Rabu, 30 Januari 2013

ANTIOBESITAS



Anda bermasalah dengan kelebihan berat badan?. Berbagai upaya dan penggunaan obat antiobesitas tak kunjung membantu Anda mendapatkan bobot badan yang ideal?. Obesitas, atau kegemukan memang telah menjadi masalah estetika dan kesehatan yang semakin memprihatinkan. Kegemukan tak hanya membuat penampilan tampak tidak menyenangkan, namun juga mengundang berbagai potensi penyakit.

Interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan sosial budaya telah mendukung terjadinya peningkatan proporsi abesitas dimasyarakat, terutama di negara-negara maju. Obesitas memberikan konsekuensi yang serius pada berbagai masalah kesehatan yang timbul kemudian mengikuti kasus obesitas itu sendiri. Konsekuensi kesehatan tersebut dapat melibatkan semua organ dan sistem organ dan berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan kualitas hidup seseorang. Tujuan terapi obesitas adalah tercapainya keseimbangan energi negatif. Dalam beberapa kasus, penggunaan terapi obat (farmakologis) dapat sangat membantu pencapaian tujuan tersebut.


Meskipun dalam beberapa kasus, penggunaan obat (antiobesitas) dapat membantu terapi obesitas, namun sejauh ini telah banyak obat-obat antiobesitas yang kini mulai ditinggalkan penggunaannya karena adanya efek samping yang merugikan dari obat-obat tersebut. Obat-obat antiobesitas yang telah terbukti memberikan efek samping merugikan yang serius diantaranya: 
  • Aminorex, dapat menyebabkan hipertensi pulmonar
  • Fenfluramin dan deksfenfluramin yang dapat menyebabkan valvulopati
  • Fenilpropanolamin yang dapat menyebabkan stroke
  • Rimonabant yang dapat memicu keinginan dan perilaku bunuh diri
  • Sibutramin yang dapat memicu terjadinya infark miokard dan stroke
Penghapusan dan pencabutan peredaran sibutramin dipasaran, menyisakan orlistat sebagai satu-satunya obat antiobesitas yang masih diperbolehkan peredarannya. 

Mengingat perlunya obat antiobesitas sebagai upaya terapi obesitas, akhir-akhir ini, FDA menyetujui peredaran dua jenis obat antiobesitas baru. Kedua obat tersebut direkomendasikan untuk orang dewasa yang mengalami obesitas kronis (BM= body mass index, lebih dari atau sama dengan 30), atau pada seseorang yang memiliki BMI lebih dari atau sama dengan 27 yang disertai adanya komplikasi yang berhubungan dengan masalah berat badan tersebut. Kedua obat tersebut dipasarkan dengan nama Belviq (lorkaserin) suatu obat yang dikembangkan oleh Arena Pharmaceuticals, dan Qsymia (phentermine atau fentermin dan topiramat lepas lambat) yang dikembangkan oleh Vivus. 

Belviq (lorkaserin) adalah suatu agen agonis serotonin selektif (5-hydroxytryptamine) 2C (5-HT2C). Sedangkan Qsymia merupakan kombinasi dosis tetap antara fentermin suatu simpatomimetik amina yang mana memberikan efek anorektik (anorectic) dan topiramat yang merupakan agen antiepilepsi. Kombinasi kedua obat tersebut akan membantu menekan nafsu makan dan pada beberapa orang akan membantu menyeimbangkan energi negatif.

Pada uji klinis terkontrol plasebo, disimpulkan bahwa kelompok pasien yang menjalani modifikasi gaya hidup ditambah terapi lorkaserin dan fentermin-topiramat, pada tahun pertama pengujian mengalami penurunan berat badan yang signifikan. Selain itu, pemberian obat ini juga memberikan perubahan yang menguntungkan pada parameter kardiometabolik dan antropometri seperti:
  • Tekanan darah
  • Level HDL-kolesterol
  • Lingkar pinggang
  • Peningkatan level hemoglobin terglikasi pada kelompok pasien yang menderita diabetes melitus tipe 2

Pada awalnya, lorkaserin dihubungkan dengan berbagai efek merugikan yang ditemui pada pengujian praklinis dengan menggunakan tikus sebagai hewan ujinya. Beberapa efek merugikan tersebut diantaranya:
  • Peningkatan insiden tumor, terutama tumor otak dan mamae (payudara)
  • Peningkatan resiko valvulopati
Namun setelah dilakukan readjudicated patologis, resiko tumor payudara pada manusia tersebut menurun. Dan dalam sebuah studi klinis yang lain diketahui bahwa hanya sedikit lorkaserin yang memasuki sistem saraf, dan menunjukan batas keamanan yang besar pada manusia.

Lorkaserin memiliki resiko valvulopati yang relatif rendah, dan bisa dinyatakan aman penggunaannya pada manusia. 

Sedangkan potensi keamanan yang serius dari kombinasi fentermin-topiramat adalah adanya efek teratogenisitas dan peningkatan detak jantung. Data pendahuluan menunjukan bahwa wanita yang mengkonsumsi topiramat selama masa kehamilannya lebih beresiko melahirkan bayi dengan cacat wajah. Sehingga persetujuan penggunaan fentermin-topiramat ini disertai dengan adanya evaluasi resiko dan strategi mitigasi (REMS = risk evaluation and mitigation strategy). REMS ini meliputi:
  • Panduan pengobatan
  • Brosur-brosur
  • Program pelatihan formal bagi penulis resep dan pemberi informasi pada pasien (farmasis)
  • Perlunya pemberian rekomendasi pada pasien wanita usia subur yang menggunakan obat ini agar menggunakan kontrasepsi yang memadai selama terapi
  • REMS juga memungkinkan adanya sertifikasi terhadap apoteker yang menyerahkan obat ini

Dengan mempertimbangkan rasio manfaat-resiko, FDA menyimpulkan bahwa rasio manfaat-resiko kombinasi fentermin-topiramat adalah positif dan mendukung penggunaannya. Kendati demikian, pasien yang menggunakan obat ini harus melakukan pemantauan detak jantung secara teratur.

Selain masalah keamanan yang telah diuraikan diatas, lorkaserin dapat meningkatkan resiko merugikan pada fungsi psikiatrik, kognitif, dan serotonergik. Fentermin-topiramat beresiko meningkatkan asidosis metabolik, glaukoma dan psikiatri-kognitif. FDA dalam hal ini mensyaratkan dilakukannya sejumlah pengujian klinis pasca persetujuan (postapproval). Salah satu persyaratan tersebut adalah dilakukannya uji keamanan kardiovaskuler jangka panjang pada pasien obesitas.

FDA menyadari besarnya kemungkinan penggunaan off-label dari lorkaserin dan kombinasi fentermin-topiramat dengan alasan kecantikan. Sehingga FDA mensyaratkan adanya pembatasan penggunaan obat tersebut hanya  kelompok pasien tertentu yang dibenarkan menggunakannya. Berdasarkan analisis klinis, FDA menentukan bahwa jika setelah penggunaan lorkaserin selama 12 minggu pasien tidak mengalami penurunan berat badan sedikitnya 5% dari berat badan awal, maka pengobatan harus dihentikan. Demikian pula pada pasien yang menggunakan kombinasi fentermin-topiramat dengan dosis 7,5/46 mg tidak mengalami penurunan berat badan sekurang-kurangnya 3% setelah penggunaan obat selama 12 minggu, maka pengobatan juga harus dihentikan, atau dosisnya ditingkatkan dan jika setelah penggunaan dosis yang lebih tinggi selama 12 minggu berat badan tidak turun sekurang-kurangnya 5%, maka pengobatan harus dihentikan.






Sumber




Selasa, 29 Januari 2013

AZITROMISIN



Struktur Azitromisin

Azitromisin adalah salah satu antibiotik makrolida 

Jumat, 25 Januari 2013

PROSEDUR HPLC DALAM ANALISIS CAMPURAN ANALGESIK




Metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau High Performance Liquid Cromatography (HPLC) merupakan salah satu metode yang sangat mungkin digunakan untuk menganalisis larutan yang mengandung campuran analgesik dan anestesi yang umum yang digunakan dalam prosedur pembedahan (operasi medis). Dengan HPLC ini pemisahan bupivakain, klonidin, fentanil, hidromorfin, midazolam dan morfin dapat terselesaikan dalam waktu kurang dari 20 menit. Metode analisis ini memungkinkan pemisahan komponen-komponen zat didalamnya dengan cara menyuntikan langsung larutan pada sistem HPLC. Metode ini juga sangat berguna untuk mengidentifikasi suatu sediaan larutan yang tidak diketahui komposisinya. Metode ini sangat mungkin diterapkan di rumah sakit sebagai upaya penngendalian mutu dan pemastian mutu yang tidak hanya akan memastikan kebenaran pencampuran obat dalam larutan infus namun juga untuk memantau kemungkinan adanya penyalahgunaan obat oleh tenaga medis.
*************************

Pendahuluan


Telah diketahui bersama, bahwa sejak tahun 1970an penyalahgunaan morfin dan agen narkotik sintetik telah menjadi masalah kesehatan yang serius. Sebuah survei menunjukan bahwa fentanil merupakan salah satu agen anestesi yang paling banyak disalahgunakan oleh ahli anestesi (anestesiologis). Institusi-institusi kesehatan umumnya melakukan program pengujian/tes urin terhadap tenaga-tenaga kerja yang akan atau telah direkrutnya serta melakukan pengujian kandungan obat-obatan tertentu yang diduga sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Dari program tersebut diketahui adanya beberapa item obat yang sering disalahgunkan, seperti: amfetamin, kanabinoid, kokain, opiat dan phensiklidin. Obat-obat tersebut akan dapat dengan mudah terdeteksi melalui tes urin. Namun tes urin, belum memadai untuk mendeteksi adanya kemungkinan penyalahgunaan obat-obat lainnya di rumah sakit seperti midazolam dan fentanil yang mungki dilakukan oleh tenaga medis.

Penerapan HPLC dengan metode pengerjaan yang sederhana dan memberikan hasil yang cepat, tentu diharapkan akan sangat membantu dalam hal pemastian mutu di lingkungan rumah sakit. Prosedur HPLC cepat ini tidak hanya memantau kemungkinan adanya kesalahan pencampuran atau penyiapan sediaan parenteral yang umum diberikan pada pasien yang akan menjalani prosedur operasi atau pembedahan, namun juga akan mendeteksi adanya kemungkinan penyalahgunaan obat-obat tersebut. Prosedur HPLC merupakan modifikasi dari prosedur Lambropoulos et al. untuk mengidentifikasi produk-produk degradasi fentanil dalam suatu sediaan farmasi. Prosedur ini memungkinkan pengujian langsung atau melalui pengenceran terlebih dahul terhadap suatu sediaan parenteral. Melalui prosedur HPLC ini, komponen analgesik umum, anestesi dan opiat yang mungkin terdapat dalam suatu sediaan parenteral dapat dipisahkan dalam waktu kurang dari 20 menit.

Bahan dan Metode


Reagen/Pereaksi
  • Asetonitril HPLC grade
  • Air deionisasi 
  • Asam perklorat 69-72%
  • Saline yang digunakan untuk mengencerkan larutan NaCl 0,9%
Fase gerak dibuat dengan mencampurkan 150 mikro liter asam perklorat ke dalam 67 ml air deionisasi dan kemudian ditambahkan secara perlahan-lahan 33 ml asetonitril. Fase gerak tersebut dibebas gaskan sebelum digunakan, dan fase gerak ini akan stabil dalam waktu 3-4 hari.

Baku Pembanding
Baku pembanding fentanil, bupivakain, klonidin, hidromorfin, morfin dan midazolam yang diperoleh dari perusahaan farmasi. Kemurnian bahan pembanding tersebut dianalisis dengan menggunakan dengan spektrofotometri UV dan menghitung kadarnya.

Peralatan
Seperangkat HPLC dengan spesifikasi:
  • Pompa isokratik HP 1050 yang mampu mempertahankan laju alir 1 ml/menit
  • Autosampler Perkin-Elmer ISS-100 Intellige Sampling System (Perkin-Elmer Corporation, Analytica Instruments, Norwalk, CT)
  • The automatic sampler held 2- mL vials fitted with 250-1JL glass inserts
  • Detektor UV
  • Integrator HP3393A
  • Kolom Beckman Ultrasphere ODS HPLC ( 5 IJm, 4.6 mm x 25cm, Beckman Coulter, Inc. Fullerton, CA)
Panjang gelombang dipantau agar selalu pada kisaran 206-280 nm tergantung pada senyawa obat yang sedang dianalisis. Dengan kondisi pengujian tersebut, maka akan diperoleh data sebagai berikut:

Tabel I. Parameter HPLC
Nama Obat Waktu Retensi Panjang Gelombang (nm) Rentang Linieritas (mg/ml)
Morfin 3,0 280 0.02-20
Hidromorfin 3,2 280 0,02-20
Klonidin 4,5 280 0,01-1,0
Midazolam 5,5 280 0,10-2,0
Bupivakain 13,0 206 0,50-1,5
Fentanil 17,0 206 0,002-0,05
Spesimen Pengujian
Semua larutan yang diuji adalah sediaan farmasi. Sediaan parenteral yang sering ditemui adalah larutan morfin sulfat, hidromorfin HCl dan midazolam HCl tunggal ataupun dalam campuran dengan bupivakain atau fentanil atau campuran fentanil-bupivakain.

Kromatogram Hidromorfin


Kromatogram Fentanil

Kesimpulan


Metode yang disajikan ini dapat menjadi metode yang sederhana guna identifikasi analgesik, anestesia dan opiat dalam suatu sediaan farmasi. Prosedur HPLC ini memberikan kemudahan dan keuntungan serta kecepatan yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan metode spektrofotometri UV atau GLC yang memerlukan langkah-langkah ekstraksi terlebih dahulu. Metode ini memungkinkan proses skrining yang kuantisasi yang cepat pada suatu larutan obat yang tidak diketahui komponen obat didalamnya.




Sumber





Selasa, 22 Januari 2013

PENGGUNAAN METORMIN PADA TERAPI SINDROM OVARIUM POLIKISTIK (SOPK)



Seorang wanita yang berusia 23 tahun mengalami sindrom ovarium plokistik (SOPK). Pasien sebelumnya pernah menggunakan kontraseptik oral namun pasien tidak dapat mentolerirnya dengan baik, pasien juga tidak sedang menjalani pengobatan apa pun. Dia mendapati 3 atau 4 periode menstruasi pertahun, tidak sedang merencanakan kehamilan, namun akan menikah setahun yang akan datang. Pasien merasakan kecemasan karena pengetahuannya bahwa SOPK berhubungan dengan diabetes melitus dan fakta bahwa kedua orang tuanya merupakan penderita diabetes melitus tipe 2. Indeks massa tubuhnya (berat badan dalam satuan kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter) adalah 32, lingkar pinggang 96,5 cm, level testosteron serum totalnya meningkat 0,9 ng/ml (90 ng/dl atau 2,9 nmol/l), kadar HDL-kolesterol 35 mg/dl (0,9 nmol/l) dan kadar trigliseridanya 190 ml/dl (2,1 nmol/l). Selain itu kadar glukosa serum 2 jam post prandial (yaitu 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram dekstrosa) adalah 138 mg/dl (7,7 mmol/l). Dokter yang menangani kasus ini mempertimbangkan apakah penggunaan metformin  akan memberikan keuntungan dan kemudian merujuk pasien kepada seorang endokrinologist.


Problem Klinis


SOPK adalah diagnosa klinis yang ditandai dengan adanya 2 atau lebih kondisi berikut:
  1. Oligo-ovulasi kronis atau anovulasi
  2. Kelebihan androgen
  3. Polikistik ovarium
Kondisi ini mempengaruhi 5%-10% kondisi kesehatan pada wanita usia subur, dan merupakan penyebab paling umum infertilitas anovulasi pada wanita dinegara-negara maju. Manivestasi klinis yang umum terjadi diantaranya:
  • ketidakteraturan siklus menstruasi
  • tanda-tanda kelebihan androgen seperti: hirsutisme, jerawat dan alopecia

SOPK berhubungan dengan kondisi kecauan pengaturan fungsi metabolisme penting dalam tubuh. Prevalensi diabetes melitus tipe 2 di Amerika Serikat 10 kali lebih besar terjadi pada wanita muda dengan SOPK dibandingkan dengan kelompok wanita normal. Gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2 berkembang pada sekitar 30%-50% wanita usia 30 tahunan yang mengalami kegemukan dan SOPK. Prevalensi sindrom metabolik adalah sekitar 2-3 lebih banyak terjadi pada kelompok wanita dengan SOPK dibandingkan dengan kelompok wanita tanpa SOPK. Selain itu, meskipun tidak spesifik pada wanita dengan SOPK, namun studi menujukan bahwa wanita dengan oligomenorhea parah berpotensi 2 kali lebih tinggi mengalami infark miokard fatal. Oligomenore umum dijumpai pada wanita dengan SOPK.

Patofisiologi dan Efek Terapi


Karakteristik patofisiologi tentang SOPK tidak sepenuhnya dipahami, namun yang pasti melibatkan interaksi yang rumit antara gonadotropin, ovarium, androgen dan insulin. Elemen penting dari sindrom ini adalah adanya resistensi insulin. Pada mayoritas wanita yang mengalami sindrom ini, terlepas dengan atau tanpa adanya obesitas, memiliki bentuk resistensi insulin intrinsik. Sedangkan pada wanita dengan SOPK yang juga mengalami obesitas maka akan mengalami peningkatan beban resistensi insulin yang berhubungan dengan adiposanya.

SOPK

Resistensi insulin merupakankarakteristik dari SOPK yang tampaknya bertangung jawab pada terjadinya diabetes melitus dikemudian hari. Resistensi insulin juga mendasari adanya keterkaitan antara SOPK dengan faktor resiko kardiovaskuler seperti dislipidemia dan hipertensi, serta kekacauan anatomi dan fungsi kardiovaskuler.

Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia juga memainkan peranan penting sebagai aspek lain dari sindrom ovarium polikistik, termasuk kelebihan androgen dan anovulasi. Insulin merangsang produksi androgen ovarium melalui pengaktifan reseptor homolognya. Ovarium wanita dengan polikistik tampaknya tetap sensitif terhadap insulin, atau bahkan mengalami hipersensitivitas, bahkan pada kondisi dimana jaringan target utama insulin seperti jaringan otot dan lemak telah resisten terhadap insulin. Selain itu, kondisi hiperinsulinemia menghambat produksi hormon seks hepatik terikat globulin, dan lebih lanjut akan meningkatkan sirkulasi testosteron bebas. Akhirnya, insulin menghambat ovulasi, baik secara langsung dengan mempengaruhi perkembangn folikel maupun secara tidak langsung dengan meningkatkan kadar androgen intraovarian atau dengan mengubah sekresi gonadotopin. Bukti lain yang menunjukan adanya pengaruh resistensi insulin terhadap sindrom ovarium polikistik adalah adanya sejumlah intervensi yang berhubungan dengan rendahnya level insulin yang beredar. Dimana intervensi yang mengakibatkan rendahnya kadar insulin yang beredar akan menyebabkan terjadinya:

  1. peningkatan frekuensi ovulasi atau menstruasi
  2. penurunan kadar testosteron serum
  3. kombinasi kedua hal diatas
Intrevensi tersebut dapat berupa:
  1. penghambatan pelepasan insulin (misal dengan penggunaan diazoxide atau oktreotid)
  2. peningkatan sensitivitas insulin yang dapat dilakukan dengan cara penurunan berat badan, atau terapi dengan metformin, troglitazon, rosiglitazon atau pioglitazon
  3. pengurangan penyerapan karbohidrat (misal dengan terapi akarbose)
Metformin adalah salah satu biguanid yang paling umum penggunaanya dalam terapi diabetes melitus tipen 2. Aksi utama dari metformin adalah dengan mengurangi produksi glukosa hepatik serta meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin memberikan kontribusi pada peningkatan efektivitas terapi diabetes melitus dengan menggunakan metformin. Selain itu, metformin juga digunakan untuk terapi jangka panjang wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Pada terapi wanita dengan SOPK, metformin akan memberikan efek berupa:
  • peningkatan ovulasi
  • memperbaiki siklus menstruasi
  • mengurangi level androgen serum
  • dan mungkin juga meningkatkan hirsuitisme

Bukti Klinis


Sebuah studi pada tahun 1996 telah melaporkan bahwa pemberian metformin pada wanita dengan SOPK terbukti menurunkan kadar insulin yang bersirkulasi yang berhubungan dengan kadarnya pada ovarium, aktivitas liyase dan sekresi androgen ovarium. Lebih lanjut diketahui bahwa pemberian metformin menyebabkan penurunan level insulin dan androgen puasa pada wanita dengan SOPK. 

Berkenaan dengan ovulasi, dalam sebuah studi pada tahun 1998 dilaporkan bahwa pretreatmen dengan metformin yang diteruskan dengan terapi dengan klomifen terbukti mampu meningkatkan ovulasi. Sedangkan studi lain menyatakan bahwa terapi metformin efektif meningkatkan frekuensi ovulasi. Penambahan terapi metformin pada terapi klomifen meningkatkan tingkat ovulasi kumulatif dibandingkan dengan terapi klomifen saja, namun tingkat kelahiran hidup pada kelompok pasien yang diterapi dengan klomifen plus metformin atau hanya klomifen adalah sebanding.

Berkenaan dengan diabetes, uji klinis yang dilakukan oleh  Indian Diabetes Prevention Programme (IDPP-1) dan U.S. Diabetes Prevention Program (DPP) telah menunjukan bahwa penggunaan metformin dapat menurunkan resiko relatif perkembangan penyakit diabetes melitus tipe 2 pada kelompok pasien yang awalnya telah mengalami toleransi glukosa. 

Penggunaan Klinis


Pendekatan terapi SOPK sangat tergantung pada kondisi pasien dan dokter yang menanganinya. Bagi sebagian wanita, masalah infertilitas adalah isu utama. Pasien dengan infertilitas sering kali diberikan terapi jangka pendek dengan klomifen, untuk menginduksi ovulasi. Sedangkan untuk pasien SOPK yang tidak sedang menginginkan kehamilan, terapi jangka panjang dengan kontrasepsi estrogen-progestin dengan atau tanpa terapi antiandrogen seperti spironolakton merupakan terapi andalan. Pendekatan terapi tersebut terbukti efektif untuk tujuan terapi SOPK, termasuk dalam upaya mengurang kelebihan efek kelebihan androgen, memulihkan keteraturan menstruasi dan mencegah hiperplasia endometrium. Efek kelebihan androgen dapat berupa:
  • Hirsutisme: munculya rambut pada bagian tubuh perempuan yang biasanya tidak ditumbuhi rambut seperti dibawah dagu atau diatas bibir.
  • Kebotakan pada pria
  • Munculnya jerawat
Ketidakteraturan metabolisme trkait dengan SOPK, kiranya diperlukan suatu upaya terapi jangka panjang yang tidak hanya difokuskan pada upaya mengurangi efek androgen namun juga untuk mengendalikan kondisi resistensi insulin sehingga dapat mencegah perkembangan penyakit diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Pengaruh kontrasepsi estrogen-progestin terhadap toleransi glukosa masih kontroversial. Sebuah studi terbatas jangka pendek menunjukan bahwa penggunaan kontrasepsi estrogen-progestin memperburuk kondisi resistensi insulin dan toleransi glukosa pada wanita dengan SOPK. Penggunaan agen kontrasepsi tersebut juga dikaitkan dengan peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler pada populasi wanita pada umumnya, dan resikonya pada wanita dengan SOPK belum diketahui.

Metformin telah secar luas diketahui mampu meningkatkan sensitivitas insulin serta memperlambat perkembangan penyakit diabetes melitus tipe 2 pada kelompok pasien dengan gangguan toleransi glukosa. Meskipun belum diketahui secara jelas apakah metformin dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler pada pasien dengan SOPK, namun penggunaan metformin ini telah terbukti memberikan perlindungan terhadap kardiovaskuler yang dikibatkan oleh resistensi insulin dan kelebihan insulin. Selain itu metformin juga dapat mengurangi sirkulasi androgen dan lebih lanjut mampu meningkatkan ovulasi serta memperbaiki siklus menstruasi, maka meskipun FDA belum menyetujui penggunaan metformin pada terapi SOPK, namun dalam prakteknya metformin sering digunakan untuk tujuan tersebut.

Untuk meminimalkan efek samping, terapi metformin sebaiknya dimulai pada dosis rendah dan dikonsumsi bersama makanan. Dosis kemudian ditingkatkan. Dalampraktek biasanya dosis dimulai dengan 500 mg metformin sekali sehari dan biasanya bersamaan dengan makan malam, selama satu minggu, dosis kemudian ditingkatkan menjadi 500 mg dua kali sehari, pada saat sarapan dan makan malam, selama 1 minggu, dosis kemudian ditingkatkan lagi yaitu 500 mg pada saat sarapan dan 1000 mg pada saat makan malam, selama 1 minggu, dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg dua kali sehari yaitu pada saat sarapan dan makan malam. Dari studi belum diketahui dosis optimal metformin untuk terapi SOPK, namun dengan menggunakan ukuran hemoglobin terglikasi, dosis optimal metformin adalah 2000 mg perhari.

Metformin tidak boleh digunakan pada wanita dengan gangguan fungsi ginjal, disfungsi hati, gagal jantung kongestif berat, dan adanya riwayat penyalahgunaan alkohol. Pemberian metformin pada wanita muda dengan SOPK dikontraindikasikan. Terapi dengan metformin ini dapat diulang selama penggunaannya tidak dikontraindikasikan. 

Pasien yang sedang diterapi dengan metformin juga seharusnya melakukan diet penurunan berat badan dan olahraga secara teratur. Intervensi tersebut akan sangat bermanfaat sebagai upaya pencegahan perkembangan diabetes melitus. Selain itu, penurunan berat badan juga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya ovulasi karena adanya peningkatan sensitivitas insulin.

Pasien juga sebaiknya memantau keteraturan menstruasinya, sehingga dapat diketahui kondisi kesuburan pasien tersebut. Kontrasepsi oral dan agen antiandrogen sebaiknya tidak diberikan pada awal terapi dengan metformin, karena dapat mempengaruhi siklus menstruasinya atau level androgen serum dapat mengacaukan penilaian terhadap efikasi metformin. Eflornithine topikal dapat diresepkan untuk mengatasi hirsutisme pada wajah.

Tindk lanjut tindakan dapat dilakukan pada 3 dan 6 bulan sejak dimulainya terapi. Sikulus menstruasi dan kadar testosteron serum harus selalu dipantau pada setiap kali kunjungan ke dokter. Pada setiap menstruasi harus dipastikan ada tidaknya ovulasi dengan cara mengukur kadar progesteron serum pada 7 hari sebelum onset menstruasi berikutnya. Kadar progesteron serum yang lebih dari 40 ng/ml menunjukan adanya fase luteal dan ovulasi.

Setelah 6 atau 9 bulan terapi, dilakukan penilaian efektivitas metformin. Jika siklus menstruasi dan ovulasi mengalami perbaikan maka terapi dapat dilanjutkan. Bagi beberapa wanita, pengobatan dengan metformin saja sudah mencukupi. Namun dalam beberapa kasus dimana hirsutisme sangat mengganggu maka agen kontrasepsi oral, antiandrogen, atau keduanya dapat ditambahkan pada terapi metformin. 




Senin, 21 Januari 2013

SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET (UV) DAN VISIBEL



Radiasi elektromagnetik adalah energi yang merambat dalam bentuk gelombang. Sinar ultraviolet (UV) dan sinar tampak (visibel/vis) merupakan contoh radiasi elektromagnetik tersebut. Ada beberapa istilah yang terlebih dahulu harus diketahui sehubungan dengan radiasi elektromagnetik ini, diantaranya panjang gelombang, frekuensi dan energi. Panjang gelombang merupakan jarak linier dari suatu titik pada satu gelombang ke titik yang bersebelahan pada gelombang yang berdekatan. Dimensi panjang gelombang dapat dinyatakan dalam berbagai satuan panjang seperti sentimeter (cm), mikrometer (µm), nanometer (nm), dan angstrom (Å).
1 angstrom = 10-8 cm
1 nanometer = 10-7 cm

Satuan nm merupakan satuan yang paling sering digunakan untuk menyatakan panjang gelombang. Lambda (λ) merupakan simbol yang umum digunakan untuk menotasikan panjang gelombang. Sedangkan frekuensi merupakan banyaknya gelombang yang melewati suatu titik tertentu dalam satuan waktu.

Hubungan kuantitatif antara energi yang dimiliki oleh suatu radiasi elektromagnetik, frekuensi dan panjang gelombang dapat dituliskan dengan persamaan:

       E = h.v.......................(1)

       v = c/λ.......................(2)

Dari persamaan 1 dan 2 diatas dapat diperoleh persamaan

      E = hc/λ

dimana:
E = energi radiasi
h = tetapan planck (6,626 x 10-34 joule)
c = kecepatan cahaya yang nilainya 2,998 x 1010 cms-1
λ = panjang gelombang

Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sedangkan sinar tampak mempunyai penjang gelombang antara 400-750 nm.

Warna sinar tampak dapat dihubungkan dengan panjang gelombangnya. Sinar putih mengandung radiasi pada semua panjang gelombang di daerah sinar tampak. Radiasi monokromatik hanya akan menghasilkan satu sinar tampak.

Penyerapan Radiasi Oleh Molekul


Semua molekul mempunyai energi yang dapat digambarkan menjadi beberapa fenomena. Setiap molekul dapat bergerak:
  • Gerak translasi, yaitu gerakan yang terjadi dimana suatu molekul bergerak secara keseluruhan. Energi yang berhubungan dengan gerak translasi disebut energi translasional (Etrans)
  • Gerak vibrasi, yaitu gerakan dilakukan oleh sebagian dari molekul ( atom atau sekelompok atom). Energi yang berhubungan dengn gerak vibrasi disebut energi vibrasional (Evib)
  • Molekul dapat berotasi pada sumbunya dan rotasi ini dikarakterisasi dengan energi rotasional (Erot )
  • Suatu molekul juga memiliki konfigurasi elektronik yang besarnya energi elektronik (Eelek) ini tergantung pada keadaan elektronik molekul.
Energi suatu molekul merupakan hasil penjumlahan dari semua energi tersebut:

   E = Etrans + Evib + Erot + Eelek

Komponen-komponen energi tersebut dapat dianggap memiliki nilai tertentu dan dikatakan terkuantisasi. Level energi suatu molekul berhubungan erat dengan struktur molekulnya. Hampir tidak 2 molekul yang memiliki energi vibrasional, rotasional dan elektronik yang identik.

Jika suatu molekul bergerak dari suatu tingkat energi  ke tingkat energi yang lebih rendah maka beberapa energi akan dilepaskan. Energi tersebut dapat hilang sebagai radiasi dan dapat dikatakan telah terjadi emisi radiasi. Jika suatu molekul dikenai radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai sehingga energi molekul tersebut ditingkatkan ke tingkat energi yang lebih tinggi, maka terjadi peristiwa penyerapan (absorpsi) energi oleh molekul. Agar terjadi absorpsi, perbedaan energi antara dua tingkat energi harus setara dengan energi foton yang diserap, atau sesuai persamaan:

    E2 - E1 = hv

dimana:
E1 = Energi pada tingkat yang lebih rendah
E2 = Energi pada tingkat yang lebih tinggi
v   = frekuensi foton yang diabsorpsi

Banyaknya radiasi yang diserap oleh suatu molekul dapat diukur. Grafik yang menghubungkan antara banyaknya sinar yang diserap dengan frekuensi ( atau panjang gelombang) sinar disebut spektrum absorpsi (jamak; spektra). Transisi yang dibolehkan untuk suatu molekul dengan struktur kimia tertentu akan berbeda dari molekul lainnya, sehingga spektrum serapannya juga berbeda. Dengan demikian spektrum serapan molekul ini dapat dijadikan sebagai informasi analisis. Banyaknya sinar yang diabsorpsi sebanding dengan banyaknya molekul yang menyerap radiasi, sehingga spektrum absorpsi dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.

Kromofor merupakan semua gugus atau atom dlaam senyawa organik yang mampu menyearp sinar ultraviolet atau sinat tampak. Kromofor ini ditandai dengan adanya gugus alkena, alkun, karbonil, karboksil, amido, azo, nitro, nitroso dan nitrat. Selain adanya kromofor, pada molekul organik juga dikenal istilah auksokrom yang merupakan gugus fungsional yang mempunya pasangan elektron bebas/elektron menyendiri/elektron yang tak berikatan, seperti: -OH, -O, -NH2 dan lain-lain.

Aspek Kualitatif dan Kuantitatif Spektrofotometri UV-Vis


Spektrum serapan UV-vis dapat digunakan dalam analisis kualitatif maupun kuantitatif.

Aspek Kualitatif
Data spektrum serapan UV-Vis tersendiri tidak dapat digunakan untuk keperluan identifikasi kualitatif suatu molekul obat maupun metabolitnya. Namun bila data tersebut digabungkan dengan metode lainnya seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnetik inti, atau spektroskopi massa maka akan dapat digunakan untuk keperluan identifikasi senyawa. Data yang diperoleh dari spektrofotometri UV-Vis adalah:
  • panjang gelombang serapan maksimum
  • intensitas
  • efek pH
  • dan pelarut
dimana data tersebut dapat digunakan dalam analisis dengan membandingkannya dengan data literatur. Dari data spektrum dapat diketahui:
  1. Apakah serapan berubah atau tidak akibat adanya perubahan pH. Lebih lanjut jika perubahan terjadi apakah perubahannya bersifat batokromik, hipsokromik, hipokromik atau hiperkromik.
  2. Apakah molekul bersifat netral (misal; kafein, kloramfenikol) atau mengandung auksokrom (misal; amfetamin, siklizin)
Aspek Kuantitatif
Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang persatuan waktu. Hubungan kuantitatif spektrum serapan molekul dapat ditulis dengan persamaan:

     A = abc

dimana:
A = absorban
a  = absorptivitas
b  = tebal kuvet (cm)
c  = konsentrasi

Persamaan diatas dikenal dengan hukum Lambert-Beer. Absorptivitas merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet, dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang gelombang radiasi.

Hukum Lambert-Beer berlaku jika:
  1. Sinar yang digunakan dianggap monokromatis
  2. Penyerapan terjadi pada suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama
  3. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap komponen lain dalam larutan tersebut
  4. Tidak terjadi fluoresensi atau fosforisasi
  5. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan
Dalam analisis kuantitatif, spektrofotometri UV-Vis dapat digunakan dalam analisis zat tunggal (satu komponen) atau pun untuk analisis campuran 2 atau lebih zat (multi komponen).

Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Analisis Spektrofotometri UV-Vis


Dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis dalam analisis, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Terutama bila analisis dilakukan terhadap zat-zat yang yang tak berwarna dan akan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometri visibel, maka zat tersebut terlebih dahulu harus direaksikan menjadi zat yang berwarna.

Pembentukan Molekul yang Dapat Menyerap Sinar UV-Vis
Pengubahan suatu molekul menjadi molekul lain yang dapat menyerap didaerah UV atau visibel perlu dilakukan terutama bila molekul tersebut tidak menyerap didaerah UV atau visibel. Cara yang dapat digunakan untuk keperluan ini adalah mereaksikan molekul tersebut dengan pereaksi tertentu. Pereaksi yang digunakan harus memenuhi persyaratan berikut:

  1. Reaksinya selektif dan sensitif
  2. Reaksinya cepat, kuantitatif dan reprodusibel
  3. Hasil reaksi stabil dalam jangka waktu yang lama
Keselektifan suaru pereaksi dapat dinaikan dengan cara melakukan pengaturan pH, pemakaian masking agent, atau penggunaan teknik ekstraksi. Naftil etilen diamin (NED) adalah contoh pereaksi yang sering digunakan untuk mereaksikan obat-obat golongan sulfonamida melalui reaksi diazotasi menghasilkan suatu molekul yang berwarna sehingga dapat dianalisis dengan menggunakan spektrofotometri visibel.

Waktu Operasional
Cara ini biasa digunakan untuk pengukuran hasil reaksi atau pembentukan warna. Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan.

Pada saat awal terjadi reaksi, absorbansi senyawa yang berwarna ini meningkat sampai waktu tertentu hingga diperoleh absorbansi yang stabil. Semakin lama waktu pengukuran, maka ada kemungkinan senyawa berwarna tersebut menjadi rusak atau terurai sehingga intensitas warnanya turun akibatnya absorbansinya juga turun. Karena alasan itulah maka pengukuran senyawa berwarna yang dihasilkan dari suatu reaksi harus dilakukan pada saat waktu operasional.

Pemilihan Panjang Gelombang
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang serapan maksimum. Panjang gelombang serapan maksimum ini dipilih karena:
  1. Pada panjang gelombang serapan maksimum, kepekaannya juga maksimum karena pada panjang gelombang tersebut perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
  2. Disekitar panjang gelombang serapan maksimum, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi
  3. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang serapan maksimum.
Pembuatan Kurva Baku
Kurva baku dibuat dari pengukuran satu seri larutan baku zat yang akan dianalisis. Masing-masing larutan baku tersebut kemudian diukur absorbansinya, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan absorbansi (y) dengan konsentrasi (x). Hukum Lambert-Beer terpenuhi bila kurva berbentuk garis lurus.

Pembacaan Absorbansi Sampel
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometri hendaknya berada pada kisaran 0,2 hingga 0,8 atau 15%-70% jika dibaca sebagai transmitan.





Sumber
Kimia Farmasi Analisis. Prof. Dr. Ibnu Gholib Gandjar, DEA., Apt; Abdul Rohim, M.Si., Apt.




Jumat, 18 Januari 2013

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS



Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu teknik pemisahan komponen-komponen tunggal dari campuannya. Kromatografi merupakan sebuah teknik pemisahan suatu komponen dari campurannya dengan memanfaatkan fakta bahwa setiap komponen/zat/analit dalam suatu campuran akan cenderung bergerak pada kecepaan yang berbeda sepanjang permukaan datar bersalut. Perbedaan kecepatan pergerakan masing-masing komponen dalam suatu campuran diakibatkan adanya perbedaan interaksi antara komponen tersebut dengan permukaan datar bersalut (fase diam) yang dilewatinya, dibandingkan dengan kecenderungannya untuk bergerak bersama cairan yang melaluinya (fase gerak).

KLT merupakan teknik kromatografi yang paling mudah pengerjaannya dan paling banyak digunakan. Dalam teknik ini hanya diperlukan adanya sebuah fase diam, yaitu selembar kaca atau plastik yang dilapisi dengan lapisan zat padat tertentu yang sesuai, dimana setetes kecil sampel yang akan dianalisis ditotolkan diatasnya. Selain fase diam, fase gerak dibutuhkan sebagai larutan pengembang. Sampel yang telah ditotolkan pada permukaan fase diam kemudian dikembangkan dalam larutan pengembang (eluen). Cahaya ultraviolet (UV) diperlukan untuk menentukan lokasi bercak. 

Berbagai perlakuan eksperimental yang dapat dilakukan pada analisis KLT ini diantaranya berhubungan dengan:
  • Pemilihan pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel
  • Pemilihan adsorben yang digunakan untuk melapisi plat KLT
  • Ketebalan lapisan adsorben pada plat KLT
  • Jumlah relatif sampel yang dianalisis
  • Pemilihan pengembang (eluen)
Dalam setiap analisis KLT yang dilakukan untuk menganalisa suatu sampel pada kondisi eksperimental tertentu, setiap analit/komponen akan menghasilkan jarak bercak yang relatif tetap bila dibandingkan dengan jarak pengembangannya. Rasio jarak tempuh suatu analit terhadap jarak tempuh pengembang disebut Rf. Rf dapat disebut sebagai retardation factor atau ratio to front, yang dinyatakan dalam bilangan pecahan desimal dan dapat ditentukan nilainya dengan persamaan:

                     Rf = jarak tempuh analit/ jarak tempuh pengembang

Nilai Rf suatu zat atau komponen akan tetap sepanjang pengukurannya dilakukan dengan kondisi percobaan dengan spesivisitas yang sama.


Kamis, 10 Januari 2013

IDENTIFIKASI ANTIHISTAMIN


Antihistamin adalah sekelompok obat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histmin terhadap tubuh dengan cara memblok reseptor histamin (melalui penghambatan kompetitif). Reseptor histamin dibedakan menjadi reseptor H1 dan H2, sehingga antihistamin juga dibedakan menjadi 2 yaitu antihistamin yang mengantagonis reseptor H1 dan antihistamin yang mengantagonis reseptor H2. 

Antihistamin H1 atau antihistaminika klasik mengantagonis reseptor H1 dengan jalan memblok reseptor H1 yang banyak terdapat pada otot polos, bronkus, saluran cerna dan kandung kemih. Antihistamin H1 lebih lanjut diklasifikasikan sebagai antihistamin H1 generasi pertama, seperti: prometazin, difenhidramin, dan siproheptadin, dan antihistamin H2 seperti: terfenadin, loratadin, dan setirizin. Sedangkan antihistamin H2 diantaranya adalah ranitidin, famotidin dan simetidin.

Prometazin

Rumus Struktur Prometazin

Prometazin merupakan antihistamin generasi pertama yang termasuk dalam kelompok fenotiazin. Prometazin juga memiliki efek antiemetik dan antikolinergik. Selain itu prometazin juga memiliki efek sedatif yang cukup kuat. 

Prometazin HCl merupakan senyawa kimia yang berbentuk serbuk kristal kekuningan yang praktis tidak berbau. Kontak yang cukup lama prometazin dengan udara dapat mengakibatkan terjadinya reaksi oksidasi yang menyebabkan perubahan warna prometazin menjadi biru. Prometazin-HCl sangat mudah larut dalam air dan agak sukar larut dalam alkohol. Prometazin yang beredar dipasaran adalah prometazin dalam bentuk campuran rasemat.

Cara identifikasi prometazin menurut FI IV:
  • Spektrum serapan infra merah. Sampel didispersikan dalam kalium bromida.
  • Menunjukan adanya reaksi klorida seperti tertera pada uji identifikasi umum
Cara lain untuk identifikasi dapat dilakukan dengan:
  • KLT
  • KCKT
Difenhidramin
Struktur Dfenhidramin

Difenhidramin merupakan antihistamin generasi 1 yang memiliki efek antikolinergik, antitusif, antiemetik, dan sedatif. 

Siproheptadin
Rumus Struktur Siproheptadin

Ranitidin
Rumus Struktur Ranitidin

Ranitidin merupakan salah satu antihistamin H2 yang efektif menghambat sekresi asam lambung. Ranitidin memberikan hasil pengujian positif palsu pada pengujian metamfetamin. 

Identifikasi ranitidin:
  • Absorpsi serapan inframerah
  • Absorpsi ultraviolet
  • Kromatografi











Rabu, 09 Januari 2013

DIAGNOSIS DAN TREATMEN BATUK



Batuk merupakan salah satu gejala penyakit yang paling umum pada pasien yang memerlukan perhatian dokter umum atau pun pulmonologist. Batuk dapat bersifat ringan hingga parah dan dapat sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Ulasan ini akan mengungkapkan bagaimana penanganan batuk pada orang dewasa. 


Batuk umumnya diklasifikasikan menurut durasinya. Memperkirakan durasi batuk merupakan langkah awal untuk mempersempit kemungkinan diagnosa. Ada banyak kontroversi bagaimana menentukan kronisitas batuk. Batuk diklasifikan ke dalam tiga kelompok menurut durasinya. Batuk akut didefinisikan sebagai batuk yang berlangsung selama kurang dari 3 minggu. Batuk subakut merupakan batuk yang berlangsung selama 3-8 minggu, sedangkan batuk yang berlangsung lebih dari 8 minggu diklasifikasikan sebagai batuk kronis.

Batuk Akut


Diagnosis batuk akut dapat ditentukan dengan melakukan pendekatan klinis berdasarkan uji terapi empiris. Penelusuran riwayat dan pemeriksaan fisik harus dilakukan. Hingga saat ini belum ada studi tentang spektrum dan frekuensi batuk akut, pengalaman klinis menunjukan bahwa penyebab paling umum dari batuk akut adalah infeksi saluran pernafasan atas seperti halnya flu, sinusitis bakterial akut, pertusis, eksaserbasi penyakit paru obstruksi kronis, rhinitis alergi dan rhinitis yang disebabkan oleh iritasi lingkungan. 

Infeksi virus pada saluran pernafasan atas merupakan penyebab terbanyak terjadinya batuk akut. Pada kondisi tanpa pengobatan, prevalensi batuk akut yang disebabkan oleh cuaca dingin sekitar 83% pada kurun waktu 48 jam pertama dan sekitar 26% pada hari ke 14. Batuk ini timbul akibat adanya stimulasi refleks batuk pada saluran pernafasan atas melalui tindakan postnasal drip atau bersihan tenggorokan atau kombinasi keduanya.

Batuk akut dapat dinyatakan disebabkan oleh flu biasa jika gejala batuk tersebut hadir bersama dengan gejala-gejala lain yang terkait terutama pada daerah hidung. Gejala lain tersebut diantaranya rhinorhea, hidung tersumbat, bersin dan postnasal drip, dengan atau tanpa demam, lakrimasi, dan iritasi tenggorokan. Pada kondisi ini, pemeriksaan dada menunjukan tidak adanya abnormalitas. Radiografi tidak diperlukan, umumnya radiografi menunjukan hasil yang normal.

Untuk mengobati batuk yang disebabkan oleh flu biasa, sebaiknya digunakan terapi yang telah terbukti efektif pada sebuah studi acak, double-blind, terkontrol plasebo yaitu dengan menggunakan agen deksbromfeniramin yang dikombinasikan dengan pseudoefedrin dan naproksen. Selain itu ipratropium intranasal juga akan membantu mengatasi rhinorhea dan bersin akibat flu, dan obat ini mungkin akan sangat membantu pada kondisi pasien yang tidak dapat memtolerir antihistamin generasi lama atau naproksen. Dan tidak ada bukti yang mendukung bahwa pemberian kortikosteroid intranasal atau sistemik atau tablet hisap zink memberikan efek menguntungkan pada kondisi ini. Selain itu pula pemberian antihistamin H1 nonsedasi semisal loratadin baik sebagai agen tunggal atau dikombinasikan dengan dekongestan telah terbukti tidak efektif untuk menangani batuk. 

Sedangkan pada kondisi batuk yang disebabkan oleh pelepasan histamin seperti yang terjadi pada rhinitis alergi, pemberian antihistamin H1 akan menguntungkan. Namun dalam kondisi alergi, menghindari alergen merupakan tindakan terapi yang terbaik.

Flu adalah rhinosinusitis virus yang secara klinis akan sulit membedakannya dengan sinusitis bakteri. Rhinosinusitis virus lebih umum, maka penggunaan antibiotik direkomendasikan hanya jika gejala gagal menunjukan perbaikan ketika diobati dengan antihistamin dan dekongestan dan jika seorang pasien tersebut memiliki sekurang-kurangnya 2 dari gejala berikut:
  1. Sakit gigi pada rahang bagian atas
  2. Sekret nasal yang purulen
  3. Temuan adanya abnormalitas pada transluminasi dari setiap sinus
  4. Perubahan warna hidung
Panduan terapi untuk batuk akut dapat dilakukan dengan mengikuti panduan berdasarkan penyebabnya sebagai berikut:
Flu; 
  • deksbromfeniramin 6 mg dan pseudoefedrin 120 mg, dua kali sehari selama 1 minggu, atau 
  • naproksen 500 mg sebagai loading dose kemudian 500 mg tiga kali sehari selama 5 hari, atau
  • ipratropium 0,06% intranasal 2-4 mikrogram perlubang hidung 3-4 kali sehari selama 4 hari
Rhinitis alergi;
  • Hindari alergen
  • Loratadin 10 mg sekali sehari
antihistamin H1 oral lainnya, kromolin nasal, kortikosteroid dan azelastin juga dapat membantu.

Sinusitis bakterial akut
Deksbromfeniramin 6 mg dan pseudoefedrin 120 mg, 2 kali sehari selama 2 minggu, oksimetazolin 2 semprotan 2 kali sehari selama 5 hari, dan antibiotik ditujukan untuk eradikasi Haemophylus influenzae dan Streptococcus pneumoniae.

Eksaserbasi Penyakit paru obstruksi kronis
  • Antibiotik ditujukan untuk eradikasi H. influenzae dan S. penumoniae selama 10 hari. 
  • Kortikosteroid sistemik diberikan selama periode 2 minggu. 
  • Berikan juga oksigen kontinue jika PaO2 <55 mm Hg atau SaO2 <88%. 
  • Ipratorium 2xhisap 18 mikrogram, ditambah albuterol 2xhisap 90 mikrogram, 4 kali sehari.
  • Hentikan kebiasaan merokok 
Pemilihan antibiotik tergantung pada banyak faktor. Penggunaan kortikosteroid dimulai dengan pemberian metilprednisolon 125 mg setiap 6 jam selama 72 jam kemudian diikuti prednisolon 60 mg/hari selama 4 hari, 40 mg/hari selama 4 hari dan 20 mg/hari selama 4 hari. Peresepan oksigen bertujuan untuk meningkatkan PaO2 hingga 60-80 mm Hg saat istirahat (SaO2 >90%), oksigen tambahan 1 liter/menit perlu diberikan saat olahraga atau tidur.

Infeksi Bordettela pertusis
Eritromisin 4x500 mg selama 14 hari, atau jika alergi maka dapat diberikan kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol 160 mg-800 mg, 2 kali sehari selama 14 hari.


Batuk Subakut


Untuk mendiagnosis penyebab batuk subakut sebaiknya didasarkan pada pendekatan klinis berdasarkan uji terapi empiris dan pengujian laboratorium terbatas. Jika batuk subakut tidak dihubungkan dengan infeksi saluran pernafasan, maka pasien sebaiknya diobservasi sebagaimana halnya pasien dengan kondisi batuk kronis. Untuk batuk yang dimulai dengan adanya infeksi saluran pernafasan atas dan telah berlangsung selama 3-8 minggu, kondisi penyebab yang paling umum adalah batuk pasca infeksi, sinusitis bakteri dan asma.

Batuk pasca infeksi didefinisikan sebagai batuk yang dimulai dari adanya infeksi saluran pernafasan bagian atas oleh pneumonia yang tidak kompleks (foto thoraks menunjukan hasil normal) yang pada akhirnya sembuh tanpa pengobatan. Batuk ini mungkin disebabkan oleh adanya drip postnasal atau bersihan tenggorokan karena rhinitis, trakheobronkhitis atau keduanya, dengan atau tanpa transient bronchial hyperresponsiveness

Sedangkan jika batuk yang dialami pasien disertai dengan mengi, ronki, atau gemericik pada saat pemeriksaan, maka harus dilakukan pemeriksaan rontgen dada. Jika hasil rontgen normal, maka pasien sebaiknya diterapi dengan bronkodilator dan kortikosteroid. Penggunaan antibiotik dapat direkomendasikan jika kemudian ditemukan adanya kemungkinan infeksi B. pertusis.

Panduan terapi batuk subakut adalah:
Batuk subakut akibat pasca infeksi
  • Deksbromfeniramin ditambah pseudoefedrin selama 1 minggu, atau ipratropium (0,06%) semprot hidung selama 1 minggu
  • Ipratropium 4x semprot 18 mikrogram 4 kali sehari selama 1-3 minggu
  • Kortikosteroid sistemik selama 2-3 minggu
  • Antitusiv sentral
Dosis awal kortikosteroid adalah 30-40 mg/hari (setara) selama 3 hari. Sedangkan untuk kondisi batuk yang berlaru-larut dan sangat merepotkan maka dapat direkomendasikan penggunaan dekstrometorfan dan kodein. 

Batuk akibat Infeksi B. pertussis
Eritromisin selama 14 hari, atau jika pasien alergi terhadap eritromisin maka dapat digunakan kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol (kotrimoksazol). 

Batuk subakut akibat sinusitis bakterial subakut
  • Deksbromfeniramin plus pseudoefedrin selama 3 hari
  • Oksimetazolin selama 5 hari
  • Antibiotik untuk eradikasi H. influenzae dan S. pneumoniae
Asma
  • Beklometason 4x semprot 42 mikrogram, 2 kali sehari
  • Albuterol 2x semprot 90 mikrogram, sesuai kebutuhan maksimum 4 kali sehari

Batuk Kronis


Batuk kronis, yaitu batuk yang berlangsung selama lebih dari 8 minggu dapat disebabkan oleh berbagai penyakit. Evaluasi sistematis sangat diperlukan untuk menilai kemungkinan penyebab yang paling umum dengan cara uji coba terapi secara empiris, serta uji coba terapi menghindari iritan dan obat-obatan tertentu yang dibarengi dengan pengujian laboratorium terfokus seperti radiografi dada dan pengujian metakolin yang kemudian diikuti dengan pengujian dan konsultasi pada spesialis.

Dalam berbagai studi diketahui bahwa batuk kronis dapat dihasilkan karena sindrom postnasal drip, sinusitis hidung, asma, enyakit gastroesophageal refluks, bronkhitis kronis yang disebabkan kebiasaan merokok atau iritan lainnya, atau penggunaan ACE inhibitor terjadi pada sekitar 95% pasien. Sedangkan pada sekitar 5% kasus lainnya, batuk kronis dapat disebabkan oleh karsinoma bronkogenik, karsinomatosis, sarkoidosis, kegagalan ventrikel kiri, dan disfungsi faring. 

Panduan terapi batuk kronis berdasarkan penyebabnya adalah sebagai berikut:
Sindrom postnasal drip rhinitis nonalergik

  • Deksbromfeniramin plus pseudoefedrin selama 3 minggu, atau
  • Ipratropium (0,06%) semprot hidung selama 3 minggu
Dosis sama dengan pada terapi batk yang disebabkan oleh flu biasa. Perbaikan harus mulai terjadi pada hari ke 2-7 setelah dimulainya terapi. Inisiasi terapi dengan kortikosteroid hidung atau antagonis reseptor H1 generasi kedua mungkin hasilnya akan minim. 

Rhinitis Alergik
  • Menghindari alergen
  • Loratadin, 10 mg sekali sehari
Rhinitis vasomotor
  • Ipratropium 0,06% semprot hidung selama 3 minggu
Sinusitis bakterial kronis
  • Deksbromfeniramin plus pseudoefedrin selama 3 minggu
  • Oksimetazolin selama 5 hari
  • Antibiotik yang langsung ditujukan untuk eradikasi H. influenzae atau S. pneumoniae atau bakteri anaerob mulut
Asma
  • Beklometason inhaler
  • Albuterol inhaler jika perlu
Batuk diharapkan akan membaik dalam kurun waktu 1 minggu dan mungkin memerlukan waktu 6-8 minggu hingga pemulihan. Pemeliharaan jangka panjang dengan antiinflamasi mungkin juga diperlukan.

Penyakit gastroesophageal refluks
  • Modifikasi diet dan gaya hidup
  • Terapi penekanan asam
  • Terapi prokinetik
Terapi medis awal harus intensif meliputi: perubahan pola makan, pompa proton inhibitor, dan penggunaan agen prokinetik (misal metoklopramid). Terapi jangka panjang akan sangat diperlukan. Jika tidak ada perbaikan dalam 3 bulan, maka perlu diasumsikan bahwa kemungkinan kondisi tersebut tidak disebabkan oleh gastroesophageal refluks.

Bronkhitis kronis
  • Penghindaran iritan
  • Ipratropium, 2 kali semprot 18 mikrogram 4 kali sehari
Batuk akan menghilang pada sekitar 94-100% pasien yang melakukan penghentian kebiasaan merokok. Pada pasien yang tetap merokok, pemberian ipratropium akan membantu. 

Akibat penggunaan ACE inhibitor
  • Hentikan penggunaan ACE inhibitor
Pada batuk yang disebabkan penggunaan ACE inhibitor, batuk tidak berhubungan dengan dosis, penggantian obat lain dari kelas yang sama tidak akan membantu mengurangi gejala batuk. Dengan penghentian obat batuk akan membaik atau menghilang dalam kurun waktu kurang lebih 4 minggu. Sementara jika penggunaan ACE inhibitor terpaksa harus dilanjutkan, sulindak oral, indometasin, nifedipin, dan natrium kromolin akan mambantu. 

Bronkhitis eosinofilik
  • Budesonid inhaler, 400 mikrogram 2 kali sehari selama 14 hari



Sumber






.


Kamis, 03 Januari 2013

ANALISIS KUALITATIF XANTIN-BARBITURAT



Xantin


Xantin merupakan senyawa 2,6-dioksipurin atau 2,6-purinadion. Xantin merupakan suatu basa purin. Senyawa-senyawa yang termasuk dalam golongan xantin diantaranya adalah kafein, teofilin dan teobromin. Kafein merupakan senyawa golongan xantin yang memiliki efek psikotonik paling kuat.

Kafein merupakan alkaloid xantin berbentuk kristal, berasa pahit dan bekerja menghasilkan efek psikotonik dan diuretik ringan. Istilah kafein digunakan untuk merujuk senyawa pada kopi. Kafein juga banyak terdapat pada guarana, mate dan teh. 

Kafein

Teofilin

Teobromin



Data kelarutan kafein adalah sebagai berikut:
1:60 dalam air
1:75 dalam etanol
1:50 dalam aseton
1:8 dalam kloroform, dan
1:900 dalam eter

Identifikasi kafein:
Secara Kimia
  1. Tes asam amalik, terjadi perubahan warna dari orange menjadi violet
  2. Tes zwikker (5 tetes larutan sampel + 3 tetes pereaksi), terbentuk warna hijau-ungu
  3. Aqua brom, terbentuk warna jingga tidak stabil
  4. Larutan sampel dalam air + I2, tidak terbentuk endapan, ketika direaksikan dengan HCl terbentuk endapan coklat yang melarut saat ditambahkan NaOH
  5. Larutn sampel + larutan tanin, menghasilkan endapan putih yang melarut pada penambahan larutan tanin berlebih
  6. Dragendorf, terbentuk warna kuning-orange
Menurut FI IV
  1. Spektrum serapan inframerah
  2. 5 mg sampel dalam 1 ml asam klorida P dalam cawan porselen, ditambah dengan 50 mg kalium klorat P, diuapkan diatas tangas uap hingga kering. Balikkan cawan diatas bejana berisi beberapa tetes amonium hidroksida 6 N, sisa berwarna lembayung yang hilang dengan penambahan alkali kuat. 


Barbiturat


Asam barbiturat terjadi sebagai hasil kondensasi siklik asam malonat dengan urea. Akibat sifat keasamannya yang tinggi, asam barbiturat dalam organisme terdapat sebagi anion dan tidak dapat menembus sawar darah otak. Karena itu senyawa ini juga tidak memiliki efek hipnotik. Contoh senyawa golongan barbiturat ini diantaranya sekobarbital, aprobarbital, pentobarbital dan fenobarbital.

Fenobarbital

Pentobarbital

Identifikasi Fenobarbital:
Pemerian
Serbuk hablur putih, tidak berbau, tidak berasa, dapat terjadi polimorfisme, stabil diudara, pH larutan jenuhnya kurang lebih 5.

Kelarutan
  • 1 gram dalam 1000 ml air
  • 1 gram dalam 10 ml alkohol
  • 1 gram dalam 40 ml kloroform
  • 1 gram dalam 1 ml eter 
Identifikasi secara Kimia
  • Positif terhadap pereaksi parri
  • Dengan pereaksi zwikker, membentuk warna violet
  • Sampel dalam larutan air + larutan AgNO3, membentuk warna putih
  • Dengan pereaksi merkurium nitrat, membentuk warna hitam
  • Sampel + formalin + asam sulfat P, membentuk warna merah
Identifikasi menurut FI IV
  • Spektrum serapan infra merah
  • Waktu retensi puncak utama (HPLC)