Minggu, 22 Juli 2012

DISPEPSIA



DISPEPSIA, istilah dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu "duis" yang berarti "buruk atau sulit" dan "peptin" yang berarti mencerna, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan adanya gangguan pencernaan, namun dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan gangguan pencernaan makanan. Dispepsia mengacu pada gejala sakit pada perut setelah adanya asupan makanan, dan tampaknya terjadi pada saluran pencernaan bagian atas. Dispepsia adalah suatu gejala, bukan diagnosis. Gejala ini dapat berlangsung dalam beberapa tahun (atau bahkan seumur hidup) dan sering kali terjadi kekambuhan. Dispepsia merupakan penyakit saluran pencernaan yang paling umum yang menjangkiti sekitar 25% populasi dunia sepanjang tahun. Prevalensinya bervariasi disetiap negara tergantung pada prevalensi infeksi H.pylori, obesitas, asupan rokok-alkohol-obat dan rempah-rempah dalam masakan, lebih jauh dari itu sebagian besar penderita tidak melakukan terapi akan gangguan kesehatan ini.

Simptomatologi, gejala dispepsia diakibatkan adanya penyakit pada perut-usus dua belas jari yang meliputi: 

  • Nyeri perut diatas umbilikus
  • Rasa terbakar retrostenal
  • Regurgitasi
  • Bersendawa
  • Mual, sesekali disertai muntah
  • Distensi perut (perasaan kenyang)
  • Merasa cepat kenyang setelah makan
Dispepsia fungsional didefinisikan sebagai ketidaknyamanan atau rasa sakit retrostenal atau pada perut bagian atas, nyeri ulu hati, mual atau muntah, atau gejala lain yang dianggap mengacu pada proksimal saluran pencernaan yang berlangsung selama 4 minggu atau lebih, tidak terkait dengan kegiatan olahraga tertentu dan tidak pula akibat dari lesi fokal atau adanya penyakit sistemik tertentu.

Gejala dispepsia dibedakan menjadi:
  1. Tipe refluks: peraaan terbakar retrostenal, regurgitasi
  2. Tipe maag/ulkus: Nyeri egigastrum pada saat perut kosong dengan rasa makanan hambar, antasida atau obat penekan asam
  3. Tipe dismotilitas: perasaan penuh setelah makan, distensi, cepat kenyang, mual
  4. Rome II: Selain gejala pada tipe refluks disertai pula dengan sindrome iritasi usus besar (perasaan nyeri saat buang air besar, dengan diare atau pun konstipasi) dan penyakit hepatobiliar (tardive empedu). Gejala ini dikatakan kronis bila berlangsung selama sekurang-kurangnya 12 minggu (tidak berlanjut), dan bila gejala telah berlangsung selama 12 bulan maka dapat dikategorikan emphasif.
  5. Rome III: gejala dibedakan menjadi 2 kelompok, kelompok 1 berupa nyeri epigastrum yang dominan atau perasaan terbakar (sindrome nyeri epigastrum), dan gejala kelompok 2 berupa perasaan cepat kenyang atau penuh setelah makan (sindrom distres posprandial).
Kriteria rome I, II dan III digunakan untuk menjelaskan tingkat kesulitan pencernaan pada dispepsia. Ini adalah hal yang sulit untuk dijelaskan artinya belum ada penjelasan yang pasti dalam hal kriteria tersebut. 

Dispepsia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Dispepsia organik: esofagitis erosif, erosi lambung, gastritis akut atau kronis, ulkus lambung, ulkus duodenum, duodenitis, malignansi (lymphoma, karsinoma). Bukti adanya dispepsia organik dapat diamati dengan endoskopi (biopsi lambung), dan penggunaan barium. Hal ini dapat diduga bila disertai dengan munculnya gejala alarm berupa penurunan berat badan, pendarahan atau okultisme darah positif, anemia dan penurunan nafsu makan atau gejal-gejala yang timbul dimalam hari.
  2. Dispepsia fungsional atau dispepsia non-ulkus: seorang pasien dengan kecemasan atau kekhawatiran akan penyakit-penyakit serius (misal kanker) atau baru saja mengalami kejadian buruk kemungkinan akan mengalami dispepsia tipe ini. Pada dispepsia tipe ini tidak terdeteksi adanya lesi.
  3. Dispepsia terinduksi obat: aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS), antibiotik, bifosfonat, alendronat, estrogen, steroid, digoksin, klorokuin, suplemen kalium, zat besi. Untuk mengetahui adanya dispepsia tipe ini maka harus dilakukan penelitian terhadap sejarah pengobatan pasien.
  4. Dispepsia akibat penyakit sistemik ekstraintestinal seperti diabetes melitus, hipotiroid, hiperparatiroid, penyakit Addison's dan uremia. Gejala penyakit endokrin harus diselidiki setelah kemungkinan dispepsia organik dikesualikan.
Pengobatan
Pada pasien muda (usia kurang dari 40 tahun) dengan dispepsia tanpa disertai gejala alarm dapat diobati secara empiris dengan penghambat pompa proton atau proton pump inhibitors (PPI), dengan atau tanpa prokinetik selama 2-3 minggu. PPI harus diberikan dalam dosis omeprazole atau rabeprazole (20 mg), atau lanzoprazole (30 mg), atau pantoprazole atau esomeprazole (40 mg) perhari. Endoskopi dianggap tidak diperlukan karena keganasan dalam kelompok ini relatif rendah. Pilihan lain adalah dengan melakukan tes non-invasif terhadap H.Pylori (urea nafas atau antigen tinja) dan mengobatinya sesuai hasil tes.

Prokinetik disarankan digunakan pada dispepsia tipe dismotilitas, antagonis reseptor dopamin: metoklopramide, domperidon (10 mg TDS) dapat digunakan. Antidepresan amitriptilin 25 mg menjelang tidur juga dapat membantu. Bila disertai kecemasan dapat juga diberi lorazepam. 

Pasien dengan dispepsia fungsional harus terlebih dahulu dipastikan mereka tidak memiliki penyakit serius setelah penyelidikan minimum. Konsumsi, obat, terh berlebihan, rokok, dan alkohol dapat menyebabkan gastritis sehingga harus dihindari. Diet seperti makan dalam jumlah kecil namun sering, makan dengan sedikit air, makanan pedas (cabe) juga dapat membantu penyembuhan. 


Sumber:
Tulisan ini disarikan dari Editorial Dispepsia dari www.japi.com
Naskah lengkap dapat didownload disini