Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat yang bisa dikatakan paling banyak digunakan. Sebagai obat bebas, parasetamol diindikasikan sebagai analgesik, antipiretik dan sedikit efek antiinflamasi. Namun penggunaan parasetamol sering dihubungkan dengan peristiwa keracunan/intoksikasi hati (hepatotoksisitas), sehingga diperlukan adanya agen penangkal hepatotoksisitas tersebut. Sisteamin adalah agen pertama yang digunakan sebagai antidot (antiracun) parasetamol, menyusul kemudian digunakan pula asetilsistein.
Prescott dan Mathew pertama kali mengusulkan penggunaan asetilsistein sebagai antidot parasetamol pada tahun 1974. Usul tersebut dipicu oleh ketidaktersediaan sisteamin yang telah lebih dulu digunakan sebagai antidot parasetamol tersebut. Pada tahun 1977 Prescott et al. mendeskripsikan pengobatan 15 pasien dengan intoksikasi parasetamol dengan menggunakan sediaan intravena asetilsistein 20% dalam larutan steril dengan pembawa air. Dengan cara pemberian peroral asetilsistein juga dapat memperbaiki khasiat obat tersebut, namun karena sebagian besar dosis melewati hati, maka muncul perdebatan apakah cara pemberian yang terbaik untuk asetilsistein, apakah secara intravena atau oral.
MEKANISME KERJA
Sekitar 4% parasetamol dimetabolisme menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) melalui sistem oksidase diberbagai isoenzim CYP dari enzim sitokrom P-450. Hal ini berpotensi terjadinya keracunan antara konjugat dengan glutation, yang kemudian membentuk metabolit nontoksik sistein dan konjugasi asam merkapturat. Sedangkan dalam kondisi overdosis, persentase yang lebih besar dari parasetamol ini dimetabolisme melalui isoenzim CYP, sehingga terjadi defisiensi glutation yang menyebabkan terbentuknya NAPQI dalam jumlah lebih besar. Adanya NAPQI menyebabkan terjadinya nekrosis sentrilobular hati. Asetilsistein berperan mencegah berikatannya NAPQI dengan hepatosit, sehingga mencegah terjadinya hepatotoksisitas.
ASETILSISTEIN SEBAGAI ANTIDOT
Prescott et al. dan Smilkstein dan kolega mempublikasikan makalah yang menunjukan kemanjuran asetilsistein oral dan intravena pada penanganan intoksikasi parasetamol. Prescott et al. menyatakan bahwa pemberian asetilsistein 300 mg/Kg intavena selama lebih dari 20 jam (Dosis awal 150 mg/Kg infus selama lebih dari 15 menit, diikuti dengan 50 mg/Kg selama lebih dari 4 jam dan kemudian 100 mg/Kg selama lebih dari 16 jam) dapat mencegah toksisitas hati pada semua pasien dengan intoksikasi parasetamol yang mengalami overdosis dalam 8 jam.
Smilkstein et al. melakukan studi restrospektif besar penggunaan asetilsistein oral pada kasus intoksikasi parasetamol. Loading dose 140 mg/Kg diberikan, diikuti 4 jam kemudian diberikan 70 mg/Kg yang dilanjutkan dosis tersebut setiap 4 jam hingga 17 dosis. Mereka menemukan bahwa rejimen oral asetilsistein selama 72 jam memberikan efektivitas yang sama seperti prosedur yang dinyatakan oleh Prescott et al, yaitu terapi intravena selama 20 jam. Lebih lanjut Smilklein berspekulasi bahwa ada kemungkinan pemberian asetilsistein peroral lebih bermanfaat daripada terapi secara intravena pada pasien intoksikasi parasetamol dengan keterlambatan penanganan lebih dari 10 jam, karena dosis persiapan yang lebih tinggi dan periode terapi yang lebih lama.
Lebih lanjut Smilklein juga mempelajari efektivitas dosis tinggi asetilsistein secara intravena (Loading dose 140 mg/Kg diikuti dengan 70 mg/Kg setiap 4 jam) selama 48 jam. Hasil pengujian prosedur ini menunjukan bahwa efektivitasnya sama dengan prosedur asetilsistein oral selama 72 jam yang dimulai pada 10 jam setelah terjadinya intoksikasi parasetamol. Prosedur intravena selama 48 jam lebih efektif dibandingkan prosedur 20 jam pada pengobatan yang tertunda.
Woo et al. melakukan studi retrospektif terhadap 75 pasien dengan intoksikasi parasetamol untuk mengevaluasi khasiat dan keamanan asetilsistein oral hingga parasetamol tak lagi terdeteksi dalam serum. Semua pasien mengalami tingkat keracunan dalam serum dan dirawat dalam 24 jam setelah terjadinya overdosis parasetamol. Loading dose asetilsistein secara oral sebesar 140 mg/Kg dan diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 70 mg/Kg setiap 4 jam hingga parasetamol tak lagi terdeteksi dalam serum. Sepertiga pasien dirawat kurang dari 24 jam, sepertiga pasien dirawat selama 24-36 jam dan sepertiga lainnya dirawat selama 37-64 jam. 6 pasien diantaranya mengembangkan hepatotoksisitas (yakni konsentrasi aminotransferase lebih dari 1000 IU/L), 2 pasien dari kelompok perawatan 24-36 jam dan 4 pasien dari kelompok perawatan 37-64 jam. 3 Pasien diantaranya dirawat 13 jam setelah menelan parasetamol. Hasil studi ini mirip dengan hasil studi sebelumnya.
ASETILSISTEIN ORAL VS INTRAVENA
Pemberian asetilsistein oral atau pun intravena memberikan efektivitas yang sama pada penanganan intoksikasi parasetamol jika diberikan dalam rentang waktu 8-10 jam sejak terjadinya intoksikasi, dan dengan catatan pemberian oral dapat ditoleransi dengan baik. Perry dan Shannon membandingkan prosedur pemberian asetilsistein dalam 52 jam pemberian asetilsistein secara intravena (loading dose 140 mg/Kg, diikuti dengan dosis pemeliharaan 70 mg/Kg yang diberikan dalam 12 dosis) dengan prosedur pemberian asetilsistein selama 72 jam seperti yang dilakukan oleh Smilklein. Dari hasil uji tersebut dinyatakan bahwa efektivitasnya serupa. Hepatotoksisitas tidak terjadi pada pasien yang diobati dengan asetilsistein dalam waktu kurang dari 10 jam setelah terjadinya intoksikasi.
PENGGUNAAN ASETILSISTEIN PADA WANITA HAMIL
Dalam sebuah studi prospektif yang dilakukan oleh Riggs et al. mengevaluasi manfaat pengobatan asetilsistein oral pada wanita hamil. Dalam studi ini 60 pasien hamil yang menelan parasetamol diteliti, 24 pasien diantaranya memiliki konsentrasi plasma parasetamol yang melebihi konsentrasi terapeutik. 10 pasien diantaranya menerima terapi asetilsistein dalam waktu 10 jam sejak menelan parasetamol, 10 pasien diterapi setelah 10-16 jam setelah menelan parasetamol dan 4 pasien diterapi setelah 16-24 jam setelah menelan parasetamol. Berdasarkan analisis regresi logistik ganda menunjukan adanya korelasi signifikan antara resiko kematian janin dan keterlambatan permulaan terapi dengan asetilsistein. Manfaat terapi asetilsistein lebih awal pada wanita hamil dengan intoksikasi parasetamol lebih besar dibanding dengan resiko pengobatannya.
EFEK MERUGIKAN
Reaksi Anafilaksis setelah Intoksikasi Parasetamol
Reaksi anafilaksis terhadap asetilsistein yang mungkin dihasilkan akibat pelepasan histamin, secara umum terjadi pada 3-6% pasien intoksikasi parasetamol, meskipun penelitian terbaru menunjukan tingkat kejadian reaksi anafilaksis yang lebih tinggi hingga mencapai 48%. Gejala ini meliputi gatal-gatal, ruam, angiodema, bronkospasme, takikardia, hipotensi, mual dan muntah. Reaksi anafilaksis ini umumnya terjadi 30 menit setelah loading dose infus. Pemberian asetilsistein oral meminimalisir terjadinya reaksi ini.
Summan et al. menemukan bahwa reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada pasien dengan overdosis iatrogenik asetilsistein (73%) dibandingkan pada pasien yang tidak overdosis (3%). Dari studi ini disimpulkan bahwa hipotensi lebih sering terjadi pada pasien dengan overdosis, sedangkan pruritus, angiodema dan bronkospasme lebih sering terjadi pada pasien yang menerima asetilsistein pada dosis terapeutik.
Ada juga laporan studi yang berhubungan dengan adanya korban jiwa sehubungan penggunaan asetilsistein. Dalam sebuah penelitian kuesioner dilaporkan dari 19 kasus overdosis asetilsistein, 15 pasien diantaranya menunjukan gejala klinis yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, dan 2 pasien meninggal setelah menerima antara 2,5-10 loading dose asetilsistein intravena yang direkomendasikan. Namun belum jelas diketahui apakah asetilsistein berkontribusi sebagai penyebab kematian tersebut.
Reaksi Anafilaksis pada Pasien tanpa Intoksikasi Parasetamo
Pasien yang diterapi dengan asetilsistein, sedangkan kadar parasetamol serum berada dalam rentang kadar terapeutik atau nontoksik beresiko mengembangkan reaksi anafilaksis. Dawson et al. menyatakan bahwa pasien tanpa intoksikasi parasetamol yang menerima terapi asetilsistein, akan mengembangkan efek merugikan dari asetilsistein tersebut. Namun dia tidak menjabarkan efek-efek buruk tersebut.
Bronkospasme
Asetilsistein dapat menginduksi bronkospasme pada pasien-pasien asma akibat adanya pelepasan histamin lokal atau karena adanya penghambatan tachyphylaxis terhadap alergen.
Status Epileptikus
Ada laporan studi yang mengaitkan status epileptikus sehubungan penggunaan asetilsistein. Hal ini terjadi pada pasien dengan overdosis asetilsistein.
KESIMPULAN
Pemberian asetilsistein oral dalam kurun waktu 8-10 jam setelah terjadi intoksikasi parasetamol mampu mencegah terjadinya toksisitas hati pada mayoritas pasien yang mampu mentoleransinya dengan baik dan penggunaannya tidak dikontraindikasikan. Pemberian asetilsistein intravena harus diberikan pada pasien yang telah mengalami intoksikasi parasetamol lebih dari 10 jam atau karena adanya kondisi tertentu yang menghambat pemberian asetilsistein secara oral. Reaksi anafilaksis yang cukup jarang terjadi, lebih sering terjadi pada pemberian sediaan intravena dibanding oral.
Sumber:
Comparison of oral and i.v. acetylcysteine
in the treatment of acetaminophen poisoning
American Society of Health-System Pharmacist