Selasa, 05 Juni 2012

KONSTIPASI DAN TERAPINYA



Konstipasi atau dikenal juga dengan istilah sembelit adalah keadaan dimana seseorang kesulitan buang air besar  dengan pola harian yang normal. Pada setiap keadaan sembelit, penyebab sembelit harus diidentifikasi secara benar untuk dapat menentukan pendekatan terapinya. Penyebab konstipasi atau sembelit ini dapat beragam seperti diet makanan yang rendah serat atau akibat konsumsi obat-obatan hipotiroidisme.

Konstipai umumnya dianggap sebagai gangguan kesehatan biasa, yang dialami oleh banyak orang, dan umumnya mereka melakukan pengobatan sendiri (swamedikasi). Masalah banyaknya orang yang mengalami konstipasi biasanya berhubungan dengan masalah pola makan yang rendah serat. Konstipasi juga sering dipahami secara salah oleh masyarakat awam. Masyarakat umumnya menganggap bahwa buang air besar setiap hari penting bagi kesehatan. Dan menganggap bahwa buang air besar yang tidak rutin setiap harinya akan berkontribusi bagi penimbunan racun dan mengakibatkan keluhan-keluhan somatik yang beragam. Kesalahpahaman ini mengakibatkan penggunaan obat-obat pencahar yang kurang rasional dimasyarakat.

Untuk menilai kondisi konstipasi, diperlukan penilaian terhadap variabel-variabel berikut:
  1. Frekuensi buang air besar. Seseorang akan dinyatakan mengalami konstipasi jika frekuensi buang air besarnya kurang dari 3 kali dalam seminggu pada wanita dan 5 kali perminggu pada pria.
  2. Ukuran dan konsistensi tinja. Seseorang dengan konstipasi memerlukan waktu 25% lebih besar dari biasanya untuk devekasi dan atau dengan jumlah tinja yang lebih sedikit.
  3. Gejala-gejala sebagai sensasi buang air besar yang tidak lengkap
Epidemiologi

Sekitar 40% pasien kelompok usia lebih dari 65 tahun mengalami konstipasi. Namun pada dasarnya frekuensi buang air besar tidak menurun seiring peningkatan usia yang normal. Usia yang meningkat beresiko meningkatkan penggunaan laksatif (pencahar). Meski tak ada bukti adanya korelasi antara kinerja usus dengan faktor usia.

Patofisiologi

Konstipasi pada dasarnya bukanlah penyakit. Konstipasi hanyalah gejala yang menunjukan adanya penyakit atau masalah kesehatan tertentu. Pendekatan pengobatannya harus dimulai dengan mengenali penyebabnya. Gangguan saluran cerna seperti sindrom iritasi usus atau diverkulitis, gangguan metabolik seperti diabetes melitus dan gangguan endokrin seperti hipotiroidisme bisa jadi merupakan penyebab konstipasi tersebut. Selain itu diet rendah serat dan akibat obat-obatan seperti opiat juga dapat menjadi penyebab konstipasi.

Jika selama ini konstipasi lebih sering dialami oleh orang lanjut usia, hal ini mungkin lebih disebabkan karena diet yang kurang tepat (rendah serat dan cairan), elastisitas otot perut yang berkurang dan kurangnya aktivitas olahraga.

Obat-obatan tertentu memang telah terbukti mampu menyebabkan konstipasi, dimana obat-obatan tersebut menghambat fungsi neurologis atau otot saluran cerna, terutama pada usus besar, sehingga menyebabkan terjadinya konstipasi. Opiat dan turunannya adalah contoh obat yang dapat menyebabkan efek konstipasi melalui efek antimotilitasnya.

Beberapa faktor atau kondisi berikut dapat menyebabkan konstipasi:

  1. Penyakit pada saluran cerna; sindrom iritasi usus, diverkulitis, penyakit saluran cerna atas, Penyakit pada anal dan rektum, wasir, tumor, hernia, volvulus usus, sifilis, TB, infeksi cacing, limphogranuloma, Penyakit hirscprung's
  2. Gangguan metabolik dan endokrin; diabetes melitus dengan neuropati, hipotiroidisme, pheokromositoma, hiperkalsemia, kelebihan glukagon enterik.
  3. Kehamilan; Penekanan motilitas usus, peningkatan penyerapan cairan dari usus besar, penurunan aktivitas fisik, perubahan diet, Kurangnya asupan cairan, diet rendah serat, penggunaan garam besi.
  4. Neurogenik; penyakit sistem syaraf pusat, trauma otak, cedera spinal kordata, tumor sistem syaraf pusat, kecelakaan cerebrovaskular, penyakit parkinson's
  5. Psikogenik; Psikogenik untuk mengabaikan/menunda dorongan untuk buang air besar, penyakit psikiatrik.
  6. Penggunaan obat-obatan tertentu
Obat-obatan pemicu konstipasi:
  1. Analgesik; inhibitor prostaglandin sintesis dan opiat.
  2. Antikolinergik; antihistamin, agen antiparkinsonian (misal: benztrophin, trihexaphenidyl), fenotiazin, dan antidepresan trisiklik.
  3. Antasida yang mengandung kalsium karbonat atau alumunium hidroksida
  4. Barium sulfat
  5. Pemblok kanal kalsium
  6. Klonidin
  7. Diuretik (boros kalium)
  8. Pemblok Ganglion
  9. Sediaan besi
  10. Antiinflamasi nonsteroid
  11. Natrium polistirena sulfonat

Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam mengetahui apakah seseorang mengalami konstipasi atau tidak:
  1. Perlu diketahui kondisi apakah pasien mengeluhkan kondisi kurangnya volume tinja saat buang air besar, perasaan perut yang penuh, rasa sakit saat buang air besar.
  2. Tanda dan gejala seperti tinja keras, kecil atau kering. Ketidaknyamanan pada perut, sakit, kram, mual dan muntah, sakit kepala, dan kelelahan.
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mengetahui adanya konstipasi perlu dilakukan pemeriksaan berikut:
  1. Serangkain pemeriksaan termasuk proktoskopi, sigmoidoskopi, kolonoskopi, atau  suntikan barium  mungkin diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya patologi kolorektal.
  2. Pemeriksaan fungsi tiroid untuk mengetahui kemungkinan adanya gangguan metabolik dan endokrin
  3. Penyalahgunaan laksatif/pencahar. Penyalahgunaan laksatif akan mengakibatkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat ditandai dengan kondisi hipokalemia, atau terjadinya kehilangan protein gastroenteropati yang dapat ditandai dengan terjadinya hipoalbuminemia.
Pendekatan Terapi Konstipasi
Dalam memberikan terapi konstipasi maka kita harus mengkaji kondisi kronisitas konstipasi tersebut. Konstipasi yang terjadi secara akut pada orang dewasa kemungkinan berhubungan dengan kondisi patologi kolon. Sedangkan konstipasi yang telah berlangsung lama (kronis) sejak masa bayi kemugkinan berhubungan dengan masalah neurologis. Selain itu harus diketahui pola makan pasien dan atau kebiasaan dalam penggunaan laksatif atau katartik.

Terapi Non Farmakologis

Diet Tinggi Serat
Terapi non farmakologis merupakan terapi lini pertama dalam penanganan konstipasi dengan melakukan modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi. Serat yang merupakan bagian dari sayuran yang tak dicerna dalama usus akan meningkatkan curah feses, meretensi cairan tinja, dan meningkatkan transit tinja dalam usus. Dengan terapi serat ini maka frekuensi buang air besar meningkat dan menurunnya tekanan pada kolon dan rektum.

Pasien disarankan setidaknya mengkonsumsi 10 gram serat kasar perharinya. Buah, sayur dan sereal adalah contoh bahan makanan kaya serat. Dedak baku mengandung sekitar 40% serat. Selain itu terdapat juga produk obat yang merupakan agen pembentuk serat masal seperti koloid psylium hidrofilik, metilselulosa atau polikarbofil yang dapat menghasilkan efek sama dengan bahan makanan tinggi serat yang tersedia dalam sediaan tablet, serbuk atau kapsul.

Pembedahan
Pada beberapa pasien konstipasi tindakan pembedahan diperlukan. Hal ini karena adanya keganasan kolon atau obstruksi saluran gastrointestinal sehingga diperlukan reseksi usus. Selain itu pembedahan juga diperlukan pada kasus konstipasi yang disebabkan oleh pheokromositoma.

Biofeedback
Sebagian besar pasien konstipasi karena disfungsi dasar panggul merasakan manfaat dari elektromiogram dengan terapi biofeedback.

Terapi Farmakologis
Pada pengobatan dan pencegahan konstipasi pemberian agen pembentuk serat mutlak diberikan. Suatu jenis  agen pembentuk serat ini sudah mencukupi, dan harus digunakan dalam diet harian terutama pada penderita konstipasi kronis. Kecuali agen difenilmetana dan turunan antrakuinon  tidak boleh digunakan pada terapi rutinitas dasar. 

Sedangkan pada pasien konstipasi akut, penggunaan laksatif sewaktu-waktu diperbolehkan. Konstipasi akut dapat dihilangkan dengan pemberian supositoria gliserin, atau jika kurang efektif dapat juga diberikan sorbitol oral, difenilmetan atau turunan antrakuinon dosis rendah, atau garam pencahar (garam magnesium/garam inggris). Namun jika gejala ini tidak hilang dalam waktu lebih dari 1 minggu maka penderita harus melakukan pemeriksaan lanjut dan menerima terapi dengan rejimen lain.

Pilihan obat yang dapat digunakan dalam terapi farmakologis konstipasi adalah:
  1. Emolien. Emolien adalah agen surfaktan dari dokusat dan garamnya yang bekerja dengan memfasilitasi pencampuran bahan berair dan lemak dalam usus halus. Produk ini meningkatkan sekresi air dan elektrolit dalam usus. Pencahar emolien ini tidak efektif dalam mengobati konstipasi namun berguna untuk pencegahan, terutama pada pasien pasca infark miokard, penyakit perianal akut, atau operasi dubur. Secara umum dokusat relatif aman, namun berpotensi meningkatkan laju penyerapan usus sehingga berpotensi meningkatkan penyerapan zat-zat yang berpotensi racun.
  2. Lubrikan. Merupakan laksatif dari golongan minyak mineral yang akan efektif bila digunakan secara rutin. Lubrikan diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Lubrikan bekerja dengan membungkus feses sehingga memudahkannya meluncur ke anus dan dengan menghambat penyerapan air diusus sehingga meningkatkan bobot feses dan mengurangi waktu transitnya dalam usus. Lubrikan dapat diberikan peroral dengan dosis 15-45 ml, dan akan memberikan efek setelah 2-3 hari setelah penggunaan. Penggunaan lubrikan ini disarankan pada kondisi sebagaimana penggunaan emolien. Namun lubrikan memberikan potensi efek samping yang lebih besar. Resiko efek samping itu diantaranya: minyak mineral dapat diserap secara sistemik dan dapat menimbulkan reaksi asing dalam jaringan limfoid tubuh, dan mengurangi penyerapan vitamin larut lemak (A, D, E dan K).
  3. Laktulosa dan sorbitol. Laktulosa adalah disakarida yang dapat digunakan secara oral atau rektal. Laktulosa dimetabolisme oleh bakteri kolon menjadi molekul asam dengan bobot rendah, sehingga mempertahankan cairan dalam kolon, menurunkan PH dan meningkatkan gerak peristaltik usus. Laktulosa tidak direkomendasikan dalam terapi konstipasi lini pertama karena harganya yang mahal dan efektivitasnya yang tidak lebih efektif dari sorbitol atau garam magnesium. Sorbitol sebagai monosakarida bekerja dengan tindakan osmotik dan telah direkomendasikan sebagai terapi konstipasi lini pertama.
  4. Derivat Difenilmetana. Dua turunan difenilmetana yang utama adalah bisakodil dan fenoftalein. Bisakodil memberikan efek dengan merangsang pleksus syaraf mukosa usus besar. Sedangkan fenoftalein bekerja dengan menghambat penyerapan aktif glukosa dan natrium. Dengan fenoftalein, sejumlah kecil fenoftalein akan mengalami resirkulasi enterohepatik dan mengakibatkan efek antikonstipasi berkepanjangan. Penggunaan fenoftalein pada penderita apendiksitis, hamil, atau menyusui harus berhati-hati karena dapat menimbulkan perforasi, sehingga menyebabkan air seni berwarna merah muda.
  5. Derivat Antrakuinon. Teramasuk dalam derivat antrakuinon adalah sagrada cascara, sennosides, dan casathrol.  Bakteri usus memetabolismekan senyawa-senyawa tersebut, namun mekanisme jelasnya dalam pengobatan konstipasi tidak diketahui. Sama seperti derivat difenilmetana, penggunaan derivat antrakuinon secara rutin tidak direkomendasikan.
  6. Katartik Saline. Katartik saline terdiri dari ion-ion yang sulit diserap seperti magnesium, sulfat, sitrat, dan fosfat yang bekerja dengan menghasilkan efek osmotik dalam mempertahankan cairan dalam saluran cerna. Magnesium merangsang sekresi kolesistokinin yang merangsang motilitas usus dan sekresi cairan. Agen ini akan memberikan efek dalam waktu kurang dari 1 jam setelah pemberian dosis oral. Agen ini sebaiknya digunakan dalam keadaan evakuasi akut usus, tindakan pradiagnostik, keracunan, atau untuk menghilangkan parasit setelah pemberian antelmintik. Agen ini tidak disarankan untuk digunakan secara rutin. Agen ini berpotensi menyebabkan deplesi cairan.
  7. Minyak Jarak. Minyak jarak dimetabolisme disaluran cerna menjadi senyawa aktif asam risinoleat yang bekerja merangsang proses sekresi, menurunkan absorpsi glukosa, dan meningkatkan motilitas usus, terutama dalam usus halus. Efek buang air besar biasanya akan dihasilkan 1-3 jam setelah mengkonsumsi agen ini.
  8. Gliserin. Gliserin biasanya diberikan dalam bentuk suppositoria 3 gram yang akan memberikan efek osmotik pada rektum. Gliserin dianggap sebagai pencahar yang aman meski mungkin juga mengakibatkan iritasi rektum. 
  9. Polyethylene glicol-electrolite lavage solution (PEG-ELS), merupakan larutan yang digunakan dalam pembersihan usus sebelum prosedur diagnostik atau pembedahan kolorektal. 4 liter cairan ini diberikan dalam waktu tiga jam untuk evakuasi lengkap dari saluran gastrointestinal. Cairan ini tidak dianjurkan untuk terapi rutin dan pada pasien dengan obstruksi usus.