Selasa, 19 Juni 2012

AGEN-AGEN ANTIULKUS (ANTIMAAG)


Ulkus peptikum atau masyarakat lebih mengenal dengan istilah sakit maag, merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang cukup tinggi dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Ulkus peptikum juga relatif mudah terpicu kekambuhannya. Penanganan ulkus yang tepat tentu akan memberikan dampak yang lebih sesuai dengan keinginan. Terapi farmakologis ulkus peptikum umumnya melibatkan beberapa agen/obat antiulkus secara bersamaan. Tulisan ini akan sedikit mengulas tentang farmakologi, farmakokinetik, farmakodinamik, efikasi, keamanan, interaksi, dan tolerabilitas obat-obat antiulkus tersebut.

Agen antiulkus peptikum terdiri dari antasida, antagonis reseptor H2 (H2 resceptor antagonist (H2RA), penghambat/inhibitor pompa proton ( proton pump inhibitor (PPI)), sediaan bismuth, sukralfat dan prostaglandin. Berikut saya akan mencoba menguraikan masing-masing kelompok agen antiulkus tersebut.

Antasida

Antasida bekerja sebagai antiulkus peptikum dengan cara menetralisasi asam lambung, menonaktifkan pepsin dan mengikat garam empedu. Selain itu aluminium yang terkandung dalam antasida juga akan menekan pertumbuhan bakteri Helicobacter pylori (HP) dan meningkatkan pertahanan mukosa. Salah satu efek yang kurang menyenangkan dari antasida adalah kinerjanya yang tergantung pada dosis, garam magnesium (Mg) menyebabkan diare osmotik, sedangkan garam alumunium (Al) menyebabkan sembelit (konstipasi). Efek diare umumnya lebih dominan pada sediaan antasida yang mengandung garam Mg dan Al. Kandungan Al dalam antasida (kecuali Al fosfat) berinteraksi membentuk garam yang tidak larut dengan fosfor dan mengakibatkan penurunan absorpsi fosfor, sehingga beresiko mengakibatkan hipofosfatemia. Kondisi hipofosfatemia ini akan mudah dialami pasien-pasien dengan asupan nutrisi rendah fosfor, seperti pada penderita gizi buruk atau alkoholisme. Penggunaan bersama antasida yang mengandung Al dengan sukralfat akan semakin meningkatkan resiko hipofosfatemia dan toksisitasnya.

Antasida dengan kandungan Mg tidak boleh digunakan pada pasien dengan bersihan kreatinin (creatinine clearence) kurang dari 30 ml/menit karena ekskresinya akan terhambat. Hiperkalsemia dapat terjadi pada pasien yang menerima terapi kalsium karbonat (CaCO3) lebih dari 20 g/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal atau lebih dari 4 g/hari pada pasien gagal ginjal. Sindrom alkali susu (hiperkalsemia, alkalosis, batu ginjal, peningkatan nitrogen urea darah (blood urea nitrogen (BUN)), dan peningkatan konsentrasi kreatinin serum) dan muntah berkepanjangan dapat terjadi pada pasien dengan asupan nutrisi tinggi kalsium pada pasien alkalosis sistemik. 

Antasida juga dapat mengubah pola absorpsi dan ekskresi beberapa obat jika diberikan secara bersamaan. Interaksi bermakna dapat terjadi jika antasida diberikan secara bersamaan dengan suplemen besi, tetrasiklin, warfarin, digoksin, kuinidin, isoniazid, ketokonazol, dan florokuinolon. Interaksi ini dapat dicegah dengan cara memisahkan pemberian antasida dengan obat-obat tersebut diatas dengan selang waktu sekurang-kurangnya 2 jam.

Antasida memiliki durasi kerja yang pendek, sehingga diperlukan frekuensi pemberian antasida yang sering untuk mendapatkan efek netralisasi asam lambung yang terus menerus. Dosis tipikal antasida adalah 4x2tablet atau 4x1 sendok makan setiap setelah makan dan menjelang tidur. Pemberian antasida setelah makan meningkatkan durasi kerjanya dari 1 jam menjadi 3 jam. 

Antagonis Reseptor H2 (H2 Receptor Antagonist/ H2RA)

Kelompok obat ini terdiri dari famotidin, nizatidin, ranitidin dan simetidin. Obat-obat ini dapat diberikan dalam dosis harian tunggal ataupun terbagi dua, terutama diberikan setelah makan malam atau menjelang tidur malam. Pemberian obat ini dalam 2 dosis memberikan keuntungan berupa penekanan produksi asam lambung pada siang hari dan dalam mengatasi nyeri ulkus pada siang hari. 

Para perokok umumnya memerlukan terapi obat ini dengan dosis yang lebih tinggi atau dengan durasi pengobatan yang lebih lama. Obat ini dieliminasi diginjal, sehingga pada pasien dengan gagal ginjal memerlukan penyesuaian dosis dengan pengurangan dosisnya. 

Keempat jenis obat H2RA ini mempunyai tingkat keamanan yang sama baik pada penggunaan jangka panjang maupun jangka pendek. Trombositopenia adalah efek hematologi reversibel yang paling umum yang dapat terjadi selama terapi H2RA. 

Simetidin menghambat beberapa isoenzim CYP450 sehingga menimbulkan banyak interaksi dengan obat-obat lain seperti teofilin, lidokain, fenitoin dan warfarin. Sedangkan ranitidin tidak memiliki ikatan yang kuat dengan isoenzim CYP450 dibandingkan dengan simetidin, sehingga potensi interaksinya lebih kecil. Inilah alasan ranitidin lebih sering digunakan daripada simetidin.

Famotidin dan nizatidin tidak berinteraksi dengan obat-obat yang dimetabolisme hepatik pada isoenzim CYP450. Karena H2RA bekerja dengan menurunkan sekresi asam dan meningkatkan PH intragastrik, maka obat-obat ini dapat menurunkan ketersediaan hayati obat-obat yang absorpsinya tergantung PH yang lebih rendah seperti ketokonazol.

Inhibitor Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor/ PPI)

PPI terdiri dari omeprazole, esomeprazole, rabeprazole, pantoprazole dan lanzoprazole. Kerja PPI tergantung dosis. Obat ini bekerja dengan menghambat sekresi asam lambung basal dan terstimulasi. Penekanan asam lambung meningkat selama 3 sampai 4 hari pertama terapi dengan PPI dimulai, sebagai akibat semakin banyaknya pompa proton yang dihambat. Setelah terapi dihentikan, pemulihan sekresi asam lambung memerlukan waktu 3-5 hari. Karena PPI hanya akan menghambat pompa proton yang aktif mensekresikan asam, maka terapi dengan PPI ini akan efektif bila diberikan pada waktu 15-30 menit sebelum makan.

PPI diformulasikan dalam bentuk granul bersalut enterik sensitif PH yang kemudian dikemas dalam kapsul gelatin (omeprazole, esomeprazole, dan lanzoprazole), bubuk (lanzoprazole), tablet disintegrasi cepat (lanzoprazole), atau tablet salut enterik (rabeprazole, pantoprazole dan omeprazole yang dijual bebas). Produk intravena juga tersedia untuk zat aktif pantoprazole, lanzoprazole dan esomeprazole, namun masih dalam proses menunggu persetujuan FDA. Salut enterik sensitif PH tersebut akan mencegah degradasi dan protonasi prematur zat aktif dalam caira lambung yang asam. Lapisan enterik akan melarut dalam duodenum dengan PH lebih dari 6 sehingga zat aktif obat terlepas dan akhirnya diabsorpsi secara sistemik. 

Semua PPI memberikan efek penyembuhan terhadap ulkus yang sama jika diberikan dalam dosis terapi yang direkomendasikan. Ketika diberikan dosis yang lebih tinggi, maka dosis harus dibagi untuk menghasilkan efek kontrol asam lambung selama 24 jam. Penyesuaian/penurunan dosis tidak perlu dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal atau geriatrik, kecuali pada pada pasien dengan penyakit hati yang parah penyesuaian dosis diperlukan.

Penggunaan PPI jangka pendek (kurang dari 12 minggu) pada semua jenis akan memberikan efek merugikan yang sama. Karena PPI bekerja dengan meningkatkan PH intragastrik, maka obat ini dapat menghambat absorpsi obat-obat yang absorpsinya tergantung PH seperti ketokonazole dan digoksin. 

Omeprazole selektif menghambat sitokrom P450 isoenzim 2C19 dihati dan menyebabkan penurunan eliminasi fenitoin, diazepam dan R-warparin. Lanzoprazole dapat meningkatkan sedikit metabolisme teofilin, yang mungkin terjadi melalui induksi CYP1A. Rabeprazole dan pantoprazole tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kinerja enzim sitokrom (CYP) sehingga potensi interaksinya dengan obat-obat yang dimediasi enzim tersebut relatif rendah.

Semua PPI meningkatkan konsentrasi gastrin serum. Tingginya konsentrasi gastrin ini biasanya masih berada dalam kisaran normal dan akan kembali pada kondisi baseline sekitar 1 bulan setelah terapi PPI dihentikan. Penggunaan PPI juga dapat mengakibatkan hiperplasia enterochromaffin (ECL). Penggunaan PPI jangka panjang juga berkaitan dengan kanker lambung pada pasien positif infeksi HP.

Sukralfat

Sukralfat harus diberikan saat perut kosong untuk mencegah pengikatan protein dan fosfor dalam makanan. Hindari penggunaannya dalam dosis besar beberapa kali perhari. Lakukan pembatasan selang waktu konsumsi makanan dengan obat ini untuk mencegah interaksinya. Sembelit adalah efek merugikan yang paling sering terjadi dengan penggunaan obat ini. Mual, pusing dan mulut kering jarang terjadi. Kejang dapat terjadi pada pasien dialisis yang menerima terapi sukralfat dan antasida mengandung Al. Penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan hipofosfatemia. Penggunaan bersama sukralfat dengan florokuinolon oral, fenitoin, digoksin, teofilin, kuinidin, amitriptilin, ketokonazole, dan warfarin dapat menyebabkan penurunan ketersediaan hayati obat-obat tersebut. 

Prostaglandin

Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 sintetis yang menghambat sekresi asam lambung dan memperbaiki pertahanan mukosa. Efek antisekretorik dihasilkan pada dosis 50-200 mcg. Sedangkan pada dosis lebih dari 200 mcg dapat memberikan efek sitoprotektif. Karena efek proteksi dihasilkan pada dosis yang lebih tinggi itu berarti bahwa efek proteksi ini tidak tergantung kerja antisekretoriknya. Walaupun tidak direkomendasikan oleh FDA, namun dosis 4x200 mcg atau 2x400 mcg dalam penyembuhan ulkus peptikum dan duodenum memberikan efek yang sebanding dengan H2RA atau sukralfat.

Diare merupakan efek merugikan yang paling sering terjadi dalam terapi obat ini yang terjadi pada sekitar 10-30% pasien. Nyeri abdomen, mual, pusing dan sakit kepala juga sering menyertai diare selama terapi misoprostol. Pemberian obat ini bersama atau setelah makan dan menjelang tidur dapat mengurangi resiko diare. Misoprostol dapat mengakibatkan kontraksi uterus sehingga membayakan bila digunakan saat hamil. 

Bismuth

Bismuth subsalasilat adalah satu-satunya sediaan garam bismuth yang tersedia di Amerika Serikat. Mekanisme penyembuhan ulkus yang paling mungkin adalah melalui efek antibakteri, efek lokal gastroproteksi, dan stimulasi sekresi prostaglandin endogen. Garam bismuth tidak menghambat sekresi asam lambung atau pun menetralisasikannya. Garam bismuth subsalasilat dinyatakan aman dengan sedikit efek merugikan jika digunakan pada dosis yang direkomendasikan. Karena insufisiensi ginjal dapat menurunkan ekskresi bismuth, maka penggunaan bismuth pada pasien gagal ginjal harus disertai peringatan. Bismuth subsalisilat dapat meningkatkan sensitivitas terhadap salisilat dan penyakit pendarahan, sehingga harus ada peringatan terhadap pasien yang juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalasilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam.





Sumber
Pharmacotherapy- Dipiro