Selasa, 04 Februari 2014

DISFUNGSI EREKSI


Seorang pria berusia 65 tahun datang berkonsultasi ke sebuah klinik kesehatan dengan keluhan ketidakmampuannya mempertahankan ereksinya selama melakukan hubungan seksual. Riwayat kesehatannya meliputi hipertensi yang terkontrol dengan baik, dan penyakit arteri koroner stabil. Dia merokok satu bungkus per hari. Obat-obatan yang dikonsumsinya meliputi atenolol dan aspirin dosis rendah (80 mg/hari). Pada pemeriksaan fisik diketahui bahwa indeks massa tubuhnya 31, pemeriksaan fisik lainnya tampak normal, dengan organ genitalia eksternal normal dan tidak ada gejala kerontokan rambut. Bagiamanakah seharusnya pasien ini di terapi?.

***********

Problem Klinis


Disfungsi ereksi didefinisikan sebagai ketidakmampuan yang konsisten untuk mencapai dan mempertahankan ereksi penis yang berkualitas yang memungkinkan terjadinya hubungan seksual (intercouse). Prevalensi kondisi ini meningkat seiring peningkatan usia. Dari sebuah studi diketahui bahwa pada kelompok pria berusia 40-49 tahun prevalensi disfungsi ereksi lengkap atau parah sekitar 5%, sedangkan prevalensi disfungsi ereksi moderat sebesar 17%, sedangkan pada kelompok usia 70-79 tahun prevalensinya masing-masing adalah 15% dan 34%. Diperkirakan bahwa prevalensi disfungsi ereksi pada tahun 2025 akan meningkat sebesar 322 juta kasus diseluruh dunia.

Awalnya disfungsi ereksi dianggap sebagai gangguan psikogenik dan diabaikan oleh para penyedia layanan kesehatan. Dan baru-baru ini diketahui bahwa ada banyak faktor fisiologis yang menyebabkan kondisi tersebut dan berpotensi untuk diterapi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.


Faktor-faktor Fisiologis


Fungsi seksual adalah sebuah proses kompleks yang melibatkan banyak faktor biologis dan fisiologis. Ereksi dihasilkan dari kerja kombinasi antara neurotransmisi dan respon otot halus vaskuler yang menyebabkan peningkatan aliran arteri. Nitrat oksida yang dihasilkan dari neuron nonkolinergik, nonadrenergik parasimpatik dan sel endotel memicu riam molekuler yang menghasilkan relaksasi sel otot polos. Proses ini menyumbat balik vena dan menyebabkan ereksi. 

Kondisi-kondisi yang berhubungan dengan disfungsi ereksi diantaranya sindrom metabolisme, gejala-gejala pada saluran kemih bawah seperti benign prostate hiperplasia (BPH), penyakit kardiovaskuler dan kondisi neuropatologis pusat (misal penyakit Parkinsons, stroke iskemik atau pun hemoragik), kebiasaan merokok (prevalensi disfungsi ereksi 2 kali lebih besar pada kelompok perokok dibanding dengan yang tidak merokok), diabetes mellitus dan gangguan endokrin lainnya termasuk hipogonadisme dan hiperprolaktinemia. Atherosklerosis berhubungan dengan disfungsi endotel dan perkembangan sirkulasi pada penis. 

Faktor-faktor risiko disfungsi ereksi:
  1. Sindrom metabolik. Sindrom metabolik dapat menyebabkan disfungsi endotelial dan penurunan regulasi pada enzim nitrat oksida sintetase. Kondisi ini dapat diterapi dengan diet, olahraga dan penurunan berat badan.
  2. Benign Prostate Hiperplasia (BPH). BPH dapat menyebabkan penurunan kadar nitrat oksida pada penis, kandung kemih dan prostat. Kondisi ini dapat diterapi dengan pemberian inhibitor PDE5.
  3. Penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler memungkinkan terjadinya disfungsi endotelial pada pembuluh darah penis. Penggunaan PDE5 Inhibitor pada kelompok pasien ini harus sangat berhati-hati, dan penggunaannya dikontraindikasikan bila digunakan bersama nitrat.
  4. Perokok. Kebiasaan merokok dapat mengakibatkan disfungsi endotelial, atherosklerosis dan overaktivitas simpatomimetik. Kebiasaan merokok harus dihentikan pada kondisi ini.
  5. Kondisi neurologis pusat. Kondisi ini menyebabkan adanya penurunan kontrol pada proses proerektil pada sistem syaraf pusat. Kondisi ini memerlukan terapi medis.
  6. Cedera korda spinalis (tulang belakang). Tingkat keparahannya tergantung pada lokasi dan luas cedera/lesi tulang belakang tersebut. Penggunaan inhibitor PDE5 dapat digunakan untuk mengatasi kondisi ini.
  7. Depresi sosial atau stres dalam pernikahan. Mekanisme terjadinya kondisi ini belum diketahui. Konseling dan perubahan gaya hidup ( misal: penurunan berat badan dan olahraga) serta pengobatan medis mungkin dapat membantu mengatasi kondisi ini.
  8. Kondisi endokrinologis. Kondisi ini terjadi karena adanya gangguan pada regulasi sintesis nitrit oksida yang termediasi testosteron. Dimana rendahnya kadar testosteron pada penderita hiperprolaktinemia menyebabkan perubahan pada aksis hipofisis-hipotalamus.
  9. Diabetes mellitus. Disfungsi ereksi terjadi karena vaskulopati dari disfungsi endotelial dan neuropati autonomik. Pada kondisi ini diperlukan terapi terhadap diabetes mellitus tersebut.

Selain karena faktor-faktor risiko diatas, disfungsi ereksi juga dapat disebabkan oleh penggunaan berbagai obat-obatan berikut:
  • Diuretik; tiazid dan spironolakton
  • Obat-obat antihipertensi; pemblok kanal kalsium, pemblok reseptor beta, metildopa, klonidin, reserpin dan guanetidin.
  • Obat-obat jantung atau kolesterol; digoksin, gemfibrozil dan klofibrat
  • Antidepresan; Selective serotonin-reuptake inhibitors (SSRI), antidepresan trisiklik, litium, dan inhibitor monoamin oksidase.
  • Transquilizer; butirofenon dan fenotiazin
  • Antagonis H2; ranitidin, simetidin
  • Hormon; estrogen, progesteron, kortikosteroid, luteinizing hormone–releasing hormone agonists, 5α-reductase inhibitors, cyproterone acetate
  • Agen sitotoksik; metotreksat
  • Immunomodulator; Interferon-α
  • Agen antikolinergik; disopiramid, antikonvulsan
  • Obat-obat terlarang; alkohol, kokain

STRATEGI DAN BUKTI


Evaluasi


Disfungsi ereksi dapat merupakan gejala akan adanya masalah medis yang serius. Evaluasi harus dimulai dengan melihat riwayat medis, sejarah psikososial dan seksual pasien. Penelusuran riwayat medis harus mencangkup semua peristiwa yang mempengaruhi pembuluh darah dan fungsi neurologis, seperti trauma panggul, operasi dan iradiasi. Mengingat adanya keterkaitan antara sindrom saluran kemih bawah dan disfungsi ereksi, maka pasien juga perlu mendapat pemeriksaan pada gangguan saluran kemih, misalnya dengan malakukan penilaian International Prostate Symptom Score, penilaian tersebut memiliki nilai skor 0-35, skor 9-18 menunjukan adanya gejala moderat. Penggunaan obat-obatan, alkohol, kebiasaan merokok dan kemungkinan penyalahgunaan obat-obatan tertentu juga harus diperhatikan. Waktu terjadinya disfungsi ereksi itu sendiri juga harus dinilai; apakah disfungsi ereksi tersebut terjadi secara bertahap atau berkembang secara progresif. Disfungsi ereksi lengkap yang terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya trauma atau penyebab lain yang jelas menunjukan kemungkinan disfungsi ereksi tersebut karena faktor sosial atau psikologis.

Pada evaluasi ini, baik pasien maupun pasangannya harus diwawancarai mengenai sejarah kehidupan seksual mereka. Disfungsi ereksi harus dibedakan dari gangguan seksual lainnya seperti ejakulasi dini. Faktor-faktor seperti orientasi seksual dan tingkat ketergangguan pasien terhadap disfungsi ereksi tersebut, kecemasan dalam kerja dan gangguan teknis seksual harus ditangani. 

Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda hipogonadisme (termasuk testis kecil, ginekomastia dan berkurangnya pertumbuhan rambut tubuh dan jenggot) harus diperhatikan. Selain itu, pemeriksaan colok dubur dan penilaian tonus spingter anus dan refleks bulbocavernous disarankan dilakukan. Nadi perifer juga harus dipalpasi untuk memeriksa tanda-tanda penyakit vaskuler.

Pedoman praktis merekomendasikan dilakukannya pengukuran kadar testosteron pagi pada pria dengan disfungsi ereksi, meskipun ambang testosteron yang memadai untuk mempertahankan ereksi belum diketahui dan mungkin tergantung oleh faktor-faktor lain misalnya tingkat hormon prolaktin dan luiteinezing. Pengukuran kadar glukosa, lipid, hitung darah lengkap,dan tes  fungsi ginjal juga sangat direkomendasikan. Penilaian vaskuler yang didasarkan pada injeksi prostaglandin E1 pada penis, dupleks ultrasonografi, biotesiometri, dan pembengkakan penis nokturnal tidak direkomendasikan pada pemeriksaan rutin namun dapat membantu, terutama pada pilihan terapi dengan pembedahan.

Terapi


Terapi-terapi yang dapat diterapkan untuk mengatasi disfungsi ereksi dapat berupa terapi oral dengan inhibitor fosfodiesterase tipe 5 (PDE5), terapi injeksi, terapi testosteron, perlengkapan penis, dan psikoterapi. Data terbatas menunjukan bahwa pengobatan faktor-faktor risiko yang mendasari dan penyakit penyerta misalnya dengan penurunan berat badan, olahraga, penurunan tingkat stres, dan menghentikan kebiasaan merokok dapat membantu meningkatkan kemampuan ereksi. 

Inhibitor PDE5
Pemberian terapi oral dengan PDE5 dianggap sebagai terapi lini pertama disfungsi ereksi. Agen ini meningkatkan kemampuan ereksi dengan meningkatkan level cyclic guanosine monophosphate (cGMP) penis sehingga sel-sel otot polos dapat relaksasi.

Dari sebuah metaanalisis diketahui bahwa sildenafil secara signifikan meningkatkan proporsi laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dengan sukses (dosis 100 mg). 

Tidak ada data pendukung yang kuat yang menunjukan keunggulan satu PDE5 dibanding lainnya. Perbandingan efikasi antara berbagai agen dalam kelas ini sangat terbatas, pengecualian pada pasien yang tidak memberikan repon terhadap tadalafil dan vardenafil karena perbedaan subyek penelitian seperti kebiasaan merokok, fungsi dasar ereksi, ras dan usia. Tadalafil (dosis 10 mg atau 20 mg) secara signifikan meningkatkan fungsi ereksi (diukur dengan Indeks Fungsi Ereksi Internasional) dan secara signifikan meningkatkan proporsi upaya seksual yang mengarah intercourse yang sukses (34% pada dosis 10 mg dan 46% pada dosis 20 mg). Demikian pula pada penggunaan vardenafil baik pada dosis 5 mg, 10 mg maupun 20 mg.



Tadalafil (Cialis)



Vardenafil (Levitra)

Beberapa pasien mungkin tidak memberikan respon terhadap inhibitor PDE5 karena beberapa kemungkinan. Beberapa pasien mungkin juga tidak akan mampu mentolerir efek samping yang ditimbulkannya terutama vasodilatasi pada jaringan non penis. Abnormalitas penglihatan adalah efek samping lain yang mungkin ditimbulkannya, efek samping ini bersifat sementara dan tidak signifikan secara klinis, pada penggunaan sildenafil. Kekhawatiran efek samping yang justru lebih serius adalah kemungkinan neuropati optik iskemik anterior nonarteritik.

Kekhawatiran lain adalah sehubungan dengan kemungkinan disfungsi ereksi berhubungan dengan penyakit arteri koroner, ada kemungkinan bahwa terapi dengan inhibitor PDE5 justru akan memicu iskemia koroner. Terapi disfungsi ereksi dengan metode pendekatan apa pun mungkin akan beresiko meningkatkan infark miokard karena adanya peningkatan penggunaan energi fisik selama melakukan hubungan seksual, hal ini terjadi karena adanya peningkatan aktivitas simpatik, tekanan darah dan laju alir jantung. Penggunaan bersama inhibitor PDE5 dan nitrat akan beresiko menyebabkan hipotensi, sehingga penggunaanya secara bersamaan dikontraindikasikan. 

Panduan terapi disfungsi ereksi pada pasien dengan penyakit arteri koroner adalah:
  1. Pada pasien penyakit arteri koroner risiko rendah, yaitu kelompok pasien dengan kriteria: penyakit arteri koroner asimptomatik dan faktor risiko kurang dari 3, hipertensi terkontrol, angina stabil ringan, revaskularisasi koroner yang baik, tanpa adanya komplikasi infark miokard sebelumnya, penyakit katup ringan, dan gagal jantung kongestif (disfungsi ventrikel kiri baik dengan atau tanpa NYHA kelas 1). Pada kasus ini penggunaan inhibitor PDE5 dimungkinkan.
  2. Pasien penyakit arteri koroner dengan faktor risiko menengah, yaitu kelompok pasien dengan kriteria; penyakit arteri koroner dengan faktor risiko lebih dari atau sama dengan 3, angina sedang, infark miokard dalam kurun waktu 2-6 minggu terakhir, disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongestif (NYHA kelas II), dan sisa gejala nonkardiak dari penyakit arterosklerosis seperti cedera serebrovaskuler atau depolarisasi ventrikel. Pada kondisi ini pasien memerlukan evaluasi lebih lanjut oleh kardiologis.
  3. Pasien penyakit arteri koroner dengan faktor risiko tinggi, yaitu kelompok pasien dengan kriteria: angina tak stabil, hipertensi tak terkontrol, gagal jantung kongestif (NYHA kelas III dan IV), baru mengalami infark miokard (kurang dari 2 minggu), aritmia berisiko tinggi, hipertrofik obstruktif atau kardiomiopati lainnya, dan penyakit katup sedang hingga berat. Pada kondisi ini tak ada terapi untuk disfungsi ereksi hingga status jantung benar-benar stabil.

Terapi Injeksi
Injeksi intrakavernosa atau transuretra obat vasoaktif juga dapat digunakan untuk terapi disfungsi ereksi. Alprostadil adalah bentuk stabil dari prostaglandin E1 yang meningkatkan konsentrasi adenosin monofosfat siklik (cAMP) dan mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler sehingga merelaksasi otot polos. Kemanjuran injeksi intrakavernosa alprostadil lebih dari 70%. Trimix, sebuah produk obat kombinasi antara prostaglandin E1 phentolamine (antagonis α1-adrenergik) dan papaverine (inhibitor fosfodiesterase nonspesifik) digunakan pada terapi disfungsi ereksi jika terapi dengan injeksi prostaglandin E1 saja gagal. Respon terapi gabungan ini sekitar 90%.

Pemberian alprostadil dalam sediaan supositoria dikenal dengan istilah medicated urethral system for erection (MUSE) adalah metode lini kedua injeksi penis dimana obat diserap melalui mukosa uretra kedalam korpus kavernosum. 

Pada terapi ini risiko priapisme relatif kecil (sekitar 1%). Efek samping rasa sakit pada penis terjadi pada beberapa pasien yang menerima suntikan kedua (sekitar 5%), kaki sakit dan sensasi terbakar pada uretra juga dilaporkan pada penggunaan MUSE. Fibrosis penis jarang terjadi. Terapi ini dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat priapisme, penyakit sel sabit, multiple myeloma, dan trombositopenia terutama pada penggunaan MUSE. 


Terapi Testosteron
Terapi penggantian hormon dengan testosteron umumnya direkomendasikan pada pria dengan disfungsi ereksi dengan tingkat bioavailabilitas testosteron yang rendah. Perbaikan kondisi disfungsi ereksi secara signifikan terjadi pada laki-laki dengan hipogonadisme yang diobati dengan testosteron. Terapi testosteron transdermal memberikan respon klinis yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian secara intramuskular  atau oral (80,9%; 51,3% dan 53,2%).

Pria yang menerima terapi testosteron harus dievaluasi selama 1-3 bulan pertama terapi dan setidaknya setiap tahun setelahnya. Evaluasi harus meliputi pemeriksaan kadar testosteron, fungsi ereksi dan efek samping yang mungkin timbul termasuk ginekomastia, apnea, perkembangan gejala saluran kemih bawah akibat BPH, kanker prostat, penurunan kadar HDL kolesterol serum, eritrositosis, peningkatan level enzim hati dan penurunan fertilitas. Reevaluasi periodik harus meliputi pemeriksaan darah lengkap dan pengukuran antigen spesifik prostat serta uji colok dubur. Terapi harus dihentikan jika pasien tidak memberikan respon dalam kurun waktu tiga bulan.

Perangkat Penis
Penggunaan perangkat penis direkomendasikan jika pasien tidak memberikan respon terhadap terapi yang disebutkan diatas atau dikontraindikasikan baik pada penggunaan obat atau terapi injeksi. 

Perangkat vakum ereksi menyebabkan kekakuan penis dengan cara vakum yang memerangkap darah dalam penis dimana karet gelang diposisikan disekitar dasar penis. Diperkirakan sekitar 35% pria puas dengan metode ini. 

Perangkat penis palsu lebih umum digunakan, dimana diperlukan tindakan pembedahan untuk mengimplantasikannya kedalam penis. Ada dua tipe penis palsu yaitu penis lunak dan tiup. Pemilihan tipe penis palsu ini tergantung pada kondisi pasien.

Psikoterapi
Terapi psikoseksual melibatkan berbagai teknik seperti halnya: fokus pada sensasi (pijat alat kelamin), latihan kesadaran sensorik, koreksi kesalahpahaman mengenai seksualitas, dan terapi kesulitan antarpribadi (komunikasi terbuka masalah seks, penjadwalan keintiman fisik dan intervensi perilaku). Pendekatan ini berguna bagi pasien disfungsi ereksi karena faktor psikogenik atau sosial.






Sumber