Minggu, 29 Juli 2012

REVIEW JURNAL


JUDUL STUDI
"Atorvastatin Causes Insulin Resistance and Increase Ambient Glykemia in Hypercholesterolemic Patients"

INVESTIGATOR
  • Kwang Kon Koh
  • Michael J. Quon
  • Seung Hwan Han
  • Younghee Lee
  • Soo Jin Kim
  • Eak Kyun Shin
SPONSOR
Official CMS Industry Resources for the ICD-10 Transition

NAMA OBAT
  • Atorvastatin
TUJUAN STUDI
  1. Menginvestigasi apakah atorvastatin dapat menurunkan sensitivitas insulin dan meningkatkan ambang batas glukosa darah (glikemia) pada pasien hiperkolesterolemia.
  2. Menilai keamanan penggunaan atorvastatin pada pasien hiperkolesterolemia yang disertai diabetes melitus
METODE DAN DESAIN
  • Metode: randomisasi, double-blind, studi paralel terkontrol plasebo yang dilakukan pada 44 pasien menerima plasebo, 42 pasien menerima atorvastatin 10 mg, 44 pasien menerima atorvastatin 20 mg, 43 pasien menerima atorvastatin 40 mg dan 40 pasein menerima atorvastatin 80 mg, masing-masing selama 2 bulan
  • Pada tahap awal terdapat 248 pasien yang menjalani uji kelayakan
  • 28 pasien diantaranya dikecualikan karena 8 pasien tidak memenuhi kriteria dan 20 pasien mengundurkan diri
  • 220 pasien menjalani uji randomisasi
  • 176 pasien dinilai untuk menerima obat dan seluruh pasien tersebut dinyatakan layak, dan 44 pasien dinilai untuk menerima plasebo dan semuanya layak
  • 176 pasien yang menerima obat dibagi dalam 4 kelompok yaitu: 44 pasien menerima atorvastatin 10 mg namun kemudian 2 pasien mengundurkan diri sehingga tersisa 42 pasien pada kelompok ini. 44 pasien menerima atorvastatin 20 mg. 44 pasien menerima atorvastatin 40 mg, namun satu pasien dinyatakan tidak memenuhi syarat sehingga ada 43 pasien pada kelompok ini, dan selebihnya 44 pasien menerima atorvastatin 80 mg namun 3 pasien tidak dapat melanjutkan pengujian karena 2 pasien memiliki enzim liver yang tinggi dan 1 pasien mengalami myopati, sehingga hanya ada 40 pasien pada kelompok ini.
  • 18 pasien dari kelompok plasebo 18,18, 20 dan 18 pasien masing-masing dari kelompok atorvastatin 10, 20, 40 dan 80 mg merupakan penderita sindrome metabolik atau diabetes melitus tipe 2.
  • Efek obat diukur melalui uji laboratorium yaitu pengujian lipid, glukosa, adiponectin, high sensitivity C-Reactive Protein (hsCRP), insulin dan HbA1C
  • Kadar HbA1C diukur dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Variant II Turbo, BIO RAD Inc. Hercules California)
  • Quantitative Insuline-Sensitivity Check Index (QUICKI) dihitung dengan persamaan QUICKI=1/(log(insulin)+log(glukosa))
  • Data yang diperoleh dinyatakan sebagai rata-rata ± SD atau median dengan rentang 25%-75%
  • Dilakukan Student Paired t atau tanda Wilcoxon untuk membandingkan data kelompok uji atorvastatin dan baseline (dasar)
  • Analisis data dilakukan dengan I-Variant Analysis of Variance (ANOVA) atau Kruskel-Wallis Anova
  • Prosedur Newman-Keuls digunakan ketika hasil uji sebelumnya tidak ignifikan
KRITERIA SUBYEK
Kriteria Inklusi:
  1. Pasien dengan hiperkolesterolemia (level LDL Kolesterol ≥ 100 mg/dl)
  2. Pasien dengan sindrome metabolik
  3. Pasien hipertensi dan atau hiperlipidemia
  4. Pasien angina stable
Kriteria Eksklusi:

  1. Pasien tidak menderita penyakit liver, gagal ginjal kronis, hipotiroidism, myopati, diabetes melitus tak terkontrol, hipertensi berat, stroke, angina unstable, infark miokard akut, revaskularisasi koroner dalam 3 bulan terakhir
  2. Pasien bukan pengguna alkohol (penyalahgunaan alkohol)
  3. Pasien tidak menggunakan agen penurun lipid darah
  4. Pasien tidak sedang menjalani terapi penggantian hormon atau menggunakan suplemen vitamin antioksidan selama 2 bulan sebelum studi dimulai.
PARAMETER EVALUASI
Dari data lipid, glukosa, adiponectin, hsCRP, HbA1C dan insulin:
  1. Analisis Anova digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi pengaruh atorvastati terhadap kadar lipid, glukosa, adiponectin, hsCRP, HbA1C dan insulin dalam darah
  2. QUICKI untuk menganalisis sensitivitas insulin
HASIL STUDI
  1. Pada semua pasien tak ada perbedaan yang signifikan antara semua kelompok uji atorvastatin dari pengukuran parameter baseline
  2. Efek pada lipid. Kelompok plasebo menghasilkan sedikit penurunan level lipid total dan LDL-Kolesterol dibandingkan baseline.
  3. Kelompok uji atorvastatin 10, 20, 40 dan 80 mg menurunkan kadar lipid total secara signifikan, masing-masing menurunka kadar kolesterol total sebesar 28%, 34%, 40% dan 43%, trigliserida sebesar 2%, 10%, 22% dan 17%, LDL-Kolesterol sebesar 39%, 47%, 52% dan 56% dan level apolipoprotein B 33%, 37%, 42% dan 46% dari baseline (P< 0,001)
  4. Atorvastatin memiliki hasil yang lebih besar dibanding plasebo secara bermakna (P< 0,001)
  5. Efek pada hsCRP plasebo tidak memberikan perubahan signifikan pada kadar hsCRP dibanding baseline. Atorvastatin 10, 20, 40 dan 80 mg menurunkan kadar hsCRP secara bermakna dari baseline (P< 0.05) walaupun efek atorvastatin ini tidak signifikan dibandingkan plasebo (P= 0,535)
  6. Pada HbAIc, plasebo tidak memberikan perubahan yang signifikan pada kadar HbAIc, sedangkan atorvastatin 10, 20, 40 dan 80 mg secara signifikan meningkatkan kadar HbAIc masing-masing 2%, 5%, 5% dan 5% dibandingkan baseline (P<0,05). Atorvastatin juga memberikan efek pada HbAIc yang signifikan dibandingkan plasebo (P=0,008)
  7. Efek pada insulin atau level glukosa, kelompok plasebo tidak memberikan perubahan yang signifikan pada kadar insulin puasa ataupun level glukosa dibandingkan plasebo. Atorvastatin 10, 20, 40 dan 80 mg secara substansial meningkatkan level insulin puasa sebesar 25%, 42%, 31%, dan 45% (masing-masing P=0,222, P=0,01, P<0,001, dan P=0,005). Efek peningkatan insulin puasa signifikan dibandingkan plasebo (P=0,009).
  8. Efek pada adiponectin, atorvastatin tidak merubah kadar adiponectin secara signifikan dibanding baseline. Walaupun atorvastatin 10, 20, 40 dan 80 mg menurunkan level adiponectin masing-masing 4%, 10%, 3% dan 9% dibanding baseline (P=0,124, P=0,004, P=0,084 dan P=0,040). Efek penurunan adiponectin juga tidak signifikan (P=0,183)
  9. Efek pada sensitivitas insulin, atorvastatin 10, 20, 40 dan 80 mg menurunka sensitivitas insulin sebesar 1%, 3%, 3% dan 4% (P=0.312, P=0.008, P<0.001 dan P=0.008). Selain itu, dibandingkan plasebo efek penurunan sensitivitas insulin adalah signifikan (P=0.033)
  10. Besarnya prosentase perubahan HbAIc dan adiponectin tidak signifikan dan bervariasi pada berbagai variasi dosis yang diuji.
  11. Perubahan hsCRP, HbAIc, insulin, adiponectin dan resistensi insulin berhubungan dengan level lipoprotein, namun tidak ada korelasi yang signifikan.
  12. Efek pada pasien sindrome metabolik atau diabetes melitus tipe 2, dibandingkan dengan plasebo atorvastatin memberikan efek yang tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa sindrome metabolik atau diabetes melitus tipe 2.
KESIMPULAN
Atorvastatin secara signifikan dan konsisten meningkatkan level insulin puasa san hemoglobin terglikasi (HbAIc), resistensi insulin, serta ambang glikemia pada pasien dengan hiperkolesterolemia.


Minggu, 22 Juli 2012

PENGOBATAN MIGRAIN AKUT


ABSTRAK
MIGRAIN adalah suatu penyakit otak dengan gejala utama berupa rasa sakit yang berdenyut-denyut pada kepala yang sering kali disertai dengan fotofobia, fonofobia, mual dan muntah. Tujuan utama dari pengobatan migrain adalah untuk mengatasi serangan akut, mengobati gejala yang terkait dan mencegah serangan dimasa mendatang. Mayoritas penderita migrain masih berusia muda, mereka memerlukan perawatan yang sesuai dengan pekerjaan profesional mereka, waktu luang dan masalah reproduksi. Obat antimigrain non-spesifik seperti antiinflamasi nonsteroid (AINS), antiemetik, narkotika dan simpatomimetik biasanya membantu dalam mengatasi serangan ringan hingga sedang. Obat tertentu seperti triptan dan ergot berguna untuk mengatasi serangan sedang hingga berat. Pendekatan pengobatan dimulai dengan pilihan sederhana seperti analgesik dan dilanjutkan dengan pilihan agen nonsteroid, senyawa ergot dipersiapkan sebagai pilihan berikutnya sebelum akhirnya dipilih triptan bila semua agen sebelumnya tidak memberikan respon yang memadai. Dalam pendekatan perawatan bertingkat, pasien dan serangan migrain dikelompokan berdasarkan tingkat keparahan dan respon terapinya. Pasien dengan migrain parah diberi antimigrain khusus seperti triptan sedangkan pasien dengan cacat ringan diberi terapi analgesik. Saat ini triptan adalah antimigrain khusus yang paling banyak penggunaannya. Pada semua dosis yang dipasarkan triptan memberikan hasil yang efektif dan dapat ditoleransi dengan baik dibanding plasebo. Namun diantara semua triptan, rizatriptan 10 mg, eletriptan 80 mg dan almotriptan 12,5 mg memberikan kemungkinan keberhasilan terapi yang lebih besar dan konsisten. Triptan jarang dihubungkan dengan efek merugikan, insignifikansi ringan hingga sedang. Perlahan penggunaan ergot tergantikan oleh triptan. Hal ini disebabkan karena adanya efek samping yang merugikan, bioavailabilitas yang rendah, dan penggunaan yang berlebihan dapat mengakibatkan rasa sakit yang berkepanjangan.

PENGANTAR
Migrain merupakan penyakit pada otak. Gejala utama migrain adalah nyeri berdenyut-denyut pada kepala. Secara karakteristik nyeri kepala adalah hemikranial meski tak jarang pula ditemukan sakit kepala bilateral. Sakit kepala migrain sering pula disertai dengan disfungsi lain seperti fotofobia (hipersensitif terhadap cahaya), fonofobia (hipersensitif terhadap suara), mual dan muntah. Ada banyak variasi gejala dari satu pasien ke pasien lain dan dari serangan yang menyerang pada satu pasien yang sama. Tujuan utama pengobatan migrain akut adalah membatalkan serangan, mengobati gejala dan mencegah terjadnya serangan kembali.

Serangan migrain pada dasarnya terjadi dalam 4 fase yaitu:
  1. Fase pertama yaitu prodrome sebelum munculnya rasa sakit kepala, fase ini berlangsung 1 jam hingga beberapa hari sebelum munculnya sakit kepala. Fase ini ditandai dengan adanya perubahan mood (suasana hati), lekas marah, depresi atau euforia, kelelahan, menguap, mengantuk, makan makanan tertentu secara berlebihan (misal coklat), kaku otot (terutama dileher, diare atau sembelit, peningkatan buang air kecil, dll.
  2. Fase kedua yaitu aura. Merupakan disfungsi otak pendek yang biasanya mendahului sakit kepala.Visual aura adalah jenis yang paling umum terlihat pada migrain. Pasien biasanya mengalami gangguan visual dalam bentuk kilatan hitam dan putih atau garis-garis zigzag warna-warni. Gejala ini terus berkembang dan meluas selama 5-20 menit dan biasanya berlangsung kurang dari 60 menit. Bentuk-bentuk gejala lain juga dapat terjadi seperti halusinasi pendengaran atau penciuman, kesemutan, sensasi jarum di lengan, kaki dan wajah. Selain itu terjadi pula gejala bahasa seperti kesulitan dalam berbicara, menemukan kata-kata, dan penamaan. Gejala motorik yang terjadi dapat berupa kelemahan anggota badan. 
  3. Fase ketiga yaitu Aura yang diikuti dengan sakit kepala hebat yang berlangsung selama 4 jam hingga 3 hari. Sakit kepala biasanya berkembang semakin parah seiring waktu dan intensitas aktivitas. Sensitivitas abnormal juga kadang terjadi pada beberapa pasien dimana aktivitas seperti menyisir rambut dianggap membahayakan dan memperparah rasa sakit pada kepala (hal ini disebut "allodynia")
  4. Fase keempat yaitu fase postdrome, yaitu ketika pasien telah pulih dari sakit kepala, namun malaise umum dan kelelahan bertahan dalam beberapa waktu. 
Keempat fase tersebut tidak selalu hadir pada pasien yang mengalami serangan migrain. Paradigma pengobatan harus didasarkan pada fase-fase tersebut.

PATOFISIOLOGI YANG RELEVAN DENGAN PENGOBATAN MIGRAIN AKUT
Pada awalnya migrain dianggap sebagai sakit kepala vaskular sehingga menyiratkan adanya rasa sakit terutama yang diakibatkan oleh abnormalitas aliran darah pada daerah wajah dan otak. Hipotesis ini dianggap tak berlaku lagi. Saat ini, migrain lebih dianggap sebagai sakit otak dimana listrik yang tersebar didaerah otak mengalami perubahan atau yang disebut dengan istilah cortical spreading depresion (CSD), yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi atau disebut juga peradangan/inflamasi neurogenik. CSD kini dianggap sebagai mekanisme yang bertanggung jawab pada terjadinya aura migrain. Mediator inflamasi neurogenik mengaktivasi syaraf trigeminal, yaitu syaraf sensorik utama yang mensuplai kepala dan wajah. Ada kemungkinan bahwa pembuluh darah dan input nociceptive myofascial juga turut berkontribusi. Input nociceptive sangat termodulasi oleh inti kaudalis yang kemudian memproyeksikan ke talamus kemudian ke korteks dan menyebabkan terjadinya persepsi nyeri. Sensitisasi pusat pada neuron ini dianggap bertanggung jawab pada terjadinya allodynia yang terjadi dalam 40-60 menit. Oleh karena itu penting untuk memberikan triptan sebelum terjadinya sensitisasi neuron pusat tersebut. Dari segi neuro-biokimia, sistem serotonergik juga terlibat dalam pembentukan rasa sakit. Serotonin adalah salah satu neurotransmiter penting. Antimigrain spesifik bekerjanya tergantung pada reseptor serotonin. Memahami fakta-fakta tentang patogenesis migrain sangat penting untuk dapat menentukan pengobatan yang efektif pada pasien.

PRINSIP-PRINSIP UMUM DALAM PENGOBATAN MIGRAIN AKUT
Berikut adalah prinsip-prinsip umum dalam pengobatan migrain:
  1. Menetapkan diagnosis yang benar. Migrain pada dasarnya adalah diagnosis klinis. Memerinci sejarah pengobatan pasien adalah suatu keharusan. Dalam situasi yang khas seperti sakit kepala episodik yang berlangsung berjam-jam, distribusi hemikranial, berdenyut-denyut, adanya aura yang menyertai mual, muntah, fotofobia, fonofobia, adanya kejengkelan saat tidur, maka penetapan diagnosis harus lebih berhati-hati. Sedangkan ketika riwayat sakit kurang khas dimana pasien dengan segera merasakan sakit kepala atau ditemukannya abnormalitas neurologis pada pemeriksaan, maka studi pencitraan seperti CT Scan atau MRI diperlukan untuk menyingkirkan kelainan struktural yang menyerupai migrain. Penting juga untuk memahami bahwa sakit kepala migrain dapat terjadi bersamaan dengan sakit kepala lain yang bukan migrain. Pasien harus diberi pendidikan mengenai berbagai jenis sakit kepala karena pengobatannya yang bervariasi.
  2. Penggunaan buku harian sakit kepala. Buku harian sakit kepala dapat digunakan untuk menilai frekuensi, keparahan, durasi, gejala yang berhubungan dan obat-obat yang digunakan oleh pasien. Untuk menilai tingkat keparahan dan cacat, skala sakit yang tervalidasi dapat digunakan oleh pasien. Contohnya skor MIDAS atau HIT. Skor tersebut juga dapat mengindikasikan pengobatan sakit kepala yang berlebihan dengan menggunakan ergot atau triptan.
  3. Mendidik pasien. Untuk menjamin keberhasilan terapi migrain maka harus terjalin hubungan baik antara petugas kesehatan dengan pasien. Dokter harus menilai kebutuhan obat berdasarkan karakteristik sakit kepala, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dampak potensial atau aktual, dan kondisi kontraindikasi pada pasien. Penting untuk memberikan pemahaman bahwa terapi migrain akut bukan hanya berhubungan dengan resep obat tapi juga tentang penyakit itu sendiri.
  4. Menghindari pemicu. Migrain menstruasi terkait erat dengan fluktuasi hormon pemicu. Ada juga pemicu migrain lainnya yang umum. Daftar pemicu migrain dapat dilihat pada tabel berikut ini. Pasien harus disorong untuk membiasakan diri dengan pola hidup dengan makan secara teratur, tidur dan olahraga secara teratur pula. Migrain juga mungkin dipicu oleh praktek sosial budaya lokal seperti kebiasaan "mandi kepala" atau "mencuci rambut pada wanita india".
  5. Menetapkan tujuan yang tepat. Obat akut yang ideal harus membuat pasien bebas dari rasa sakit dalam waktu secepat mungkin tanpa menimbulkan efek samping yang signifikan. Tingkat keparahan migrain akut sangat bervariasi antar pasien dengan tingkat keparahannya, sehingga pengobatan migrain harus sesuai dengan kebutuhan individu pasien tersebut.
  6. Pengobatan gejala terkait migrain. Mual, muntah dan fotofobia terkait migrain. Antimuntah dan prokinetik berguna untuk mengatasi mual dan muntah. Awal pengobatan dengan triptan juga mengurangi mual, muntah dan fotofobia.
  7. Mengoptimalkan pengobatan. Minum obat terlambat dalam suatu serangan menjadi alasan utama rendahnya respon yang dihasilkan. Rute pemberian obat yang tepat juga menentukan. Misalnya jika muntah adalah gejala utama, maka obat oral mungkin tidak akan menghasilkan efek yang baik, sedangkan intranasal, rektal dan suntikan subkutan mungkin lebih baik. Hal ini juga berguna untuk mengetahui adanya kontraindikasi dalam penggunaan agen tertentu. Sebagai contoh riwayat penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskular, hipertensi tak terkontrol dan kehamilan dikontraindikasikan menggunakan ergot dan triptan. Sedangkan aspirin dan AINS dikontraindikasikan pada pasien dengan ulkus peptikum aktif dan pasien dengan gangguan pendarahan. Pada pasien dengan serangan migrain sedang hingga berat, terapi kombinasi AINS dan triptan dapat dipertimbangkan penggunaannya. Demikian pula kombinasi aspirin dengan AINS lainnya dengan metoklopramide dan domperidone bermanfaat pada pasien yang disertai gejala mual dan muntah.
  8. Pengobatan penyelamatan. Beberapa agen yang tersedia untuk tujuan ini termasuk kortikosteroid dan opioid. Jika obat penyelamatan ini melebihi 2 kali dalam sebulan maka terapi dapat dinyatakan gagal, dan perlu dilakukan peninjauan ulang.
  9. Terapi nonfarmakologis. Pasien dengan komorbiditas parah seperti depresi dan kecemasan memerlukan terapi psikoterapi dan konseling psikiatri disamping terapi farmakologis. 
PENDEKATAN TERAPI
Pada umumnya pendekatan terapi migrain akut dapat dibedakan menjadi:
  1. Pendekatan perawatan step by step. Dalam pendekatan ini terapi dimulai dengan pemilihan analgesik sederhana, jika tidak merespon maka ergot disiapkan sebagai pilihan berikutnya sebelum akhirnya digunakan triptan. Ini adalah prinsip hemat biaya. 
  2. Pendekatan terapi bertingkat. Dalam pendekatan ini pengobatan didasarkan pada tingkat keparahannya dan respon terapinya. Migrain parah diobati dengan triptan, sedangkan migrain ringan hingga sedang diobati dengan analgesik sederhana. Dalam praktek klinis kedua pendekatan ini umumnya digunakan secara bersamaan.
OBAT-OBAT DALAM TERAPI MIGRAIN AKUT
Obat yang digunakan dalam serangan migrain akut dalam dikelompokan menjadi obat spesifik dan non-spesifik. Obat spesifik termasuk alkaloid ergot dan triptan, sementara kelompok kedua termasuk antimuntah, AINS, narkotika dan agen simpatomimetik lainnya.

Obat Non-spesifik
  1. Obat AINS. AINS adalah obat yang paling banyak digunakan dalam pengobatan migrain akut. Namun banyak pasien yang menggunakanya dalam dosis yang kurang memadai atau terlambat sehingga menurunkan manfaatnya. AINS memiliki efek antiinflamasi, antipiretik dan analgesik. Efek AINS dalam pengobatan migrain sama dengan prostaglandin dengan menghambat dan memperpanjang onset serotonin pada neuron otak. Dalam pengobatan migrain akut, trik yang digunakan adalah dengan memberikan agen yang mudah diserap dalam waktu cepat. Aspirin dengan tmax kurang dari 30 menit dan naproksen dengan tmax kurang dari 1 jam adalah pilihan utama.
  2. Kombinasi analgesik. Banyak analgesik terutama aspirin dan parasetamol sering dikombinasikan dengan kafein, barbiturat atau opioid untuk meningkatkan efektivitasnya. Kombinasi seperti ini sebaiknya dihindari. Pengobatan sebaiknya dimulai sedini mungkin dalam dosis tertinggi yang dapat ditolerir oleh pasien. AINS juga merupakan pilihan yang baik bila ergot dan triptan dikontraindikasikan seperti pada penyakit kardiovaskuler atau lainnya. COX 2 selektif merupakan pilihan bagi pasien yang rentan terhadap iritasi gastrointestinal dari AINS konvensional. AINS parenteral seperti diklofenak dan ketorolak berguna pada penanganan pasien di gawat darurat. 
  3. Antiemetik/antimual, antiemetik seperti metoklopramide dan domperidone yang diberikan sebelum konsumsi AINS meningkatkan penyerapan dan memperbaiki manivestasi migrain.
  4. Analgesik opiat, kombinasi opiat oral kadang dipertimbangkan pada migrain akut ketika efek samping sendawa dan resiko penyalahgunaan dapat dihindari.
  5. Agen-agen lainnya. Lidokain intranasal (larutan 4%) dan magnesium sulfat intravena (1 gram dan 2 gram) telah dicoba penggunaannya pada pasien migrain akut di ruang gawat darurat dengan hasil yang kurang meyakinkan. Steroid juga dapat digunakan pada kasus migrain ini.
Obat Antimigrain Spesifik
Alkaloid ergot
Alkaloid ergot digunakan dalam pengobatan migrain sejak tahun 1926. Ergot merupakan vasokonstriktor kuat yang juga memberikan efek pada migrain. Tidak seperti triptan, ergot bekerja pada berbagai reseptor termasuk 5HT1A, 5HT1D, 5HT2, adrenoseptor D2, alfa dan beta. Ergot yang digunakan dalam terapi migrain adalah ergotamin dan dihidroergotamin. Ergot penggunaannya mulai tergeser oleh triptan. Hal ini karena efek samping yang merugikan, rendahnya bioavailabilitas, dan tingginya potensi penyalahgunaan. Mual adalah efek samping yang paling umum (10-20%). Sebagai vasokonstriksi kuat, dosis tunggal ergotamin tidak harus diberikan setiap hari. Hal ini dapat menyebabkan vasokonstriksi kronis dan habituasi. Pasien tidak boleh mempergunakan lebih dari dua dosis dalam seminggu. Dihidroergotamin juga memiliki bioavailabilitas rendah. Setelah pemberian injeksi dihidroergotamin didistribusikan secara cepat. 

Efek samping yang umum dari ergot diantaranya:
  1. Mual, muntah
  2. Perasaan tidak nyaman pada perut
  3. Akroparestia
  4. Kaki kram
  5. Vasospasme dan vasokontriksi koroner dan serebral 
  6. Lesi anorektal juga dapat terjadi setelah pemberian ergotamine oral maupun rektal dalam jangka panjang
  7. Penyakit  fibrosing yang melibatkan pleura, perikardium, katup jantung, retroperitoneum, neuropati perifer juga dapat disebabkan akibat penggunaan ergotamine kronis
  8. Dihidroergotamine perenteral sering menimbulkan efek samping berupa hidung tersumbat, mual, dan ketidaknyamanan pada tenggorokan.
Ergot kontraindikasi pada:
  1. Penyakit kardiovaskular
  2. Kehamilan
  3. Ibu menyusui
  4. Penyakit hati dan ginjal
  5. Sepsis berat
  6. Hipertensi yang tak terkontrol
Triptan tidak boleh dikombinasikan dengan ergot.
Dosis dan cara penggunaan ergot:
  1. Tablet ergotamine tatrat 1 mg dikombinasikan dengan 100 mg kafein untuk meningkatkan absorpsinya. Dosis awal 2 mg ergotamine dan dapat ditingkatkan hingga 6 mg.
  2. Injeksi dihidroergotamin 1 mg secara intramuskular atau subkutan atau 0,5-1 mg intravena. Maksimum dosis harian yang diizinkan adalah 3 mg.
Triptan
Berdasarkan studi biokimia dan farmakologi pada pasien migrain, senyawa yang menyerupai 5-HT pada reseptor pembuluh darah karotid mungkin berkhasiat membatalkan serangan migrain. Derivat triptamine atau triptan disintesis untuk menghasilkan selektivitas pada pembuluh darah karotid pada reseptor 5-HT 1B/1D. Sumatriptan adalah senyawa triptan yang pertama kali dikembangkan. Namun sumatriptan memiliki sejumlah keterbatasan diantaranya ketersediaan hayati oral yang rendah, kekambuhan sakit kepala karena waktu paruhnya yang pendek dan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Sehingga dikembangkan generasi-generasi terbaru triptan. Kini ada 6 obat dalam golongan triptan yaitu zolmitriptan, rizatriptan, naratriptan, eletriptan, almotriptan dan frovatriptan yang tersedia untuk penggunaan klinis. Pengenalan triptan pada tahun 1991 telah merevolusi pengobatan migrain.

Mekanisme Kerja
Triptan membatalkan serangan migrain melalui berbagai mekanisme. Salah satu mekanisme yang diusulkan adalah dengan kontraksi langsung dari dilatasi jaringan darah ekstra kranial, supresi neuropeptida (seperti gen kalsitonin terkait peptida) rilis dari ujung syaraf perifer sekitar pembuluh darah, penghambatan transmisi pada inti trigeminal caudalis, dan blokade presinaptik dari transmisi sinaptik antara terminal akson dari trigeminovaskular neuron dan sel tubuh dari pusat.

Efek Samping
Trptan dapat menyebabkan beberapa efek samping, namun umumnya segera dapat teratasi, ringan dan relatif tidak signifikan secara klinis. Beberapa efek samping tersebut diantaranya kesemutan, mati rasa, sensasi hangat, berat, tekanan yang sesak pada berbagai bagian tubuh yang berbeda termasuk leher dan dada. Pusing dan sedasi juga dapat terjadi sehingga harus menghindari aktivitas yang memerlukan konsentrasi tinggi seperti mengemudi atau menjalankan mesin. 

Interaksi Obat
  1. Pasien yang menggunakan propanolol sebagai pencegahan migrain, maka dosis rizatriptan harus dikurangi sampai 5 mg
  2. Penggunaan bersama triptan dan ergot adalah kontraindikasi
Pemilihan Triptan
  1. Berdasarkan onset kerjanya. Sumatriptan subkutan memiliki onset kerja 10 menit, Sumatriptan intranasal dan rizatriptan oral memiliki onset 15 menit, sumatriptan oral 50-100 mg onsetnya 30 menit, sumatriptan rektal onsetnya 30-60 menit, dan naratriptan onsetnya 60 menit atau lebih. Pengetahuan akan onset kerja triptan dan puncak sakit kepala sangat penting dalam menentukan agen triptan yang tepat.
  2. Berdasarkan gejala. Jika migrain disertai mual dan muntah maka pemberian agen triptan oral tidaklah tepat. Sumatriptan subkutan menjadi pilihan terbaik dalam kondisi ini diikuti dengan pemberian secara rektal atau intranasal.
  3. Berdasarkan kambuhnya sakit kepala. Dalam praktek klinis, sekitar 40% pasien yang diobati sumatriptan akan mengalami kekambuhan. Oleh karena itu pada pasien yang mengalami kekambuhan setelah penggunaan sumatriptan, maka sebaiknya mencoba menggunakan frovatriptan atau naratriptan, dan jika kekambuhan berulang maka sebaiknya mencoba menggunakan triptan yang lain.
Manajemen Migrain Pada Situasi Khusus
  1. Serangan migrain akut pada anak-anak. Prinsip pengobatan migrain pada anak adalah sama dengan orang dewasa. Pada anak kurang dari 15 tahun dapat menggunakan asetaminofen 15 mg/Kg maksimum 1 gram atau ibuprofen 10 mg/Kg. Aspirin tidak boleh digunakan untuk mengatasi migrain pada anak dibawah 15 tahun sehubungan dengan adanya resiko sindrome Reye's.
  2. Migrain yang menyertai menstruasi. Prinsip pengobatan sama. Obat diberikan 2-3 hari sebelum menstruasi sampai 7 hari selama menstruasi. Obat termasuk AINS, estrogen, triptan, dan magnesium.
  3. Migrain pada wanita hamil atau menyusui. Serangan ringan dapat diatasi dengan terapi nonfarmakologis berupa relaksasi dan istirahat. Bila terapi nonfarmakologis kurang memadai maka dapat menggunakan analgesik opioid, asetaminofen, AINS, metoklopramide dan fenotiazin.
Tipe-Tipe Migrain

  1. Migrain hemiplegia. Migrain ini dapat terjadi dalam bentuk familial ataupun sporadis. Kondisi ini jarang terjadi. Ketamin intranasal ditemukan dapat meredakan keparahan dari migrain ini. Intravena nalokson 0,4 mg memberikan hasil yang dramatis dalam kasus ini. Sedangkan penggunaan ergotamin dan dihidroergotamin harus dihindari. Triptan dapat digunakan.
  2. Migrain basilar. Migrain ini ditandai dengan fosa posterior atau gejala batang otak yang bilateral dengan alam. Semua jenis aura dapat terjadi kecuali aura motorik. AINS adalah obat pilihan utama dalam terapi migrain tipe ini.
  3. Status migranosus. Pasien migrain tanpa aura kadang memiliki sakit kepala yang parah yang berlangsung selama lebih dari 72 jam, kondisi ini dikenal dengan istilah status migrainosus. Terapi migrain ini meliputi upaya menggagalkan serangan migrain, manajemen mual dan muntah, koreksi kelainan metabolik dan mengobati aspek kejiwaan seperti gangguan mood. Obat-obatan seperti infus dihidroergotamin, intravena natrium valproat, intravena droperidol, intravena lidokain, intravena kortikosteroid dan antagonis dopamin dapat digunakan untuk mengobati migrain tipe ini.

Sumber:
Naskah asli dapat diunduh disini

DISPEPSIA



DISPEPSIA, istilah dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu "duis" yang berarti "buruk atau sulit" dan "peptin" yang berarti mencerna, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan adanya gangguan pencernaan, namun dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan gangguan pencernaan makanan. Dispepsia mengacu pada gejala sakit pada perut setelah adanya asupan makanan, dan tampaknya terjadi pada saluran pencernaan bagian atas. Dispepsia adalah suatu gejala, bukan diagnosis. Gejala ini dapat berlangsung dalam beberapa tahun (atau bahkan seumur hidup) dan sering kali terjadi kekambuhan. Dispepsia merupakan penyakit saluran pencernaan yang paling umum yang menjangkiti sekitar 25% populasi dunia sepanjang tahun. Prevalensinya bervariasi disetiap negara tergantung pada prevalensi infeksi H.pylori, obesitas, asupan rokok-alkohol-obat dan rempah-rempah dalam masakan, lebih jauh dari itu sebagian besar penderita tidak melakukan terapi akan gangguan kesehatan ini.

Simptomatologi, gejala dispepsia diakibatkan adanya penyakit pada perut-usus dua belas jari yang meliputi: 

  • Nyeri perut diatas umbilikus
  • Rasa terbakar retrostenal
  • Regurgitasi
  • Bersendawa
  • Mual, sesekali disertai muntah
  • Distensi perut (perasaan kenyang)
  • Merasa cepat kenyang setelah makan
Dispepsia fungsional didefinisikan sebagai ketidaknyamanan atau rasa sakit retrostenal atau pada perut bagian atas, nyeri ulu hati, mual atau muntah, atau gejala lain yang dianggap mengacu pada proksimal saluran pencernaan yang berlangsung selama 4 minggu atau lebih, tidak terkait dengan kegiatan olahraga tertentu dan tidak pula akibat dari lesi fokal atau adanya penyakit sistemik tertentu.

Gejala dispepsia dibedakan menjadi:
  1. Tipe refluks: peraaan terbakar retrostenal, regurgitasi
  2. Tipe maag/ulkus: Nyeri egigastrum pada saat perut kosong dengan rasa makanan hambar, antasida atau obat penekan asam
  3. Tipe dismotilitas: perasaan penuh setelah makan, distensi, cepat kenyang, mual
  4. Rome II: Selain gejala pada tipe refluks disertai pula dengan sindrome iritasi usus besar (perasaan nyeri saat buang air besar, dengan diare atau pun konstipasi) dan penyakit hepatobiliar (tardive empedu). Gejala ini dikatakan kronis bila berlangsung selama sekurang-kurangnya 12 minggu (tidak berlanjut), dan bila gejala telah berlangsung selama 12 bulan maka dapat dikategorikan emphasif.
  5. Rome III: gejala dibedakan menjadi 2 kelompok, kelompok 1 berupa nyeri epigastrum yang dominan atau perasaan terbakar (sindrome nyeri epigastrum), dan gejala kelompok 2 berupa perasaan cepat kenyang atau penuh setelah makan (sindrom distres posprandial).
Kriteria rome I, II dan III digunakan untuk menjelaskan tingkat kesulitan pencernaan pada dispepsia. Ini adalah hal yang sulit untuk dijelaskan artinya belum ada penjelasan yang pasti dalam hal kriteria tersebut. 

Dispepsia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Dispepsia organik: esofagitis erosif, erosi lambung, gastritis akut atau kronis, ulkus lambung, ulkus duodenum, duodenitis, malignansi (lymphoma, karsinoma). Bukti adanya dispepsia organik dapat diamati dengan endoskopi (biopsi lambung), dan penggunaan barium. Hal ini dapat diduga bila disertai dengan munculnya gejala alarm berupa penurunan berat badan, pendarahan atau okultisme darah positif, anemia dan penurunan nafsu makan atau gejal-gejala yang timbul dimalam hari.
  2. Dispepsia fungsional atau dispepsia non-ulkus: seorang pasien dengan kecemasan atau kekhawatiran akan penyakit-penyakit serius (misal kanker) atau baru saja mengalami kejadian buruk kemungkinan akan mengalami dispepsia tipe ini. Pada dispepsia tipe ini tidak terdeteksi adanya lesi.
  3. Dispepsia terinduksi obat: aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS), antibiotik, bifosfonat, alendronat, estrogen, steroid, digoksin, klorokuin, suplemen kalium, zat besi. Untuk mengetahui adanya dispepsia tipe ini maka harus dilakukan penelitian terhadap sejarah pengobatan pasien.
  4. Dispepsia akibat penyakit sistemik ekstraintestinal seperti diabetes melitus, hipotiroid, hiperparatiroid, penyakit Addison's dan uremia. Gejala penyakit endokrin harus diselidiki setelah kemungkinan dispepsia organik dikesualikan.
Pengobatan
Pada pasien muda (usia kurang dari 40 tahun) dengan dispepsia tanpa disertai gejala alarm dapat diobati secara empiris dengan penghambat pompa proton atau proton pump inhibitors (PPI), dengan atau tanpa prokinetik selama 2-3 minggu. PPI harus diberikan dalam dosis omeprazole atau rabeprazole (20 mg), atau lanzoprazole (30 mg), atau pantoprazole atau esomeprazole (40 mg) perhari. Endoskopi dianggap tidak diperlukan karena keganasan dalam kelompok ini relatif rendah. Pilihan lain adalah dengan melakukan tes non-invasif terhadap H.Pylori (urea nafas atau antigen tinja) dan mengobatinya sesuai hasil tes.

Prokinetik disarankan digunakan pada dispepsia tipe dismotilitas, antagonis reseptor dopamin: metoklopramide, domperidon (10 mg TDS) dapat digunakan. Antidepresan amitriptilin 25 mg menjelang tidur juga dapat membantu. Bila disertai kecemasan dapat juga diberi lorazepam. 

Pasien dengan dispepsia fungsional harus terlebih dahulu dipastikan mereka tidak memiliki penyakit serius setelah penyelidikan minimum. Konsumsi, obat, terh berlebihan, rokok, dan alkohol dapat menyebabkan gastritis sehingga harus dihindari. Diet seperti makan dalam jumlah kecil namun sering, makan dengan sedikit air, makanan pedas (cabe) juga dapat membantu penyembuhan. 


Sumber:
Tulisan ini disarikan dari Editorial Dispepsia dari www.japi.com
Naskah lengkap dapat didownload disini

Sabtu, 21 Juli 2012

PEMANTAUAN TERAPI VANKOMISIN PADA PASIEN DEWASA: SEBUAH KONSENSUS DARI KOMUNITAS FARMASIS SISTEM KESEHATAN AMERIKA, KOMUNITAS PENYAKIT INFEKSI AMERIKA DAN KOMUNITAS FARMASIS PENYAKIT INFEKSI AMERIKA



Oleh:

Michael Rybak, Ben Lomaestro, John C. Rotschafer, Robert Moellering Jr., William Craig,

Marianne Billeter, Joseph R. Dalovisio, and Donald P. Levine

Tahun 2009

Vankomisin merupakan salah satu antibiotik golongan glikopeptida yang telah digunakan secara klinis selama lebih dari 50 tahun sebagai alternatif penisilin dalam pengobatan strain Staphylococcus aureus yang menghasilkan enzim pensilinase. Vankomisin merupakan salah satu antibiotik yang penggunaannya paling luas dalam pengobatan infeksi serius bakteri gram positif yang melibatkan methicilin resistant S. aureus (MRSA). Awal penggunaan vankomisin dikaitkan dengan sejumlah efek samping, termausk toksisitas yang berhubungan dengan pemberian infus, nefrotoksisitas dan mungkin juga ototoksisitas. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sejumlah pengotor dalam sediaan vankomisin menimbulkan banyak kejadian merugikan. Sehingga penggunaan vankomisin dihentikan seiring dengan ditemukannya agen antibiotik penisilin semisintetik seperti methicilin, oksasilin dan nafsilin yang dianggap kurang toksik. Namun seiring kenaikan jumlah infeksi MRSA sejak tahun 1980 telah membawa vankomisin kembali ke garis depan dalam pengobatan infeksi akibat bakteri gram positif.

Selama bertahun-tahun vankomisin menjadi salah satu antibiotik yang paling banyak dipelajari. Studi ekstensif farmakokinetik terhadap berbagai populasi pasien dan ketersediaan obat komersial memungkinkan dokter menetapkan konsentrasi vankomisin pada organ target dalam waktu yang cepat dan tepat. Pendekatan tersebut sangat membantu dokter untuk mengurangi resiko nefrotoksisitas atau pun ototoksisitas guna mencapai konsentrasi terapetik. Namun harus diingat bahwa pemantauan terapi obat dengan penyesuaian konsentrasi obat dalam serum masih menjadi kontroversi. Kontroversi ini disebabkan adanya pertentangan mengenai penggunaan data konsentrasi serum vankomisin untuk memprediksi toksisitasnya dengan ukuran efektivitasnya dalam terapi infeksi. Penelitian terbaru menunjukan bahwa resiko nefrotoksisitas atau toksisitas vankomisin relatif kecil bila digunakan pada dosis konvensionalnya misalnya 1 gram tiap 12 jam atau 15 mg/Kg BB tiap 12 jam kecuali bila digunakan bersama obat yang nefrotoksik. Konsensus ini mengevaluasi data ilmiah dan kontroversi terkait dengan pemantauan konsentrasi serum vankomisin dan untuk memberikan rekomendasi berdasarkan data yang tersedia.

Ini adalah pernyataan konsensus dari American Society of Health-System Pharmaist (ASHP), Infectious
Diseases Society of America (IDSA), dan Society of Infectious Diseases Pharmacists (SIDP). Dalam hal ini semua anggota komite ditugaskan untuk berkontribusi pada topik tertentu tentang vankomisin. Sebuah draf dokumen daerah tertentu yang mencangkup rekomendasi telah diperiksa oleh semua anggota komite. Setelah semua anggota ASHP, IDSA, dan SIDP meninjau draf tersebut maka panitia bertemu untuk mengajukan komentar dan rekomendasi. Tinjauan ini mewakili mayoritas pendapat anggota komite.

Sebuah pencarian (search) di PubMed dilakukan dengan kata pencarian berikut: vancomycin pharmacokinetics, pharmacodynamics, efficacy, resistance, dan toxicity. Semua studi peer-review yang tersedia dalam Bahasa Inggris diterbitkan antara tahun 1958-2008. Studi ini menilai kualitas bukti dan selanjutnya menilai rekomendasi dengan menggunakan klasifikasi schemata dari Asosiasi Medis Kanada. Rekomendasi dari panel ahli ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel.

Pembatasan potensi dari kajian ini meliputi fakta bahwa beberapa calon uji coba acak pemantauan vankomisin yang tersedia dan dipublikasikan mengenai vankomisin terhadap pasien dengan infeksi S. aureus. Pemantauan vankomisin pada pasien anak adalah diluar skope kajian ini.

SEKILAS TENTANG SIFAT FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK VANOMISIN

Teknik farmakokinetik modern seperti model Bayesian dan nonkompartemental digunakan untuk menjelaskan sifat-sifat farmakokinetik vankomisin. Profil konsentrasi serum vankomisin vs waktu adalah kompleks dan dikarakteristik sebagai model 1, 2 dan 3 kompartemen. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal:

  •  fase distribusi berkisar antara 30 menit hingga 1 jam 
  • waktu paruh eliminasi antara 6 hingga 12 jam
  • volume distribusi antara 0,4-1 L/Kg
Sementara itu data ikatan protein vankomisin bervariasi, 50-55% merupakan nilai yang paling sering dinyatakan dalam literatur. Penetrasi vankomisin kedalam jaringan juga bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh keadaan penyakit dan adanya peradangan. Misal pada meninges yang tidak mengalami inflamasi, konsentrasi vankomisin pada cairan otak mencapai 4 mg/dL, sedangkan dengan adanya inflamasi konsentrasinya 6,4-11,1 mg/dL. Penetrasi ke jaringan kulit secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan diabetes melitus (median 0,1 mg/dL dengan rentang 0,01-0,45 mg/dL) dibandingkan dengan pasien nondiabetes (median 0,3 mg/dL dengan rentang 0,46-0,96 mg/dL). Konsentrasi vankomisin dalam jaringan paru-paru berkisar antara 5-41% dari konsentrasi vankomisin serum baik pada pasien mupun sukarelawan sehat. Penetrasi vankomisin ke dalam cairan epitelial pada pasien yang terluka sangat bervariasi. Rasio konsentrasi vankomisin dalam seluruh darah dengan vankomisin dalam cairan epitelial adalah 6:1.

Pemilihan Parameter Farmakokinetik dan Farmakodinamik dalam Pemantauan

Berbagai parameter farmakodinamik dan farmakokinetik telah diusulkan diantaranya waktu (t) untuk mencapai konsentrasi hambat minimum (KHM), rasio konsentrasi area under curve (AUC) dan KHM, rasio konsentrasi maksimum serum (Cmax) dan KHM. Kajian farmakokinetik dan farmakodinamik menetapkan bahwa parameter AUC/KHM sebagai parameter yang paling disukai baik pada pengujian terhadap hewan percobaan, uji invitro maupun uji terbatas pada manusia. Dalam studi Ackerman et. al, Löwdin et al., dan Larsonn et al. bahwa vankomisin mampu membunuh S.aureus dan S. epidermidis pada model percobaan yang tergantung pada konsentrasi. Dengan simulasi bebas, konsentrasi puncak vankomisin 40, 20,10 dan 5 mg/dL dalam suatu model invitro chemostat dengan waktu paruh eliminasi normal 6 jam, Larsonn tidak menemukan perbedaan kurva yang menyebabkan S. aureus terbunuh.

Dengan menggunakan model tikus netropenia, peneliti menemukan bahwa parameter AUC/KHM adalah parameter yang paling tepat untuk mengukur efektivitas vankomisin dalam pengobatan S.aureus termasuk S. aureus yang rentan terhadap methicilin (MSSA), MRSA dan strain S.aureus vancomycin-intermediate. Kecuali ditentukan fAUC/KHM, konsensus ini mengacu pada AUC/KHM total.

Craig dan Andes akhir-akhir ini mengevaluasi penggunaan vankomisin bebas AUCO-24hr/KHM (fAUC/KHM) sebagai parameter utama untuk menilai efektivitas vankomisin pada VISA, heteroresistant VISA (hVISA) dan MSSA pada model tikus murin netropenia. Mereka menemukan bahwa persyarat fAUC/KHM bervariasi tergantung pada KHM vankomisin dan fungsi kepadatan bakteri pada tempat infeksi. fAUC/KHM rendah dibutuhkan untuk inokulum bakteri yang lebih rendah kepadatannya. Yang menarik adalah dosis yang diperlukan untuk membunuh 2 log koloni bakteri hVISA adalah 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan yang digunakan untuk membunuh strain VISA dan S. aureus rentan vankomisin. Para peneliti menyimpulkan bahwa dosis 500 mg vankomisin setiap 6 jam atai 1 gram setiap 12 jam memberikan nilai fAUC/KHM sebesar 100-250 dan menyarankan bahwa nilai sekitar 500 dapat meningkatkan efektivitas terapi pada manusia.

Moise-Broder et al. mengeksplorasi penggunaan AUC/KHM dalam memprediksi kesuksesan klinis dan mikrobiologis S.aureus pneumonia terkait penggunaan ventilator. Para peneliti ini menyarankan AUC/KHM sekitar 345 untuk mendapatkan keberhasilan klinis dan rasio 850 untuk keberhasilan mikrobiologis. Untuk patogen dengan KHM 1 mg/L angka AUC/KHM 250 dapat dicapai pada kebanyakan pasien dengan dosis 1 gram setiap 12 jam berdasarkan angka berat badan aktual 80 Kg dan fungsi ginjal normal (kliren kreatinin (ClCr) 100 ml/menit, tetapi target yang memerlukan AUC/KHM 850 umumnya memerlukan dosis yang lebih tinggi.

Kesimpulan: Berdasarkan hasil studi, rasio AUC/KHM lebih dari sama dengan 400 akan memberikan efektivitas klinis vankomisin pada target. Sudi pada hewan dan studi terbatas pada manusia bahwa vankomisin tidak tergantung konsentrasi dan AUC/KHM adalah parameter prediktif untuk vankomisin

Dampak Strategi Dosis pada Parameter Faramkokinetik dan Farmakodinamik

Strategi dosis klinis awal vankomisin dikembangkan pada akhir tahun 1950an sebelum munculnya farmakodinamik antibiotik. Publikasi data farmakodinamika vankomisin terhadap bakteri patogen atau infeksi tertentu sangat terbatas, dan umumnya dengan model in vitro dan hewan. Hal ini karena vankomisin berstatus obat generik yang menghambat produsen melakukan penyelidikan ilmiah terkontrol yang dapat memberikan data farmakodinamik tambahan. Dosis disarankan dihitung berdasarkan angka berat badan aktual. Data dosis pada pasien dengan obesitas sangat terbatas; namun dosis awal harus didasarkan pada angka berat badan aktual dan disesuaikan berdasarkan konsentrasi serum vankomisin untuk mencapai level terapetik.

Vankomisin adalah model yang ideal untuk menggambarkan data farmakokinetik dan farmakodinamik obat dengan cara pemberian intermitten berdasarkan kerentanan Staphylococcus dan Streptococcus (nilai KHM kurang dari sama dengan 1 mg/L), dengan dosis yang umum digunakan yaitu 1 gram setiap 12 jam dan obat tidak tergantung konsentrasi. Sehingga, kemungkinan konsentrasi vankomisin serum baik dalam bentuk bebas maupun terikat melebihi KHM untuk interval dosis 100% dengan infus intravena intermitten untuk bakteri Streptococcus dan Staphylococcus.

Meskipun tidak ada data klinis yang mendukung t>KHM sebagai parameter untuk memprediksi efektivitas klinis, namun strategi pemberian dengan infus kontinue disarankan untuk mengoptimalkan konsentrasi vankomisin serum dan memperbaiki aktivitasnya. Uji acak Crossover pada pasien diruang perawatan intensif (ICU) tidak menemukan perbedaan signifikan antara pemberian infus kontinue dan intermitten ketika dilakukan pengukuran aktivitas membunuh bakteri pada uji in vitro, meskipun kemampuan untuk mempertahankan kemampuan bakterisidal titer serum lebih baik pada cara pemberian secara kontinue. Dalam sebuah penelitian yang sama dirancang dengan subjek orang sehat, Lacy et al. ditemukan bahwa hampir tidak ada perbedaan aktivitas bakterisidal baik pada pemberian kontinue maupun intermitten. Selanjutnya, dalam sebuah studi acak Wisocky et al. mengevaluasi 160 pasien dengan infeksi Staphylococcus parah. Dan tidak ada perbedaan hasil baik pada pasien yang menerima infus kontinue maupun intermitten. Vankomisin berbeda dari antibiotik beta laktam yang umumnya memiliki waktu paruh pendek dan sering kali memerlukan interval pemberian obat yang lebih pendek atau pemberian infus kontinue untuk mengoptimalkan terapi. 

Kesimpulan dan rekomendasi: Dosis vankomisin harus dihitung berdasarkan angka berat badan aktual. Untuk pasien obesitas dosis awal didasarkan pada perhitungan berdasarkan angka berat badan aktual dan kemudian disesuaikan berdasarkan konsentrasi vankomisin dalam serum untuk mencapai level terapetik. Rejimen infus kontinue tidak secara sustansial meningkatkan efektivitas vankomisin dibandingkan dengan infus intermitten. (Tingkat bukti=II, kelas rekomendasi=A).

Pemantauan Terapi Obat Vankomisin

Konsentrasi Puncak vs Konsentrasi Palung
Selama bertahun-tahun, pemantauan konsentrasi vankomisin dalam serum telah dipraktekan secara berbeda-beda. Geraci menyarankan bahwa pada konsentrasi puncak sebesar 30-40 mg/d dan konsentrasi palung sebesar 5-10 mg/dL cenderung tidak menunjukan adanya penurunan eksponensial kurva konsentrasi vankomisin vs waktu.

Bagimana Geraci mendefinisikan konsentrasi puncak tidak jelas. Selain itu, sifat-sifat farmakodinamik vankomisin belum dievaluasi saat rekomendasi ini dibuat. Karena telah diketahui bahwa AUC/KHM berkorelasi pada uji in vitro dan hewan, hal ini menyebabkan beberapa dokter mempertanyakan relevansi pemantauan konsentrasi puncak vankomisin. Akibatnya beberapa dokter mengurangi aktivitas pemantauan antibiotik ini. Namun karena sulitnya menentukan berapa konsentrasi serum vankomisin untuk menentukan nilai AUC/KHM, pemantauan konsentrasi palung yang dapat digunakan sebagai penanda AUC direkomendasikan sebagi metode yang paling praktis dan akurat dalm pemantauan vankomisin.

Kesimpulan dan rekomendasi
Konsentrasi palung vankomisin dalam serum lebih akurat dan praktis untuk memotivasi efektivitas vankomisin. Konsentrasi palung harus ditentukan sebelum pemberian dosis berikutnya pada kondisi steady-state (tingkat bukti=2, tingkat rekomendasi=B). (Catatan: kondisi steady-state adalah kondisi yang tergantung pada berbagai faktor. Sampel palung harus ditentukan sebelum pemberian dosis keempat pada pasien dengan fungsi ginjal normal untuk memastikan bahwa konsentrasi target tercapai).

Konsentrasi Palung Optimal
Geraci merekomendasikan bahwa konsentrasi palung tidak didasarkan pada data percobaan klinis. Patokan konsentrasi obat 5-10 mg/dL. Target yang mempunyai konsentrasi palung serum yang lebih tinggi kemungkinan akan menghasilkan paparan yang lebih efektif .

Dalam publikasinya yang terbaru American Thoracic Society (ATS) dosis awal vankomisin dimulai dari 15 mg/Kg BB setiap 12 jam pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal. ATS mengakui bahwa vankomisin adalah pembunuh bakteri patogen gram positif yang tidak tergantung konsentrasi (tergantung waktu) namun memiliki penetrasi yang lebih rendah ke dalam cairan endotelial dan sekresi pernafasan. ATS lebih lanjut merekomendasikan agar konsentrasi palung dipertahankan 15-20 mg/L. Namun berdasarkan prinsip farmakokinetik pada pasien dengan berat badan dan fungsi ginjal normal tidak mungkin dosis 15 mg/Kg BB akan menghasilkan konsentrasi palung sekitar 15-20 mg/L. Lebih lanjut tidak ada data yang menunjukan bahwa konsentrasi palung sebesar itu akan aman dan dapat ditoleransi dengan baik sepanjang waktu.

Dalam upaya mengevaluasi konsentrasi palung target sebesar 15-20 mg/L Jefress et al secara retrospektif mengevaluasi 102 pasien pneumonia MRSA. Moratalitas secara keseluruhan adalah 31% (32 pasien). Tidak ada perbedaan signifikan pada rata-rata ±SD dari konsentrasi palung yang dihitung (13,6 ± 5,9 mg/dL dan 13,9  ±  6,7 mg/dL) ataupun rata-rata  ± SD yang dihitung dari AUC (351  ± 143 mg.jam/L dan 354  ± 109 mg.jam/L) baik pada penderita maupun non penderita. Selain itu juga tidak ditemukan adanya hubungan antara konsentrasi palung dalam serum atau AUC dengan kematian di rumah sakit. Meskipun tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan antara konsentrasi palung dalam serum dengan AUC pada penderita dan non penderita, namun beberapa faktor harus diperhatikan, misalnya perhitungan ukuran sampel yang tidak ditentukan, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan tipe II. Ada juga variabilitas besar diantara konsentrasi palung (4,2-29,8 mg/dL) dan AUC (119-897 mg.jam/L) yang dapat menjelaskan tidak ditemukannya perbedaan signifikan tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi serum dalam target tidak ditentukan/diukur yang mungkin dapat menjadi faktor penting dalam menentukan hasil pada pasien. Selain itu karena menggunakan metode disk-diffusion maka KHM organisme tidak dapat ditentukan. Dan karenanya hanya AUC yang dievaluasi, dan bukannya AUC/KHM yang merupakan prediktor potensial dalam memprediksikan keberhasilan atau kegagalan. Meski hasil penelitian ini menarik, studi prospektif tambahan diperlukan untuk mengonfirmasinya.

Hubungan antata konsentrasi palung dalam serum, resistensi dan kegagalan terapetik.
Sementara vankomisin dianggap sebagai antibiotika bakterisida, tingkat membunuhnya lambat bila dibandingkan dengan beta laktam, dan aktivitas vankomisin dipengaruhi oleh inokulum bakteri. Besarnya beban bakteri pada fase diam dan atau dalam lingkungan anaerobik merupakan tantangan besar untuk mempercepat dan menjangkau aktivitas bakterisid dari vankomisin.

Dalam beberapa tahun terakhir, VISA atau S. aures yang rentan-sedang terhadap glikopeptida (GISA) dan S.aureus resisten-vankomisin (VRSA) telah muncul dan mempertanyakan kemampuan antibiotik ini. (Catatan istilah VISA atau GISA sering digunakan secara bergantian, untuk tujuan konsensus ini akan digunakan istilah VISA). Meskipun infeksi oleh organisme tersebut jarang, ada ketakutan bahwa organisme tersebut akan lebih umum bila paparan dan penggunaan vankomisin terus-menerus. Penemuan penginduksi hVISA (yaitu strain bakteri dengan KHM dalam kisaran nilai rentan 0,5-2 mg/dL pada pasien yang diterapi dengan dosis standar vankomisin akan mengalami kegagalan terapi) sehingga lebih lanjut meningkatkan pertanyaan tentang dosis antibiotik ini secara keseluruhan. Kekhawatiran ini diesebabkan adanya kegagalan pengobatan dan ketidakmampuan mendeteksi isolat hVISA dalam pengaturan klinis.

Tahun 2006,  Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) menyetakan kerentanan vankomisin sebagai berikut :

  • Rentan ≤ 4 hingga ≤2 mg/dL
  • Rentan sedang 8-16 hingga 4-8 mg/dL
  • Resisten ≥32 hinga ≥16 mg/dL
Keputusan tersebut didasarkan pada kenyataan data klinis yang menunjukan bahwa pasien dengan infeksi S.aureus kurang berhasil jika diobati dengan vankomisin dengan KHM  4 mg/dL. Namun informasi ini saja tidak cukup menginformasikan apakah penggunaan konsentrasi vankomisin yang lebih tinggi akan meningkatkan efektivitasnya secara keseluruhan. Konsentrasi vankomisin serum yang rendah dapat menimbulkan masalah, karena adanya korelasi langsung antara rendahnya konsentrasi serum dengan munculnya hVISA, VISA atau setidaknya MRSA dengan genotip tertentu. Selain itu, dalam studi ini mengindikasikan bahwa konsentrasi palung serum yang kurang dari 10 mg/dL menunjukan adanya kegagalan terapi dan potensi munculnya VISA dan VRSA.

Studi bakteremia MRSA dan hVISA mengungkap secara signifikan tingkat morbiditas yang lebih tinggi akibat infeksi hVISA. Pasien tersebut mungkin memiliki beban infeksi bakteri yang lebih tinggi, konsentrasi palung awal yang rendah dan kegagalan terapi. Jones, akhir-akhir ini melaporkan bahwa 74% strain hVISA 15% strain S. aureus tipe ganas yang toleran (konsentrasi bakterisdia minimum ≥ 32 mg/dL) yang memberikan kontribusi pada kegagalan terapi pada pasien.

Sakoulas et al. melaporkan korelasi signifikan antara kerentanan dengan keberhasilan terapi pada pasien. Pengobatan infeksi pada sirkulasi darah yang disebabkan oleh MRSA memiliki KHM kurang dari sama dengan 0,5 mg/dL dengan tingkat keberhasilan sebesar 55,6%, sedangkan pengobatan pasien yang terinfeksi strain MRSA dengan KHM 1-2 mg/dL memiliki tingkat keberhasilan sebesar 9,5% (p= 0,03). Kegagalan pengobatan didefinisikan sebagai tanda-tanda atau gejala infeksi yang terus-menerus misalnya demam atau lekositosis atau mungkin memburuknya tanda-tanda atau gejala infeksi pada pasien yang menerima terapi vankomisin sekurang-kurangnya 5 hari dengan konsentrasi serum 10-15 mg/dL. Namun studi ini relatif kecil (n=30), pasien bakterremik MRSA yang refrakter terhadap terapi vankomisin dan terdaftar dalam pasien uji coba obat. 

Dalam studi yang lebih baru pada pasien yang terinfksi MRSA (n=34) Moise et al. menunjukan bahwa pasien dengan isolat MRSA dengan KHM vankomisin sebesar 2 mg/L memiliki median yang lebih tinggi dalam eradikasi organisme, pengobatan dengan vankomisin yang lebih lama, dan kemapuan eradikasi bakteri yang lebih rendah secara keseluruhan.

Hidayat et al. mengevaluasi penggunaan vankomisin dosis tinggi untuk mencapai konsentrasi palung serum tak terikat 4 kali KHM pasien dengan infeksi MRSA. Dari 95 pasien pneumonia atau bakteremia MRSA yang dievaluasi atau keduanya, 51% (54) memiliki nilai KHM 1,5 atau 2 mg/dL. Respon awal 74% pasien mencapai KHM yang diinginkan, kelompok yang terinfeksi strain ini memiliki respon yang lebih buruk (62% dibandingkan 85%) dan dengan infeksi mortalitas yang lebih tinggi (24% banding 10%) dibandingkan dengan pasien terinfeksi yang memiliki KHM lebih rendah (0,5: 0,75; atau 1 mg/dL) meskipun konsentrasi serum yang mencapai target adalah sama yaitu sebesar 15-20 mg/dL. Data dari kedua studi menunjukan bahwa isolat S.aureus yang memiliki KHM 1-2 mg/dL yang masih berada dalam kisaran rentan mungkin kurang responsif terhadap terapi vankomisin. 

Soriano et al. mengevaluasi pengaruh KHM vankomisin pada 414 pasien bakteremik MRSA. Evalusi KHM dilakukan dengan metode Etest. Diantara beberapa faktor yang diperkirakan memberikan hasil yang buruk, isolat S. aureus dengan KHM 2 mg/dL berpengaruh signifikan pada kematian. Berdasarkan kemungkinan rendahnya vankomisin yang mencapai target (AUC/KHM) penulis menyarankan bahwa vankomisin tidak harus dianggap sebagi terapi yang optimal dalam terapi infeksi dengan KHM lebih dari 1 mg/dL ketika konsentrasi palung vankomisin yang digunakan lebih dari 10 mg/dL.

Lodise et al. mengevaluasi hubungan antara KHM dengan kegagalan etrapi pada 94 pasien nonneutropenia dengan infeksi MRSA pada sirkulasi darah. Kegagalan terapi didefinisikan sebagai 30 hari kematian, 10 hari atau lebih pada terapi bakteremia vankomisin. Klasisfikasi dan pohon regresi analisis menemukan bahwa KHM lebih dari sama dengan 1,5 mg/dL berhubungan dengan kegagalan terapi. Pasien dengan KHM lebih dari sama dengan 1,5 mg/dL 2,4 kali lebih besar berpotensi gagal terapi dibandingkan dengan pasien yang memiliki KHM kurang dari 1 mg/dL (36,4% VS 15,4% dengan p=0,049). Analisis regresi keracunan menyatakan bahwa KHM lebih dari sama dengan 1,5 mg/L secara independen berhubungan dengan kegagalan terapi. Berdasarkan temuan ini para peneliti menyarankan perlunya terapi alternatif.

Analisis skala besar terhadap 35.458 strain S. aureus oleh Jones menemukan bahwa KHM diperlukan untuk menghambat 50% pertumbuhan mikroorganisme atau 90% pertumbuhan mikroorganisme (KHM 90) untuk vankomisin adalah 1 mg/L. Pusat pencegahan dan pengendalian penyakit AS tahun 2005 melaporkan bahwa 241.605 strain S. aureus 16,2% diantaranya memiliki KHM sebesar 2 mg/L 




Sumber


Diterjemahkan dari Jurnal yang dipublikasikan di American Journal of Health System Pharmacy

SEJARAH DIABETES MELITUS: DARI SEMUT HINGGA ANALOG


SEJARAH SINGKAT (DALAM TINJAUAN WAKTU)

Deskripsi pertama mengenai diabetes melitus (DM) dideskripsikan oleh para sarjana Hindu pada tahun 1500 SM. Mereka menjelaskan DM sebagai "penyakit aneh yang menyebabkan rasa haus, pengeluaran urin dalam jumlah besar, menyebabkan lalat dan semut menghinggapi urin orang dengan penyakit aneh tersebut". Istilah diabetes dicetuskan oleh Apolonius dari Memphis pada tahun 250 SM, yang berarti "melalui" atau menyedot  yang merupakan penyakit yang lebih lebih banyak mengeringkan cairan tubuh dari orang lain pada umumnya. Sedangkan istilah melitus ditambahkan kemudian karena penyakit tersebut menyebabkan urin manis.

Sushruta, Arataeus dan Thomas Willis adalah pelopor pengobatan DM. Dokter Yunani meresepkan agar penderita DM melakukan olahraga terutama berkuda untuk menghasilkan "gesekan moderat" dan mengurangi buang air yang berlebihan. Wine (anggur) digunakan untuk mengkompensasi kehilangan cairan, diet kelaparan, terapi kentang dan gandum merupakan jenis-jenis pengobatan DM yang direkomendasikan pada masa itu. Sir William Osler pada tahun 1915 merekomendasikan opium untuk terapi DM. Pada awal penelitian DM dikaitkan dengan metabolisme glikogen dan sel-sel pankreas yang dikemukan oleh seorang siswa medis dari Swedia bernama Paul Langerhans. Tahun 1916 Sharpey-Sharper menyatakan adanya bahan kimia tunggal yang hilang dari pankreas pada penderita DM dan menamai senyawa tersebut sebagai insulin. Istilah insulin yang berasal dari kata "insel" yang dalam bahasa Jerman berati pulau.

Peneliti E.L Scott dan Nicolae Paulesco untuk pertama kali berhasil mengekstraksi insulin anjing. Tahun 1921 FG Banting dan JJR Macleod dari Universitas Toronta mendapat Nobel atas sehubungan dengan penemuannya tentang insulin bagi pengobatan DM. Pada awal tahun 1922 ekstrak mentah insulin yang "kocor, tebal dan coklat" disuntikan pada seorang anak berusia 14 tahun bernama Leonard dan hasilnya level glukosa darah sang anak turun secara signifikan, namun terjadi abses akut pada tempat penyuntikan. Sehingga upaya pun diperbaiki. Setelah 6 minggu sang anak tersebut kemabli disuntik dengan ekstrak insulin halus, dan hasilnya kadar glukosa darah turun dari 520 mg/dL menjadi 120 mg/dL dalam waktu 24 jam setelah penyuntikan. Sang anak tersebut kemudian bertahan hidup hingga 13 tahun kemudian sebelum akhirnya meninggal akibat pneumonia (suatu penyakit yang belum ditemukan obatnya pada saat itu).

Sekilas perkembangan insulin adalah sebagai berikut:

  1. Tahun 1920an -> insulin reguler
  2. Tahun 1930an -> insulin kerja panjang/long acting (PZI)
  3. Tahun 1940an -> insulin keja sedang (NPH)
  4. Tahun 1950an -> Lente insulin
  5. Tahun 1960an -> Insulin termurnikan
  6. Tahun 1970an -> rekombinant humans insulin (insulin rekombinan)
  7. Tahun 1980an -> insulin analog
  8. Tahun 1990an -> insulin nasal, oral, dan insulin dalam bentuk sediaan terbaru yang masih dalam proses pengembangan
EVOLUSI INSULIN

Pada mei 1920, Eli Lilly membeli royalti ke Universitas Toronto untuk memproduksi insulin.Tahun 1923, insulin mulai diproduksi secara masal dengan mengekstraksi insulin babi di Denmark. Nordisk Insulin Laboratorium atau sekarang bernama Novo Nordisk pada tahun 1955 menemukan urutan asam amino pada insulin manusia oleh Sir Frederick Sanger, dan karena ia menerima hadiah Nobel pada tahun 1958. Kemudian Hans Christian Hagedorn menemukan efek berkepanjangan dari insulin dengan cara menambahkan protamin kedalam molekul insulin. 

Produk insulin yang dimurnikan dari insulin hewan mulai dikembangkan pada tahun 1974 melalui teknik kromatografi. Pemurnian insulin tersebut bertujuan untuk mengurangi reaksi alergi dan lipidostropi.

Pada tahun 1978, teknologi DNA rekombinan digunakan untuk menghasilkan insulin sintetis pada bakteri E. Colie. Dan produsi masal rDNA insulin manusia ini dimulai pada tahun 1980. Pada pertengahan tahun 1990an struktur insulin manusia telah dimodifikasi dengan mengubah urutan asam amino (penambahan, penghapusan dan pertukaran asam amino) untuk menghasilkan insulin dengan sifat farmakokinetik yang lebih baik yang kemudian dikenal dengan istilah "insulin modern" atau "desainer insulin".

Insulin adalah hormon alami yang sama pentingnya dengan udara, air dan cahaya. Diantara semua obat antidiabetes, insulin adalah agen antidiabetes yang paling kuat dalam hal penurunan kadar glukosa darah. Insulin memiliki manfaat yang lebih baik dalam hal pengendalian glukosa darah diantara:
  •  mengurangi glukotoksisitas dan lipotoksisitas
  •  meningkatkan sensitivitas insulin
  •  menjaga fungsi sel beta
  • memperbaiki profil lipid
  • disfungsi endothelian
  • efek antiinflamasi
  • efek antiplatelet
  • memperbaiki kualitas hidup pasien
Beberapa hambatan dalam terapi insulin diantaranya:
Terakait pasien:
  1. Psikologis (kegagalan pribadi)
  2. Takut komplikasi, berat badan, fobia jarum
  3. Tabu dan isu-isu regional
  4. Masalah hipoglikeia
  5. Masalah cara pemberian
  6. Masalah kepatuhan
  7. Masalah gaya hidup
  8. Ekonomi
Terkait dokter atau tenaga kesehatan
  1. "Clinician inercia" ; kurangnya inisiasi dini
  2. Kurangnya keahlian teknis, dana dan pengetahuan
  3. Akses yang buruk terhadap hasil-hasil penelitian
  4. Kurangnya edukasi kesehatan dan konseling motivasi
  5. Masalah logistik dinegara berkembang

INSULIN DI MASA DEPAN

Sekitar 250.000 anak-anak dengan usia kurang dari 14 taun dinegara-negara berkembang dinyatakan menderitan DM tipe 1, 38.000 diantaranya berada di Benua Afrika. Jean Claude Mbanya Presiden Federasi Diabetes Internasional (IDF) mengamati dan menyatakan "banyak anak-anak dibelahan dunia yang sedang berkembang meninggal dunia akibat DM saat kami telah menemukan obat yang dapat menyelamatkan jiwa penderita DM hingga 85 tahun". 

Terapi insulin kini telah mengalami pergeseran paradigma yang fokus pada prinsip-prinsip inisiasi kardinal, optimasi dan pengintensifan terapi untuk mencapai kontrol yang memadai. 




Sumber




Selasa, 17 Juli 2012

PERUBAHAN STATUS MENTAL


REVIEW SISTEM SYARAF

Sistem syaraf berfungsi untuk mengkoordinasi semua sistem dalam tubuh sehingga sistem dalam tubuh tersebut dapat berjalan lancar dan seimbang. Sistem syaraf juga berperan sebagai penghubung antara tubuh dan bagian luar tubuh. Sistem ini memungkinkan adanya pendeteksian akan rangsangan dari luar tubuh (perubahan dalam tubuh dan luar tubuh) serta memberikan respon atas rangsangan tersebut. 

Sistem syaraf bersama sistem endokrin bekerja terus menerus untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Dan otak memegang kendali sebagai pusat kendali dan komunikasi tubuh. Otak menerima masukan (input), memproses dan mengevaluasi masukan tersebut untuk kemudian menanggapinya dengan respon tertentu. Respon dapat berupa tindakan refleks yaitu tindakan yang tidak disengaja yang diperlukan untuk mempertahankan homeostasis tubuh yang diatur oleh sistem syaraf otonom. Selain respon yang bersifat refleks, respon juga dapat berupa tindakan sadar yang diatur oleh sistem syaraf somatik. Adanya kedua jenis respon tersebut, seseorang umumnya tidak menyadari jumlah dan jenis masukan (input) yang diterimanya dan bagaimana masukan tersebut diolah hingga menghasilkan suatu respon.

Sistem syaraf adalah jaringan tubuh yang mencatat dan mendistribusikan informasi dalam tubuh dengan menggunakan transmisi listrik dan kimia. Sistem syaraf terdiri dari 2 bagian, yaitu sistem syaraf pusat yang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang dan sistem syaraf tepi (perifer) yang mengirimkan informasi sensorik dan motorik secara bolak-balik dari tubuh ke sistem syaraf pusat atau sebaliknya.

Sistem Syaraf Pusat
  • Sistem syaraf pusat adalah sistem syaraf yang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang yang menerima impuls sensorik dari impuls motorik dan berfungsi mengkoordinasikan seluruh kegiatan tubuh.
  • Sistem syaraf ini menginformasikan adanya perubahan kondisi dan kemudian mengirimkan "keputusan" respon pada atau kelenjar terkait untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan guna mempertahankan homeostasis tubuh.
Sistem Syaraf Perifer
  • Sistem syaraf tepi merupakan bagian sistem syaraf yang berada diluar sistem syaraf pusat yang terdiri dari tengkorak syaraf kecuali syaraf optik, syaraf tulang belakang, dan sistem syaraf otonom
  • Sistem syaraf ini terdiri dari 12 pasang syaraf kranial dan 31 pasang syaraf perifer. Sistem syaraf perifer terdiri dari komponen sadar dan tak sadar
  • Sistem syaraf ini terdiri dari dua divisi yaitu divisi otonom dan somatik. Syaraf otonom mengatur kondisi lingkungan internal tubuh.

Penampang sistem syaraf

Anatomi Sistem Syaraf

Otak adalah bagian dari sistem syaraf pusat yang terletak didalam tengkorak. Otak berfungsi sebagai penerima, organizer, dan distributor informasi bagi seluruh tubuh. Otak terdiri dari otak belahan kanan dan otak belahan kiri. Otak terdiri dari banyak bagian yang bekerja sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagian-bagian otak adalah sebagai berikut:

Batang Otak
  1. Medula oblongata terletak diantara otak dan sumsum tulang belakang. Bagian ini menandai adanya perpecahan antara syaraf tulang belakang dan otak. Bagian ini merupakan pusat pengaturan pernafasan, fungsi jantung dan aktivitas vasomotor.
  2. Pons terletak diantara otak tengah dan medula oblongata yang terdiri dari bundel serat aferen dan eferen yang merupakan penghubung antara otak dan sumsum tulang belakang
  3. Otak tengah memanjang dari pons hingga ke hipotalamus dan mengintegrasikan beberapa bagian yang berbeda dari refleks termasuk visual dan pendengaran.
Serebelum
  1. Terletak pada punggung hingga ke pons dan medula oblongata, dibawah lobus oksipetal
  2. Terdiri dari dua belahan otak yang berhubungan erat dengan batang otak dan pusat-pusat yang lebih tinggi
  3. Otak kecil yang mengatur gerakan motorik halus, postur, keseimbangan dan tonus otot
Diencephalon
  1. Hipotalamus terletak diatas pituitari dan dibawah talamus. Hipotalamus merupakan daerah otak yang mengatur suhu tubuh, rasa lapar dan haus
  2. Talamus terletak diatas hipotalamus dan dibawah otak besar. Fungsi utama talamus adalah dalam hal sensasi. Talamus mengintegrasikan impuls sehingga otak mampu menafsirkan sensasi dengan cepat
Serebrum
  1. Merupakan bagian terbesar dari otak yang terdiri dari belahan otak kanan dan kiri
  2. Bertanggung jawab dalam pengaturan memori, pikiran, ucapan, gerakan sadar dan persepsi sensorik
Sel-sel otak untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya memerlukan suplai oksigen dan glukosa. Suplai oksigen dan glukosa otak sangat tergantung pada aliran darah ke otak tersebut. Kesadaran dapat hilang dengan sangat cepat apabila aliran darah ke otak terhenti secara mendadak, dan kerusakan otak permanen dapat terjadi beberapa menit kemudian. Penyebab paling umum dari kerusakan otak ini adalah stroke dan kecelakaan serebrovaskular atau cerebrovascular accident (CVA).

Aliran darah ke otak terjadi melalui 2 sistem, yaitu sistem karotid (anterior) dan sistem vertebrobasilar (posterior). Kedua sistem tersebut bergabung di lingkaran willis sebelum akhirnya memasuki substansi otak. Sistem ini dirancang sedemikian rupa sehingga gangguan pada satu bagian otak tidak akan menyebabkan kerugian yang signifikan pada aliran darah ke semua jaringan. Vena drainase otak melalui vena sinus dan vena jugularis internal. Selain aliran darah, cairan serebrospinal juga menggenangi otak dan sumsum tulang belakang. 

Panjang sumsusm tulang belakang sekitar 17-18 inchi, dan meninggalkan otak melalui foramen magnum dan turun ke kanal tulang belakang. Sumsum tulang belakang dikelilingi dan dilindungi oleh tulang belakang yang terdiri dari 33 vertebra yang terbagi dalam 5 bagian:
  1. 7 tulang belakang servikal
  2. 12 tulang belakang dada
  3. 5 tulang belakang lumbal
  4. 5 saccrum
  5. 4 tulang ekor
Sumsum tulang belakang berakhir pada tingkat vertebra lumbalis pertama. Sumsum tulang belakang memiliki 2 fungsi utama:
  1. Mengontrol kegiatan refleks tubuh
  2. Mengirimkan informasi dari sistem syaraf perifer ke otak dan sebaliknya
Sistem syaraf pusat terdiri dari:
  1. 12 pasang syaraf kranial yang berasal dari otak dan berfungsi mengontrol kepala, leher, dan beberapa organ di dada dan perut
  2. 31 pasang serat syaraf perifer yang keluar dari sumsum tulang belakang dan memasuki sistem syaraf perifer. Akar dorsal mengandung 21 serat aferen dan akar ventral yang mengandung serat eferen. Serat aferen membawa impuls menuju pusat tubuh. Sedangkan serat eferen membawa impuls menjauh dari otak dan sumsum tulang belakang ke wilayah perifer
Perlindungan terhadap Sistem Syaraf Pusat

Sistem syaraf pusat memiliki mekanisme perlindungan yang baik. Otak memiliki struktur yang lembut dan rapuh, sedangkan sumsum tulang belakang merupakan organ yang sangat terlindungi. Baik otak maupun sumsum tulang tulang belakang terbungkus oleh tulang, dilindungi oleh tiga lapisan jaringan ikat, dan dilindungi pula oleh cairan sebagai bantalan. Ketiga lapisan jaringan ikat yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang adalah meninges. 
  • Bagian meninges terluar adalah dura mater yang merupakan membran berlapis ganda yang tangguh. Didalam tengkorak, dua lapisan dura mater dipisahkan dengan sebuah pembuluh darah besar yang disebut sinus. 
  • Lapisan kedua dari meninges adalah arachnoid yang merupakan membran tipis halus. Lapisan ini merupakan serat-serat yang memanjang seperti benang menuju ke lapisan terdalam meninges yaitu pia mater
  • Pia mater adalah lapisan terdalam meninges. Merupakan lapisan membran yang sangat tipis yang melekat erat pada otak dan sumsum tulang belakang dan mengikuti setiap lekukan kurva atau jaringan. Pia mater mengandung banyak pembuluh darah.
Cairan serebrosvinal yang mengabsorpsi goncangan mengisi ventrikel rongga dalam otak dan ruang-ruang dibawah lapisan arakhnoid (ruang subarakhnoid) dalam otak dan sumsum tulang belakang. Sebagian besar cairan serebrosvinal diproduksi oleh kelompok kapiler, pleksus koroid, dan kemudian masuk ke ruang subarakhnoid. Cairan serebrovaskuler melindungi otak dan sumsum tulang belakang dari cedera mekanis, dan berfungsi sebagai media pertukaran nutrisi dan produk-produk limbah antara otak dan darah. 

Sistem Syaraf Otonom

Sistem syaraf otonom adalah bagian sadar dari sistem syaraf perifer. Syaraf ini mengontrol banyak aktivitas yang dilakukan secara sadar pada banyak fungsi tubuh dan memiliki dua divisi fungsional utama:
  1. Sistem syaraf simpatik, sistem syaraf ini dikenal juga dengan istilah syaraf "hadapi atau lari", yang mempersiapkan tubuh pada kondisi stres. Stimulasi menyebabkan peningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dilatasi pupil, peningkatan konsentrasi gula darah dan bronkodilatasi. Epinefrin dan norepinefrin mempengaruhi tindakan sistem syaraf ini.
  2. Sistem syaraf parasimpatik bertanggung jawab mengendalikan fungsi-fungsi vegetatif. Sistem syaraf parasimpatik yang terstimulasi akan menyebabkan penurunan denyut jantung, peningkatan aktivitas pencernaan, penyempitan pupil dan penurunan glukosa darah. Selama istirahat akitivitas syaraf ini akan mendominasi. Asetilkolin adalah neurotransmitter sistem syaraf parasimpatis.
KEJANG

Kejang adalah perubahan perilaku yang mendadak dan sementara yang disebabkan oleh debit listrik besar-besaran pada kelompok sel syaraf di otak. Debit listrik yang abnormal biasanya menghasilkan perubahan aktivitas mental dan perilaku yang disebut kejang. Ada 6 tipe kejang, yaitu:

  1. Absen/petit mall; biasanya terjadi pada anak-anak usia 4-12 tahun, meski kadang juga terjadi pada orang dewasa. Pasien menunjukan gejala berupa tatapan yang kosong dan perilaku yang berulang (misal menggigit bibir) dan gejala ini berlangsung selama 1-10 detik.
  2. Focal; ditandai dengan adanya disfungsi pada satu area tubuh. Kejang focal diawali dengan gerakan tonik-klonik yang sering kelai menyebar menjadi kejang tonik-klonik umum.
  3. Psikomotor; ditandai dengan aura khas yang meliputi, bau, suara, dan rasa yang khas. Pasien cenderung melihat pasa satu objek yang tampak sangat besar dan dekat atau sangat jauh dan kecil. Kejang psikomotor adalah bentuk kejang focal yang berlangsung selama 1-2 menit.
  4. Tonik-klonik/grand mall; merupakan kejang motorik umum yang menyebabkan tonik (kontraksi) dan gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi berturut-turut) dari ekstremitas diluar kendali tubuh.
  5. Histeris; berasal dari gangguan psikomotor, pasien menunjukan gerakan-gerakan yang tajam dan aneh dan sering terganggu oleh adanya perintah-perintah singkat.
  6. Febrile/demam; merupakan kejang tonik-klonik akibat demam tinggi mendadak terutama pada anak-anak.
Kejang Parsial vs Kejang Umum

Kejang parsial dapat dibedakan menjadi kejang parsial sederhana dan kejang parsial kompleks. Kejang parsial sederhana terjadi saat terjadi debit listrik yang abnormal di area otak. Pasien biasanya tidak mengalami penurunan kesadaran dan perubahan pemikiran. Selama kejang parsial berlangsung, gerakan-gerakan motorik yang berlangsung biasanya sederhana seperti memutar kepala ke satu sisi atau menyentak. Biasanya tidak ada periode prostiktal. Pasien kemudian mampu menggambarkan serangan yang baru saja dialaminya.

Kejang parsial kompleks biasanya menyebabkan perubahan status mental. Pasien menunjukan gejala mondar-mandir tanpa tujuan, seperti orang yang tidur sambil berjalan. Pasien juga melakukan gerakan-gerakan otomatis seperti menggigit bibir dan meraba-raba. Pasien mungkin juga mengalami perubahan emosional yang tidak pantas seperti menangis atau tertawa, membuka pakaian atau mungkin melarikan diri tanpa alasan. Setelah serangan itu pasien mungkin mengalami periode prostiktal dan tidak mampu mengingat episode yang telah dilaluinya.

Kejang umum dibedakan atas ada tidaknya kejang tonik-klonik. Status epileptikus atau kejang status terjadi jika kejang terjadi lebih dari 5 menit, atau 2 atau lebih kejang terjadi secara berurutan tanpa kembali ke tingkat kesadaran normal. Kejang status merupakan kondisi yang mengancam jiwa.

Penyebab Umum Kejang
  1. Demam tinggi
  2. Infeksi
  3. Keracunan
  4. Hipoglikemia
  5. Hiperglikemia
  6. Luka kepala
  7. Syok
  8. Hipoksia
  9. Stroke
  10. Overdosis obat atau alkohol
  11. Disrirhmia
  12. Hipertensi
  13. Komplikasi kehamilan
  14. Idiopatik (tak diketahui)
Tanda dan Gejala

Kejang tidak memiliki tanda dan gejala yang spesifik, namun umumnya berhubungan dengan tanda-tanda berikut:
  1. Kehilangan kesadaran
  2. Tatapan kosong
  3. Mata berkedut dan cepak bibir
  4. Mual
  5. Kejang
  6. Aura khas (bau, pandangan, dan pendengaran)
  7. Kontraksi otot (tonik), relaksasi (klonik) pada satu bagian atau seluruh tubuh
  8. Respirasi berhenti selama kejang aktif
  9. Peningkatan sekresi air liur
  10. Inkontinensia
  11. Bingung, lelah dan sakit
  12. Aktivitas motorik yang berulang
  13. Sensasi kesemutan
  14. Berperilaku yang tak pantas
  15. Halusinasi
Penilaian 

Karena kejang dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, maka penilaian kejang untuk menentukan faktor penyebab kejang sangat penting. Kejang dapat menandakan adanya cedera kepala, maka harus dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya cedera kepala. Faktor lingkungan juga harus diperiksa untuk memastikan adanya kemungkinan keracunan. Harus diketahui pula apakah pasien memiliki riwayat epilepsi, diabetes atau penyakit jantung. 

Karena kejang umumnya hanya berlangsung selama beberapa menit, maka pasien akan sampai pada tenaga kesehatan dalam episode prostiktal atau sudah tidak kejang lagi. Episode prostiktal yang diikuti kejang merupakan masa pemulihan bagi pasien. Selama periode tersebut pasien umumnya tidak responsif, sangat mengantuk, lemah dan bingung. Pasien kemusian secara perlahan namun progresif akan memiliki respon dan orientasi lengkap. Fase ini berlangsung hingga 30 menit. 

Pasca kejang harus dilakukan penilaian terhadap jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Pasien harus dipastikan memiliki jalan nafas yang terbuka-siap hisap, dan dilanjutkan dengan pemberian oksigen. Setelah penilaian terhadap pernafasan dan sirkulasi dipastikan aman, penilaian berikutnya adalah dengan memeriksa kemungkinan adanya luka akibat kejang. Selain itu juga harus ditanyakan apakah pasien:
  1. Apakah pasien memiliki riwayat kejang
  2. Obat apa yang telah dikonsumsi
  3. Identifikasi medis
  4. Kemungkinan adanya penyalahgunaan obat atau alkohol
  5. Apakah pasien menderita trauma atau penyakit tertentu
  6. Apakah pasien mengalami demam tinggi (beberapa waktu sebelum terjadinya kejang)
  7. Apakah pasien memiliki riwayat diabetes
Status epileptikus adalah keadaan darurat medis yang memerlukan manajemen jalan nafas yang agresif, ventilasi tekanan positif dengan tambahan oksigen, dan transpor langsung. Semakin lama keterlambatan penanganan semakin besar kemungkinan pasien mengalami cacat otak permanen. Untuk setiap pasien yang mengalami kejang umum lebih dari 5 menit, maka harus diberi pengobatan berikut:

Diazepam
Dewasa (16 tahun ke atas)
  • 5 mg IV sebagai dosis awal
  • Ulangi dosis awal IV setiap 3 menit maksimum sebesar 20 mg
Remaja (10-16 tahun)
  • 2,5 mg IV sebagai dosis awal
  • Ulangi dosis IV setiap 3 menit
  • Total dosis maksimum sebesar 10 mg
Anak-anak (0-9 tahun)
  • 0,2 mg/Kg BB sebagi dosis awal (maksimum dosis awal sebesar 2,5 mg)
  • Ulangi dosis IV setiap 3 menit
  • Total maksimum total 5 mg
Pemberian diazepam harus dihentikan jika kejang telah berhenti, telah tercapai dosis maksimum, atau bukti depresi pernafasan.

Lorazepam
Dewasa dan Remaja
  • 2 mg intrabukal sebagai dosis awal
  • Dosis ulangan 10-15 menit kemudian
  • Dosis maksimum 4 mg
Anak-anak
  • Lorazepam tidak diindikasikan untuk anak-anak


Sumber:
e-book Diabetic Emergencies and Altered Mental States.pdf. Agustus. 2009