Minggu, 05 Februari 2017

PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM SKRINING FITOKIMIA


Pentingnya bahan-bahan obat yang berasal dari tanaman dalam duni pengobatan modern sering dianggap remeh. Senyawa-senyawa seperti digitoksin, rutin, papain, amina, kuinin, papaverin, atropin, reserpin, ergometrin, ergonovin, kokain, vinkaleukoblastin, leurokristin, d-tubokurarin, proverin A dan B, efedrin, fisostigmin, pilokarpin, kafein, adalah sedikit contoh dari beragamnya aktivitas farmakologis yang dihasilkan dari senyawa-senyawa yang berasal dari alam. Terlebih lagi produk obat mentah seperti daun Digitalis purpurea dan akar Rowolfia serpentina sering digunakan secara langsung dalam praktek pengobatan.

Tujuan para ahli mengeksplorasi tanaman dalam dunia kesehatan adalah untuk mendapatkan isolat senyawa yang memiliki aktivitas biologi dan dapat digunakan dalam pengobatan. Karenanya, dengan pemilihan jenis tanaman yang spesifik untuk diinvestigasi lebih lanjut, kemudian diperlukan metode-metode pendekatan skrining fitokimia. Skrning fitokimia umumnya dimulai dengan melakukan uji terhadapnya ada/tidaknya kandungan alkaloid dalam sampel. Skrining dimulai dengan alkaloid karena alasan-alasan berikut:
  1. Alkaloid umumnya memiliki aktivitas farmakologis tertentu, yang biasanya bekerja pada sistem saraf pusat, meski tidak selalu demikian
  2. Mayoritas produk alam yang digunakan dalam pengobatan adalah senyawa golongan alkaloid
  3. Uji kandungan alkaloid dalam sampel tanaman dapat dilakukan dengan metode yang sederhana dan cepat dengan hasil wajar terpercaya
  4. Karena sifat kimianya, alkaloid dengan beberapa cara manipulasi relatif lebih mudah untuk diektraksi dan diisolasi.
Kelompok fitokimia lain seperti halnya flavonoid, umumnya tidak dipilih dalam skrining awal, karena kelompok senyawa ini memiliki diversitas dan aktivitas biologi yang sangat beragam. Sebagai contoh Willaman telah menemukan setidaknya 137 flavonoid alami yang terdapat pada 62 famili, 153 jenis, dan 277 spesies tanaman. Serta laporan adanya 33 akvitas biologi yang berbeda dari 30 jenis flavonoid. Contoh lain adalah Kumarin yang dilaporkan memiliki 31 jenis akvitas biologi yang berbeda.

Karena banyaknya jumlah kategori kimia senyawa alam, yang mungkin masing-masingnya memiliki aktivitas biologi yang berbeda, maka tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mereviewnya. Tulisan ini akan fokus pada pembahasan untuk melakukan skrining fitokimia, yang dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kategori-kategori fitokimia yang dihadirkan dalam tulisan ini. Kategori fitokimia yang dimaksud meliputi:
  • alkaloid
  • glikosida sebagai kelas umum (heterosida)
  • saponin (steroid dan triterpenoid)
  • sterol
  • glikosida jantung
  • antrakuinon
  • flavonoid dan sejenisnya
  • tanin
  • kumarin dan senyawa yang berhubungan
Setiap metode yang digunakan dalam skrining fitokimia harus:
  • simpel
  • cepat
  • desain dengan peralatan minimalis
  • selektif untuk satu kelompok senyawa
  • kuantitatif, memiliki batas deteksi yang rendah
  • memberikan informasi tambahan mengenai ada atu tidaknya gugus spesifik dalam kelompok senyawa yang dianalisis
Prosedur skrining yang umumnya dipublikasikan memenuhi kriteria simpel, selektif, kuantitatif dan mampu memberikan informasi spesifik adanya gugus kimia tertentu dalam sampel, namun beberap diantara prosedur tersebut tidak reproduksible karena kurangnya detail dalam publikasi.


SKRINING ALKALOID


ALKALOID, Hegnauer mendefinisikan alkaloid adalah  senyawa yang agak atau kurang toksik yang terutama memberikan aktivitas biologis pada sistem saraf pusat, memiliki karakter basa, mengandung nitrogen herterosiklik, dan disintesis dalam tanaman dari asam-asam amino atau senyawa turunannya. Pada umumnya, distribusi alkaloid terbatas hanya pada kingdom plantae. Berdasarkan definisi ini, maka senyawa nitrogen alifatik (efedrin), amida (colchicine), dan asam-asam amino (tiamin) bukanlah alkaloid.

Diperkirakan distribusi alkaloid pada tanaman sekitar 15-20%, sumber lain menyebutkan sekitar 10%, 14%, atau bahkan 9-10%.

Alkaloid umumnya terdapat pada tanaman sebagai garam yang larut air, sehingga dapat diekstraksi dengan menggunakan air yang diasamkan, sehingga menghasilkan ekstrak mentah yang dapat secara langsung diuji dengan menggunakan reagent pengendap alkaloid. Namun, kekhawatiran akan hasil uji positif palsu, maka ekstrak mentah perlu dimurnikan terlebih dahulu sebelum akhirnya diuji. Pemurnian dilakukan dengan cara menambahkan basa dan kemudian dilakukan ekstraksi lanjutan dengan menggunakan pelarut air-pelarut organik. Ekstrak organik kemudian diuji dengan mengaplikasikan kertas saring, pengeringan dan dipping atau penyemprotan dengan reagent pendeteksi alkaloid. Jika metode ini tidak memuaskan, maka dapat dilakukan ekstraksi kembali ekstrak organik dengan menggunakan larutan asam dan penambahan reagent pengendap alkaloid.

Metode lain untuk menyingkirkan pengotor (misal: protein) pada ekstrak air-asam adalah dengan cara "salt out" dengan menambhakan bubuk NaCl. Sebuah prosedur tambahan pada deteksi alkaloid dapat dilakukan dengan penambahan alkali secara langsung pada serbuk sampel tanaman, kemudian dikestraksi dengan pelarut organik, kemudian di partisi dengan dengan cara diatas atau diuji alkaloid secara langsung.

Variabilitas hasil pada uji alkaloid dapat dipengaruhi oleh:
  • usia tanaman
  • iklim
  • habitat
  • bagian tanaman yang diuji
  • musim
  • waktu pemanenan
  • sensitivitas tipe alkaloid pada reagent yang digunakan
contoh kasus:
  • Geijera salicifolia memberikan konsistensi hasil pengujian yang lebih baik pada bentuk daun lebar dibandingkan dengan bentuk daun sempit, meskipun daun-daun uji tersebut tumbuh pada tanaman yang bersebelahan.
  • Pada kelompok tanaman tertentu (misal: Compositae) alkaloid sering ditemukan hanya pada bunga atas, sedangkan pada Apocynaceae alkaloid umumnya berkonsentrasi pada akar dan kulit kayu.

Reagent Pendeteksi Alkaloid


Dalam skrining alkaloid terdapat 2 grup reagent yang biasa digunakan yaitu reagent pengendap alkaloid dan reagent semprot (spray and dip). Reagent pendeteksi alkaloid diantaranya:
  • Mayer
  • Silicotungsteic acid
  • Dragendorff drop
  • Wagner
  • Dragendorff spay
  • Sonnenschein
  • Hager
  • Bouchardat
  • Phosphotungsteic acid
  • Valser
  • Chloroplatinis acid
  • Sodium tetraphenylboron
  • Ammonium reineckate
  • Tannic acid
Sedangkan reagent pengendap alkaloid dapat dilihat pada tabel 1.

Setiap regaent memiliki sensitivitas yang beragam dan nospesifik, maka dalam skrining alkaloid biasanya digunakan 4 atau 5 reagent, dan hanya sampel yang memberikan memberikan hasil positif pada semua pengujian saja yang dipertimbangkan mengandung alkaloid. Reagent Mayer dan silicotungsteic acid adalah reagent yang banyak digunakan. Dalam uji sensitivitas reagent, disimpulkan bahwa tidak ada satu pun reagent yang mampu mendeteksi alkaloid (efedrin) pada konsentrasi 0.1% atau lebih rendah. Namun reagent Wagner, Bouchardat, Scheibler mampu mendeteksi alkaloid lain (selain efedrin) pada rentang konsentrasi 0.001-0.1%.

Metode lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi alkaloid adalah dengan kromatografi.Regaent drop (spot) yang digunakan dalam kromatografi umumnya adalah hasil modifikasi dari reagent dragendorff drop, yang umumnya akan membentuk warna orange hingga merah dengan alkaloid. 

Beberapa reagent pendeteksi alkaloid memberikan reaksi dengan gugus tertentu atau gugus fungsi yang spesifik menghasilkan respon kromogenik karakteristik suatu alkaloid. Berikut adalah tabel yang memuat reagent-reagent umum dan spesifik terhadap alkaloid yang digunakan dalam kromatografi.

Reaksi Positif Palsu Alkaloid


Mekanisme reaksi antara alkaloid dan reagent pendeteksi tergantung pada karakter kimia alkaloid. Fulton mengklasifikasikan reagent pengendap alkaloid sebagai berikut:
  1. Reagent yang berekasi dengan senyawa dasar alkaloid membentuk garam alkaloid yang tak larut, contoh: silicotungstic acid, phosphomolybdic acid dan phosphotungstic acid.
  2. Reagent yang bereaksi dengan alkaloid sebagai senyawa kompleks longgar yang mengendap, contoh : reagent Wagner dan Bouchardat
  3. Reagent yang bereaksi dengan alkaloid menghasilkan produk yang meningkatkan ketidaklarutan (menurunkan kelarutan) melalui nitrogen alkaloid, contoh: reagent Mayer, Valser, Marme dan Dragendorff
  4. Reagent yang bereaksi melalui interaksi asam organik dengan basa alkaloid membentuk garam yang tak larut, contoh: reagent Hager.
Karena sifat-sifat reagent yang tidak spesifik maka sangat mungkin dihasilkan positif palsu pada pengujian alkaloid. Terlebih bila pengujian dilakukan langsung terhadap ekstrak yang tidak dipurifikasi dengan menggunakan pelarut asam-basa-organik.

Senyawa yang paling sering memberikan hasil positif palsu adalah protein. Protein akan membentuk endapan dengan adanya eagent yang mengandung logam berat. Protein-protein ini meliputi"albuminous substances seperti: pepton dan protamin. Selain itu, asam-asam amino juga umumnya memberikan positif palsu dengan reagent alkaloid umum. Glikosida tertentu, karbohidrat,, betain, kolin, purin, methylated amines, tanin dan garam-garam amonium juga mungkin memberikan positif palsu alkaloid.

Akhirnya, upaya pemisahan dengan melakukan ekstraksi dengan basa, diikuti dengan ekstraksi dengan pelarut organik dan kemudian diekstraksi kembali dengan asam-air akan mampu membantu meminimalisir hasil positif palsu. Sebuah laporan dari Briggs and Locker pada tahun 1940 sangat menarik, karena ia berhasil mengisolasi 3 senyawa dari Melicope lernata, yang membentuk endapan dengan reagent alkaloid dan membentuk kristal dengan penambahan asam, meskipun senyawa tersebut tidak mengandung nitrogen dan terbukti merupakan senyawa hidroksi flavon teralkilasi sempurna, yaitu senyawa meliternatin, meliternin dan ternatin.

Laporan terbaru dari Russian workers menunjukkan bahwa isolasi ala=kaloid yang bernama rosmaricine dari Rosmarinus officinalis (Labialae) menujukkan sesuatu yang anomali dari sejumlah alkaloid famili mint. Rosmaricine memang tidak muncul sebelum penambahan amonia (sebagaimana dilakukan oleh Russian worker dalam upaya isolasinya) dan alkaloid ini tidak pasti dibentuk sebagai hasil dari aksi dari basa pada carnosic acid. 

Reaksi alkaloid yang anomali juga ditunjukan ekstrak Samolus repens (Primulaceae) yang memberikan reaksi membentuk warna hitam dan mengendap dengan reagent Dragendorff. Fenomena ini sering terjadi pada pengujian bahan tanaman segar dan dapat diasumsikan sebagai reaksi dari salah satu iodin bebasndalam reagent dengan pati sehingga memberikan tipikal warna biru-hitam. Ekstrak dari Plagianthus divaritus (Malvaceae) memberikan warna pink, namun tidak mengendap dengan reagent Dragendorff.

Berikut contoh beberapa senyawa yang memberikan uji positif palsu alkaloid:


Reaksi Negatif Palsu pada Uji Alkaloid


Jika senyawa-senyawa basa nitrogen nonheterosiklik (protoalkaloid) dianggap sebagai alkaloid, maka kemungkinan besar kelompok senyawa ini akan memberikan hasil uji negatif jika diuji dengan reagent pengendap alkaloid. Selain itu, alkaloid kuarterner dan amina oksida (nupharidine, dilupine, trilupine) juga akan memberikan hasil uji negatif. Jika suatu ekstrak air-asam tanaman dipurifikasi dengan ditambah basa kemudian diekstraksi dengan pelarut organik, maka kedua lapisan ekstrak yang diperoleh (lapisan air dan pelarut organik) harus diuji alkaloid, dimana pada umumnya prosedur skrining alkaloid mengabaikan lapisan basa. Uji pada kedua apisan ekstrak dilakukan dengan asumsi bahwa alkaloid kuarterner dan amina oksida tidak dapat dipastikan keberadaannya, sehingga harus dikecualikan.








Materi ini merupakan materi kulaih pada mata kuliah Elusidasi Struktur
yang disampaikan Prof. Asep Ghana Suganda
Sekolah Farmasi ITB

Referensi:
Biological and Phytochemical Screening of Plants - Journal of Pharmaceutical Sciences
Maret 1966 volume 55, number 3