CONTOH ANALISA RESEP
PADA KASUS INFERTILITAS
Infertilitas atau keadaan dimana seseorang dari pasangan usia subur kesulitan untuk memperoleh keturunan. Ada banyak factor dan penyebab yang menyebabkan seeorang tersebut menjadi infertile. Kasus infertile dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Dan sebagaimana kasus-kasus kesehatan lainnya, kasus infertilitas pun memerlukan upaya terapi.
Infertilitas berbeda dengan kemandulan. Pasangan suami istri dikategorikan mengalami infertilitas bila pasangan tersebut tidak juga mengalami pembuahan meski telah melakukan hubungan seksual terartur, tanpa kontrasepsi, selama lebih dari setahun. Sedangkan kemandulan atau sterilitas adalah keadaan dimana seorang perempuan telah mengalami pengangkatan rahim, atau seorang laki-laki yang telah dikebiri (dikastrasi).
Berikut akan saya tampilkan analisa terhadap beberapa resep oleh dokter spesialis Obgin yang diduga berhubungan dengan penanganan kasus-kasus infertilitas :
1. Resep 1
27 Mei 2011
R/ Cripsa No. XXX
S 2 dd 1
R/ Folavit No. XXX
S 1 dd 1
Pro : Ny. A
a. Kasus
Pasien telah 11 bulan menikah, namun belum pernah hamil, belum pernah menggunakan alat kontrasepsi baik oral, suntik, maupun kondom. Baru memulai program terapi infertilitas, meski sebelumnya telah pernah mencoba program serupa pada dokter kandungan yang lain, namun karena merasa tidak puas dengan jawaban dokter yang menduga adanya tumor dalam rahim istrinya, sang suami mengajak untuk pindah ke dokter kandungan yang lain. Pasien mengaku siklus menstruasinya teratur, dan tidak merasakan adanya keluhan sakit setiap kali menstruasi, dan tidak merasakan sakit saat berhubungan seksual.
b. Analisa kasus
Dalam kasus ini, dengan memperhatikan anamnesa dan dosis serta jumlah obat yang diberikan maka penggunaan bromokriptin mesilat kemungkinan berhubungan dengan hiperprolaktinemia pada pasien. Hiperprolaktinemia ini menyebabkan pasien sulit mendapatkan kehamilan. Hiperprolaktinemia adalah keadaan dimana kadar prolaktin serum lebih besar dari 20 mcg/L. Prolaktin adalah suatu sekret yang disekresikan oleh kelenjar pituitary anterior. Konsentrasi prolaktin dalam serum mencapai puncak saat tidur. Pengaturan sekresi prolaktin terjadi melalui efek penghambatan tonus hipotalamus oleh dopamine. Selama kehamilan, kadar prolaktin serum akan meningkat diatas normal. (e-book; Pharmacotheraphy-Dypiro 6th.ed.pdf. hal. 1453)
Hiperprolaktinemia dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain tumor kelenjar pituitary pensekresi prolaktin (prolaktinoma), dapat juga disebabkan oleh berbagai jenis obat-obatan. Prolaktinoma dibedakan berdasarkan ukurannya, yaitu mikroadenoma, yang berukuran diameter kurang dari 10 mm dan umumnya ukuran tersebut tidak bertambah, sedangkan makroadenoma berukuran diameter lebih dari 10 mm terus tumbuh membesar dan dapat menginvasi bagian jaringan lain disekitarnya. Obat-obatan yang dapat menginduksi terjadinya hiperprolaktinemia adalah golongan obat antagonis dopamine seperti : antipsikotik, fenotiazin, metoklopramid, domperidone, dan golongan obat-obatan yang menstimulasi pembentukan prolaktin seperti : metildopa, reserpin, estrogen, SSRIs, benzodiazepin, antidepresan trisiklik, antidepresan MAOI, progestin, dexflenfluramin, antagonis reseptor H2, dan opioid. (e-book; Pharmacotheraphy-Dypiro 6th.ed.pdf. hal. 1453)
Hiperprolaktinemia sangat sering terjadi pada wanita, dan sangat jarang terjadi pada laki-laki. Pada wanita, hiperprolaktinemia dapat menyebabkan terjadinya oligomenorhea, amenorrhea, galaktomenorhea, infertilitas, penurunan libido, hirsuitisme, dan timbulnya jerawat. Sedangkan pada laki-laki, hiperprolaktinemia dapat menyebabkan penurunan libido, disfungsi ereksi, infertilitas, penurunan masa otot, galaktorhea, dam gynekomastia. (e-book; Pharmacotheraphy-Dypiro 6th.ed.pdf. hal. 1454)
Terapi hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh obat-obatan dapat dilakukan dengan menghentikan penggunaan obat penginduksi tersebut. Sedangkan pada kasus lain, diperlukan adanya tindakan terapi farmakologi diantaranya dengan penggunaan bromokriptine seperti pada resep dokter obgin diatas. Bromokriptine merupakan suatu agonis dopamine, seperti halnya pergolide dan cabergoline.
Bromokriptin adalah agonis reseptor D2 pertama yang digunakan dalam penanganan kasus hiperprolaktinemia. Bromokriptin telah terbukti efektif menormalkan kadar prolaktin dalam serum, menormalkan menstruasi, dan mengurangi ukuran tumor 80-90% pada pasien setelah mengalami terapi selama 3-6 bulan. Bromokriptine menghambat pelepasan prolaktin dengan cara menstimulasi reseptor dopamine pasca sinaps di hipotalamus secara langsung. Hipotalamus melepaskan dopamine, yang merupakan hormone yang menginhibisi pelepasan prolaktin, sehingga pelepasan prolaktin terhambat. Penurunan kadar prolaktin serum akan terjadi setelah pemberian bromokriptin peroral, efek supresi maksimum terjadi setelah 8 jam dan bertahan hingga 24 jam. Dosis inisialisasi dapat dimulai dari 1,25-2,5 mg, sekali perhari pada saat menjelang tidur untuk meminimalkan efek merugikannya. Dosis dapat ditingkatkan bertahap setiap minggu sebesar 1,25 mg hingga diperoleh respon terapi yang diinginkan. Dosis terapi umumnya berkisar antara 2,5-15 mg perhari dalam dosis terbagi 2 atau 3. Meski pada beberapa orang dosis terapi dapat mencapai 40 mg perhari. ((e-book; Pharmacotheraphy-Dypiro 6th.ed.pdf. hal. 1455)
Pada kasus resep diatas, pasien Ny. A menerima bromokriptin sebanyak 2 tablet perhari ( 5 mg perhari), tanpa adanya dosis inisialisasi. Dalam hal ini, mungkin dokter telah berpengalaman terhadap pasien-pasien sebelumnya, dimana pasien langsung menerima bromokriptin pada dosis terapi tanpa timbulnya keluhan efek merugikan yang berarti. Kendati demikian, apoteker dalam hal ini sebaiknya menanyakan kemungkinan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya yang pernah dialami pasien sebelumnya, seperti kemungkinan gangguan pencernaan, jika pasien memiliki riwayat tersebut, maka apoteker sebaiknya menyarankan pada dokter dan atau pasien untuk memulai terapi dengan dosis inisialisasi terlebih dahulu. Disamping itu apoteker juga harus menginformasikan kemungkinan efek samping yang timbul selama terapi seperti : sakit kepala, mual, dizziness, sakit saat melihat cahaya, gangguan saluran pencernaan. Sarankan meminum obat setelah makan.
Menurut BNF, dosis untuk penanganan prolaktinoma adalah dengan dosis inisialisasi 1-1,25 mg saat menjelang tidur, kemudian ditingkatkan perlahan hingga 5 mg setiap 6 jam (pada beberapa pasien dapat menerima bromokriptine sampai 30 mg perhari). Sedangkan dosis 2,5 mg dua kali sehari dapat diberikan pada pasien infertilitas tanpa hiperprolaktinemia. (BNF 57, March 2009; 422).
Saat awal penggunaan bromokriptine Apoteker sebaiknya menyarankan agar pasien memantau tekanan darahnya, atau setidaknya dengan mewaspadai gejala-gejala tekanan darah rendah (hipotensi). Bromokriptin berpotensi menyebabkan reaksi hipotensi pada beberapa hari pertama penggunaannya.
Pemberian bromokriptin bersama asam folat (Folavit®) menguatkan dugaan bahwa pemberian bromokriptin ini ditujukan untuk terapi infertilitas yang disebabkan oleh hiperprolaktinemia. Asam folat merupakan bagian mempersiapkan kehamilan. Karena asam folat telah terbukti mampu menurunkan defek tuba neural yang dapat mengakibatkan terjadinya abortus secara spontan. Karena tuba neural tertutup selama 4 minggu pertama kehamilan, dimana umumnya kehamilan belum dapat diketahui, sehingga memberikan makanan kaya akan asam folat atau suplemen asam folat saat merencanakan kehamilan sangat penting.
Penggunaan bersama bromokriptin dan asam folat relatif aman sebagi upaya mempersiapkan kehamilan. Tanpa adanya interaksi. Hanya perlu diperhatikan kemungkinan untuk menghentikan penggunaan bromokriptin setelah terjadinya kehamilan. Meski bromokriptine tidak terbukti bersifat teratogenik, namun efek paparannya pada uterus belum diketahui. ((e-book; Pharmacotheraphy-Dypiro 6th.ed.pdf. hal. 1455)
Pada saat penyerahan bromokriptine ini, Apoteker harus menanyakan kemungkinan obat-obat lain yang mungkin dikonsumsi oleh pasien untuk memastikan tidak terjadinya interaksi yang merugikan selama penggunaan bromokriptin. Apoteker harus memastikan bahwa bromokriptin tidak digunakan bersamaan dengan alkohol, antipsikotik, domperidon, eritromisin, makrolida, metoklopramid, oktreotid, dan phenilpropanolamin, karena obat-obat tersebut beresiko meningkatkan efek toksik bromokriptin. Sedangkan penggunaan bromokriptin bersama memantin atau metildopa dapat menyebabkan penurunan efek bromokriptin. (BNF 56).
Kepada pasien juga harus diinformasikan tentang cara penyimpanan bromokriptin yang baik. Bromokriptin sangat peka terhadap cahaya, sehingga penyimpanannya harus dihindarkan dari paparan cahaya, meski umumnya kemasan bromokriptin telah cukup melindungi. (BP 2009; 775).
Salah satu efek samping bromokriptin adalah mual. Sedangkan penggunaan bersama bromokriptin dengan antiemetik domperidon atau metoklopramid menghasilkan interaksi, maka pemberian bromokriptin dapat disiasati dengan cara pemberian intravaginal. (Katzung; 873).
Pasien tersebut juga mengkonsumsi asam folat, sehingga harus dipastikan bahwa pasien tersebut tidak mengkonsumsi sulfasalazin, Phenobarbital, phenitoin, atau pun primidon, karena menyebabkan terjadinya interaksi obat.
2. Resep 2
R/ Duphaston No. XXX
S 2 dd 1
R/ Folavit No. XXX
S 1 dd 1
Pro : Ny. R (28 tahun)
a. Kasus
Pasien Ny. R telah hamil pertama pada trisemester pertama, mengalami hiperemesis.
b. Analisa kasus
Pada kasus ini, pemberian Duphaston® atau didrogesteron ini tentu bukan untuk penanganan kasus infertilitas, atau pun gangguan menstruasi karena pasien tengah hamil. Kemungkinan yang paling mungkin adalah untuk mencegah terjadinya abortus. Dengan memperhatikan dosis pemakaian pada pasien tersebut, maka dosis tersebut adalah dosis untuk mencegah abortus habitualis. Abortus habitualis merupakan abortus yang telah terjadi berulang pada seorang pasien. Sedangkan dalam kasus ini, pasien baru pertama kali hamil, yang berarti belum pernah mengalami abortus. Maka, pemberian dydrogesteron untuk pasien tersebut dengan dosis abortus habitualis kurang tepat. Dugaan terakhir penggunaan dysdrogesteron ini adalah untuk mencegah terjadi abortus yang mengancam, meski dosis yang digunakan tidak sesuai dengan indikasi. Pharmacotherapy-Dipiro, hanya menuliskan dosis penggunaan dydrogesteron untuk indikasi terapi penggantian hormone pada wanita premenopause yaitu sebesar 20 mg perhari selama 12-14 hari setiap siklus. Serta untuk indikasi proteksi endometrium dosisnya 10-20 mg perhari selama 12-14 hari setiap siklus. (e-book; Pharmacotheraphy-Dypiro 6th.ed.pdf. hal. 1498, 1510)
Didrogesteron sebagaimana progestogen lainnya secara luas digunakan untuk penanganan kasus menorrhagia, dismenorrhoea, pencegahan abortus spontan pada wanita dengan riwayat abortus (abortus habitualis). Namun penggunaannya untuk penanganan abortus ini kurang direkomendasikan. Bahaya didrogesteron pada wanita hamil belum diketahui. (BNF 57 March 2009.pdf. hal. 403)
Didrogesteron merupakan progestogen generasi baru yang kurang androgenik dibandingkan dengan progestogen generasi sebelumnya seperti norethisteron, norgestrel, maupun levonorgestrel. Didrogesteron merupakan analog progesterone. ((e-book; Pharmacotheraphy-Dypiro 6th.ed.pdf. hal. 1534).
Didrogesteron sebagaimana progestogen lainnya dikontaindikasikan pada pasien dengan riwayat tumor hati atau kerusakan hati. Didrogesteron juga dikontraindikasikan pada wanita yang menderita kanker payudara atau saluran genital, penyakit-penyakit arterial, pendarahan vaginal yang tak diketahui diagnosanya, dan porphyria akut. Progestogen juga tidak boleh digunakan jika ada riwayat kehamilan dengan idiopatic jaundice, pruritus, dan pemphigoid gestationis. (BNF 57; 403).
Pemberian progestogen (didrogesteron) ini harus dipantau pada pasien-pasien yang mengalami kondisi-kondisi yang dapat memperburuk retensi cairan, seperti : epilepsi, hipertensi, migrain, asma, disfungsi ginjal atau jantung, dan tromboembolism terutama pada penggunaan dosis tinggi. Begitu pun pada pasien dengan riwayat kerusakan hati dan depresi. Progestogen juga dapat menurunkan toleransi terhadap glukosa pada penderita diabetes, sehingga penggunaan progestogen pada penderita diabetes perlu dipantau secara ketat. (BNF 57; 403).
Didrogesteron dan progestogen lainnya berinteraksi dengan bosentan, karbamazepin, siklosporin, kumarin, diuretik, fosamprenavir, griseofulvin, lamotrigine, tizanidine, nelfinavir, nevirapine, okskarbazepine, phenindion, phenytoin, primidone, atorvastatin, rosuvastatin. (BNF, Appendix 1).
Pemberian asam folat bertujuan memberi tambahan asupan asam folat selama kehamilan. Masa kehamilan memerlukan asam folat dalam jumlah yang lebih tinggi karena asam folat berperan dalam perkembangan janin.
3. Resep 3
16 Mei 2011
R/ Profertil No. X
S 2 dd1
R/ Folavit No. X
S 1 dd 1
Pro : Ny. A (28 th)
a. Kasus
Pasien Ny. A, umur 28 tahun. Sedang menjalani program untuk memperoleh kehamilan.
b. Analisa Kasus
Profertil® merupakan suatu sediaan farmasi yang mengandung klomifen sitrat 50 mg pertablet. Klomifen merupakan senyawa non steroid yang memiliki sifat estrogenik dan antiestrogenik sekaligus yang digunakan untuk menginduksi ovulasi pada wanita anovulasi.
Secara umum klomifen digunakan untuk kasus infertil pada wanita. Selain itu, klomifen juga dapat digunakan pada kondisi abnormalitas menstruasi, ginekomastia, penyakit fibrokistik payudara, oligospermia, laktasi persisten, hyperplasia endometrial, anaplasia endometrial, regulasi siklus menstruasi pada pasien yang menggunakan kontrasepsi kalender. (e-book; AHFS 2004; 979).
Dari kasus tersebut dapat diduga bahwa klomifen digunakan untuk penanganan infertilitas, dimana klomifen diberikan sebanyak 2 kali sehari 1 tablet selama 5 hari, hanya dalam kasus ini tidak diketahui kapan pasien mulai mengkonsumsi obat tersebut, apakah dimulai pada hari ke-5 dari siklus menstruasi atau tidak. Serta tanpa diberikan dosis inisiasi terlebih dahulu yaitu sebesar 50 mg perhari selama 5 hari.
Sedangkan menurut BNF 57, dosis klomifen untuk penanganan infertilitas adalah 50 mg perhari selama 5 hari dimulai pada hari kelima dari siklus menstruasi
Klomifen merupakan antagonis estrogen yang digunakan untuk terapi infertilitas pada wanita yang mengalami anovulasi. Klomifen sitrat merupakan campuran rasemat dari cis-klomifen dan trans-klomifen yang dapat bersifat sebagai agonis maupun antagonis estrogen sekaligus. Penggunaan klomifen sebagai isomer tunggalnya belum diuji. Klomifen meningkatkan sekresi gonadotropin dan merangsang terjadinya ovulasi. Peningkatannya sebanding dengan pulse LH dan FSH tanpa perubahan pulse frekuensi. (e-book: Goodman & Gilman’s The Pharmacologycal Basis of Therapeutics-11th. Ed. (2006))
Mekanisme kerja klomifen adalah dengan merangsang terjadinya ovulasi pada wanita yang mengalami oligomenorhe atau amenorrhea dan disfungsi ovulasi. Klomifen berperan memblok penghambat estrogen pada hipotalamus, yang menyebabkan pematangan gonadotropin dan akhirnya menyebabkan terjadinya ovulasi. (e-book: R-Bertram G. Katzung; Basic and Clinical Pharmacology (9th.ed).pdf, hal. 964)
Terapi dengan klomifen ini mungkin tidak langsung berhasil dalam sekali siklus, namun pemberian klomifen lebih dari 6 siklus sangat tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko kanker ovarium.
Selama terapi kesuburan dengan menggunakan klomifen ini perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya reaksi obat merugikan dari klomifen. reaksi obat merugikan dari klomifen umumnya bertalian langsung dengan frekuensi dan dosis yang digunakannya. Dimana reaksi obat merugikan akan lebih potensial terjadi pada pasien yang menerima terapi klomifen dengan frekuensi dan dosis lebih besar.
Reaksi obat merugikan yang sering terjadi selama penggunaan klomifen antara lain pembesaran ovarium, pembentukan kista, dan gejala-gejala vasomotor seperti rasa panas saat berkedip. Pembesaran ovarium jarang terjadi pada pasien yang menerima terapi klomifen pada dosis yang dianjurkan. Pembesaran ovarium dan pembentukan kista dapat terjadi lebih sering dan fase luteal siklus menstruasi dapat berkepanjangan pada pasien yang menerima dosis lebih tinggi atau terjadi respon yang berkepanjangan. Jika pembesaran ovarium yang abnormal terjadi selama terapi, maka terapi klomifen ini harus dihentikan. Pembesaran maksimum ovarium tidak terjadi sampai beberapa hari setelah terapi klomifen dihentikan, walaupun biasanya pembesaran ovarium dan pembentukan kista akan menyusut secara spontan setelah terapi klomifen dihentikan. Kecuali jika ada indikasi kuat untuk laparatomi, umumnya pasien dengan pembesaran ovarium atau pembentukan kista memerlukan terapi pembedahan tersebut.
Reaksi obat merugikan lain yang sering terjadi selama penggunaan klomifen antara lain : rasa tidak nyaman pada pelvis, gangguan penglihatan, mual, muntah, peningkatan volume dan frekuensi urinari.
Sehubungan dengan reaksi-reaksi obat yang merugikan yang mungkin terjadi tersebut maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut untuk pasien yang sedang menjalani terapi klomifen ini :
1. Klomifen tidak boleh diberikan pada pasien yang telah terbukti atau ditengarai mengidap kista
2. Pasien harus mewaspadai tanda-tanda dan gejala stimulasi terhadap ovarium yang berlebihan, seperti nyeri pelvis selama terapi klomifen
3. Pasien harus menghindari kegiatan yang memerlukan koordinasi fisik dan kesiagaan mental seperti menjalankan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor
4. Jika gangguan penglihatan terjadi selama terapi klomifen, maka terapi harus dihentikan dan lakukan pemeriksaan opthalmologi
5. Klomifen dikontraindikasikan pada pasien yang menderita penyakit hati atau ada riwayat penyakit hati. (AHFS 2004, 979).
Pemberian asam folat bertujuan untuk menyiapkan nutrisi yang penting bagi pertumbuhan janin jika kemudian terjadi pembuahan. Disampaing asam folat juga diperlukan untuk menjaga kesehatan si ibu. Asam folat berperan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Penggunaan bersama asam folat dan klomifen relatif
4. Resep 4
21 Mei 2011
R/ Astin Bond No. XXX
S 1 dd 1
Pro : Tn. Iit
R/ Blesiphen No. X
S 2 dd 1
Pro : Ny. TS (24 th)
a. Kasus
Pasien diatas adalah pasangan suami istri yang datang berobat ke dokter Spesialis Obgin untuk merencanakan kehamilan.
b. Analisa Kasus
Pada kasus tersebut diatas dapat diduga bahwa kemungkinan kesulitan mendapat keturunan pada pasangan tersebut, adalah akibat kesulitan ovulasi pada pihak istri. Sehingga dokter memberikan terapi klomifen pada si istri. Kemungkinan pasangan ini baru memulai program kehamilannya, tanpa melalui dosis inisiasi, dokter langsung memberikan dosis 100 mg perhari dalam dosis terbagi dua tanpa memperhitungkan siklus menstruasinya. Atau mungkin pasien tersebut sebelumnya telah pernah mengalami terapi klomifen dengan dosis inisiasi yaitu 50 mg perhari, namun belum juga mendapat ovulasi sehingga dosis ditingkatkan menjadi dua kalinya.
Sedangkan si suami diberi multivitamin untuk meningkatkan stamina tubuh.
5. Resep 5
3 Mei 2011
R/ Regumen No. XX
S 2 dd 1
Pro : Ny. W (27 th)
a. Kasus
Pasien Ny. W (27 tahun), sedang mengikuti program kesuburan untuk mendapatkan kehamilan.
b. Analisa kasus
Regumen® merupakan salah satu sediaan obat yang mengandung norethisteron. Norethisteron merupakan progestogen analog testosterone, seperti halnya norgestrel. Sebagai analog testosterone, maka norethisterone memiliki sifat androgenik yang cukup kuat.
Progestogen digunakan dalam pencegahan abortus spontan pada wanita yang memiliki riwayat abortus (abortus habitualis) meskipun tidak ada bukti keuntungan dan penggunaannya tidak direkomendasikan.
Norethisterone sebagaimana progestogen lainnya digunakan sebagai terapi penggantian hormone, kontrasepsi oral, dan penanganan kanker. Terapi penggantian hormone estrogen jangka panjang diperlukan pada wanita dengan rahim progestogen, untuk mencegah hyperplasia kista endometrium dan kemungkinan transformasinya menjadi kanker. Indikasi lain penggunaan norethisteron adalah pendarahan rahim disfungsional, dysmenorrhea, sindrom premenstruasi (tidak direkomendasikan), penundaan menstruasi. (BNF 57; 403)
Pasien tersebut sedang mengikuti program kesuburan. Sehingga pemberian Regumen® atau noretisteron kemungkinan untuk penanganan endometriosis. Endometriosis menyebabkan pasien tersebut mengalami infertilitas. Terapi endometriosis bertujuan untuk mengurangi gejala dan untuk memperbaiki kesuburan pasien. Dimana endometriosis ini umumnya terjadi pada wanita usia reproduktif. Endometriosis merupakan penyebab umum kasus-kasus infertile pada wanita.
Dalam kasus ini pasien menerima norethisterone dua kali 1 tablet Regumen® (10 mg norethisteron perhari) selama 10 hari. Sedangkan terapi endometriosis menurut BNF 57 adalah 10-15 mg perhari selama 4-6 bulan atau lebih dimulai pada hari kelima siklus menstruasi, jika tanpa pendarahan. Sedangkan bila endometriosis disertai pendarahan maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 20-25 mg perhari, dan dosis diturunkan kembali bila pendarahan telah berhenti. Sehingga dalam kasus ini pasien menerima dosis terapi yang wajar. Namun, dalam hal ini tidak diketahui kapan pasien tersebut memulai terapinya, dan untuk jangka waktu berapa lama. Apoteker dalam hal ini harus memastikan bahwa terapi tersebut dimulai dan diakhiri pada waktu yang tepat.
Selama terapi norethisterone ini pasien perlu juga mendapat informasi tentang kemungkinan efek samping yang timbul selama terapi. Efek samping yang pali sering timbul antara lain iritabilitas, depresi, dan sakit kepala.
Apoteker juga harus memastikan bahwa pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan lainnya yang berpotensi terjadi interaksi. Obat-obat yang dapat berinteraksi dengan norethisteron antara lain : atorvastatin, bosentan, karbamazepin, siklosporin, kumarin, diuretik, fosamprenavir, griseofulvin, lamotrigine, tizanidine, nelfinavir, nevirapine, okskarbazepine, phenindion, phenytoin, primidone.