Jumat, 10 Agustus 2012

SINDROME SEROTONIN


Sindrome serotonin adalah reaksi obat merugikan (ROM) yang berpotensi mengancam jiwa atau mengakibatkan kematian. Reaksi tersebut dapat terjadi pada pemakain obat untuk tujuan terapeutik tertentu, atau upaya yang disengaja untuk meracuni diri sendiri, atau pun akibat interaksi dengan obat tertentu yang tidak disengaja. Untuk memahami tentang sindrome serotonin ini, maka terlebih dahulu harus dipahami hal-hal berikut:
Pertama, sindrome serotonin bukanlah reaksi obat yang idiopatik (tidak dikatahui penyebabnya), melainkan suatu konsekuensi dari kelebihan agonisme serotonin yang dapat diprediksi pada reseptor sistem syaraf pusat dan reseptor seretonergik perifer.
Kedua, Kelebihan serotonin menghasilkan spektrum temuan klinis.
Ketiga, manivestasi klinis dari sindrome serotonin ini dapat tidak terlihat hingga mengakibatkan terjadinya kematian.

Kasus kematian Libby Sion pada usia 18 tahun pada sekitar 20 tahun lalu merupakan salah satu contoh kasus sindrome serotonin yang cukup tragis. Sebuah reaksi obat yang terjadi akibat pemberian bersama meperidin dan fenelzine. Yang memprihatinkan dari kasus ini adalah karena pada dasarnya reaksi obat merugikan tersebut dapat dicegah.

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

Sindrome serotonin sering digambarkan sebagai kondisi klinis dimana terjadi perubahan status mental, hiperaktivitas autonom, dan kelainan neuromuskular namun tidak semua gejala klinis tersebut hadir pada kondisi pasien dengan sindrome serotonin tersebut. Tanda-tanda kelebihan serotonin dapat berkisar dari tremor dan diare pada gejala ringan hingga terjadinya delirium, kekakuan neuromuskular, dan hipertermia yang mengancam jiwa. Yang menjadi masalah dalam kasus ini adalah bahwa gejala-gejala ringan sering kali diabaikan, dan dengan adanya peningkatan dosis penyebab atau obat proserotonergik dapat mengakibatkan kerusakan klinis yang dramatis.

Insiden sindrome serotonergik diduga mencerminkan meningkatnya penggunaan agen proserotonergik dalam praktek klinis. Pada tahun 2002, The Toxic Exposure Surveillance System mencatat bahwa berdasarkan data peresepan yang diperoleh dari dokter praktek, pasien rawat inap, dan instalasi gawat darurat dari 26.733 pasien yang menerima resep selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) 7349 pasien diantara mengalami efek toksik yang signifikan dan mengakibatkan kematian pada 93 pasien diantaranya. Penilaian akan kemungkinan sindrome serotonin selama ini selalu didasarkan pada studi dan pengawasan post market. Penilaian epidemiologi yang ketat akan sulit dilakukan karena umumnya dokter kurang menyadari sindrome serotonin ini sebagai diagnosa klinis. Sindrome ini umumnya terjadi pada 14-16% pasien yang over dosis pada penggunaan SSRI.

Sindrome serotonin dapat terjadi pada berbagai situasi klinis, namun demikian beberapa kondisi menghambat kemampuan dokter mendiagnosis kondisi tersebut, diantara karena:
  1. Sindrome mungkin terlewatkan karena manivestasi proteannya. Dokter dan pasien dapat menghentikan gejala seperti tremor yang disertai diare atau hipertensi karena dianggap sebagai gejala yang tidak penting dan tidak berhubungan dengan terapi obat yang sedang dijalani. Kemudian gejala kecemasan dan akathisia hanya dianggap sebagai masalah kondisi kejiwaan.
  2. Aplikasi ketat dari kriteria diagnostik yang diusulkan oleh Sternbach berpotensi mengesampingkan hal-hal yang dianggap sebagai gejala ringan, kasus awal atau gangguan subakut.
  3. Dokter tidak dapat mendiagnosa kondisi yang mana mereka tidak menyadarinya, meskipun sindrome serotonin ini tidak jarang telah berhasil diidentifikasi pada pasien pada segala usia, baik orang tua, anak-anak atau bayi baru lahir sekali pun.
Sejumlah obat atau kombinasi obat yang terbukti mencolok mengakibatkan sindrome serotonin diantaranya adalah:
  1. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI); sertraline, fluoxetin, fluvoxamin, paroxetin, citalopram
  2. Obat antidepresan; trazodon, nevazodon, buspiron, klomipramin, dan venlafaxine
  3. Monoamine oksidase inhibitor (MAOI); fenelzine, moklobemide, klorgiline, dan isokarboksazide
  4. Antikonvulsan; valproate
  5. Analgesik; meperidin, fentanil, tramadol dan pentasozin
  6. Antimuntah; ondansetron, granisetron dan metoklopramide
  7. Antimigrain; sumatriptan
  8. Obat bariatrik; sibutramin
  9. Antibiotik; linezolide (MAOI), dan ritonavir (melalui penghambatan sitokrom P-450 enzim isoform 3A4)
  10. Obat batuk dan pilek bebas; dekstrometorfan
  11. Penyalahgunaan obat; metilenedioksimethamfetamin (MDMA atau ekstasi), lisergit (LSD)
  12. Suplemen diet dan produk herbal; triptopan, Hypericum perforatum, Panax ginseng (ginseng)
  13. Lithium
Interaksi obat yang berhubungan dengan keparahan sindrome serotonin:
  1. Zoloft, Prozac, Sarafem, Luvox, Paxil, Celexa, Desyrel, Serzone, Buspar, Anafranil, Effexor, Nardil, Manerix, Marplan, Depakote, Demerol, Duragesic,Sublimaze, Ultram, Talwin, Zofran, Kytril, Reglan, Imitrex, Meridia, Redux, Pondimin, Zyvox, Norvir, Parnate, Tofranil, Remeron
  2. Fenelzine dan meperidine
  3. Tranilsipromin dan imipramine
  4. Paroxetine dan buspirone
  5. Linezolide dan citalopram
  6. Moclobemide dan SSRI
  7. Tramadaol, venlafaxine dan mirtazapine
Dosis tunggal SSRI dapat menyebabkan sindrome serotonin. Selain itu obat yang menghambat isoform CYP2D6 dan CYP3A4 yang ditambahkan pada regimen SSRI telah terkait dengan kondisi tersebut. Pemberian agen serotonergik dalam 5 minggu setelah dihentikannya penggunaan fluoxetine menghasilkan puncak interaksi obat yang mengakibatkan sindrome serotonin, hal ini mungkin terjadi karena adanya demetilasi fluoxetine, suatu metabolit aktif fluoxetine yang mempunyai waktu paruh lebih panjang dibanding senyawa induknya. Obat khusus seperti MAOI irreversibel atau yang spesifik menghambat monoamin oksidase subtipe A, berkaitan erat dengan terjadinya sindrome serotonin parah, terlebih bila obat-obat tersebut digunakan dalam kombinasi dengan SSRI.




Gambar 1
Metabolisme dan Biosintesis Serotonin

Serotonin dihasilkan melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi l-triptopan. Serotonin kemudian masuk kedalam vesikel dimana ia dibutuhkan untuk neurotransmisi. Setelah stimulasi aktonal, serotonin dilepaskan kedalam ruang intrasinaptik, dimana reseptor presinaptik berfungsi sebagai umpan balik untuk menghambat eksositosis vesikel. Serotonin kemudian terikat pada reseptor postsinaptik untuk efek neurotransmisi. Mekanisme reuptake mengembalikan serotonin ke sitoplasma dari neuron presinaptik dan dikembalikan ke vesikel. Serotonin kemudian dimetabolisme oleh monoamin oksidase subtipe A menjadi asam hidroksiindolasetat.




MANIVESTASI KLINIS

Sindrome serotonin dapat mencakup banyak manivestasi klinis. Pasien dengan kasus ringan mungkin mengalami afebris namun dengan takikardia, sedangkan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya gejala-gejala seperti menggigil, diaforesis, dan midriasis. Sedangkan pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan adanya tremor atau mioklonus atau hiperrefleksia.

Sedangkan pada kasus yang moderat, sejumlah kelainan dapat terjadi seperti takikardia, hipertensi dan hipertermia. Suhu inti mencapai 40°C merupakan pertanda umum adanya keracunan yang moderat. Sedangkan dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya midriasis, bising usus yang hiperaktif, diaforesis dengan warna kulit normal. Yang menarik pada kasus ini, gejala hiperrefleksia dan klonus lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah dibandingkan pada ekstremitas atas. Pasien mungkin menunjukan gejala klonus okular horisontal. Terjadi perubahan status mental termasuk agitasi ringan dan tekanan suara. Pasien juga mungkin bertindak mengejutkan.

Sedangkan pada pasien dengan sindrome serotonin yang parah akan menunjukan gejala hipertensi berat dengan takikardia yang dapat secara tiba-tiba berubah menjadi shok. Pasien juga mungkin mengalami agitasi delirium serta kekakuan otot dan hipertonisitas. Peningkatan tonus otot lebih besar terjadi pada ekstremitas bawah. Hiperaktivitas otot dapat mengakibatkan suhu inti mencapai 41,1°C. Pada kasus sindrome serotonin yang berat abnormalitas laboratorium dapat berupa asidosis, rhabdomyolisis, peningkatan konsentrasi aminotransferase dan kreatinin serum, selain itu terjadi pula kejang, gagal ginjal, dan koagulopati intravaskular disaminata. Berbagai abnormalitas lain juga dapat terjadi sebagai konsekuensi buruknya penanganan hipertermia.


Gambar 2
Berbagai Tanda yang dapat ditemukan pada pasien dengan sindrome serotonin moderat

Onset terjadinya gejala sindrome serotonin umumnya cepat, dengan temuan klinis yang terjadi dalam hitungan menit setelah pemberian obat atau terjadinya keracunan. Sekitar 60% pasien yang mengalami sindrome serotonin ini terjadi dalam 6 jam setelah penggunaan obat, overdosis, atau perubahan dosis. Pasien dengan manivestasi ringan hadir dengan gejala subakut atau kronis, sedangkan pada kasus yang berat dapat berkembang hingga terjadinya kematian. Sindrome serotonin diyakini tidak menghilang secara spontan selama agen menyebab masih tetap diberikan.

PATOFISIOLOGI DAN MEKANISME MOLEKULAR

Serotonin dihasilkan dari dekarboksilasi dan hidroksilasi l-triptopan. Jumlah produksi dan mekanisme aksinya diatur oleh mekanisme reuptake, umpan balik loops dan metabolisme enzim. Reseptor serotonin dibagi menjadi 7 5-hidroksitriptamin (5-HT1 sampai 5-HT7). Selanjutnya keragaman struktur dan operasional dicapai melalui polimorfisme alel, sambatan varian, isoform reseptor, dan pembentukan heterodimer reseptor.

Neuron serotonergik pada sistem syaraf pusat terutama ditemukan diinti raphe garis tengah yang terletak dibatang otak dari otak tengah ke medula. Akhir rostral dari sistem ini membantu pengaturan keadaan terjaga, perilaku afektif, asupan makanan, termoregulasi, migrain, emesis dan perilaku seksual. Neuron dari raphe pons lebih rendah dan medula berpartisipasi dalam regulasi nosisepsi dan motor tone. Pada jaringan perifer, sisitem serotonin membantu dalam regulasi pembuluh darah dan motilitas gastrointestinal.

Tampaknya tidak ada reseptor tunggal yang sepenuhnya bertanggung jawab pada terbentuknya kondisi sindrome serotonin ini, meskipun beberapa bukti menunjukan bahwa reseptor 5-HT1a mungkin berkontribusi pada interaksi farmakodinamik yang menyebabkan peningkatan konsentrasi sinaptik serotonin. Hiperaktivitas noradrenergik sistem syaraf pusat mungkin memainkan peranan penting dalam hal ini karena konsentrasi norepinefrin sistem syaraf pusat meningkat pada kondisi sindrome serotonin.

DIAGNOSIS

Tidak ada tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengonfirmasi kondisi sindrome serotonin ini. Sementara itu adanya tanda-tanda seperti tremor, klonus, akathisia tanpa adanya tanda-tanda ekstrapiramidal tambahan harus mengarahkan dokter untuk kemungkinan diagnosa sindrome ini, yang harus disimpulkan dari sejarah dan pemeriksaan fisik pasien. Untuk mendapatkan riwayat pasien dokter harus menannyakan tentang penggunaan obat-obat bebas maupun resep, obat terlarang dan suplemen makanan karena semua agen tersebut terkait dengan perkembangan sindrome serotonin. Evolusi gejala dan tingkat perubahan juga harus ditinjau ulang. Pemeriksaan fisik harus mencakup penilaian terfokus refleks tendon dalam, klonus, dan kekakuan otot selain ukuran dan reaktivitas pupil, kekeringan pada mukosa mulut, intensitas bising usus, warna kulit dan ada tidaknya diaforesis.

Perbedaan diagnosis antara keracunan antikolinergik, hipertermia malignan, dan sindrome neuroleptik malignan dapat dengan mudah dibedakan berdasarkan sejarah pengobatan pasien. Pasien dengan sindrome antikolinergik memiliki refleks normal dan menunjukan "toxidrome" dari midriasis, gelisah delirium, mukosa mulut kering; panas, kering, eritematosa kulit; retensi urin dan tidak adanya bising usus. Bising usus hiperaktif disertai kelainan neuromuskular, diaforesis dan warna kulit normal membedakan sindrome serotonin dengan toxidrome antikolinergik.

Hipertermia malignan adalah penyakit farmakogenetik yang dikarakteristik oleh konsentrasi tindal akhir karbon dioksida. Penyakit ini terjadi dalam beberapa menit setelah terpapar agen anestesi inhalasi.

Sindrome neuroleptik malignan adalah reaksi idiopatik antagonis dopamin, suatu kondisi yang didefinisikan dengan onset lambat, bradikinesia atau akinesia, kekakuan otot, hipertermia, kesadaran fluktuatif dan ketidakstabilan otonom. Tanda dan gejala sindrome neuroleptik malignan biasanya berkembang selama beberapa hari berbeda dengan onset yang cepat dari hiperkinesia sindrome serotonin. Pengetahuan tentang obat pencetus juga sangat membantu dalam membedakan antar sindrome; antagonis dopamin menghasilkan bradikinesia, sedangkan agonis serotonin menghasilkan hiperkinesia.

MANAJEMEN

Manajemen sindrome serotonin melibatkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Penghentian obat pencetus
  2. Perawatan suportif
  3. Kontrol agitasi
  4. Pemberian antagonis 5-HT2a
  5. Kontrol ketidakseimbangan outonom
  6. Kontrol hipertermia
Banyak kasus dari sindrome serotonin dapat teratasi dalam waktu 24 jam setelah dimulainya terapi dan dihentikannya agen serotonergik, tetapi gejala dapat tetap bertahan terutama pada sindrome serotonin yang diakibatkan penggunaan obat serotonergik dengan waktu paruh panjang, adanya metabolit aktif, atau adanya durasi kerja obat yang berkepanjangan. Perawatan pendukung yang meliputi pemberian cairan intravena dan koreksi tanda vital tetap menjadi terapi utama. 

Intensitas terapi tergantung pada keparahan penyakit. Pada kasus ringan (adanya hiperrefleksia dan tremor tanpa adanya demam) biasanya dapat segera diatasi dengan perawatan pendukung, penghentian penggunaan obat pemicu dan pengobatan dengan benzodiazepin. 

Pengelolaan agitasi dengan benzodiazepin sangat penting terlepas dari faktor keparahannya. Benzodiazepin seperti diazepam meningkatkan kelangsungan hidup dari hewan model dan menunmpulkan komponen adrenergik sindrome. 

Terapi farmakologi diarahkan dengan pemberian antagonis 5-HT2a. Siproheptadin adalah terapi yang direkomendasikan untuk terapi sindrome serotonin ini, meskipun khasiatnya belum dievaluasi dengan jelas. Pengobatan sindrome serotonin pada orang dewasa mungkin memerlukan 12-32 mg obat selama periode 24 jam, dosis tersebut mengikat 85-95% reseptor serotonin. Dokter harus mempertimbangkan dosis awal 12 mg siproheptadin dan kemudian 2 mg setiap 2 jam jika gejala masih berlanjut. Dosis pemeliharaan meliputi 8 mg siproheptadin setiap 6 jam. Siproheptadin hanya tersedia dalam bentuk sediaan oral, tetapi tablet dapat hancur dan diberikan melalui tabung nasogastrik. Agen antipsikotik atipikal dengan antagonis reseptor 5-HT2a dapat memberikan keuntungan pada terapi sindrome serotonin ini. Pada pemberian sublingual olanzapine 10 mg dapat diberikan, namun khasiatnya belum dievaluasi dengan baik. Jika dokter menginginkan pemberian obat dengan cara parenteral, maka dapat dipertimbangkan pemberian klorpromazin 50-100 mg, meskipun penggunaan klorpromazin dipandang telah ketinggalan zaman, namun penggunaannya masih dapat dipertimbangkan.

Kontrol outonom meliputi stabilisasi terhadap fluktuasi nadi dan tekanan darah. Hipotensi yang timbul akibat interaksi MAOI harus diobati dengan dosis rendah amina yang bertindak langsung sebagai simpatomimetik seperti norepinefrin, fenilefrin dan epinefrin. Agen tidak langsung seperti dopamin terlebih dahulu dimetabolisme menghasilkan epinefrin dan norepinefrin.

Pengendalian hipertermia melalui penghilangan aktivitas otot yang berlebihan. Meskipun benzodiazepin memiliki efek menguntungkan pada kasus moderat, namun dalam kasus yang sangat berat (dimana suhu mencapai lebih dari 41,1°C) kelumpuhan harus segera diinduksi dengan agen nondepolarisasi seperti vecuronium yang diikuti dengan intubasi dan ventilasi orotrakheal. Dokter harus menghindari penggunaan suksinilkolin karena resiko aritmia dan hiperkalemia terkait rhabdomyolisis. 

Tidak ada peranan yang dapat diberikan oleh antipiretik pada kasus sindrome serotonin ini, karena hipertermia yang terjadi akibat hiperaktivitas otot bukan karena perubahan set point pada hipotalamus.

Terapi dengan propranolol, bromokriptin dan dantrolene tidak dianjurkan. Propranolol merupakan agen antagonis 5-HT1a dengan durasi kerja yang panjang yang dapat menyebabkan hipotensi dan shok pada pasien dengan ketidakstabilan outonom. Bromokriptin suatu agonis dopamin dan dantrolene merupakan terapi yang tidak berguna. Bromokriptin juga terbukti terlibat dalam perkembangan sindrome serotonin, sehingga dapat memperburuk kondisi sindrome serotonin tersebut.

Dalam sebuah studi dilaporkan bahwa penggunaan bromokriptin dan dantrolene menyebabkan peningkatan suhu tubuh secara mendadak yang berpuncak pada kematian. 

Terapi antagonis dengan menggunakan siproheptadin atau klorpromazin mungkin menghasilkan efek yang tidak diinginkan. Dosis siproheptadin yang digunakan dapat menghasilkan efek sedasi, tapi efek ini merupakan salah satu efek yang menjadi tujuan dari terapi, sehingga dokter tidak perlu khawatir dalam penggunaannya. Klorpromazin merupakan agen yang telah ketinggalan zaman yang dikaitkan dengan hipotensi ortostatik berat yang dapat memperburuk hipertermia. 

PENCEGAHAN

Sindrome serotonin dapat dihindari dengan cara kombinasi penelitian farmakogenomik, edukasi dokter, modifikasi peresepan dan penggunaan kemajuan teknologi. Penerapan prinsip-prinsip farmakogenomik dapat berpotensi melindungi pasien dari resiko sindrome serotonin sebelum pemberian agen serotonergik. 

Setelah toksisitas terjadi, konsultasi dengan toksikologi medis untuk membantu dokter tersebut dalam mengatasi dampak buruk sindrome serotonin. Menghindari regimen multi obat sangat berperan dalam menghindari sindrome serotonin.



Sumber
The New England Journal of Medicine
www.nejm.org