Kamis, 11 Oktober 2012

TUBERCULOSIS, RESISTENSI OBAT DAN SEJARAH PENGOBATAN MODERN



Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi yang membunuh sekitar 2 juta orang setiap tahunnya.  Multidrug-resistant (MDR) tuberculosis disebabkan oleh adanya konvensi strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid (INH) dan rifampisin yang merupakan tulang punggung dalam terapi tuberculosis. MDR diperkirakan menimpa sekitar 500.000 penderita tuberculosis pertahunnya. Resistensi anti-TB telah dipelajari sejak tahun 1940an.

Dalam sebuah presentasinya pada tanggal 24 Maret 1882, Robert Koch menyatakan bahwa TB merupakan sebuah penyakit yang pada abad 19 menyebabkan kematian pada sekitar 25% dari semua kematian di Massachusetts dan New York serta menewaskan sekitar seperempat penduduk Eropa. Koch meringkas sejumlah penemuan-penemuan pentingnya dalam sebuah naskah yang dipublikasikan Berliner Klinische Wochenschrift, sehingga dia memenangkan Nobel pada tahun 1905.

Namun sepanjang penelitian tentang TB, perkembangan penemuan terapi TB agak tertinggal. Baru sekitar 60 tahun kemudian yaitu tahun 1943, streptomisin ditetapkan sebagai anti-TB pertama yang dinyatakan efektif. Pada tahun 1944 seorang penderita TB menerima suntikan streptomisin dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya itu. Baru setelah itu diikuti dengan berbagai penemuan agen-agen anti-TB lainnya. The British Medical Research Council melakukan studi klinis pertama kali untuk menguji efektivitas streptomisin pada tahun 1948. Dari studi acak terkontrol tersebut, banyak penderita yang dinyatakan sembuh namun tidak sedikit pula yang mengalami kekambuhan, dan pada saat isolat mikobakteri dibiakan menunjukan adanya resistensi terhadap streptomisin.

Thiacetazone dan asam para-aminosalisilat merupakan dua agen anti-TB yang ditemukan kemudian. Ketika salah satu agen tersebut digunakan bersamaan dengan streptomisin, tingkat kesembuhan pasien meningkat dengan resiko resistensi yang menurun.

Tahun 1951 isonicotinic acid hydrazide (isoniazid)  atau yang sering disingkat dengan istilah INH diuji dan dinyatakan efektif sehingga segera diperkenalkan dan dipergunakan secara luas dimasyarakat. Penemuan INH kemudian diikuti dengan penemuan-penemuan agen baru yaitu pirazinamid pada tahun 1952, cycloserine (1952), ethionamide (1956), rifampin (1957), dan ethambutol (1962).

Dengan tingkat efikasi yang memadai dan cara pemberian obat yang mudah, penemuan rifampisin telah merevolusi metode terapi TB. Namun setiap penemuan anti-TB baru selalu diikuti dengan pemilihan mutasi resistensi untuk agen tersebut. Resistensi terhadap rifampisin segera diamati sejak pertama kali agen tersebut digunakan.

Uji laboratorium menunjukan bahwa penggunaan INH sebagai monoterapi memiliki tingkat resistensi yang tinggi, penekanan laju resistensi terjadi saat INH yang diberikan dalam kombinasi bersama streptomisin atau asam para-aminosalisilat. Penelitian ini menyebabkan pemberian terapi multidrugs (kombinasi) lebih disukai untuk terapi TB, sebagaimana terapi untuk penyakit menular lainnya atau kanker. Dan pada akhirnya berdasarkan studi klinis diberbagai negara yang dipimpin oleh British Medical Research Council, menyarankan terapi kombinasi dengan menggunakan 4 agen anti-TB dalam terapi pasien TB. INH dan rifampisin menjadi tulang punggung dalam terapi ini yang diberikan selama 6-8 bulan.

Resistensi obat, merupakan suatu kondisi yang menantang yang selalu memerlukan penelitian. TB baik yang disebabkan oleh strain yang rentan terhadap obat maupun yang resisten terhadap obat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, gizi buruk, dan pemukiman kumuh.

KEBIJAKAN PEMBERANTASAN TB

Optimisme bahwa TB akan menjadi salah satu penyakit yang akan segera tereliminasi bukan hanya dominasi negara-negara kaya. International Conference on Primary Health Care di Alma-Ata (sekarang disebut Almaty) pada tahun 1978 mendelegasikan semua negara di dunia untuk mendukung tujuan dari “health for all by the year 2000.” Dimana pemberantasan penyakit cacar telah diumumkan setahun sebelumnya.

Kusta dan TB memerlukan terapi obat dan tindak lanjut perawatan untuk menjamin kesembuhannya, sehingga setiap negara memerlukan penyiapan pembiayaan yang memadai untuk itu. Namun TB merupakan penyakit yang persisten dengan kemiskinan.

Tahun 1993, WHO menggunakan disabilityadjusted life-years, sebagai alat untuk mengukur "efektivitas biaya" pada intervensi kesehatan yang diberikan dengan memperhitungkan faktor mortalitas, morbiditas dan usia dan menyimpulkan bahwa kemoterapi TB jangka pendek dinyatakan "hemat biaya". WHO kemudian mempromosikan program DOTS (directly observed therapy, short-course) sebagai strategi pemberantasan TB. Menurut strategi ini diagnosis TB dapat ditetapkan hanya dengan menggunakan uji mikroskopik, terlepas dari ketidakpekaan obat dan ketidakmampuan teknis untuk mendeteksi resistensi obat dan pendekatan pengobatan harus didasarkan pada penggunaan empiris agen lini pertama dari anti-TB.

Fasilitas yang berbasis pengendalian infeksi tidak termasuk dalam bagian strategi DOTS ini. Namun demikian, negara-negara miskin di dunia yang mengembangkan program ini telah banyak terbantu dengan semakin banyaknya nyawa yang dapat diselamatkan dari TB. Namun demikian anak-anak dengan TB, seseorang dengan TB disertai HIV mengalami peningkatan resiko terinfeksi strain TB yang resisten terhadap obat.

MDR TB SECARA GLOBAL

Pergeseran kebijakan dari anggapan bahwa pemberantasan TB memerlukan biaya pengobatan yang mahal ke paradigma baru bahwa pemberantasan TB dianggap hemat biaya dianggap sebagai "konstruksi sosial penyakit". Namun demikian strain M. tuberculosis yang resisten terhadap obat terus bermunculan dan menular akibat pengobatan empiris dengan agen anti-TB lini pertama tidak efektif bagi mereka yang telah terinfeksi strain yang resisten. Infeksi HIV semakin memperparah kondisi epidemi TB. Akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an telah dilaporkan tentang perkembangan resistensi TB ini. Dalam laporan ini disebutkan bahwa transmisi udara terhadap strain tak terdeteksi dan tak terobati memainkan peran utama dalam perkembangan MDR TB ini.