Rabu, 12 September 2012

TERMINASI KEHAMILAN SECARA MEDIS



Terminasi (pengakhiran) masa kehamilan telah dilakukan sejak lama dengan perhitungan atas kondisi tertentu. Banyak pihak telah menerima praktek ini, namun ada juga yang menganggap bahwa praktek ini merupakan kejahatan/kriminal. Ada beberapa metode yang dilakukan dalam praktek ini. Pada kehamilan trimester pertama, metode pembedahan paling banyak dilakukan untuk melakukan terminasi kehamilan tersebut. Aspirasi vakum dianggap lebih aman dan kurang menyakitkan dibandingkan dengan dilatasi atau kuretase. Diseluruh dunia diperkirakan sekitar 26 juta kehamilan diakhiri secara legal, dan 20 juta kehamilan diakhiri secara ilegal pertahunnya dengan angka kematian lebih dari 78.000. Kondisi tersebut mendorong ditemukannya metode terminasi kehamilan lainnya yang lebih aman dengan reseiko kematian yang lebih rendah, tentunya jika dilakukan secara legal.

Di Amerika Serikat yang melegalkan aborsi yang dilakukan oleh tenaga terlatih, tingkat kematian dari praktek aborsi melalui pembedahan adalah sebesar 0,6 per 100.000 kasus, dengan tingkat morbiditas serius terjadi pada kurang dari 1% wanita yang menjalani praktek tersebut.

AKSI FISIOLOGIS OBAT DALAM TERMINASI KEHAMILAN

Implantasi/penanaman embrio dalam uterus melibatkan interaksi yang kompleks dengan endometrium. Embrio melekat pada epitel endometrium dan kemudian menyerang stroma endometrium pada hari ke 6-10 setelah terjadinya ovulasi. Peristiwa ini tergantung pada progesteron yang memodifikasi banyak transkripsi gen yang terlibat dalam proses implantasi tersebut. Progesteron juga menghambat kontraksi miometrium.

Obat-obat yang digunakan untuk mengakhiri kehamilan bertindak dengan menghambat sintesis progesteron, merangsang kontraksi miometrium, mengantagonis kerja progesteron, atau menghambat perkembangan trofoblas.
  • Obat yang menghambat sintesis progesteron. Modifikasi molekul steroid seperti (2α,4α,5α,17β)-4,5-epoxy-17-hydroxy-4,17-dimethyl-3-oxoandrostane-2-carbonitrile (epostane) dan penghambat kompetitif ovarium dan plasenta 3β-hydroxysteroid dehydrogenase lainnya seperti trilostane, bekerja dengan menghambat sintesis progesteron dari prekursornya yaitu pregnenolon, sehingga obat-obat tersebut dapat mengakhiri kehamilan.
  • Obat yang menginduksi kontraksi miometrium. Prostaglandin dan oksitosin merangsang kontraksi rahim dengan mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel miometrium. Aksi tersebut menyebabkan peningkatan produksi kalsium pada retikulum endoplasma dan akhirnya mengakibatkan kontraksi uterus, sehingga dapat menyebabkan keguguran.
  • Obat yang mengantagonis kerja progesteron. Antagonis progesteron (antiprogestin) yang pertama kali dikembangkan adalah mifepristone, yang juga dikenal dengan istilah RU 486 atau RU 38486. Senyawa ini bekerja dengan mengikat reseptor progesteron dengan afinitas 5 kali lebih besar dibandingkan progesteron. Antiprogestin juga bekerja pada pembuluh darah endometrium sehingga menyebabkan kerusakan embrio. Senyawa obat ini secara langsung memacu kontraksi uterus dengan meningkatkan rangsangan pada sel miometrium dan menyebabkan pelebaran/dilatasi serviks.
  • Obat yang menghambat perkembangan trofoblas. Metotreksat (methotrexate) adalah contoh obat antagonis asam folat yang dapat mengakibatkan keguguran janin dengan mekanisme mengganggu proses sintesis DNA. Sel-sel yang sedang aktif membelah, termasuk tumor ganas, sumsum tulang dan trofoblas sensitif terhadap metotreksat. Sehingga dalam dunia medis obat ini digunakan dalam terapi koriokarsinoma dan kehamilan ektopik.

OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM TERMINASI KEHAMILAN

Terminasi kehamilan secara medis dianggap berhasil jika konsepsi secara lengkap dapat dilakukan tanpa adanya tindakan pembedahan. Keberhasilan umumnya ditentukan juga oleh durasi kehamilan. Berikut obat-obat yang sering digunakan:

Epostane

Epostane digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan prostaglandin E2 yang digunakan untuk terminasi kehamilan dengan usia kehamilan kurang dari 56 hari. Dosis 200 mg diberikan setiap 6 atau 8 jam selama 7 hari. Dalam sebuah studi epostane menyebabkan mual pada sekitar 86% wanita dan memiliki tingkat keberhasilan sebesar 84%. Dengan alasan tersebut maka produsen tidak menganjurkan penggunaan epostane untuk tujuan terminasi kehamilan tersebut.



Prostaglandin
Prostaglandin alami merupakan agen yang pertama kali digunakan untuk terminasi kehamilan. Namun prostaglandin alami tersebut memiliki sifat yang kurang stabil, spesifisitas yang rendah dan toleransinya buruk. Penggunaan analog prostaglandin parenteral sulprostone tidak diperkenankan lagi karena adanya resiko komplikasi kardiovaskular, seperti infark miokard dan hipotensi parah.

Misoprostol dan gemeprost adalah senyawa analog prostaglandin E1 yang sering digunakan saat ini. Misoprostol lebih banyak digunakan karena harganya yang murah, stabil pada temperatur kamar dan tersedia diberbagai negara yang umumnya digunakan dalam terapi ulkus peptikum yang terinduksi obat antiinflamasi nonsteroid (AINS). Sedangkan gemeprost hanya tersedia sediaan vaginal dengan harga yang mahal, termolabil, memerlukan pendinginan, dan tidak disetujui penggunaannya di Amerika   Serikat.                                                                                                              


Dosis oral misoprostol adalah 400-3200 µg mampu menginduksi aborsi hanya pada 4-11% wanita dengan usia kehamilan 56 hari atau kurang. Bioavailabilitas obat ini relatif besar jika diberikan secara vaginal dan dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. 


   

Respon terhadap pemberian gemeprost vaginal lebih dapat diprediksi. Dalam sebuah studi dosis 1 mg gemeprost dengan dosis tambahan yang diberikan setiap 3 jam hingga 5 dosis memberikan keberhasilan terminasi kehamilan sebesar 97% pada wanita dengan usia kehamilan 56 hari atau kurang. Jika dosis yang sama diberikan setiap 6 jam hingga 3 dosis tingkat keberhasilannya lebih rendah yaitu sekitar 87%.

Efek samping yang umum terjadi pada penggunaan misoprostol atau gemeprost diantaranya:

  1. Nyeri, sekitar 53% pasien memerlukan 5 mg analgesia opiat pada pasien yang menggunakan gemeprost, dan 15% pada kelompok pasien yang menggunakan misoprostol.
  2. Pusing, mual, muntah, diare, menggigil dan ruam
  3. Durasi pendarahan sekitar 14 hari pada pasien yang menggunakan gemeprost dan 11 hari pada pasien pengguna misoprostol
  4. Dalam hal misoprostol gagal mengakhiri kehamilan, misoprostol dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi termasuk cacat kulit kepala atau tengkorak, cranial-nerve palsy, maupun cacat anggota tubuh lainnya. 
  5. Terkait tingginya tekanan rahim karena kontraksi rahim atau spasme pembuluh darah, maka mungkin berakibat teratogenik
Prostaglandin dapat digunakan secara sendiri, namun terkait dengan efek sampingnya maka biasanya misoprostol digunakan dalam dosis rendah dan dikombinasikan dengan mifepristone atau metotreksat.

Kombinasi Metotreksat dan Prostaglandin
Kombinasi ini terbukti lebih efektif dalam terminasi kehamilan. Dosis metotreksat sebesar 50 mg per meter persegi area permukaan tubuh disuntikan secara intramuskular. Dosis lebih dari 60 mg/m2 area permukaan tubuh tidak meningkatkan efektivitasnya. Pemberian metotreksat oral 25 atau 50 mg juga efektif. Sementara itu 800 µg misoprostol diberikan pervaginal. 

Tingkat keberhasilan dengan kombinasi agen ini pada wanita dengan usia kehamilan 56 hari atau kurang adalah sebesar 84-97%. Efikasi sering didefinisikan sebagai keberhasilan langsung (yaitu terminasi lengkap dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemberian misoprostol) atau keberhasilan tertunda (terminasi lengkap setelah lebih dari 24 jam sejak pemberian misoprostol). Tingkat keberhasilan pada satu pasien umumnya lebih rendah dibandingkan dengan tingkat keberhasilan secara keseluruhan karena terjadinya terminasi tertunda pada sekitar 12-35% pasien yang baru mengalami terminasi setelah kurun waktu 20-30 hari setelah pemberian misoprostol. 

Mual, muntah, diare adalah efek samping yang umum pada penggunaan kombinasi obat ini. stomatitis dan luka oral ringan terjadi pada sekitar 5% pasien. Durasi pendarahan pervagina berkisar antara 10-17 hari sejak pemberian dosis misoprostol terakhir. Dalam sebuah studi yang lain, sekitar 4% pasien yang menggunakan kombinasi misoprostol dan metotreksat memerlukan tindakan pembedahan untuk                                      
mengakhiri kehamilan secara lengkap akibat pendarahan
yang berlebihan.

Yang sangat perlu diperhatikan pada penggunaan metotreksat adalah adanya efek sitotoksik pada trofoblas. Dalam sebuah studi 6 dari 13 janin yang terpapar metotreksat akan mengalami abnormalitas.

Tamoksifen (Tamoxifen) dan Prostaglandin
Tamoksifen

Dalam sebuah studi 20 mg tamoksifen sekali sehari selama 4 hari diikuti dengan pemberian misoprostol 800 µg dapat menginduksi terjadinya aborsi lengkap pada 92% wanita.

Antiprogestin dan Prostaglandin
Tingkat keberhasilan terminasi mifepriston yang digunakan sendiri dengan dosis 200-600 mg adalah sebesar 64-85%. Pemberian prostaglandin pada 36-60 jam setelah pemberian mifepriston terbukti mampu meningkatkan keberhasilan terminasi kehamilan.  Biasanya prostaglandin diberikan 48 jam setelah pemberian mifepriston. 

Keberhasilan terminasi pada kehamilan dengan usia 49 hari atau kurang dengan menggunakan mifepriston dan prostaglandin adalah sebesar 92-98%.                                                                        
                                                                                                   
Efek samping berat yang dapat terjadi pada penggunaan kombinasi mifepriston dan prostaglandin adalah pendarahan pervaginal yang berkepanjangan. Namun demikian jarang membutuhkan transfusi darah. Efek samping lain yang sering terjadi adalah nyeri abdomen dan kram uterus. 






Sumber
Tulisan ini disarikan dari artikel berjudul "Medical Termination of Pregnancy" 
Editor Alastair J.J Wood, M.D
Dipublikasikan di www.nejm.org
12 September 2012