Sabtu, 16 Juni 2012

FARMAKOTERAPI PENYAKIT INFEKSI


Penyakit infeksi merupakan penyakit yang banyak kita temui dimasyarakat kita atau bahkan menimpa kita sendiri. Antiinfeksi atau antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan dan paling banyak disalahgunakan juga. Penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh agen patogen yang masuk ke dalam tubuh dan memicu perkembangan infeksi. Agen patogen ini dapat berupa bakteri, virus, jamur (fungi), parasit, protozoa, dan mikobakterium.

Penyakit infeksi merupakan jenis penyakit yang sangat mudah menyebar dan menular, akibat perpindahan/pergerakan agen patogen tersebut dari satu individu ke individu lainnya. Penularan infeksi dapat terjadi melalui:

  1. Kontak fisik penderita dengan individu lainnya
  2. Udara yang terkontaminasi agen patogen
  3. Makanan yang terkontaminasi
  4. Cairan tubuh (darah, mukus, urin)
  5. Vektor pembawa agen patogen (lalat, nyamuk, atau binatang lainnya)
Tingkat keparahan penyakit infeksi pada seseorang bervariasi, yang sangat dipengaruhi kondisi kekebalan tubuh (sistem imun) seseorang tersebut. Seseorang yang kontak dengan agen patogen dapat mengalami infeksi atau bebas dari infeksi agen patogen tersebut. Sedangkan pada orang yang telah terinfeksi sebagian akan menunjukan gejala sakit dan dapat berkembang semakin parah dan sebagian lainnya asimptomatik dan kebal terhadap infeksi tersebut.

Dinegara-negara berkembang masalah penyakit infeksi dan penggunaan antiinfeksi yang tidak rasional masih merupakan masalah yang serius. Penyakit infeksi juga merupakan penyebab kematian yang paling banyak terjadi. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional tersebut memicu cepatnya proses perkembangan resistensi antibiotik dikelompok negara ini.

Agen antiinfeksi adalah substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan bahkan membunuh mikroorganisme lain. Antiinfeksi dapat berupa antibiotik/antimikroba, antivirus, antifungi, antiparasit. Antibiotik merupakan agen antiinfeksi yang paling banyak digunakan.

Konsep penggunaan antibiotik dapat berupa terapi spesifik, pencegahan (profilaksis) dan terapi empirik.

Terapi Spesifik

Pada terapi ini, antibiotik digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh organisme penginfeksi dimana pilihan antimikroba yang tepat telah diketahui. Antibiotik yang digunakan dalam terapi ini telah teruji, sehingga pemilihannya relatif mudah berdasarkan sensitivitas mikroba dan kondisi pasiennya, disamping faktor lain seperti biaya.

Terapi Empirik

Terapi empirik antibiotik adalah terapi terhadap organisme penginfeksi dan antimikroba  tepatnya belum diketahui, tetapi dapat diprediksi berdasarkan studi sebelumnya. Terapi ini harus dilakukan pada penyakit-penyakit infeksi yang serius dan bersifat life-threatening. Pemilihan antibiotik didasarkan pada pengalaman klinis dengan menggunakan antibiotik tertentu yang diduga akan efektif pada kondisi tersebut. Antibiotik dengan spektrum luas menjadi pilihan pada kondisi ini. Karena antibiotik kelompok ini akan efektif pada banyak organisme penginfeksi.

Dalam semua kasus ini, pengujian spesimen kultur harus dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sensitivitas agen penginfeksi.

Terapi Profilaksis

Terapi profilaksis adalah terapi antibiotik yang diberikan dengan tujuan pencegahan infeksi spesifik pada beberapa individu atau infeksi pasca operasi. Terapi ini harus diberikan pada kondisi-kondisi pasien berikut:
  1. Pencegahan infeksi oleh paparan bakteri patogen spesifik, misal pada seseorang yang kontak dengan pasien meningitis menikokus harus menerima terapi rifampisin.
  2. Pencegahan penyakit oleh akteri patogen dorman yang telah menginfeksi orang tersebut. INH dapat diberikan pada pasien TB dorman untuk mencegah konversi tuberkolin.
  3. Pencegahan infeksi spesifik pada pasien yang rentan terkena infeksi, misalnya pasien penyakit jantung rheumatik sebelum penanganan gigi untuk mencegah endokarditis.
  4. Pencegahan infeksi pasca operasi
Dalam terapi profilaksis operasi antibiotik jangka pendek diberikan sebelum terdapat bukti klinis  terjadinya infeksi. Dalam terapi ini perlu dilakukan pertimbangan berikut:
  1. Waktu, antibiotik yang diberikan harus tersedia dalam jumlah yang memadai pada tempat kontaminasi sebelum insisi dilakukan. Artinya antibiotik tersebut tersedia dalam konsentrasi hambat minimumnya (KHM)
  2. Durasi, profilaksis dilakukan dalam rentang operasi. Patokan umumnya 24 jam 
  3. Spektrum antibiotika, patokan umumnya adalah dengan menggunakan sefalosporin generasi I. Sefazolin menjadi obat pilihan utama terkait efek sampingnya yang rendah dan harga yang relatif murah. Selain itu vankomisin dapat menjadi pilihan yang cocok bagi pasien yang alergi terhadap penisilin.
  4. Rute pemberian, sebaiknya intravena atau intramuskular untuk menjamin konsentrasi yang memadai pada saat insisi.
Pertimbangan Pemilihan Antibiotika

Dalam pemilihan antibiotik, maka perlu dilakukan pertimbangan-pertimbangan berikut:
  1. Mengidentifikasi organisme penginfeksi berdasarkan informasi klinis, tropisme jaringan, dan data mikrobiologi
  2. Kesesuaian antimikroba dan mikroba penginfeksi harus diketahui
  3. Pemilihan obat juga harus menjamin tercapainya konsentrasi terapeutik pada tempat infeksi
  4. Spektrum dan cara kerja antibiotik
  5. Faktor kondisi pasien. Dalam pemilihan antibiotik ini harus diperhatikan juga usia, status imunologi, keberadaan benda asing (pace maker), sejarah reaksi alergi, disfungsi ginjal dan atau hati, adanya penyakit tertentu, kehamilan dan ibu menyusui, serta faktor genetik. Adanya benda asing dalam tubuh seperti alat pacu jantung dan alat-alat lain dapat menurunkan aktivitas antibiotik.
  6. Faktor harga
Spektrum Kerja Antibiotik

Berdasarkan spektrum kerjanya antibiotik dapat digolongkan menjadi:
  1. Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum), yaitu kelompok antibiotik yang aktif hanya terhadap satu atau sekelompok mikroorganisme tertentu. Misalnya INH yang hanya aktif terhadap micobacteria TB.
  2. Antibiotik spektrum diperluas (extended spectrum) yaitu antibiotik yang efektif untuk bakteri gram positif, namun juga efektif terhadap beberapa bakteri gram negatif. Contoh ampisilin.
  3. Antibiotik spektrum luas (broad spectrum) yaitu antibiotika yang efektif untuk kelompok besar organisme gram posistif dan negatif. Contoh tetrasiklin dan kloramfenikol. Antibiotik golongan ini beresiko terhadap resistensi bakteri dan terbunuhnya flora normal tubuh (komensalisme) sehingga berpotensi terjadinya superinfeksi.
Cara Kerja Antibiotik

Setiap antibiotik dapat memiliki mekanisme kerja yang khas dalam peranannya  menghambat/membunuh bakteri patogen. Namun secara umum, berdasarkan cara kerjanya antibiotik dapat digolongkan menjadi:
  1. Antibiotik bakterisida, yaitu antibiotik yang dapat menyebabkan kematian mikroba pada konsentrasi yang dapat dicapai secara klinis. Contoh: beta laktam, glikoprotein, aminoglikosida, kuinolon dan metronidazol.
  2. Antibiotik bakteriostatik, yaitu antibiotik yang menghambat pertumbuhan mikroba pada konsentrasi yang dapat dicapai secara klinis. Contoh: klindamisin, makrolida, sulfonamida, trimetoprim, tetrasiklin dan kloramfenikol.
Kombinasi Antibiotika

Kombinasi antibiotik atau penggunaan bersama beberapa antibiotik dapat dibenarkan pada kondisi-kondisi berikut:
  1. Data klinis menunjukan bahwa kombinasi antibiotika terbukti lebih efektif daripada terapi tunggal
  2. Penanganan infeksi oleh polimikroba, misal pada infeksi intraabdominal
  3. Penanganan awal terhadap infeksi yang mengancam jiwa sebelum ditemukan penyebabnya
  4. Pencegahan terbentuknya resistensi, misal pada penanganan TB dan ulkus peptikum akibat infeksi Helicobacter pylori.
  5. Jika terdapat efek sinergis terhadap organisme penginfeksi spesifik, sehingga kombinasi antibiotik dapat mengurangi dosis obat. Contoh kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol (kotrimoksazol)
Kombinasi antibiotik juga dapat menimbulkan beberapa kerugian diantaranya:
  1. Resiko toksisitas meningkat dari dua atau lebih antibiotika
  2. Meningkatkan potensi resistensi beberapa mikroorganisme terhadap antibiotika
  3. Hilangnya flora normal sehingga meningkatkan potensi superinfeksi
  4. Meningkatkan biaya pengobatan
Resistensi Antibiotika

Resistensi antibiotika adalah kondisi dimana pertumbuhan mikroba tidak terpengaruh oleh antimikroba pada konsentrasi maksimum yang dapat ditoleransi. Resistensi antibiotik dapat berupa resistensi alami (intrinsik) dan resistensi dapatn (acquired). 

Resistensi alami terjadi karena adanya perubahan sifat genetik yang stabil yang dikode dialam kromosom dan terdapat dalam semua galur dari spesies mikroba tersebut. Sedangkan resistensi dapatan terjadi akibat galur tertentu dari suatu spesies mikroba mengembangkan kemampuan resistensi yang mana spesies yang lain tidak memiliki kemampuan tersebut. Resistensi antibiotika ini dapat dipicu oleh beberapa hal diantaranya:
  1. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dari segi dosis, durasi maupun jenisnya.
  2. Penggunaan dua atau lebih antibiotika
  3. Penyalahgunaan antibiotika, seperti penggunaan antibiotika untuk pertanian, peternakan dan perikanan
  4. Paparan antibiotika sub-dosis yang berkepanjangan
Resistensi antibiotika dapat terjadi melalui mekanisme-mekanisme berikut:
  1. Inaktivasi atau modifikasi obat oleh enzim bakteri, mekanisme ini terjadi pada golongan beta laktam
  2. Perubahan Barrier permeability sehingga antibiotika tidak dapat mencapai tempat kerjanya, seperti yang terjadi pada sefalosporin
  3. Perubahan tempat kerja di sel mikroba, seperti pada kuinolon
  4. Konsentrasi antibiotika yang dicapai melalui transport aktif (efflux) yang lebih rendah dari konsentrasi hambat minimumnya (KHM), seperti yang terjadi pada tetrasiklin
Durasi Terapi Antibiotik

Untuk mengasilkan efek terapi yang tepat, antibiotik harus diberikan pada rentang waktu yang tepat pula. Panduan umum sehubungan dengan durasi terapi antibiotik adalah sekurang-kurangnya 72 jam pada terapi infeksi akut yang tidak kompleks. Sedangkan pada infeksi kronis seperti endokarditis dan osteomyelitis, terapi memerlukan durasi yang lebih panjang, yaitu berkisar antara 4-6 minggu dengan analisis lanjutan untuk menilai keberhasilan terapi.

Komplikasi Terapi Antibiotika

Komplikasi terapi antibiotika dapat mengakibatkan terjadinya:
  1. Hipersensitivitas, contoh pada penisilin
  2. Toksisitas langsung, contoh aminoglikosida pada konsentrasi tinggi
  3. Superinfeksi, contoh antibiotika spektrum luas atau kombinasi antibiotika
Superinfeksi

Superinfeksi ditandai dengan adanya data klinis dan bakteriologi yang menunjukan adanya infeksi baru selama terapi infeksi primer. Gejala ini relatif umum dan sangat berbahaya sebab mikroba penyebab infeksi baru ini dapat berupa drug-resistant starint (Enterobacteriaceae, Pseudomonas, Candida dan fungi lainnya).

Superinfeksi terjadi karena hilangnya pengaruh dari hambatan flora normal yang juga menghasilkan antibakteri tertentu dan berkompetisi dalam memperebutkan komponen nutrisi penting.

Efektivitas Terapi Antibiotika

Untuk menilai efektivitas terapi antibiotika dapat dilihat/dikaji dari berbagai parameter-parameter klinis berikut:
  1. Derajat demam. Demam merupakan parameter penting untuk menilai respon terapi antibiotika. Karena demam merupakan salah satu gejala adanya infeksi.
  2. Jumlah sel darah putih (neutrofil), jumlah sel darah putih pada tahap awal infeksi akan meningkat secara signifikan.
  3. Data radiografi; effusi kecil, abses, dan ruang yang muncul menandakan adanya pusat infeksi.
  4. Nyeri dan inflamasi; pembengkakan, eritema, permukaan yang empuk/lunak muncul pada infeksi permukaan, sendi dan tulang.
  5. Laju endap darah (LED), peningkatan LED berkaitan dengan infeksi akut maupun kronis, seperti: endokarditis, osteomyelitis, dan infeksi intraabdominal.
  6. Konsentrasi komponen serum, khususnya komponen C3 akan turun pada infeksi yang serius.
Kegagalan Terapi Antibiotika

Kegagalan terapi antibiotika dapat terjadi akibat beberapa faktor berikut:
  1. Salah diagnosa (unsuspected infection)
  2. Regimen obat yang tidak tepat baik dari segi dosis, rute pemberian, frekuensi dan durasinya
  3. Pemilihan antibiotika yang tidak tepat
  4. Resistensi mikroba
  5. Ekspektasi yang berlebihan; nekrosis jaringan, pengurasan secara operasi, demam virus, artritis, neoplasma, dan reaksi obat
  6. Infeksi oleh dua atau lebih mikroba


Sumber:
Disampaikan oleh I Ketut Adnyana, M.Si.,Apt. dalam seminar IAI Kota Bandung, Hotel Aston Tropicana Bandung, 22 Januari 2011