Rabu, 21 November 2012

KAPTOPRIL



Kaptopril atau captopril adalah salah satu obat yang familiar dibanyak negara, termasuk Indonesia. Kaptopril ini digunakan secara luas di Indonesia, dan merupakan salah satu obat yang cukup banyak diresepkan oleh para dokter, baik dokter umum maupun spesialis penyakit dalam. Tulisan ini akan berusaha menyajikan semua informasi terkait dengan kaptopril dari berbagai aspek.

Kaptopril merupakan salah obat dari golongan Angiotensin-converting enzime (ACE) inhibitor atau obat yang bekerja dengan cara menghambat kerja dari enzim pengkonversi angiotensin. Kaptopril digunakaan secara luas dalam penanganan kasus hipertensi dan pada beberapa tipe gagal jantung kongestif. Kaptopril merupakan agen ACE inhibitor yang pertama kali dikembangkan dan dianggap sebagai terobosan baru yang baik karena mekanisme kerjanya yang terbilang revolusioner.

NAMA DAN STRUKTUR KIMIA


Kaptopril mempunyai nama sistematik berupa (2S)-1-[(2S)-2-methyl-3-sulfanylpropanoyl] pyrrolidine-2-carboxylic acid. Obat ini pertama kali dipasarkan dengan nama dagang Capoten yang diproduksi oleh Bristol-Myers Squib. Penggunaan kaptopril pada wanita hamil sangat tidak direkomendasikan karena obat ini masuk pregnancy category D. Struktur kimia obat ini adalah sebagai berikut:



Rumus Struktur Kaptopril

SEJARAH


Kaptoril awalnya dikembangkan oleh tiga orang peneliti yang bekerja untuk Bristol-Myers Squib sebuah perusahaan industri obat Amerika Serikat pada tahun 1975. Para peneliti tersebut adalah Miguel Ondetti, Bernard Rubin dan David Cushman. Squib kemudian mengajukan permohonan perlindungan paten Amerika Serikat pada bulan Februari 1976 dan mendapatkan persetujuan pada September 1977.

Pengembangan kaptopril telah mengawali keberhasilan konsep revolusioner dalam hal pengembangan obat yang berbasis desain struktur. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) telah dipelajari secara intensif sejak awal abad 20 dan menjadi sebuah sistem yang menjanjikan keberhasilan yang besar pada terapi hipertensi. Renin dan enzim pengkonversi angiotensin menjadi 2 target utama. Kaptopril menjadi simbol keberhasilan laboratorium Squib dalam pengembangan ACE inhibitor ini.

Penelitian mengenai kaptopril ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yaitu pada tahun 1967, dimana Kevin KF menemukan adanya konversi angiotensin I menjadi angiotensin II berlangsung didalam sirkulasi paru-paru dan bukannya didalam darah. Sementara itu Sergio Ferreira menemukan bahwa bradikinin menghilang dalam perjalanannya melalui sirkulasi paru-paru. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghilangnya bradikinin diperkirakan dimediasi oleh enzim yang sama.

Tahun 1970 Sergio Ferreira menggunakan bradykinin potentiating factor (BPF) dan menemukan bukti bahwa konversi angiotensin I menjadi angiotensin II menjadi terhambat. BPF adalah sebuah peptida dalam bisa ular lancehead (Bothrops jararaca), yang merupakan produk penghambat konversi enzim. Kaptopril dikembangkan dari peptida tersebut dan ditemukan melalui  QSAR-based modification yang menunjukan bahwa rantai terminal sufhidril dari peptida tersebut memberikan potensi penghambatan ACE yang besar.

Kaptopril mendapat persetujuan FDA pada tanggal 6 April 1981. Dan obat ini menjadi obat generik di Amerika Serikat sejak Februari 1996, dan saat itu eksklusivitas yang dimiliki Squib berakhir. Pengembangan kaptopril telah dianggap sebagai 'biopiracy' (komersialisasi obat tradisional), karena tidak adanya keuntungan yang mengalir kepada pribumi Brazil sebagai kelompok masyarakat yang pertama kali memanfaatkan penggunaan bisa ular tersebut untuk pengobatan.

SINTESIS


Sintesis kaptopril secara kimia dengan memanfaatkan  L-proline dan (2S)-3-acetylthio-2-methylpropanoyl chloride pada kondisi basa (NaOH), yang kemudian diikuti dengan amiolisis dari kelompok asetil yang kemudian membuka masker tiol bebas. 


Sintesis Kaptopril

KEGUNAAN


Kaptopril dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasi dengan agen antihipertensi lainnya dalam pengelolaan hiperetensi. Karena kaptopril dapat menimbulkan efek samping yang serius (misalnya netropenia dan agranulositosis) terutama bila diberikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (terutama bila disertai dengan penyakit vaskuler kolagen) atau pasien yang menerima terapi imunosupresif, obat ini awalnya disiapkan untuk pasien dengan hipertensi (biasanya parah) yang tidak dapat tertangani dengan baik pada pemberian dosis terapi maksimal agen antihipertensi lainnya dalam regimen kombinasi (biasanya diuretik, β-bloker dan vasodilator) atau ketika regimen tersebut memberikan efek samping yang tak tertahankan. Namun, pengalaman klinis dengan dosis rendah (150 mg/hari) telah menunjukan bahwa kaptopril memiliki rasio manfaat-resiko yang menguntungkan dalam pengelolaan hipertensi ringan hingga sedang dan obat ini dapat digunakan sebagai terapi awal pasien dengan fungsi ginjal yang normal, dengan resiko efek samping hematologi yang relatif rendah. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, terutama dengan penyakit vaskuler kolagen, kaptopril hanya boleh diberikan jika antihipertensi lain menghasilkan efek samping yang tak tertahankan atau kombinasi obat lainnya tidak memberikan respon yang memadai.

The Joint National Committee (JNC 7) on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hypertension di Amerika serikat merekomendasikan tiazid sebagai terapi awal hipertensi pada kebanyakan pasien yang tanpa disertai adanya komplikasi penyakit lain. Dalam hal ini tiazid dapat digunakan sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan agen lainnya. Tiazid dapat dikombinasikan dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, beta-bloker atau pun pemblok kanal kalsium. Penelitian telah menunjukan bahwa penggunaan tiazid dan diuretik lainnya telah terbukti memberikan manfaat yang tak tertandingi dalam pencegahan komplikasi kardiovaskuler dari hipertensi yang murah dan dapat ditoleransi dengan baik.

Pertimbangan dalam Memulai Terapi Hipertensi
Terapi obat umumnya dicadangkan untuk pasien hipertensi yang tidak memberikan respon memadai terhadap terapi non-obat. Terapi non-obat ini diantaranya:
  1. Modifikasi gaya hidup (termasuk diet dan pembatasan asupan natrium)
  2. Aktivitas fisik/olahraga secara teratur
  3. Moderasi konsumsi alkohol
  4. Penurunan berat badan
Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan agen antihipertensi untuk setiap pasien yang memiliki tekanan sistolik/diastolik 140/90 mm Hg yang gagal menurunkan tekanan darahnya dengan modifikasi gaya hidup. Selain itu awal obat antihipertensi ini umumnya dianjurkan pada pasien yang juga menderita diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau gagal jantung yang memiliki tekanan darah sistolik 130 mg Hg atau lebih atau dengan tekanan darah diastolik 80 mm Hg atau lebih.

Terapi obat antihipertensi umumnya harus dimulai secara bertahap dengan menilai tekanan darah mingguan. Penambahan jenis obat kedua dimulai jika monoterapi dengan dosis yang cukup tidak mampu memberikan efek penurunan tekanan darah yang optimal. Inisiasi kombinasi antihipertensi dapat dimulai pada pasien dengan tekanan sistolik/diastolik lebih dari 20/10 mm Hg dari nilai yang diharapkan.

Terapi Obat Awal
Untuk hipertensi stadium 1 (tekanan sistolik 140-159 mm Hg atau tekanan diastolik 90-99 mm Hg) tanpa disertai adanya penyakit kardiovaskuler atau faktor-faktor resiko lainnya, sebagian besar ahli menyarankan penggunaan dosis rendah tiazid sebagai obat pilihan awal pada kelompok pasien ini.

Untuk pasien hipertensi stadium 2 (tekanan sistolik 160 mm Hg atau lebih atau dengan tekanan diastolik 100 mm Hg atau lebih) tanpa disertai adanya penyakit kardiovaskuler atau faktor-faktor resiko lainnya, para ahli menyarankan penggunaan kombinasi 2 antihipertensi (biasanya diuretik tiazid dengan ACE inhibitor, sebuah antagonis reseptor angiotensin II, β-bloker, atau pemblok kanal kalsium). Karena adanya kemungkinan resiko hipotensi ortostatik, maka penggunaan kombinasi antihipertensi harus dimulai secara sangat berhati-hati terutama pada kelompok pasien dengan diabetes melitus, geriatrik dan disfungsi otonom.

Terapi Pemeliharaan
Pasien yang gagal memberikan respon yang memadai terhadap terapi awal (1-3 bulan uji coba) dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, diuretik, β-bloker dan atau pemblok kanal kalsium, dosis dari obat awal dapat ditingkatkan (dosis sebaiknya kurang dari dosis maksimum yang masih dapat ditoleransi dengan baik), obat lain dapat diganti, atau ditambahkan obat dari kelas lainnya. Sedangkan pasien yang gagal merespon uji coba dengan pemberian 2 obat harus diobati dengan terapi gabungan. Kebanyakan pasien hipertensi akan memerlukan 2 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai tujuan tekanan sistolik/diastolik kurang dari 140/90 mm Hg atau kurang dari 130/80 mm Hg pada pasien yang juga disertai dengan diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau gagal jantung.

Dengan demikian kaptopril dapat digunakan sebagai terapi inisiasi monoterapi, atau sebagai obat lini kedua menggantikan obat lain yang tidak memberikan efek memadai atau tidak dapat ditoleransi dengan baik, atau sebagai komponen suatu regimen dalam kombinasi. Bila sebagai monoterapi kaptopril tidak cukup mampu menurunkan tekanan darah, maka penambahan diuretik tiazid umumnya mampu memberikan tambahan pada penurunan darah, dan dapat dilakukan pengurangan dosis salah satu obat sehingga mengurangi resiko efek samping. Pada pasien hipertensi ringan-sedang (stadium 1 dan 2) tampaknya kombinasi diuretik tiazid dan kaptopril dapat ditoleransi dengan baik dibandingkan bila diuretik tiazid dikombinasikan dengan metildopa atau propranolol.

Kaptopril mungkin juga efektif dalam pengelolaan hipertensi yang resisten terhadap obat lain. Kadang monoterapi kaptopril juga efektif pada penanganan hipertensi berat. Pada pasien yang tekanan darahnya tidak dapat terkontrol dengan menggunakan kaptopril dan diuretik, penambahan β-bloker (misal propranolol) dapat dibenarkan, namun ada laporan yang divergen tentang kombinasi ini, sehingga masih diperlukan studi lebih lanjut tentang khasiat dan keamanannya. Pada pasien angina unstabil atau infark miokard yang disertai hipertensi yang tak terkendali dengan nitrogliserin dan β-bloker, maka kaptopril ditambahkan ke dalam regimen ini.

Toleransi terhadap efek hipotensi kaptopril pada penggunaan jangka panjang tampaknya tak terjadi, terutama bila obat digunakan bersamaan dengan diuretik. Seperti halnya pada penggunaan agen antihipertensi lainnya, penggunaan kaptopril tidak bersifat kuratif, penarikan/penghentian pengobatan dapat menyebabkan level darah kembali kekeadaan sebelum pengobatan. Penghentian penggunaan kaptopril secara mendadak menyebabkan kondisi hipertensi kembali secara bertahap.

Terapi Antihipertensi untuk Pasien dengan Penyakit Kardiovaskuler atau Faktor-faktor Resiko Lainnya
Penggunaan obat antihipertensi pada pasien yang juga menderita penyakit kardiovaskuler harus sangat berhati-hati dan bersifat individual dengan memperhatikan obat-obat lain yang digunakan secara bersamaan, efek samping yang dapat ditoleransi dan tingkat tekanan darah yang diinginkan.

Penyakit Jantung Iskemik

Banyak ahli yang menyatakan bahwa pasien dengan hipertensi dan angina stabil, β-bloker menjadi obat antihipertensi pilihan pertama dengan pemblok kanal kalsium kerja panjang sebagai alternatifnya. Pada pasien dengan sindrom koroner akut (misalnya angina unstabil dan infark miokard) terapi antihipertensi yang utama terdiri dari β-bloker dan ACE inhibitor. Sedangkan pada pasien dengan infark postmiokard penggunaan ACE inhibitor, β-bloker dan antagonis aldosteron (misal eplerenone dan spironolakton) dianggap paling menguntungkan.

Gagal Jantung

ACE inhibitor digunakan untuk mencegah kekambuhan gagal jantung serta mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan disfungsi sistolik yang mengikuti infark miokard.
Beberapa ahli menyarankan pasien hipertensi dengan gagal jantung (disfungsi ventrikular diastolik atau sistolik) sebaiknya menerima terapi ACE inhibitor atau β-bloker jika disfungsi ventrikular tersebut tanpa disertai gejala, sementara jika disfungsi ventrikular tersebut disertai dengan adanya gejala atau berada pada stadium akhir pasien dapat menerima ACE inhibitor, β-bloker, antagonis reseptor angiotensin II, dan atau antagonis aldosteron dalam kombinasi dengan loop diuretik.

Diabetes Melitus

Kehadiran diabetes melitus pada pasien hipertensi meningkatkan resiko penyakit jantung koroner 2 kali lipat pada pria dan 4 kali lipat pada wanita, dan studi menunjukan bahwa resiko penyakit kardiovaskuler sekitar sekitar 2 kali lebih tinggi pada pasien hipertensi yang disertai diabetes melitus dibandingan dengan pasien hipertensi yang tanpa disertai diabetes melitus. Hasil beberapa penelitian menunjukan bahwa pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, kontrol intensif tekanan darah (tekanan sistolik kurang dari 150 mm Hg dan diastolik kurang dari 85 mm Hg) dengan menggunakan ACE inhibitor (misal: kaptopril) atau dengan β-bloker (misal: atenolol) terbukti memberikan manfaat berupa pengurangan perkembangan komplikasi diabetes melitus (misal: kematian, stroke, gagal jantung, dan penyakit mikrovaskuler).

Penelitian terbaru juga menunjukan manfaat ACE inhibitor dalam mengurangi resiko perkembangan penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler pada pasien hipertensi yang disertai diabetes melitus baik tipe 1 maupun 2. Berdasarkan penelitian ini dan tentu saja penelitian-penelitian lainya, kebanyakan ahli merekomendasikan penggunaan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, β-bloker, dan diuretik thiazid, dan pemblok kanal kalsium sebagai terapi awal pasien diabetes melitus dengan hipertensiThe American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa jika ACE inhibitor tidak dapat ditoleransi dengan baik maka antagonis reseptor angiotensin II dapat digunakan sebagai pilihan berikutnya. Pasien diabetes melitus dengan mikroalbuminuri atau nefropati jelas tidak mampu mentoleransi ACE inhibitor dan untuk itu pemblok kanal kalsium nondihidropiridon atau β-bloker dapat dipertimbangkan penggunaannya.

Insufisiensi Ginjal Kronis

Pasien hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal yang kronis (GFR kurang dari 60 mL/menit per 1,73 m2 atau albuminuria melebihi 300 mg/hari) biasanya harus menerima 3 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (kurang dari 130/80 mm Hg). ACE inhibitor dan antagonis reseptor angiotensin II telah ditetapkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal diabetik maupun nondiabetik dan sebagai upaya untuk pencegahan nefropati.

Sedangkan pada pasien dengan penurunan fungsi gnjal yang parah (GFR kurang dari 30 mL/menit per 1,73 m2) umumnya memerlukan peningkatan dosis loop diuretik yang diberikan dalam kombinasi dengan antihipertensi lainnya.

Penyakit Serebrovaskuler
Meskipun resiko dan manfaat terapi antihipertensi agresif pada pasien dengan stroke akut belum dijelaskan, kontrol tekanan darah pada tingkat menengah (sekitar 160/100 mm Hg) dianggap benar sampai kondisi pasien membaik dan stabil. Pemberian ACE inhibitor yang dikombinasi dengan diuretik thiazid telah terbukti menurunkan angka kekambuhan stroke.

Pertimbangan-pertimbangan Khusus pada Terapi Antihipertensi

  • Ras. Secara umum, orang kulit hitam akan cenderung merespon dengan lebih baik monoterapi dengan diuretik atau pemblok kanal kalsium dibandingkan monoterapi dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II atau β-bloker. Namun respon tersebut umumnya berkurang ketika diuretik dikombinasikan dengan antihipertensi lainnya. Selain itu, para ahli menyatakan bahwa ketika penggunaan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II dan β-bloker diindikasikan untuk pada pasien hipertensi dengan memperhatikan faktor-faktor resiko kardiovaskuler maka indikasi ini harus diterapkan secara sama tanpa memperhatikan faktor ras.
  • Hipertensi renovaskuler atau ganas. Kaptopril terbukti efektif untuk terapi hipertensi renovaskuler atau ganas, dan pada beberapa pasien terkait pula dengan menejemen hipertensi yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis.
  • Krisis hipertensi. Kaptopril juga dianggap obat pilihan yang tepat yang secara cepat menurunkan tekanan darah pada pasien dengan krisis hipertensi yang sifatnya urgency atau darurat. Karena terapi oral untuk krisis hipertensi dapat mengakibatkan hipotensi yang parah dan efek kardiovaskuler yang merugikan (misal: infark atau iskemia miokardiak, hipoperfusi serebrovaskuler atau stroke) maka penggunaan kaptopril dalam hal ini harus sangat berhati-hati. Pengalaman penggunaan kaptopril memang tidak sebanyak nifedipin (nifedipin tidak boleh lagi digunakan dalam kasus ini). Hipertensi darurat adalah kondisi hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. Kondisi ini merupakan kondisi yang lebih parah dari hipertensi berat.