Seorang wanita yang telah berumur 61 tahun telah seminggu mengalami stroke iskemik. Wanita tersebut kemudian dibawa ke rumah sakit lain karena adanya dysphasia dan kelemahan pada kedua sisi tubuhnya (kanan dan kiri). Dysphasia adalah penurunan kemampuan bahasa atau berbicara. Hasil magnetic resonance imaging (MRI) menunjukan adanya infark terbaru pada korteks parietal kiri dan Computed Tomography Angiography (CTA) menunjukan adanya stenosis berkualitas tinggi pada proksimal kiri internal arteri karotid dengan pembuluh intrakranial normal. Pasien ini menerima terapi intravena rekombinan aktivator jaringan plasminogen, aspirin dan statin. Pasien telah menghentikan kebiasaan merokok sejak 12 tahun sebelum terjadinya serangan ini. Tekanan darah 145/90 mm Hg. Pasien juga merasakan adanya kejanggalan ringan pada tangan kanannya. Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko kekambuhan stroke tersebut?. Berikut analisa dan saran terapi yang dapat dilakukannya.
PROBLEM KLINIS
Diseluruh dunia, stroke adalah penyebab kematian kedua setelah infark miokard dan merupakan penyebab utama kecacatan. Pada berbagai daerah kejadian stroke iskemik yang dibarengi dengan transient ischemic attack (TIA) kejadiannya lebih banyak terjadi dibandingkan dengan kejadian vaskular koroner. Lebih dari 85% diantaranya berakibat fatal dan banyak terjadi pada penduduk dinegara-negara berkembang dan tertinggal.
Pasien dengan riwayat stroke beresiko tinggi pada terjadinya serangan vaskular berikutnya, termasuk beresiko tinggi mengalami kekambuhan stroke berulang, infark miokard dan kematian akibat penyakit vaskular lainnya. Karena resiko stroke tertinggi terjadi pada periode awal setelah terjadinya serangan akut, maka strategi pencegahan yang sesuai harus dilakukan. Sebuah data meta analisis menunjukan bahwa resiko stroke sebesar 12,8% terjadi pada minggu pertama setelah TIA, dan resiko terendah didapatkan setelah pasien mendapatkan perawatan emergensi disarana pelayanan spesialis stroke. Diperkirakan sekitar 80% kekambuhan dapat dicegah dengan penggunaan pendekatan komprehensif yang mencakup modifikasi diet, olahraga, penurunan tekanan darah, terapi antiplatelet dan terapi statin.
STRATEGI DAN BUKTI
Evaluasi
Stroke dapat dikategorikan menjadi:
- Stroke iskemik (terjadi pada sekitar 80% kasus)
- Pendarahan intraserebral (15% kasus)
- Subarachnoid hemorrhage (5%)
TIA secara tradisional didefinisikan sebagai episode neurologis singkat dari vaskular asli yang bertahan kurang dari 24 jam. Akhir-akhir ini TIA diklasifikasikan sebagai peristiwa neurologis transient tanpa tanda-tanda infark akut pada pencitraan. Definisi terbaru tersebut didasarkan pada bukti bahwa banyak kasus stroke terdeteksi pada pencitraan, khususnya MRI kurang dari 24 jam atau secara klinis tidak menunjukan tanda-tanda. Ulasan ini akan berfokus pada upaya pencegahan sekunder setelah terjadinya stroke iskemik atau TIA.
Dalam perencanaan pencegahan sekunder, penting untuk mengidentifikasi patogenesis stroke iskemik atau TIA, khususnya untuk mendeteksi gejala klinis yang signifikan pada jantung atau arteri besar. Dalam praktek klasifikasi stroke iskemik berguna dalam melukiskan patogenesis utama atas dasar temuan klinis. Stroke iskemik ini diklasifikasikan menjadi:
- Kardioembolism (paling sering terjadi pada fibrilasi atrium)
- Penyakit arteri besar
- Stroke lakunar
- Stroke yang ditentukan oleh penyebabnya (misal diseksi arteri, stroke narkoba, atau gangguan hiperkoagulasi)
- Stroke yang belum diketahui penyebabnya (ada 2 atau lebih penyebab yang diidentifikasi atau karena evaluasi negatif atau tidak lengkap), bahkan ketika dilakukan investigasi penuh, hingga sekitar 30% kasus serebral iskemia tetap tidak dapat dijelaskan ("stroke kriptogenik").
Evaluasi yang mendesak dibenarkan untuk dilakukan setelah terjadinya stroke atau TIA, karena peristiwa berulangnya stroke sering terjadi pada saat awal setelah terjadinya stroke tersebut. Pencitraan otak harus dilakukan untuk menetapkan diagnosa, klasifikasi dan manajemennya. MRI jauh lebih sensitif dibandingkan CT Scan. Pencitraan arteri dengan menggunakan ultrasonografi Doppler karotis, CTA atau magnet resonance angiography (MRA) umumnya diperlukan. Elektrokardiografi (EKG) secara rutin harus dilakukan. Untuk mendeteksi fibrilasi atrium paroksismal diperlukan pemantauan. Transthoracic atau transesophageal echocardiography sering digunakan untuk mendeteksi sumber emboli jantung selain fibrilasi atrium. Tes darah rutin dapat membantu mengungkapkan predisposisi penyebab seperti polycythemia, kerusakan ginjal, gangguan elektrolit dan hiperglikemia.
Manajemen
Manajemen faktor resiko agresif dan gaya hidup harus dilakukan oleh semua pasien. Studi observasional pada pasien dengan riwayat stroke mengindikasikan bahwa perilaku gaya hidup sehat termasuk olahraga, berpantang merokok berhubungan dengan penurunan tingkat mortalitas. Faktor resiko stroke diantaranya:
- Hipertensi
- Kebiasaan merokok
- Rasio pinggang-panggul tinggi
- Skor tinggi resiko diet
- Kurangnya aktivitas fisik
- Diabetes melitus
- Konsumsi alkohol berlebih
- Stres psikososial atau depresi
- Penyebab penyakit jantung (infark miokard atau fibrilasi atrium sebelumnya)
- Tingginya rasio apolipoprotein B dan apolipoprotein A1
Dalam pencegahan sekunder ada 3 startegi utama yaitu: penurunan tekanan darah, penurunan kolesterol dengan agen statin dan terapi antiplatelet (kecuali pada pasien yang diindikasikan terapi dengan antikoagulan). Poin penting dalam upaya pencegahan sekunder stroke ini adalah:
- Upaya pencegahan ini harus dilakukan pada pasien yang telah mengalami stroke iskemik atau TIA yang berisko tinggi terhadap kekambuhan stroke, infark miokard, dan kematian akibat penyakit vaskular
- Investigasi (termasuk pencitraan otak dan penilaian arteri dan jantung) harus dilakukan segera setelah stroke atau TIA untuk menentukan penyebab dan intrevensi yang harus dilakukan untuk mencegah kekambuhan.
- Perhatian terhadap faktor gaya hidup (termasuk berhenti merokok, olahraga teratur dan kontrol berat badan) harus terjamin
- Menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar kolesterol dengan agen statin dan terapi antiplatelet telah terbukti mengurangi resiko kekambuhan stroke
- Pencegahan sekunder stroke yang efektif untuk pasien tertentu termasuk yang menjalani revaskularisasi karotis dan terapi antikoagulan untuk fibrilasi atrium.
Penurunan Tekanan Darah
Tekanan darah adalah faktor resiko yang harus dikontrol sebagai upaya pencegahan primer dan sekunder kekambuhan stroke. Penelitian observasional dan studi klinis mendukung dilakukannya penurunan tekanan darah sebagai upaya pencegahan stroke terlepas dari tingkat tekanan darah awalnya.
Sebuah percobaan tinjauan sistemik percobaan pencegahan sekunder setelah stroke dengan menggunakan agen antihipertensi menunjukan pengurangan kejadian stroke, stroke nonfatal, infark miokard, semua penyakit vaskuler. Besarnya penurunan resiko stroke berkaitan dengan tingkat penurunan tekanan sistolik. Pasien yang menerima pengobatan denga angiotensin converting enzim (ACE) inhibitor (atau ditambah dengan diuretik indapamid) pada pasien yang telah mengalami stroke terbukti mampu menurunkan resiko kekambuhan stroke tersebut. Resiko kambuhan stroke menurun sebesar 28% dalam jangka waktu 4 tahun pada kelompok pasien yang diterapi dengan ACE inhibitor, dengan penurunan tekanan darah sebesar 9/4 mm Hg.
Apakah manfaat penurunan tekanan darah ini tergantung pada kelas tertentu obat antihipertensi atau hanya pada efek penurunan tekanan darahnya saja hingga saat ini masih kontroversi. Studi menunjukan bahwa penurunan resiko kekambuhan stroke lebih besar pada kelompok pasien yang diterapi dengan terapi kombinasi ACE inhibitor dan diuretik dibandingkan kelompok pasien yang hanya menerima terapi tunggal dengan ACE inhibitor. Dalam pencegahan stroke ini, penggunaan agen angitensin reseptor blocker (ARB) kurang efektif, meskipun agen ini efektif dalam penurunan tekanan darah.
Sebuah percobaan tinjauan sistemik percobaan pencegahan sekunder setelah stroke dengan menggunakan agen antihipertensi menunjukan pengurangan kejadian stroke, stroke nonfatal, infark miokard, semua penyakit vaskuler. Besarnya penurunan resiko stroke berkaitan dengan tingkat penurunan tekanan sistolik. Pasien yang menerima pengobatan denga angiotensin converting enzim (ACE) inhibitor (atau ditambah dengan diuretik indapamid) pada pasien yang telah mengalami stroke terbukti mampu menurunkan resiko kekambuhan stroke tersebut. Resiko kambuhan stroke menurun sebesar 28% dalam jangka waktu 4 tahun pada kelompok pasien yang diterapi dengan ACE inhibitor, dengan penurunan tekanan darah sebesar 9/4 mm Hg.
Apakah manfaat penurunan tekanan darah ini tergantung pada kelas tertentu obat antihipertensi atau hanya pada efek penurunan tekanan darahnya saja hingga saat ini masih kontroversi. Studi menunjukan bahwa penurunan resiko kekambuhan stroke lebih besar pada kelompok pasien yang diterapi dengan terapi kombinasi ACE inhibitor dan diuretik dibandingkan kelompok pasien yang hanya menerima terapi tunggal dengan ACE inhibitor. Dalam pencegahan stroke ini, penggunaan agen angitensin reseptor blocker (ARB) kurang efektif, meskipun agen ini efektif dalam penurunan tekanan darah.
Penurunan Kadar Kolesterol Darah dengan Agen Statin
Penurunan kolesterol darah dengan menggunakan obat golongan statin yang telah terbukti efektif dalam pencegahan primer stroke ternyata juga efektif dalam pencegahan sekunder kekambuhan stroke dan TIA. Sebuah studi yang melibatkan sejumlah pasien dengan riwayat penyakit serebrovaskular di Heart Protection Study dengan total kolesterol awal sekurang-kurangnya 135 mg/dl menunjukan bahwa simvastatin (dengan dosis 40 mg/hari) dibandingkan dengan plasebo menghasilkan penurunan sebesar 20% dalam hal resiko semua penyakit vaskular dan 25% pada resiko stroke. Dalam sebuah studi pencegahan stroke dengan penurunan kolesterol agresif menunjukan bahwa atorvastatin (80 mg perhari) menghasilkan penurunan resiko stroke dan semua penyakit kardiovaskular yang signifikan. Manfaat terbesar tampaknya terjadi pada kelompok pasien yang mengalami penurunan LDL-kolesterol sebesar 50% atau lebih. Pedoman pencegahan sekunder merekomendasikan pengobatan untuk pasien dengan level LDL kolesterol sebesar 100 mg/dl atau lebih bertujuan untuk menurunkan kolesterol tersebut hingga level kurang dari 70 mg/dl (atau dengan penurunan sekurang-kurangnya sebesar 50%). Meskipun statin telah terbukti memberikan keuntungan/manfaat, namun penggunaan statin juga dihubungkan dengan peningkatan resiko pendarahan intraserebral dan penggunaannya dapat dikontraindkasikan pada pasien yang telah mengalami perdarahan intraserebral tersebut.
Terapi Antiplatelet
Kecuali pada pasien yang diindikasikan penggunaan antikoagulan, pasien harus menerima terapi antiplatelet sebagai pencegahan sekunder stroke. Dalam sebuah percobaan yang melibatkan sejumlah pasien beresiko tinggi, termasuk pasien dengan riwayat stroke, aspirin mengurangi resiko penyakit kardiovaskular. Namun sebuah studi terbatas lainnya menunjukan bahwa penggunaan aspirin terbatas pada pasien dengan riwayat stroke dan TIA, menyebutkan bahwa penggunaan aspirin hanya mengurangi resiko penyakit kardiovaskular sebesar 13%. Dosis rendah aspirin (75-325 mg/hari) sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi dalam upaya mengurangi resiko stroke, dengan resiko efek toksik gastrointestinal yang lebih kecil.
Klopidogrel (penghambat reseptor adenosin difosfat) dan kombinasi aspirin dan dipiridamol (penghambat fosfodiesterase) lebih unggul dari aspirin, namun manfaat mutlak kombinasi tersebut relatif kecil. Namun dari semua studi tersebut dapat disimpulkan baik penggunaan aspirin tunggal, klopidogrel maupun kombinasi aspirin-dipiridamol dapat diterima dalam pencegahan sekunder stroke lini pertama. Kombinasi aspirin-klopidogrel tidak direkomendasikan penggunaannya karena meningkatkan resiko perdarahan, dibandingkan dengan penggunaan aspirin atau klopidogrel tunggal dalam upaya pencegahan sekunder stroke jangka panjang.
Namun terapi kombinasi aspirin-klopidogrel jangka pendek setelah terjadinya stroke atau TIA dapat diberikan karena kombinasi tersebut memberikan manfaat lebih pada penurunan resiko kekambuhan stroke. Dalam sebuah studi acak resiko kekambuhan pada 90 hari setelah terjadinya stroke atau TIA pada pasien yang diterapi dengan aspirin tunggal pada kurun waktu 24 jam adalah sebesar 10,8%, dan 7,1% pada pasien yang menerima terapi kombinasi aspirin-clopidogrel.
Endarterektomi Karotid dan Stenting Arteri-Karotis
Endarterektomi diindikasikan untuk pasien dengan riwayat TIA atau stroke iskemik dengan stenosis karotid tingkat tinggi (70-99%) atau kasus-kasus tertentu dengan stenosis moderat (50-69%). Endarterektomi mengurangi resiko mutlak stroke sebesar 17% dalam periode waktu 18 bulan. Pembedahan menghasilkan manfaat sederhana pada kasus stenosis moderat dan hampir tak memberikan manfaat pada kasus stenosis ringan (<50%).
Penggunaan stenting arteri-karotis sebagai alternatif endarterektomi karotid lebih kontroversial. Namun penelitian menunjukan bahwa stenting arteri-karotis secara signifikan lebih tinggi dalam hal pengurangan resiko kematian dan kekambuhan stroke dibandingkan endarterektomi.
Endarterektomi karotid adalah sebuah prosedur operasi vaskular nonjantung yang paling umum dilakukan untuk memperbaiki aliran darah ke arteri karotis dalam upaya mengurangi resiko stroke dan kematian yang berhubungan dengan stroke. Sedangkan stenting arteri karotis adalah sebuah prosedur non operatif namun bersifat invasif untuk melebarkan pembuluh darah karotis yang mengalami stenosis dengan menggunakan stent dan pelengkap penunjang lainnya.
Fibrilasi Atrial dan Antikoagulan
Fibrilasi atrial setidaknya menyebabkan 15% kasus stroke iskemik. Warfarin dapat menjadi terapi yang dapat diandalkan dalam hal ini. Dalam sebuah meta analisis warfarin dan aspirin dengan plasebo, warfarin dan aspirin mampu menurunkan resiko stroke masing-masing 60% dan 40% dalam upaya pencegahan stroke primer. Warfarin juga lebih efektif dalam pencegahan sekunder dibandingkan dengan aspirin atau kombinasi aspirin-clopidogrel.
Penemuan terbaru seputar penggunaan antikoagulan oral sebagai pengganti warfarin kini tersedia meski dengan harga yang relatif lebih mahal. Dabigatran sadalah salah satu antikoagulan oral tersebut, sebuah agen penghmabat trombin langsung dengan dosis 150 mg dua kali sehari lebih unggul dibandingkan warfarin dalam pencegahan stroke atau emboli sistemik dengan resiko perdarahan intrakranial yang lebih rendah. Pada dosis yang lebih rendah (2x110 mg) dabigatran bersifat noninferior pada warfarin, dengan resiko semua jenis perdarahan yang lebih rendah.
Selain itu, studi lain menunjukan efikasi dari inhibitor faktor Xa dalam mengurangi resiko stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Seperti halnya dabigatran, rivaroxaban noninferior pada warfarin dengan resiko perdarahan yang lebih kecil. Apixaban juga terbukti efektif. Apixaban lebih unggul dibandingkan dengan aspirin.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pasien pada kasus ini dipastikan mengalami stroke iskemik dengan stenosis karotis bermutu tinggi. Sehingga dalam hal ini sebaiknya pasien segera mendapatkan tindakan enderektomi karotid, meskipun dapat juga dilakukan stenting arteri karotis sebagai alternatifnya dan tampaknya masuk akal dengan mempertimbangkan usianya. Pasien sebaiknya menerima terapi statin untuk mengontrol kadar kolesterol darahnya, dan menerima dosis rendah aspirin (81 mg/hari), dan terapi untuk penurunan tekanan darahnya. Penurunan tekanan darah dilakukan dengan terapi kombinasi ACE inhibitor dan diuretik. Pasien harus diberitahu tentang faktor gaya hidup dan pentingnya menghindari kebiasaan merokok, obesitas dan olahraga secara teratur.
Sumber