Rabu, 10 Oktober 2012

STUDI KASUS PADA PASIEN DENGAN CEDERA HATI AUTOIMUN




Seorang pria berusia 55 tahun datang menemui seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan atas beberapa keluhan yang dirasakannya. Pria tersebut mengatakan bahwa telah selama seminggu dia mengalami hidung tersumbat, sakit kepala, menggigil, mual ringan, dan sensasi berkabut (kekaburan penglihatan), serta merasakan bahwa matanya menguning. Dia juga mengatakan bahwa urinnya lebih gelap (pekat) dan malaise beberapa hari sebelum kunjungannya ke dokter ini. Dia tidak merasakan adanya nyeri abdomen (perut), pruritus, muntah, melena atau hematochezia, dia tidak mengukur suhu badannya namun ia merasakan adanya demam.
Apa yang terjadi dengan pria tersebut???

Pernyataan pasien tentang adanya gejala urin yang gelap dan ikterus skleral, maka jaundice (penyakit kuning) merupakan diagnosa yang potensial yang patut dicurigai untuk kondisi ini. Baik itu jaundice obstuktif atau pun nonobstruktif. Jaundice nonobstruktif umumnya disebabkan oleh sebab-sebab berikut:
  • Infeksi, terutama infeksi virus (adanya sumbatan hidung dan sakit kepala merupakan salah satu gejala kondisi ini)
  • Kanker (padat atau hematologi)
  • Obat atau racun ( termasuk alkohol dan obat herbal)
  • Penyakit autoimun
Sedangkan penyakit obstruktif dapat bersifat lunak/benign (berupa baru atau striktur) maupun ganas/malignant

Sejarah Medis Pasien
Lebih lanjut dari kondisi ini, diketahui bahwa sejarah medis pasien diantaranya adalah adanya hipertensi, hiperlipidemia, alergi musiman, nefrolitiasis, dan episode campak pada usia 9 tahun adalah merupakan komplikasi pernafasan yang rumit yang mengharuskan sang pasien ini mengalami trakeostomi. Dari sejarah medis dikeluarganya diketahui adanya kanker testis pada saudara laki-lakinya. Pekerjaan pasien adalah sebagai seorang engineer. Dia tidak memiliki riwayat tranfusi darah, pemasangan tato, penggunaan tembakau (rokok) dan obat-obatan terlarang. Konsumsi alkohol 1-2 gelas permalam. Perjalanan terakhir yang dilakukan adalah ke Pulau Turks dan Caicos pada 4 bulan sebelum kunjungan pengobatan ini. Obat-obatan yang pernah atau sedang dikonsumsinya antara lain: aspirin, atenolol, hidroklorotiazid, lovastatin, fexofenadin, minyak ikan, acidophilus, vitamin D dan kalsium karbonat. Pasien mengaku tidak menggunakan parasetamol atau obat-obat bebas lainnya atau pun suplemen herbal dalam kurun waktu 6 bulan terakhir.

Hipertensi dan hiperlipidemia menunjukan adanya sindrom metabolik yang meningkatkan kemungkinan penyakit hati berlemak nonalkoholik. Penggunaan alkohol oleh pasien juga dapat dianggap sebagai faktor predisposisi yang potensial pada kerusakan hati, dalam hal ini kebiasaan konsumsi alkohol tidak dapat dianggap remeh, bahkan pada penggunaan/konsumsi alkohol dalam jumlah sangat kecil pun akan berakibat fatal pada pasien dengan penyakit hati okultisme. Hampir semua obat dapat dihubungkan dengan kondisi kerusakan hati. Dan dari semua obat yang dikonsumsi pasien ini, lovastatin merupakan obat yang paling dikhawatirkan memperparah kerusakan hati. Kemungkinan penggunaan antibiotik akan semakin memperparah kondisi ini. Antibiotik merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak menyebabkan kerusakan hati. Perjalanan terakhir yang dilakukan pasien juga dapat merupakan faktor penyebab gangguan kesehatan yang dialami sang pasien. Dalam perjalanan, penularan penyakit infeksi virus seperti hepatitis A sangat mungkin terjadi. Namun dalam hal ini, pasien dapat dipastikan tidak terinfeksi hepatitis A, karena infeksi virus ini memiliki masa inkubasi 28 hari.

Pada tiga setengah tahun yang lalu, melalui pemeriksaan fisik rutin diketahui bahwa pasien mengalami peningkatan sedikit level enzim hati. Tingkat aspartat amonitransferase sebesar 35 U/liter (kisaran normal 2-35 U/liter), dan level alanin aminotransferase sebesar 47 U/liter (kisaran normal 0-45 U/liter). Sedangkan level alkalin fosfatase, bilirubin dan albumin normal. Level aspartat aminotransferase dan alanin aminotransferase kembali meningkat setahun kemudian saat pasien mulai menggunakan simvastatin untuk terapi hiperlipidemianya (untuk menurunkan kadar LDL serum). Dan pada pemeriksaan 2 bulan kemudian, level aspartat dan alanin aminotransferase kembali mengalami sedikit peningkatan, sejak dilakukannya peningkatan dosis simvastatin (2 kali dosis sebelumnya). Sejak dua bulan penggunaan dosis simvastatin yang lebih tinggi ini level aspartat dan alanin aminotransferase meningkat menjadi 63 U/liter dan 93 U/liter. Kondisi tersebut menyebabkan penggunaan simvastatin dihentikan. Satu bulan kemudian level aspartat aminotransferase meningkat menjadi 130 U/liter, alanin aminotransferase 202 U/liter dan alkalin fosfatase meningkat menjadi 140 U/liter (kiaran normal 30-130 U/liter), sedangkan level bilirubin dan albumin normal. Tes antibodi terhadap hepatitis B dan C negatif. Level besi, kapasitas pengikatan besi (iron-binding) dan ferritin normal. Level alfa-antitripsin rendah yaitu 79 mg/dl (kisaran normal 113-263 mg/dl) dengan fenotif MZ.

Pasien asimptomatis. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh seorang hepatologist, pengujian menunjukan adanya ikterus skleral, nyeri tekan pada perut, hepatosplenomegali. limfadenopati, dan kelianan-kalianan lainnya. Level aspartat aminotransferase 62 U/liter dan alanin aminotransferase 102 U/liter, alkali fosfatase 90 U/liter, bilirubin 1,1 mg/dl, INR 1,0 dan albumin 4,5 g/dl. Dari biopsi hati diketahui adanya steatosis ringan tanpa fibrosis dan kelainan klinis lainnya yang signifikan. Pada pewarnaan Periodic acid–Schiff (PAS) dengan diastase menunjukan tidak adanya tetesan alfa1-antitripsin, dan pewarnaan besi menunjukan tidak adanya penumpukan besi. Enzim hati kembali normal 3 tahun kemudian, dan dimulailah terapi dengan lovastatin. Dan pada pemeriksaan fisik rutin setahun kemudian (4 bulan sebelum kunjungan ke dokter ini) kondisi enzim-enzim hati tersebut masih normal.

Dari sejarah medisnya pasien menunjukan penyakit hati nonalkoholik. Namun kebiasaan pasien mengkonsumsi alkohol juga sangat memungkinkan mengakibatkan kerusakan/penyakit hati ini. Terlebih dalam biopsi tidak memungkinkan untuk membedakan penyakit hati tersebut apakah alkoholik atau nonalkoholik. Selain itu pula pasien menunjukan adanya kombinasi gejala yang berhubungan dengan penyakit hati alkoholik atau pun nonalkoholik. Adanya perubahan enzim aminotransferase yang sering kembali ke kondisi normal adalah salah satu gejala kondisi tersebut. Ada kemungkinan peningkatan enzim aminotransferase berhubungan dengan penggunaan agen statin (terutama pada peningkatan dosis). Fenotif MZ umumnya tidak berhubungan dengan penyakit endorgan serius. Kerusakan hati dapat terlihat pada pasien yang mengalami defisiensi alfa1-antitripsin akibat akumulasi protein abnormal pada retikulum endoplasma. Hasil negatif pada pewranaan diastase-PAS menunjukan tidak adanya akumuluasi yang signifikan.

Pemeriksaan dan Penetapan Diagnosa
Pengujian pada saat pemeriksaan ini menunjukan tekanan darah 138/73 mm Hg, denyut jantung 63 kali permenit, suhu badan 36,7 derajat celcius, saturasi oksigen 98% sementara pasien sedang menghirup udara ambien. Ikterus skleral tanpa nyeri tekan abdomen dengan ujung hati teraba kurang dari lebar 1 jari dibawah kostal. Tidak ada splenomegali atau ascites yang terdeteksi. Pasien tidak sedang kebingungan dan tidak memiliki asterixis. Studi laboratorium menunjukan panel metabolisme dasar normal dan hitung darah lengkap.  Level aspartat aminotransferase 1545 U/liter dan alanin aminotransferase 2655 U/liter, alkali fosfatase 399 U/liter, total bilirubin 5,3 mg/dl, bilirubin direct 4,0 mg/dl dan albumin 3,8 9/dl. Dengan kondisi ini pasien disarankan untuk datang ke unit gawat darurat.

Hasil pemeriksaan laboratorium tersebut menunjukan adanya kerusakan hati yang parah. Dimana kadar enzim aminotransferase meningkat secara nyata, dan tinggi kadar alkali fosfatase dan bilirubin menunjukan adanya luka hepatoseluler. Level aminotransferase yang lebih dari 1000 U/liter adalah indikasi khas untuk adanya cedera iskemik, cedera virus, cedera yang berkaitan dengan penggunaan obat atau keracaunan dan penyakit hati autoimun. Meskipun adanya penyakit batu empede akut yang disertai dengan choledocholithiasis dapat memungkinkan adanya temuan klinis serupa ini, namun tidak adanya nyeri tekan abdomen telah mengeliminasi kemungkinan ini. Hepatitis virus akut dan kerusakan hati yang terinduksi obat adalah 2 diagnosa yang paling mungkin dalam hal ini. Informasi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah pasien memerlukan perawatan di rumah sakit atau tidak. Adanya ensefalopati dan koagulopati menunjukan adanya gagal hati akut, dan untuk itu pasien memerlukan evaluasi dan pengobatan lebih lanjut. Dan dalam kasus ini sepanjang nilai INR tidak meningkat dan pasien tetap terhidrasi dan menjaga nutrisi, maka pasien tidak sepenuhnya memerlukan rawat inap di rumah sakit.

Pasien ini kemudian dirawat di unit pelayanan kedokteran umum untuk penanganan hepatitis akut. Pasien berada dalam kondisi stabil dan tanpa gejala. Hasil uji INR 1,1 dan tes antigen untuk hepatitis B, antibodi permukaan, anti IgM dan antibodi hepatits A semuanya negatif. Berdasarkan PCR assay virus hepatitis C juga negatif, begitu pun untuk cytomegalovirus dan uji serologi untuk Epstein–Barr virus. Pengujian kadar parasetamol dan salisilat serum masih berada dibawah batas referensi, tes etanol negatif, begitu pun uji obat terlarang dalam urin juga negatif. Level imunoglobulin kuantitatif yang signifikan yaitu IgG sebesar 1740 mg/dl (kisaran normal 620-1520 mg/dl) dengan tingkat IgA dan IgM normal.

Tidak adanya ensefalopati dan koagulopati menyebabkan dokter lebih yakin bahwa pasien mengalami cedera hati akut ketimbang gagal hati akut, dan tetap menduga kuat bahwa penggunaan statin terlibat dalam hal ini.

Pemeriksaan lebih lanjut adalah dengan biopsi hati. Pada pemeriksaan ini terlihat adanya fibrosis dan steatosis. Penemuan biopsi ini konsisten untuk cedera hati autoimun, dan fibrosis menunjukan kronisitasnya. Prednison harus diberikan dan mungkin juga azathioprine. Prognosis untuk remisi biokimia yang sangat baik, pada sebagian besar pasien dengan hepatitis autoimun akan mengalami peningkatan biokimia dalam kurun waktu 2 minggu setelah dilakukannya terapi inisiasi imunosupresif.

3 bulan setelah dimulainya terapi dengan prednison dan azathioprine level enzim hati kembali normal. Kemudian terapi prednison dihentikan secara bertahap dan dilanjutkan dengan terapi tunggal azathioprine selama lebih dari setahun.







Artikel asli
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcps1011784