesifisitas CT, dengan atau tanpa kontras oral relatif tinggi (>90%) dan lebih unggul dibandingkan USG. Selain itu, sensitivitas dan spesifisitas CT lebih konsisten dibandingkan USG yang mana rentang sensitivitasnya antara 44-100% dan spesifisitasnya antara 47-99%. Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki karakteristik yang sama dengan CT, tapi karena baiayanya mahal, maka penggunaannya terbatas pada pasien yang tidak memungkinkan terpapar radiasi, seperti pada pasien yang sedang hamil.






















Penggunaan skor Alvarado yang melibatkan penemuan-penemuan uji klinis dan laboratorium ini sangat membantu dalam upaya penentuan diagnosis apendiksitis.Skor berkisar antara 0-10, dimana skor yang lebih tinggi mengindikasikan risiko apendiksitis yang lebih tinggi pula. Ketika skor kurang dari 4, apendiksitis hampir pasti tak terjadi, dan dengan nilai skor kurang dari 4 tersebut maka upaya uji pencitraan dan intervensi lainnya dapat dihindari. 

Ketika hendak menggunakan uji pencitraan, USG kualitas tinggi sebaiknya dipilih sebagai pendekatan pertama. Jika USG kualitas tinggi tak tersedia, atau USG gagal memvisualisasikan apendiks, maka CT dengan protokol radiasi dosis rendah dapat dilakukan. Dalam prakteknya, dimana uji diagnostik pencitraan kualitas tinggi tidak tersedia atau ketika masalah radiasi menjadi perhatian khusus (misal : pada pasien dengan kehamilan trimester pertama), maka strategi tunggu dengan kewaspadaan dapat diprioritaskan. Diantara pasien-pasien yang berisiko tinggi (misal : pasien dengan gangguan sistem imun) yang suspek apendiksitis, laparoskopi dapat juga digunakan untuk menegakkan diagnosis dan membuang apendiks, jika diperlukan.

Tindakan Pembedahan


Apendektomi segera telah menjadi prosedur umum dalam pengobatan apendiksitis sejak akhir tahun 1980-an dan sebuah kemajuan pesat terjadi pada tahun 1990-an, ketika penggunaan pendekatan laparoskopik lebih disarankan dan tak lagi seperti pada pendekatan konvensional yang melibatkan adanya insisi pada kuadran bawah kanan. Di Amerika Serikat, apendektomi laparoskopik dilakukan pada sekitar 60-80% kasus, dengan lama rawat 1-2 hari dan tingkat komplikasi 1-3%. Pendekatan laparoskopik dikontraindikasikan pada pasien dengan kondisi kardiopulmonar tertentu. Sebagian besar prosedur-prosedur konvensional apendektomi di Amerika Serikat dilakukan dengan pendekatan laparoskopik namun kemudian dikonversi pada pendekatan konvensional karena keterbatasan teknik, body habitus, operasi sebelumnya, kondisi penyakit terbaru atau pengalaman dalam tindak pembedahan.

Sebuh studi cohort menunjukkan bahwa tingkat infeksi kulit pasca operasi apendektomi laparoskopik adalah 3,3% dan sekitar 6,7 % pada apendektomi konvensional, dan lama rawat pasca kedua tindakan tersebut adalah sama, yaitu 1 hari. Sebuah review terhadap apendektomi laparoskopik dan konvensional menyebutkan bahwa tingkat infeksi kulit pada apendektomi laparoskopik 50% lebih rendah dibandingkan dengan pendekatan konvensional, dan lama rawat 1,1 kali lebih pendek. Apendektomi laparoskopik juga dihubungkan dengan tingkat nyeri pasca operasi yang lebih rendah. Perbekalan yang diperlukan pada apendektomi laparoskopik relatif lebih mahal, namun dengan taksiran biaya keseluruhan dengan memasukkan variabel lama rawat yang lebih pendek dan proses rekoveri yang lebih cepat, maka pendekatan laparoskopik dipandang lebih menguntungkan.

Meskipun apendektomi telah menjadi prosedur rutin segera setelah diagnosis apendiksitis ditetapkan, nilai/manfaat apendektomi dini tersebut kini dipertanyakan. Dalam sebuah studi, pada pasien-pasien dewasa yang mengalami apendektomi, waktu antara evaluasi di unit gawat darurat dan di ruang pembedahan bukanlah sebuah prediktor risiko perforasi. Studi observasional lainnya juga menunjukkan bahwa waktu tunggu operasi yang lebih panjang tidak berhubungan dengan risiko perforasi yang lebih tinggi, namun berhubungan dengan infeksi situs bedah yang lebih tinggi.

Area-area Ketidakpastian


Ketidakpastian utama dalam manajemen apendiksitis adalah apakah apendektomi benar-benar diperlukan atau cukup hanya dengan terapi antibiotik, dimana apendektomi akan dilakukan hanya jika apendiksitis tak teratasi dengan terapi antibiotik saja. Terapi apendiksitis dengan antibiotik biasanya disiapkan untuk pasien yang dalam beberapa hari telah memasuki proses inflamasi/peradangan, dengan adanya lendir dan mungkin juga disertai adanya abses (bisul bernanah). Kini, pasien-pasien ini diberi terapi antibiotik intravena, dan drainase abses dilakukan sebagai sebuah usaha untuk mencegah operasi yang lebih luas. Kesuksesan terapi antibiotik tunggal pada para tentara angkatan laut yang menderita apendiksitis, sementara mereka tidak memungkinkan untuk mengakses ruang operasi, mendukung dikembangkannya strategi ini dalam terapi apendiksitis tanpa komplikasi. Beberapa studi random membandingkan efektivitas apendektomi dan antibiotik, kadang juga terapi antibiotik yang diikuti apendektomi jika diperlukan pada apendiksitis tanpa komplikasi, hasil studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari kelompok pasien yang diterapi antibiotik dapat menghindari tindakan apendektomi. Tingkat penyebrangan terhadap pembedahan dalam 48 jam setelah inisiasi antibiotik berkisar antara 0-53%. Karena studi tersebut menggunakan kriteria pemicu penyebrangan yang berbeda-beda, variabilitas ini menunjukkan adanya heterogenitas dari efek terapi pada pasien atau variasi kesediaan tenaga medis untuk mengikuti pendekatan terapi antibiotik ini.


Hasil klinis diantara pasien-pasien apendiksitis yang diterapi antibiotik umumnya menggembirakan, tapi kriteria kesuksesannya tidaklah konsisten. Kriteria yang tak konsisten tersebut diantaranya adalah jumlah sel darah putih, pencegahan peritonitis, dan pengurangan gejala-gejala umum. Kelemahan lain dari studi ini adalah terbatasnya jumlah sampel. Sebagaimana dibandingkan dengan kelompok pasien yang segera menjalani apendektomi, pasien yang diterapi antibiotik memiliki skor nyeri yang lebih kecil atau sama, memerlukan dosis narkotik yang lebih kecil, masa pemulihan yang lebih cepat, tapi sayangnya hasil ini tidak disimpulkan pada semua uji. Tingkat perforasi pada pada kelompok pasien apendektomi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok pasien yang diterapi antibiotik.

Dalam sebuah studi acak lain melibatkan rentang intervensi dan durasi pengobatan, sebuah uji yang melibatkan protokol pemberian antibiotik intravena selama 48 jam selama masa perawatan di rumah sakit, diikuti dengan pemberian antibiotik oral selama 7 hari. Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik yang sensitif terhadap organisme yang ditemukan dalam abdomen yang terinfeksi, misal siprofloksasin dan metronidazol. Dalam beberapa studi yang lain, pasien telah diberi antibiotik oral sejak masih di rumah sakit jika pasien tersebut tidak menunjukan adanya reaksi negatif terhadap antibiotik tersebut.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan terapi antibiotik bagi penderita apendiksitis adalah:

  1. apakah ada hubungan antara tingkat komplikasi dengan penundaan operasi?
  2. berapa lama terapi antibiotik harus diberikan?
  3. berapa lama pasien seharusnya dirawat di rumah sakit?
  4. berapa tinggi tingkat kunjungan pasien ke dokter atau uni gawat darurat?
  5. akan berapa lama kah episode nyeri perut berlanjut?
  6. dari segi biaya, lebih efektifkah terapi antibiotik ini?
Disamping faktor-faktor diatas yang belum dapat diketahui dengan pasti, faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko kekambuhan juga belum diketahui dengan jelas dan belum memungkinkan untuk mengidentifikasi pasien-pasien mana yang harus segera dioperasi dan mana harus diterapi antibiotik terlebih dahulu.

Faktor lain yang berhubungan dengan taksiran keuntungan-keuntungan dan risiko-risiko apendektomi adalah apakah apendiks mempunya sebuah fungsi fisiologis aktif tertentu atau nyata-nyata hanya sebuah organ sisa.





Referensi
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp1215006 

Minggu, 02 Agustus 2015

TERAPI OBAT PADA PENDERITA ASTHMA


Menurut data survey ada sekitar 7% dari populasi penduduk dunia yang didiagnosis menderita asthma oleh dokter. Penyakit ini mempengaruhi semua kelompok ras dan etnis diseluruh dunia, pada bayi, anak-anak maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan. prevalensi pada anak laki-laki sedikit lebih besar dibanding anak perempuan, dan sebaliknya pada masa pubertas, prevalensi remaja perempuan sedikit lebih besar dibanding pada remaja laki-laki. Peningkatan dramatis prevalensi penyakit asthma atopi terjadi pada beberapa dekade terakhir dikalangan negara-negara barat, dan dalam kurun beberapa tahun terakhir dikalangan negara-negara berkembang. 

***************************
Pada kurun waktu tahun 1970an dan 1980an eksaserbasi asma parah (ditandai dengan tingginya angka kunjungan ke unit gawat darurat dan rawat inap untuk asma) serta mortalitas terkait asma meningkat tajam di Amerika Serikat. Kini, meskipun prevalensi asma masih tinggi, namun kondisinya sudah lebih baik, ditandai dengan penurunan angka kunjungan pasien baik ke unit gawat darurat maupun rawat inap. Penggunaan kortikosteroid inhalasi dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir dinilai efektif dalam penanganan kondisi asma.

Obstruksi saluran pernafasan dan akibat yang ditimbulkan oleh gejala batuk seperti nafas pendek, dada terasa sesak, dan mengi terjadi karena kombinasi antara konstriksi pada otot polos dan peradangan pada bronkus. Kondisi ini dapat berkembang semakin parah, yang mengakibatkan penyempitan dan atau penutupan saluran udara, meskipun tidak ada penyumbatan oleh lendir, kondisi ini dapat mengancam jiwa. kontraktilitas otot polos yang abnormal dan massa otot polos yang berlebih juga turut berkontribusi. Peradangan saluran nafas pada asma terdiri dari mukosa, submukosa, edema adventisia, dan infiltrasi seluler.

Dulu, obat asma digolongkan berdasarkan efek yang dominan dari obat tersebut, yakni sebagai relaksan otot polos (bronkodilator) atau penekan peradangan pada saluran nafas (antiinflamasi). Obat asma terbaru seperti pemodifikasi leukotrien atau kombinasi beberap obat. Kombinasi obat untuk penderita asma dapat berupa kombinasi inhalasi kortikosteroid dan agonis β-adrenergik kerja panjang. Kini, obat asma diklasifikasikan menurut peran obat-obat tersebut dalam pengelolaan asma secara keseluruhan, apakah sebagai bantuan cepat atau kontrol jangka panjang.

Setiap pasien asma harus selalu menyediakan bronkodilator sebagai upaya bantuan cepat yang dapat digunakan sewaktu-waktu saat dibutuhkan. Pendapat para ahli menyatakan bahwa, jika bronkodilator kerja cepat yang digunakan untuk mengatasi gejala asma digunakan lebih dari 2 hari per minggu (atau lebih dari 2x dalam sebulan pada malam hari yang menyebabkan terbangun dari tidur), maka kontrol obat diperlukan.

Bantuan Cepat

Agonis β-adrenergik kerja cepat merupakan obat yang paling efektif untuk memulihkan kondisi akibat obstruksi saluran nafas secara cepat dan menghilangkan gejala asma. Albuterol atau salbutamol merupakan β-adrenergik kerja pendek yang selektif pada reseptor β2 merupakan jenis obat yang paling luas penggunaannya, selain levalbuterol dan pirbuterol. Metaproterenol yang dipasarkan dalam bentuk inhalasi terukur, baru-baru ini ditarik dari pasaran.

Semua agonis β kerja pendek, memiliki onset kurang dari 5 menit, dengan efek puncak tercapai pada kurun waktu 30-60 menit dan durasi kerja 4-6 jam. Pada penggunaan bronkodilator rutin (4x atau lebih perhari), potensi obat tidak mengalami penurunan, hanya mungkin akan mengalami pemendekan durasi kerja. Karena pemberian obat ini secara rutin tidak memberikan efek lebih baik, bahkan cenderung merugikan pada orang-orang dengan genotip tertentu maka obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin.

Pada pasien dengan obstruksi saluran nafas sedang hingga berat, dapat diberikan dosis agonis β sangat tinggi (hingga 4000 mg salbutamol dalam inhalasi dosis terukur). Dosis disesuaikan dengan tipe simpatomimetik, dan efek samping. Efek samping yang mungkin dapat berupa tremor, gelisah, jantung berdebar dan takikardia (tanpa hipertensi) adalah efek samping yang umum. Penurunan kadar kalium dan magnesium serum juga dapat terjadi, yang nilainya tergantung pada dosis. Meskipun efeknya akan sedikit menurun, namun penggunaan obat ini tidak dikontraindikasikan pada pasien yang bersamaan menggunakan β-bloker.