Selasa, 04 Desember 2012

PERKEMBANGAN FARMAKOLOGI - DISPOSISI, AKSI DAN TERAPI OBAT PADA BAYI DAN ANAK-ANAK



Bayi dan anak-anak sangat berbeda dengan orang dewasa dalam perspektif sosial, psikososial, perilaku dan kesehatan. Lebih dari 100 tahun yang lalu, Abraham Jacobi, Bapak Pediatri Amerika Serikat, mengakui pentingnya kebutuhan penyesuaian terapi obat terhadap umur. "Pediatrik tidak berurusan dengan miniatur laku-laki dan perempuan, dengan pengurangan dosis dan kelas yang sama dari suatu penyakit dalam tubuh yang lebih kecil, namun memiliki jangkauan dan wawasan yang mandiri". Sebagaimana pertumbuhan normal ilmu pengetahuan kita yang terus meningkat pada beberapa dekade terakhir, menunjukan bahwa perubahan perkembangan sangat mempengaruhi respon terhadap obat-obatan dan memerlukan adanya penyesuaian dosis yang tergantung pada usia.
*************************

Sebelum adanya intergrasi perkembangan farmakologi antara farmakologi klinis dan pengambilan keputusan terapeutik, banyak pendekatan yang direkomendasikan untuk menentukan dosis obat pada pediatrik seperti:
  1. Formula Young dan aturan Clarkes
  2. Poin usia diskrit
  3. Prinsip-prinsip alometrik (berdasarkan ukuran tubuh relatif) yang menganggap adanya hubungan linier antara massa (massa sel dan berat badan) dengan luas permukaan tubuh pada bayi, anak-anak, remaja dan dewasa

Namun pertumbuhan pada manusia bukanlah proses yang linier. Usia sangat terkait dengan perubahan komposisi tubuh dan fungsi organ yang dinamis. Dengan demikian pendekatan dosis yang disederhanakan tidak memadai untuk individualisasi dosis obat untuk semua rentang masa kanak-kanak. Dan hasilnya, penggunaan persamaan dosis sebagian besar telah digantikan dengan penyesuaian (normalisasi) dosis obat terhadap berat badan atau luas permukaan tubuh. Penyediaan obat yang aman dan efektif bagi pediatrik memerlukan pemahaman dan integrasi peran ontogeni dalam disposisi dan aksi obat.



Absorpsi Obat


Ada banyak metode yang digunakan untuk dapat memberikan obat pada anak-anak yang umumnya melibatkan rute ekstravaskuler. Sebuah agen terapeutik apa pun yang diberikan melalui rute ekstravaskuler harus dapat melewati hambatan kimia, fisik, mekanik dan biologis agar dapat diserap. Perubahan perkembangan pada permukaan absorpsi seperti saluran pencernaan, kulit dan paru-paru dapat mempengaruhi tingkat dan luasnya bioavailabilitas obat.

Kebanyakan obat yang diberikan kepada anak-anak melalui rute oral. Perubahan pH intraluminal pada berbagai segmen yang berbeda pada saluran cerna secara langsung dapat mempengaruhi stabilitas dan tingkat ionisasi obat, sehingga mempengaruhi jumlah relatif obat yang tersedia untuk diabsorpsi. Selama periode neonatus, pH intragastrik relatif tinggi (lebih besar dari 4) yang berakibat menyebabkan pengurangan output asam basal dan volume total sekresi lambung. Dengan demikian pemberian senyawa obat labil terhadap asam seperti penisilin G akan menghasilkan bioavailabilitas yang lebih besar pada neonatus (bayi baru lahir) dibandingkan pada infant (bayi yang lebih tua) dan anak-anak. Sebaliknya obat yang merupakan asam lemah seperti fenobarbital mungkin memerlukan dosis yan lebih besar untuk mencapai level plasma terapeutik. Selain itu kemampuan untuk melarut dan diabsorpsi dari obat lipofilik dapat dipengaruhi oleh usia tergantung perubahan fungsi empedu. Konjugasi immature dan transport garam empedu kedalam lumen usus menghasilkan rendahnya level obat intraduodenal meskipun tingkat aliran darahnya melebihi orang dewasa.

Waktu pengosongan lambung dan motilitas usus adalah penentu utama tingkat absorpsi obat disepanjang permukaan mukosa usus halus. Pada saat lahir, koordinasi kontraksi antral meningkat yang menyebabkan peningkatan laju pengosongan lambung pada minggu pertama kehidupannya. Demikian pula aktivitas motorik usus selama masa awal kehidupannya. Hingga saat ini belum banyak studi yang dilakukan untuk mengetahui perubahan penyerapan obat dari bayi ke anak-anak. Studi bioavailabilitas obat yang telah diteliti (misalnya fenobarbita, sulfonamid dan digoksin) dan zat gizi makromolekul (arabinosa dan xylose) menunjukan bahwa proses transportasi baik aktif maupun pasif menjadi matang sepenuhnya pada usia sekitar empat bulan. Namun umumnya neonatus dan bayi memiliki tingkat penyerapan obat yang lebih lambat dibandingkan anak-anak dengan demikian memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai konsentrasi terapeutik dalam plasma.

Faktor perkembangan tambahan juga berperan dalam menentukan perubahan penyerapan obat pada bayi dan anak-anak. Meskipun secara umum diasumsikan bahwa luas permukaan usus lebih sempit pada awal kehidupan seseorang, namun rata-rata panjang ususnya melebihi nilai orang dewasa. Pembentukan villi dimulai pada minggu ke 8 dan selesai pada minggu ke 20 kehamilan, sehingga tidak mungkin penurunan luas permukaan usus tersebut mengurangi penyerapan obat. Selain itu usia juga berhubungan dengan aliran darah splanknikus selama 2-3 minggu pertama kehamilan dapat mempengaruhi tingkat penyerapan obat dengan gradien konsentrasi di mukosa usus halus.

Perbedaan dalam perkembangan enzim pemetabolisme obat diusus dan efflux transporter juga mengubah ketersediaan hayati obat-obatan. Pada pemeriksaan spesimen biopsi duodenum dan jejenum menunjukan bahwa perubahan aktivitas epoksida hidrolase dan glutation peroksidase hanya sedikit dipengaruhi usia, sedangkan aktivitas enzi sitokrom P450 1A1 (CYP1A1) tampaknya meningkat seiring peningkatan usia. Sebaliknya biopsi duodenum distal menunjukkan bahwa aktivitas glutation transferase menurun dari bayi hingga remaja awal. \

Perubahan perkembangan juga dapat mengubah laju absorpsi obat-obat yang diberikan melalui rute ekstravaskuler lainnya. Penyerapan perkutan selama masa bayi mungkin meningkat dengan adanya stratum korneum tipis pada bayi prematur, disamping tingkat perfusi kulit dan hidrasi epidermis yang relatif lebih besar. Rasio permukaan tubuh total pada bayi dan anak-anak jauh melebihi orang dewasa. Jadi paparan sistemik terhadap obat topikal (misal kortikosteroid, antihistamin dan antiseptik) dapat melebihi orang dewasa dengan konsekuensi efek toksik pada beberapa kasus.

Penurunan aliran darah ke otot skeletal dan kontraksi otot yang tidak efektif dapat mengurangi tingkat penyerapan obat-obat yang diberikan melalui rute intramuskular pada neonatus.

Bioavailabilitas dari metabolisme ekstensif obat yang diberikan melalui rute rektal dapat ditingkatkan pada neonatus, kemungkinan karena ketidakmatangan perkembangan metabolisme hati dibandingkan dengan translokasi mukosa yang ditingkatkan. Namun bayi memiliki tingkat amplitudo kontraksi yang lebih tinggi dalam rektum dibandingkan dengan orang dewasa yang dapat meningkatkan pengusiran obat berbentuk padat, sehingga akan mengurangi absorpsi obat seperti eritromisin atau parasetamol.

Pemberian obat intrapulmonal (inhalasi) semakin banyak digunakan pada bayi dan anak. Meskipun tujuan utama pemberian obat dengan rute ini adalah untuk menghasilkan efek lokal, tanpa efek sistemik, sebagaimana yang terjadi pada supresi kortisol yang terjadi dalam hubungannya dengan terapi inhalasi kortikosteroid. Perubahan perkembangan pada paru-paru dan kapasitas ventilasi (ventilasi menit, kapasitas ventilasi vital dan tingkat pernafasan) kemungkinan besar mengubah pola pengendapan obat dan penyerapan sistemik setelah pemberian obat inhalasi. 

Distribusi


Perubahan komposisi tubuh terhadap umur mengubah ruang fisiologis dimana obat dapat didistribusikan. Ruang ekstraseluler dan total air dalam tubuh yang relatif lebih besar pada neonatus dibandingkan bayi dan orang dewasa disamping depot adiposa menyebabkan rasio air-lipid lebi besar menghasilkan level plasma dari obat yang lebih rendah ketika obat diberikan berdasarkan perhitungan berat badan. Pengaruh usia terhadap volume distribusi jelas tidak mudah dilihat untuk obat lipofilik terutama yang terdistribusi ke dalam jaringan.

Perubahan komposisi protein plasma yang beredar seperi albumin dan asam alfa-glikoprotein juga sangat mempengaruhi distribusi obat yang terikat kuat pada protein plasma. Penurunan kuantitas dari protein plasma total (termasuk albumin) pada neonatus meningkatkan fraksi bebas obat, sehingga mempengaruhi ketersediaan obat aktif. Adanya albumin janin (yang menurunkan afinitas ikatan obat asam lemah) dan peningkatan zat endogen (misal: bilirubin dan asam lemak bebas) mampu menggeser obat dari situs ikatannya pada albumin sehingga meningkatkan fraksi bebas dari obat. 

Faktor-faktor lain yang dapat mempengarhi distribusi obat diantaranya:
  • Variabilitas aliran darah
  • Perfusi organ
  • Permeabilitas membran sel
  • Perubahan dalam keseimbangan asam-basa
  • Curah jantung
Meskipun banyak dari distribusi obat adalah hasil dari perfusi pasif sederhana sepanjang gradien konsentrasi dan hubungannya dengan pengikatan obat pada komponen jaingan, ekspresi dari jaringan transporter mampu mmproduksi penghalang biologis yang juga akan berkontribusi.

Metabolisme


Penundaan pematangan dari aktivitas enzim pemetabolisme obat dapat menjelaskan terjadinya toksisitas obat pada bayi dan anak-anak, seperti yang dicontohkan pada kasus collapse kardiovaskuler terkait dengan gray sindrome pada neonatus yang menerima obat kloramfenikol. Perubahan perkembangan penting dalam biotransformasi ini menunjukan perlunya penyesuaian regimen obat esuai kebutuhan usia pada bayi dan anak-anak untuk obat seperti metilsantin, nafsilin, sefalosporin generasi 3, kaptopril dan morfin. Perbedaan pola pada perkembangan spesifik isoform memberikan perubahan yang jelas pada biotransformasi obat fase I (terutama oksidasi) dan fase II (konjugasi).

Perkembangan Enzim Fase I
Ekspresi enzim fase I seperti sitokrom P-450 (CYPs) berubah secara nyata selama perkembangannya. CYP3A7, merupakan isoform CYP yang dominan pada hati janin, yang melindungi janin dengan cara detoksifikasi sulfat dehidroepiandrosterone dan potensi teratogenik dari derivat asam retinoat.

Ontogeni metabolisme obat dapat juga diturunkan dari studi farmakokinetik metabolisme obat oleh isoform CYP tertentu. Bersihan midazolam intravena dari plasma merupakan fungsi utama dari aktivitas CYP3A4 dan CYP3A5 dan tingkat aktivitas meningkat dari 1,2 hingga 9 ml/menit/Kg BB selama tiga bulan pertama kehidupan. Bersihan karbamazepin dari plasma juga sangat tergantung pada CYP3A4 yang nilainya lebih besar pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa, sehingga mengharuskan penyesuaian dosis dengan berat badan dari obat untuk mencapai konsentrasi terapeutik dalam plasma.

CYP2C9 dan dalam level yang lebih rendah CYP2C19 bertanggungjawab pada biotransformasi fenitoin. Waktu paruh fenitoin pada bayi prematur jelas lebih berkepanjangan (kira-kira 75 jam), dan segera menurun sekitar 20 jam pada bayi cukup umur lahir (matur) pada minggu pertama kehidupan dan sekitar 8 jam stelah minggu kedua kehiduapnnya. Metabolisme tergantung-konsentrasi (kinetika Michaelis-Menten) tidak muncul hingga usia 10 hari, yang menunjukan adanya akuisisi perkembangan aktivitas CYP2C9.

Kafein dan teofilin keduanya merupakan substrat untuk CYP1A2 yang umumnya diresepkan untuk neonatus dan infant. Pada bayi dengan usia lebih dari 4 bulan, bersihan kafein dari plasma terutama mencerminkan aktivitas demetilasi yang dimediasi oleh CYP1A2 yang nilainya sebanding dengan orang dewasa. Sedangkan pada bayi berusia lebih dari 6 bulan bersihan plasma teofilin dapat melebihi orang dewasa. Selain itu tingkat demetilasi kafein pada remaja putri tampaknya menurun ketingkat yang terlihat pada orang dewasa setelah remaja tersebut melewati tahap Tanner 2, sedangkan pada remaja laki-laki akan terjadi setelah melewati tahap Tanner 4 atau 5. Sehingga jelas terlihat bahwa ontogeni CYP1A2 sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin.

Perkembangan Enzim Fase 2
Ontogeni reaksi konjugasi (yang melibatkan enzim fase 2) kurang mapan dibandingkan dengan ontogeni reaksi yang melibatkan enzim fase 1. Data yang tersedia menunjukan bahwa isoform individual dari glukorosiltransferase (UGT) memiliki profil pematangan yang unik dengan konsekuensi farmakokinetik. Misalnya, glukoronidasi parasetamol (substrat untuk UGT1A6 dan dalam jumlah kecil UGT1A9) menurun pada neonatus dan anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dan remaja. Glukoronidasi morfin (substrat UGT2B7) dapat dideteksi secara dini pada infant sebagaimana pada janin dalam 24 minggu usia kehamilan. Bersihan morfin dari plasma berkorelasi positif dengan usia pasca konsepsional dan quadruples antara 27-40 minggu usia postkonseptual, sehingga mengharuskan penyesuaian peningkatan dosis morfin untuk menghasilkan efek analgesia yang efektif.

Dalam sebuah studi klinis tentang obat-obat yang dimetabolisme dalam hati bersihan obat dalam plasma meningkat pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, dibandingkan dengan orang dewasa sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi berdasarkan berat badan dibandingkan orang dewasa. Mekanisme yang mendasari hal ini belum diketahui.