Kamis, 27 September 2012

KEMOTERAPI PENGINDUKSI MUAL DAN MUNTAH



Perawatan pendukung terhadap pasien yang tengah menjalani terapi antineoplastik telah berkembang sedemikian rupa. Mual dan muntah merupakan salah satu manivestasi klinis penting yang sering diakibatkan pada penggunaan agen antineoplastik (kemoterapi). Penanganan mual dan muntah akibat induksi kemoterapi tersebut menjadi sangat penting, guna menjamin kepatuhan dan keberlanjutan dan akhirnya keberhasilan terapi yang diberikan pada pasien. Ketersediaan agen-agen antiemetik baru memiliki kontribusi perbaikan substansial terhadap kendali kondisi emetik tersebut. Tulisan ini akan fokus mengulas masalah pencegahan, penanganan dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien-pasien yang sedang menjalani kemoterapi.

****************
Latar Belakang

Kemungkinan berkembangnya mual dan muntah pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi sangat tergantung pada berbagai faktor. Jenis kelamin dan usia merupakan dua faktor yang sangat berperan dalam hal ini. Pasien wanita dengan usia yang lebih muda merupakan kelompok pasien beresiko tinggi terhadap mual dan muntah akibat kemoterapi. Selain itu pasien yang telah menunjukan mual dan muntah pada masa prekemoterapi, berpotensi mendapati mual dan muntah yang parah setelah menjalani kemoterapi. Sebaliknya pasien dengan riwayat konsumsi alkohol tinggi memiliki resiko mual dan muntah akibat kemoterapi yang lebih rendah. Dalam terapi pendukung terhadap kemoterapi ini, faktor dosis dan tingkat emetogenisitas juga harus diperhatikan agar dapat memberikan terapi pendukung yang tepat dan efektif.

Berdasarkan kemampuannya dalam menginduksi mual dan muntah (tingkat emetogenisitas) kemoterapi dibedakan kedalam 4 kategori sebagai berikut:
Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas minimal (<10%)
  • Bevacizumab
  • Bleomycin
  • Busulfan
  • Cladribine
  • Fludarabine
  • Vinblastine
  • Vincristine
  • Vinorelbine
Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas rendah (10-30%)
  • Bortezomib
  • Cetuximab
  • Cytarabine (≤100 mg/m2 of body-surface area)
  • Docetaxel
  • Etoposide
  • Fluorouracil
  • Gemcitabine
  • Ixabepilone
  • Lapatinib
  • Methotrexate
  • Mitomycin
  • Mitoxantrone
  • Paclitaxel
  • Pemetrexed
  • Temsirolimus
  • Topotecan
  • Trastuzumab
Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas sedang (31-90%)
  • Carboplatin
  • Cyclophosphamide (≤1.5 g/m2)
  • Cytarabine (>1 g/m2)
  • Daunorubicin
  • Doxorubicin
  • Epirubicin
  • Idarubicin
  • Ifosfamide
  • Irinotecan
  • Oxaliplatin
Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas tinggi (>90%)
  • Carmustine
  • Cisplatin
  • Cyclophosphamide (>1.5 g/m2)
  • Dacarbazine
  • Mechlorethamine
  • Streptozocin
Faktor lain yang juga harus diperhatikan dalam penentuan terapi mual dan muntah yang terinduksi kemoterapi adalah kondisi klinis mual dan muntah yang dialami pasien. Dalam hal ini konsep akut lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan kondisi emesis (mual) tertunda yang dapat diidentifikasi dengan pemberian cisplatin. Hampir semua pasien akan mengalami mual dan muntah sekitar 1-2 jam setelah pemberian kemoterapi dengan cisplatin. Biasa emesis mereda setelah 18-24 jam dan akan mencapai puncak kekambuhan kedua setelah 48-72 jam. Berdasarkan model cisplatin, emesis yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemberian kemoterapi disebut sebagai emesis akut, sedangkan emesis yang terjadi setelah 24 jam kemudian disebut emesis tertunda. Selain cisplatin, cyclophosphamide, carboplatin, dan anthracyclines juga dapat menimbulkan emesis tertunda.

Neurofisiologi Kemoterapi yang Menginduksi Mual dan Muntah

Refleks muntah hadir pada berbagai spesies hewan mulai dari ikan hingga mamalia yang lebih tinggi sebagai respon adanya racun yang tertelan. Mekanisme muntah ini sangat kompleks. Pada manusia, respon muntah tidak selalu didahului dengan munculnya sensasi tidak menyenangkan yang disebut mual. Sistem syaraf pusat memainkan peranan penting dalam pengaturan fisiologi mual dan muntah ini. Sistem saraf pusat juga memainkan peranan utama dalam menghasilkan sinyal eferen yang dikirimkan ke sejumlah organ dan jaringan yang akhirnya menghasilkan muntah.

Mekanisme
Beberapa mekanisme mual dan muntah akibat induksi kemoterapi dijelaskan secara bertahap dalam 25 tahun terakhir ini. Tiga komponen kunci termasuk daerah-daerah di otak belakang dan aferen vagal perut telah diidentifikasi. Studi yang telah dirintis oleh Wang dan Borison dalam 60 tahun terakhir telah mengusulkan konsep pusat muntah yang terletak dimedula. Sejumlah neuron diarea medula saling berinteraksi dan mengkoordinasikan refleks emetik.

Dalam sebuah studi terhadap hewan percobaan ditemukan adanya dua sumber primer input/masukan aferen yang masuk ke daerah otak belakang dan memulai terjadinya refleks muntah setelah terpapar kemoterapi. Aferen vagal perut memiliki relevansi yang besar dalam hal ini. Berbagai reseptor termasuk 5-hydroxytryptamine3 (5-HT3), neurokinin-1, dan kolesistokinin-1 terletak pada area aferen vagal perut tersebut. Reseptor-reseptor tersebut terletak didekat sel-sel enteroendokrin mukosa gastrointestinal pada usus kecil proksimal yang berisi sejumlah mediator lokal seperti 5-hydroxytryptamine (5-HT), substansi P, dan kolesistokinin. Agen antineoplastik dapat menginduksi mual dan muntah baik secara langsung pada mukosa maupun melalui darah, merangsang sel-sel enteroendokrin untuk merilis sejumlah mediator yang kemudian mengikat reseptor yang sesuai pada serat vagal yang saling berdekatan yang menyebabkan stimulus pada aferen yang berakhir pada punggung batang otak, terutama pada inti traktus solitarius yang kemudian mengaktifkan pusat generator (pusat mual). 5-HT dianggap sebagai mediator yang paling bertanggung jawab pada munculnya respon mual dan muntah.



Tulisan terkait
Terapi Emesis Akibat Penggunaan Kemoterapi



Sumber
Artikel asli dapat didownload disini