Senin, 22 Juli 2013

DIABETES MELITUS TAK TERKONTROL



Tulisan ini dikutip dari sebuah artikel studi kasus yang dimuat di www.nejm.org dibawah judul "Case 17-2013: A 56-Year-Old Woman with Poorly Controlled Diabetes Mellitus and Fatigue". Contoh kasus ini merupakan kasus yang terjadi di Massachusetts General Hospital (dipublikasikan pada tanggal 30 Mei 2013). Semoga tulisan ini bermanfaat.

Presentasi Kasus


Seorang pasien wanita berusia 56 tahun yang telah terdiagnosa diabetes melitus harus menjalani perawatan di rumah sakit karena hiperglikemia (kadar gula dalam darah yang melebihi batas normal) dan nyeri dada.

Selama ini pasien telah terdiagnosa diabetes melitus dan menjalani terapi dengan antidiabetik oral selama beberapa tahun, hingga suatu saat kadar gula darahnya menjadi sulit untuk dikendalikan. Dalam kurun waktu sekitar 6 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai merasakan adanya gejala-gejala seperti mual, sensasi logam, sakit kepala, nyeri tenggorokan, ketidaknyamanan pada dada dan saluran pencernaan. Terapi omeprazol, lanzoprazol dan antasida juga telah diberikan dokternya padanya untuk mengontrol gejala-gejala tersebut. Tiga minggu sebelum masuk rumah sakit juga telah dilakukan pemeriksaan klinis untuk mengevaluasi gejala. Hasil pemeriksaan klinis menunjukan:
  • Berat badan 74,4 Kg
  • Mulut kering
  • Tanda-tanda vital dan uji laboratorium darah relatif normal
  • Kadar glukosa darah kapiler 314 mg/dL
Sedangkan pada pemeriksaan 3 hari sebelum masuk rumah sakit:
  • Tekanan darah 128/76 mm Hg
  • Denyut jantung 100 denyut/menit
  • Berat badan 73,8 Kg, tinggi badan 174 cm, indeks massa tubuh 24,4
  • Paru-paru bersih
  • Ada edema kaki
  • Hasil ultrasonografi abdomen menunjukan adanya liver yang berlemak, atropi pankreas dan kista pada ginjal kanan
Pasien ini kemudian diberi metoklopramide sebagai dismotilitas. Pasien dibawa ke rumah sakit melalui unit gawat darurat karena keluhan ketidaknyamanan tenggorokan, dada dan epigastrum yang dirasa meningkat terutama saat dalam posisi terlentang. Pasien juga mengeluh adanya gangguan tidur, mual dan perasaan penuh setiap kali sesudah makan. Pasien juga merasakan adanya ketidaknyamanan saat beraktivitas (malaise) tanpa disertai adanya dispnea, diaforesis, jantung berdebar, pusing, muntah, diare, melena atau pun darah pada tinja.

Pasien ini telah didiagnosa menderita diabetes mellitus tipe 2 dalam kurun waktu 3,5 tahun terakhir. Diagnosa tersebut ditetapkan karena adanya gejala poliurea dan polidipsia. Terapi metformin pun diberikan. Kadar hemoglobin terglikasi sebesar 7,4% yang diukur pada 1 tahun sebelum pasien masuk rumah sakit. 4 bulan sebelum masuk rumah sakit kadar hemoglobin terglikasi meningkat menjadi 10,4%, maka terapi glimepirid pun ditambahkan untuk pasien ini. 

Bukti-bukti klinis selama pasien menjalani perawatan di rumah sakit diantaranya:
  1. Hasil rontgen dada pada 4 tahun yang lalu terlihat adanya bintil kecil pada paru-paru sebelah kanan. Setengah tahun kemudian dilakukan CT Scan dengan pemberian kontras dan diketahui bintil tersebut merupakan bintil paru-paru nonkalsifikasi dengan ukuran 8 x 10 mm pada bagian kanan atas dan tidak ada limfodenopati mediastinum.
  2. Pasien mengeluh sakit kepala sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien telah menjalani litotripsi untuk nefrolitiasis, bilateral salpingo-ooforektomi untuk mengatasi kista ovariumnya pada 6 tahun sebelumnya, dan pasca operasi hernioraphy. Obat-obatan seperti metformin, glimepiride, natrium sitrat dehidrat, magnesium oksida serta naproksen sesuai kebutuhannya. Tidak ada riwayat alergi. Penggunaan amilorida telah dihentikan karena alasan frekuensi buang air kecil. Pasien tinggal sendiri dan bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Pasien tidak merokok, minum alkohol dan obat-obatan terlarang. Ibu pasien menderita transient iskemik, ayahnya telah meninggal pada usia 85 tahun, memiliki penyakit jantung, gagal ginjal dan diabetes mellitus. Pasien juga memiliki kerabat dari paternal dengan riwayat kanker usus besar.
  3. Pada saat pasien masuk rumah sakit, pemeriksaan fisik menunjukan tekanan darah 153/80 mm Hg, denyut nadi 120 denyut permenit, pernafasan 20x permenit, saturasi oksigen 96%, suhu tubh 37,4°C dan meningkat menjadi 38.2°C, selain itu normal. Sedangkan dari hasil urinalisis diperoleh data warna urin kuning, pH 5,5, glukosa +3 (> 1000 mg/dL), bilirubin +1, keton +2, urin juga mengandung bercak darah, bakteri dan sel skuamosa.
  4. Rontgen yang dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit menunjukan adanya kekeruhan pada dasar paru, sebuah gambaran yang konsisten untuk pneumonia, selain itu terdapat pula kegelapan nodular pada lobus kanan atas yang melapisi posterior rusuk kelima dan keenam yang meningkat ukurannya dari 4 tahun sebelumnya.
  5. Hasil elektrokardiogram (EKG) menunjukan adanya pembesaran atrium kiri dan dinyatakan normal. Pasien dirawat dirumah sakit dan menerima terapi insulin glargine, levofloksasin, azitromisin, dan seftriakson, dalteparin, lisinopril, kalium klorida, albuterol inhaler, magnesium oksida, metoklopramid, antasida, dan normal saline intravena, tiamin, asam folat, dan asetaminophen. Dalam 3 hari pertama perawatan, suhu tubuh meningkat menjadi 39,1 ° C, terjadi dispnea dan batuk produktif, saturasi oksigen menurun menjadi 82% saat pasien bernafas dengan udara ambien. Maka pasien pun diberi terapi oksigen. Kultur darah memberikan hasil steril, sedangkan kultur urin menunjukan adanya kontaminasi, Uji antigen virus influenza A memberikan hasil positif.
  6. Pada pemeriksaan CT Scan terbaru menunujukan adanya pembesaran ukuran bintil paru menadi 11 x 13 mm. Pneumonia multifokal terlihat bilateral seperti efusi pleura kecil.
  7. Terapi antimikroba kemudian diubah menjadi vankomisin, sefepim, levofloksasin, metronidazol dan oseltamivir, dengan perbaikan bertahap. Pada pencitraan gastrointestinal atas terlihat adanya motilitas normal, hernia hiatus kecil, dan gastroesophageal refluks sedang sampai parah. Pasien pulang ke rumah setelah 12 hari dirawat, dan tetap mendapatkan terapi insulin glargline, lisinopril, suplemen magnesium, spironolakton, kalium klorida, omeprazol, proklorperazin maleat, aspirin, multivitamin, primidon pada waktu tidur, dan lorazepam yang diperlukan untuk mengatasi kegelisahan. Pasien diminta kembali setelah satu minggu, namun pasien tidak kembali. Sebelas hari setelah pasien pulang ke rumahnya, dilakukan uji anti-islet sel sitoplasma  antibodi yang positif pada 0,11 nmol/L, dan pulau antigen 512 antibodi negatif. 
  8. Pada 3 bulan berikutnya pasien dibawa ke unit gawat darurat dan harus menjalani perawatan diunit psikiatri darurat karena gangguan tremulousness dan kecemasan yang meningkat, selain itu juga terjadi hiperglikemia. Dan 3 bulan berikutnya, pasien mengunjungi dokter primernya dengan kondisi tekanan darah rendah dan berat badan 64,9 Kg. Pasien diminta menghentikan mengkonsumsi obat lisinopril, primidon, dan suplemen kalium dan mengurangi dosis spironolakton. Bulan berikutnya, pasien menunjukan kondisi kelelahan dan penngkatan kadar glukosa darah. Level thyrotropin darahnya 1.1 μU/mL (normal).
  9. Lima bulan berikutnya, pasien dibawa ke dokter primernya dengan kondisi kelelahan yang persisten, rambut yang menipis dan kelelahan kaki serta memburuknya edema kaki dalam kurun waktu beberapa minggu. Terapi atenolol diberikan untuk mengatasi tremor esensial. Dua minggu kemudian dilakukan CT Scan dada dengan menggunakan kontras, dan memperlihatkan hasil adanya bintil nonkalsifikasi dengan ukuran 11 x 13 mm dilobus kanan atas, tak berubah dari pengujian sebelumnya; subsegmental atelektasis di lingula, lobus tengah kanan, kedua lobus rendah, tersebar getah bening mediastinum sebesar kurang dari 1 cm, kista ginjal bilateral, dan efusi pleura. Kelenjar adrenal membesar secara difus, sebuah temuan yang konsisten untuk hipertropi. Enam bulan kemudian pasien kembali ke rumah sakit karena peningkatan edema kaki, pembengkakan pada wajah dan perut, kelemahan kaki dan kesulitan bangkit dari tempat duduk serta kenaikan berat badan sebesar 7 Kg dalam waktu 2 minggu tanpa adanya perubahan diet. 

Diagnosa Pembanding


Berdasarkan berbagai gejala progresif yang diuraikan diatas, Dr. Jose C. Florez mengungkapkan diagnosa yang mungkin ditetapkan untuk pasien tersebut diantaranya adalah diabetes mellitus tak terkontrol, bintil paru -paru soliter, atau pun Cushing syndrome.

Diabetes Mellitus Tak Terkontrol


Diabetes mellitus tak terkontrol dapat berupa diabetes yang tak terobati atau karena kesalahan diagnosa jenis diabetes. Perubahan progresif karena peningkatan berat badan atau peningkatan kerusakan sel beta atau karena adanya tumpang tindih proses patologis (misalnya pankreatitis, kanker pankreas, hemokromatosis, kistik fibrosis, akromegali, lipodistropi, penggunaan obat-obatan tertentu, atau tingkat glukokortikoid endogen dan eksogen). Kemungkinan bahwa diabetes mellitus ini tak terkontrol karena diabetes yang tak terobati hampir pasti tak mungin terjadi dalam kasus ini karena tingkat hemoglobin terglikasi telah stabil selama bertahun-tahun, namun dalam waktu cepat kadar glukosa darahnya menjadi tak terkontrol. Kesalahan diagnosa jenis diabetes dapat mengakibatkan kesalahan dalam menentukan strategi terapi. Bentuk-bentuk diabetes monogenik seperti diabetes mellitus neonatal atau diabetes mellitus maturitas dengan onset pada usia muda sering terjadi kesalahan diagnosa, dimana jenis diabetes tersebut dapat dianggap sebagai diabetes mellitus tipe1 atau tipe 2. Diabetes autoimun laten pada orang dewasa adalah bentuk diabetes autoimun yang mirip dengan diabetes tipe 1, yang ditandai dengan adanya antibodi dekarboksilase anti-asam glutamat atau antibodi anti-sel islet, namun pasien sering kali datang memeriksakan diri setelah usianya 30 tahun. Penyakit ini mempunyai masa kembang yang cepat, dengan onset nonketotik dan penundaa dalam beberapa bulan sebelum akhirnya diperlukan terapi insulin. Pasien ini tidak mengalami obesitas saat awal diagnosa diabetes ditetapkan pada saat usianya telah dewasa, dia juga memiliki islet autoimunitas, dan kadar glukosa darahnya tak terkendali meskipun telah dterapi dengan metformin dan glimepiride. Kontrol glukosa darah terpulihkan setelah pemberian insulin glargline (ditandai oleh kadar hemoglobin terglikasi yang menurun). Hal ini mengkonfirmasi diabetes autoimun laten.

Walaupun pemberian insulin gargline mampu mengontrol kadar glukosa darah pada saat awal, namun kemudian kondisi hiperglikemia berulang, hal ini mungkin karena pembesaran bintil paru-paru yang tak diketahui.

Bintil Paru-paru Soliter


Bintil paru-paru terisolasi dapat bersifat jinak atau pun ganas. Bintil jinak dapat berupa granuloma spesifik, hamartomas, granuloma menular akibat infeksi jamur atau bakteri, atau dirofilariasis yang menular dari anjing melalui vektor nyamuk. Bintil neoplastik termasuk tumor karsinoid baik primer maupun metastasis.

Bintil jinak biasanya mempunyai diameter kurang dari 5 mm, memiliki batas halus, padat, berkonsentrasi ditengah atau dengan pola kalsifikasi homogen. Bintil jinak biasanya berkembang ukurannya menjadi dua kali lipat dalam tempo sangat cepat (kurang dari 1 bulan) ata sangat lambat (lebih dari 1 tahun). Fitur bintil yang mengkhawatirkan yang berpotenti kanker adalah bila ukuran diameternya lebih dari 10 mm, tidak beraturan, dan tidak padat, tanpa adanya kalsifikasi atau adanya kalsifikasi eksentrik dan waktu penggandaan ukuran berlangsung dalam kurun waktu 1 bulan hingga 1 tahun. Faktor klinis yang turut berperan diantaranya kebiasaan merokok, usia dan riwayat kanker. Dalam kasus pasien ini, bintil paru-parunya tidak terlalu mengkhawatirkan.