Sabtu, 13 Oktober 2012

TERAPI OVERDOSIS OPIOID



Overdosis analgesik opioid dapat dicegah dan berpotensi mengakibatkan kematian dari praktek peresepan obat yang tidak rasional, pemahaman yang tidak memadai tentang kondisi pasien dan resiko penggunaan obat yang salah (medication error), kesalahan dalam pemberian obat, dan penyalahgunaan obat. Ada tiga hal yang harus dipahami tentang toksisitas opioid ini:
  1. overdosis analgesik opioid dapat bersifat mengancam jiwa (menimbulkan kematian) akibat efek toksiknya pada berbagai organ yang kompleks.
  2. sifat farmakokinetik normal sering terganggu selama overdosis dan keracunan dan dapat pula terjadi perpanjangan intoksikasi yang dramatis
  3. durasi kerja toksisitas opioid bervariasi tergantung pada variasi formulasi opioid, dan kegagalan dalam mengenali formulasi opioid tersebut dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan tindakan terapinya, dan tak jarang mengakibatkan kematian.
EPIDEMIOLOGI OVERDOSIS

Jumlah kejadian overdosis analgesik opioid sebanding dengan jumlah opioid yang beredar dan diresepkan dimasyarakat. Sejak tahun 1997 hingga 2007 peresepan obat analgesik opioid di Amerika Serikat meningkat 700%, dan pada kurun waktu yang sama tersebut peresepan metadon meningkat hingga 1200%. Pada tahun 2010 National Poison Data System yang menerima dan mencatat kasus-kasus yang berhubungan dengan keracunan obat melaporkan bahwa lebih dari 107.000 kasus paparan analgesik opioid, dimana lebih dari 27.500 kasus diantaranya menerima analgesik opioid dari fasilitas kesehatan. Ada tumpang tindih antara penyakit psikiatri dan sindrom nyeri kronis. Pasien dengan gangguan kecemasan dan depresi lebih beresiko mengalami overdosis opioid dibandingkan dengan pasien lain yang tidak mengalami kondisi tersebut, karena pasien dengan gangguan kecemasan dan depresi umumnya menerima dosis opioid yang lebih tinggi. Pasien tersebut juga kemungkinan menerima agen hipnotif-sedatif (penenang), misal benzodiazepin yang sering beresiko mengalami overdosis dan kemungkinan lebih jauh menyebabkan kematian. 

PATOFISIOLOGI ANALGESIK OPIOID

Opioid dapat meningkatkan aktivitas pada satu lebih pasangan protein G transmembran, yang dikenal sebagai reseptor opioid mu, delta dan kappa. Reseptor opioid diaktifkan oleh peptida endogen dan ligan eksogen; morfin belakangan diketahui sebagai senyawa protipikal. Reseptor-reseptor tersebut terdistribusi secara luas pada seluruh tubuh manusia, dimana reseptor yang berada pada thalamus anterior dan ventrolateral, amigdala, dan akar ganglia dorsal akan memediasi nosisepsi. Dengan adanya kontribusi dari neuron dopaminergik, reseptor opioid batang otak memodulasi respon pernafasan untuk hiperkarbia dan hipoksemia, dan reseptor pada inti Edinger–Westpha okulomotor mengontrol konstriksi pupil. Agonis opioid mengikat reseptor pada saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus.

Reseptor opioid mu bertanggung jawab pada efek klinis yang dominan yang disebabkan oleh opioid. Studi pada tikus knockout mengkonfirmasi bahwa agonisme ini memediasi analgesia dan ketergantungan opioid. Selanjutnya, pengembangan toleransi, dimana dosis meningkat untuk mencapai efek klinis yang diinginkan, melibatkan ketidakmampuan progresif opioid mu untuk menyebarkan signal setelah mengikat opioid. Desensitisasi reseptor adalah titik kritis yang berperan pada perkembangan toleransi. 

Namun toleransi analgesik dan depresi pernafasan akibat opioid bukan semata-mata terkait dengan desensitisasi reseptor mu tersebut. Kondisi toleransi terjadi ketika pasien belajar untuk mengasosiasikan efek penguatan opioid dengan signal lingkungan untuk meprediksikan pemberian obat. Opioid yang digunakan saat hadirnya signal maka akan mengalami pelemahan efek, sebaliknya pemberian opioid yang dilakukan saat tidak adanya signal akan mengakibatkan pencapaian efek puncak. Toleransi depresi pernafasan tampaknya berkembang pada tingkat yang lebih lambat dari toleransi analgesik. Pasien dengan riwayat penggunaan opioid jangka panjang akan mengalami peningkatan resiko depresi pernafasan, dimana toleransi tertunda dapat menyebabkan penyempitan therapeutic window.

TOKSIKOKINETIK ANALGESIK OPIOID

Farmakokinetik analgesik opioid tertentu seperti absorpsi, onset kerja, bersihan, waktu paruh dan volume distribusi seringkali tidak relevan dengan kondisi overdosis. Sebagai contoh, terbentuknya bezoar (akumulasi massa/benda asing yang membentuk bulatan didalam perut, biasanya berupa rambut atau serat) dapat menyebabkan laju absorpsi opioid yang tidak menentu, penundaan pengosongan lambung, dan penurunan motilitas usus akibat penggunaan opioid itu sendiri menyebabkan absorpsi opioid tersebut lebih lambat dan berkepanjangan. Sebaliknya perilaku yang terkait dengan penggunaan opioid yang salah, misal insufflating atau penyuntikan tablet analgesik, pemanasan pacth fentanil, atau pemasangan lebih dari satu patch fentanil, sering mengakibatkan peningkatan laju absorpsi yang tak terduga. 

Setelah absorpsi, sebagian besar obat-obatan termasuk analgesik opioid akan mengalami eliminasi farmakokinetik orde pertama, dimana satu fraksi konstan dari obat dikonversi melalui proses enzimatik persatuan waktu. Dalam kondisi overdosis, tingginya kadar obat dapat mengalahkan kemampuan enzim untuk mengkonversinya, proses ini dikenal dengan istilah saturasi. Saturated biologic processes (proses biologi yang telah mengalami kejenuhan) ditandai dengan transisi kinetik dari orde pertama ke orde nol. Ada dua fenomena penting yang terjadi pada kinetika orde nol:
  1. Adanya peningkatan sedikit dosis obat dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma obat yang tidak proporsional sehingga mengakibatkan terjadinya intoksikasi.
  2. Sejumlah konstan dari obat dapat dihilangkan persatuan waktu
Bertemunya beberapa efek toksikokinetik dapat menyebabkan efek toksisitas yang mungkin berat, dengan onset tertunda, atau pun adanya efek terapi yang berkepanjangan.

MANIFESTASI KLINIS OVERDOSIS ANALGESIK OPIOID

Toxidrome (sebuah sindrome yang disebabkan oleh adanya racun dalam tubuh) klasik dari intoksikasi opioid ini diantaranya apnea (kondisi suspensi pernafasan eksternal), pingsan (sinkop) dan miosis. Sine qua non (kondisi, temuan atau tanda yang tidak akan mungkin hadir tanpa adanya penyakit atau kondisi yang diduga) pada keracunan opioid adalah adanya depresi pernafasan. Pemberian dosis terapi opioid pada seseorang tanpa tolernasi menyebabkan penurunan aktivitas pernafasan dengan tingkat penurunan yang tergantung pada tingkat dosis yang diberikan. Penurunan pernafasan merupakan gejala yang paling mudah diamati dan puncaknya adalah apnea. Tingkat pernafasan 12x/menit atau kurang pada seseorang dengan kondisi yang tidak sedang tidur fisiologis jelas menunjukan adanya keracunan opioid akut terlebih bila disertai dengan miosis atau stupor. Adanya miosis saja tidak cukup untuk menyimpulkan adanya diagnosis keracunan opioid.

Gambar 1
Temuan Klinis pada Intoksikasi Analgesik Opioid

Ingesti banyak zat dapat menghasilkan reaksi normalisasi dan midriasis pupil, sebagaimana juga dapat menyebabkan keracunan dari meperidin, propoksifen atau tramadol. Sebaliknya overdosis dari obat opioid, agen antikonvulsan dan agen sedatif-hipnotif lainnya dapat menyabakan miosis dan koma, namun umumnya tanpa adanya depresi pernafasan.

Kegagalan oksigenasi didefinisikan sebagai kejenuhan oksigen kurang dari 90% sedangkan pasien menghirup udara ambien dan dengan ventilasi yang memadai untuk mencapai tegangan karbon dioksida normal (tekanan parsial karbon dioksida) sering disebabkan oleh edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh beberapa kondisi. Salah satu penyebab yang mungkin adalah inspirasi terjadi pada glotis yang tertutup sehingga menyebabkan penurunan tekanan intraaortik dan lebih lanjut menyebabkan ekstravasasi cairan. Atau penyebab lain yang mungkin adalah adanya cedera paru akut yang mungkin timbul dari mekanisme yang sama dengan yang dipostulasikan untuk edema paru neurogenik. Dalam skenario ini, respon vasoaktif simpatik terhadap stres pada seseorang yang telah pulih dari kondisi intoksikasi berujung pada kebocoran paru perifer.

Hipotermia mungkin terjadi akibat tidak adanya respon yang persisten dalam lingkungan yang dingin atau akibat kesalahan dalam upaya pemulihan intoksikasi opioid dengan cara merendam pasien dalam air. Selain itu seseorang yang pingsan yang terinduksi opioid dapat mengalami rhabdomyolisis, gagal ginjal myoglobinurik dan sindrom kompartemen. Abnormalitas laboratorium lain yang mungkin terjadi adalah konsentrasi aminotransferase dalam hubungannya dengan cedera hati yang disebabkan oleh parasetamol atau hipoksemia. Kejang dikaitkan dengan overdosis tramadol, propoksifen dan meferidin.

DIAGNOSIS OVERDOSIS

Kehadiran hipopnea atau apnea, miosis, dan pingsan harus mengarahkan dokter untuk menduga kemungkinan diagnosis intoksikasi analgesik opioid yang mungkin disimpulkan dengan memperhatikan tanda-tanda fisik, riwayat pengobatan dan pemeriksaan fisik. Pada pasien dengan depresi pernafasan berat, pemulihan ventilasi dan oksigenasi lebih diutamakan dari pada memperoleh riwayat pengobatan pasien atau melakukan pemeriksaan fisik atau tes diagnostik.

Setelah kondisi pasien stabil, dokter harus menanyakan semua analgesik opioid yang pernah digunakannya, parasetamol dan obat terlarang dan berbahaya lainnya dan menanyakan apakah pasien memiliki kontak dengan siapa pun yang menerima pengobatan nyeri kronis atau ketergantungan. Dalam melakukan pemeriksaan fisik dokter harus mengevaluasi ukuran dan reaktivitas pupil dan tingkat pernafasan dan temuan auskultasi yang mengarah pada edema paru. Pasien harus benar-benar telanjang untuk menemukan kemungkinan adanya patch fentanil. Dokter juga harus melakukan palpasi otot, kekompakannya, pembengkakan dan kelembutan yang menjadi ciri sindrom kompartemen. Akhirnya kadar plasma parasetamol juga harus ditentukan, untuk melihat adanya kemungkinan hepatotoksisitas parasetamol.

Analisis urin kualitatif diperlukan untuk melihat kemungkinan penggunaan obat-obatan terlarang. Namun penemuan akan adanya penggunaan obat-obatan terlarang ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap keputusan tindakan yang akan diambil, hal ini karena pada dasarnya terapi overdosis opioid tidak terlalu berbeda.

TERAPI OVERDOSIS

Pasien dengan apnea memerlukan stimulus mekanis dan farmakologis. Untuk pasien yang pingsan dengan tingkat pernafasan 12x/menit atau kurang ventilasi harus diberikan dengan bag-valve mask; chin-lift dan
jaw-thrust  harus dilakukan untuk memastikan bahwa posisi anatomis membantu untuk mengurangi hiperkarbia. Meskipun hubungan antara tekanan parsial karbon dioksida dan cedera paru-paru akut tidak jelas, memberikan ventilasi yang memadai adalah respon sederhana yang bermanfaat mengembalikan oksigenasi dan mencegah lonjakan simpatik yang dapat memicu edema paru setelah pemulihan apnea dengan resiko minimal.

Nalokson adalah salah satu antidot untuk overdosis opioid yang merupakan antagonis kompetitif reseptor mu  yang membalikan semua tanda-tanda overdosis opioid. Nalokson akan aktif jika diberikan melalui rute parenteral, intranasal atau pun pulmonar. Pada pasien dengan ketergantungan opioid, konsentrasi plasma awal dari nalokson harus lebih rendah karena volume distribusinya lebih tinggi dan waktu paruh eliminasinya lebih panjang dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami ketergantungan apioid. Onset kerja nalokson kurang dari 2 menit pada orang dewasa jika diberikan melalui suntikan intravena, dengan durasi kerja yang jelas sekitar 20-90 menit, satu periode kerja yang lebih pendek dibandingkan dengan kebanyakan opioid.

Dosis nalokson bersifat empiris. Dosis efektif sangat tergantung pada besarnya analgesik opioid yang diterima oleh pasien, afinitas relatif dari nalokson dalam posisi analgesik opioid pada ikatannya dengan reseptor mu, berat badan pasien dan tingkat penetrasi dari analgesik pada sistem syaraf pusat. Karena sebagian besar informasi tidak diketahui, maka untuk menentukan dosis efektifnya sangat bergantung pada terapi percobaan. Dosis awal nalokson untuk orang dewasa adalah 0,04 mg, jika tidak ada respon dosis harus ditingkatkan setiap 2 menit, dosis maksimum 15 mg. Jika tidak ada pengurangan gejala depresi pernafasan setelah pemberian 15 mg nalokson, ini berarti bahwa penyebab depresi pernafasan tersebut bukanlah overdosis opioid. Kembalinya toksisitas opioid setelah pemberian dosis tunggal nalokson sering bersifat sementara, adanya depresi pernafasan berulang merupakan indikasi diperlukannya infus kontinue.

Nalokson dapat diberikan tanpa perlu khawatir termasuk pada pasien dengan ketergantungan opioid. Kekhawatiran bahwa nalokson akan membahayakan pasien dengan ketergantungan opioid tidak beralasan. Tanda-tanda yang tidak menyenangkan seperti menguap, lakrimasi, piloereksi, diaforesis, myalgia, mual dan diare memang mungkin terjadi namun hal itu tidak mengancam jiwa. Selain itu pasien dengan toleransi opioid sering kali memiliki respon yang memadai terhadap nalokson untuk meningkatkan tingkat pernafasan. Setelah tingkat pernafasan meningkat setelah pemberian nalokson pasien harus diobservasi selama 4-6 jam sebelum akhirnya pemberian nalokson dihentikan.

Metode pemberian alternatif untuk nalokson adalah melalui intubasi intratrakeal, prosedur yang memastikan keamanan pemberiannya bersamaan dengan prosedur oksigenasi dan ventilasi. Pasien yang mengalami intoksikasi akibat penggunaan formulasi opioid long-acting atau  extended-release dapat mengalami depresi pernafasan berulang atau memerlukan infus nalokson atau intubasi intratrakeal yang dilakukan diunit gawat darurat.

Setelah kondisi pasien, selanjutnya harus diteliti dan dipastikan bahwa pada permukaan tubuh pasien tidak terdapat patch fentanil. Pacth fentanil sering menyebabkan intoksikasi tertunda. Aksila, perineum, skrotum dan orofaring harus diperiksa dan jika ditemukan pacth fentanil harus segera dilepaskan dan kulit harus didekontaminasi dengan air dingin dan sabun. Pada pasien yang mungkin menelan pacth fentanil maka harus dilakukan irigasi dengan polietilen glikol untuk mempercepat penghapusan patch.

Adanya hipoksemia persisten setelah pemberian nalokson dapat menandakan adanya negative-pressure edema paru. Pada kasus hipoksemia ringan perawatan suportif saja telah cukup, namun pada kasus yang berat diperlukan pemberian intubasi orotrakeal dan ventilasi positive-pressure. Resolusi cedera paru dapat dilakukan dengan aspirasi isi lambung yang biasanya dilakukan dalam 24 jam. Karena kemungkinan penyebab cedera paru tersebut bukan karena kelebihan cairan maka upaya pengurangan volume intravaskular dengan menggunakan diuretik sering kali tidak efektif dan bahkan dapat memperburuk kondisi gagal ginjal myogloburik, jika ada. Nalokson telah dipandang keliru sebagai penyebab edema paru. Namun pada kasus overdosis opioid yang fatal, edema paru hampir selalu terjadi, termasuk yang terjadi pada kasus sebelum dikembangkannya nalokson. Penelitian terbaru telah menunjukan bahwa edema paru tidak berkembang pada pasien yang menerima nalokson dalam dosis besar dan dengan cara infus kontinue. Akhirnya, auskultasi tanda-tanda edema paru yang sering tidak jelas pada pasien dengan apnea, menjadi jelas setelah pemberian nalokson.

Rhabdomyolisis yang didefinisikan sebagai kondisi dimana konsentrasi kreatinin-kinase lima kali atau lebih tinggi dari kisaran normal terakhir harus diterapi dengan resusitasi cairan untuk mencegah presipitasi (pengendapan) mioglobin dalam tubulus ginjal; pemberian bikarbonat tidak memperbaiki kondisi. Pasien dengan sindrom kompartemen harus harus menerima konsultasi darurat bedah untuk kemungkinan fasciotomy. Pasien dengan hipotermia mungkin memerlukan pemanasan segera. Peningkatan konsentrasi aminotransferase, adanya parasetamol dalam darah, atau keduanya menunjukan kemungkinan perlunya terapi dengan asetilsistein. Akhirnya perlu dilakukan identifikasi penyebab overdosis untuk menentukan perawatan lanjutan yang tepat bagi pasien tersebut.






Sumber
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1202561