Seorang pria berusia 62 tahun mendadak mengalami kelemahan pada lengan dan kaki kiri serta berbicara melantur. Selain faktor hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik, pria tersebut memiliki riwayat medis yang biasa-biasa saja. Dia seorang perokok. 1 jam 15 menit sejak gejala dimulai, dia tidak mengeluhkan sakit kepala dan muntah. Tekanan darah 180/100 mmHg, dengan denyut jantung teratur 76x denyutan permenit. Pemeriksaan neurologis menunjukan dysarthria, hemianopia homonim kiri, kelemahan parah pada sisi kiri, dan kegagalan merespon sentuhan ringan pada sisi kiri ketika kedua sisi tubuh diberi sentuhan secara bersamaan. Bagaimanakah seharusnya terapi terhadap pasien ini?
**************
Problem Klinis
Stroke menempati urutan kedua setelah penyakit jantung iskemik yang menyebabkan kecacatan dan kematian. Kejadian stroke bervariasi dan meningkat secara eksponensial terhadap faktor usia. Pada masyarakat barat, sekitar 80% kasus stroke disebabkan oleh iskemia serebral fokal karena adanya sumbatan arteri dan 20% sisanya disebabkan oleh perdarahan.
Cedera otak diduga disebabkan oleh adanya cascade deplesi energi yang menyebabkan kematian sel. Faktor lain yang bersifat menengah diantaranya kelebihan rangsangan ekstraseluler asam amino, pembentukan radikal bebas dan inflamasi.
Kondisi yang semakin buruk mungkin terjadi setelah stroke seiring peningkatan usia, terlebih bila ada faktor penyakit lain seperti penyakit jantung iskemik dan diabetes mellitus, dan seiring meningkatnya ukuran infark. Kemungkinan juga bervariasi tergantung pada lokasi infark. Kematian pada bulan pertama setelah stroke terjadi pada sekitar 2,5% kasus pada pasien dengan infark lakunar dan sekitar 78% pada kasus infark hemisfer.
Strategi dan Bukti
Stroke biasanya ditandai dengan defisit neurologis fokal secara tiba-tiba, meskipun pada beberapa pasien gejala berkembang secara bertahap. Defisit umum termasuk disfasia, disartria, hemianopia, kelemahan, ataksia, hilangnya sensasi dan penelantaran. Gejala dan tanda-tanda biasanya unilateral, kesadaran umumnya normal atau sedikit gangguan, kecuali dalam beberapa kasus infark dalam sirkulasi posterior.
Penilaian Awal
Dalam sebagian besar kasus stroke, diagnosa dapat dibuat secara langsung, dalam beberapa kasus dengan fitur yang berbeda (seperti onset bertahap, kejang pada saat timbulnya gejala dan mengalami penurunan kesadaran) diagnosis banding harus melibatkan migrain, paresis postiktal, hipoglikemia, gangguan konversi, hematoma subdural, dan tumor otak.
Atrherosklerosis yang mengarah ke tromboemboli dan oklusi lokal dan kardioembolisme adalah penyebab utama iskemia otak. Namun penyebab lain yang tidak biasa harus juga dipertimbangkan terutama jika pasien masih berusia muda (dibawah 50 tahun) dan tidak memiliki faktor risiko kardiovaskuler yang jelas. Beberapa petunjuk klinis yang menunjukan diagnosis alternatif adalah ptosis atau miosis kontralateral yang mengarah ke defisit (diseksi arteri karotid), demam dan murmur jantung (endokarditis inektif), sakit kepala dan sedimentasi eritrosit yang meningkat pada pasien usia lanjut (giantcell arteritis).
Defisit harus dinilai oleh pemeriksaan neurologis yang cermat. Beberapa skala telah dikembangkan untuk menilai tingkat keparahan defisit neurologis terutama yang digunakan dalam studi; National Institutes of Health Stroke Scale6 merupakan skala yang paling sering digunakan. Denyut jantung yang tidak teratur menunjukan fibrilasi atrium. Tekanan darah yang sangat tinggi mungkin sinyal adanya hipertensi ensefalopati dan menghalangi trombolisis jika melebihi 185/110 mmHg dan berkelanjutan. Kurangnya bising karotid memungkinkan diagnosis stenosis karotid.
Uji laboratorium selama masa akut harus mencakup uji kadar glukosa (Karena hipoglikemia juga dapat menyebabkan defisit neurologis fokal), hitung darah lengkap, waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial. Elektrokardiografi dapat mengungkapkan adanya fibrilasi atrium atau miokard akut atau infark sebelumnya yang menyebabkan tromboemboli. Stroke akan semakin rumit dengan adanya iskemia miokard dan aritmia, sehingga monitoring jantung sangat diperlukan setidaknya selama 24 jam pertama. Elektrokardiografi pada jam-jam pertama setelah onset stroke hanya diperlukan pada kasus-kasus tertentu seperti dicurigai adanya endokarditis infektif. Pada hari-hari berikutnya transthoracic echocardiography atau lebih baik bila menggunakan transesophageal echocardiography diindikasikan untuk melihat kemungkinan adanya kardioembolisme.
Pencitraan
Infarks serebral tidak dapat dibedakan dengan pasti dengan perdarahan serebral dengan melihat tanda-tandanya saja. Pada semua pasien yang diduga stroke iskemik, computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) otak sangat diperlukan. CT maupun MRI memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi adanya perdarahan intrakranial akut, namun MRI memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibanding CT. Edema sitotoksik dapat terdeteksi dalam waktu beberapa menit setelah onset iskemia.
Trombolisis Intravena
The National Institute of Neurological Disorders and Stroke Recombinant Tissue Plasminogen Activator
(NINDS rt-PA) Stroke Study, telah melakukan studi efektivitas pengobatan dengan rt-PA (Atlepase) intravena yang dimulai 3 jam setelah timbulnya gejala. 11 pasien diantaranya diobati dengan rt-PA (0,9 mg perkilogram berat badan, dimana 10% dosis diberikan sebagai bolus dan sisanya diberikan melalui infus selama lebih dari 1 jam dengan dosis maksimum 90 mg) menunjukan hasil fungsional dan neurologis yang meguntungkan dibandingkan kelompok pasien yang diberi plasebo; tingkat kematian pada kedua kelompok serupa. Gejala perdarahan intrakranial terjadi pada 6,4% pada kelompok yang diobati dengan rt-PA dan 0,6% pada kelompok plasebo.
Trombolisis intravena dikontraindikasikan penggunaannya pada kondisi-kondisi berikut:
Trombolisis intravena dikontraindikasikan penggunaannya pada kondisi-kondisi berikut:
- Onset gejala lebih dari 3 jam sebelum dimulainya terapi
- Adanya perdarahan intrakranial berdasarkan CT atau MRI
- Trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan sebelumnya
- Infark miokard sebelumnya dalam 3 bulan sebelumnya
- Perdarahan pada saluran pencernaan atau urinari dalam 21 hari sebelumnya
- Operasi besar dalam 14 hari sebelumnya
- Sejarah perdarah intrakranial
- Tekanan darah sistolik ≥ 185 mm Hg atau tekanan darah diastolik ≥ 110 mm Hg
- Ditemukan bukti adanya perdarahan aktif atau trauma akut
- Penggunaan antikoagulan oral dan NR ≥1.7
- Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan aPTT berkepanjangan
- Jumlah trombosit <100,000 per mm3
- Kadar glukosa darah <50 mg/dl (2.7 mmol/liter)
- Kejang dengan gangguan neurologis residual postiktal
Terapi Lain
Aspirin
Dalam sebuah studi, penggunaan aspirin 160 atau 300 mg perhari yang dimulai dari 48 jam setelah onset stroke dan dilanjutkan selama 2 minggu menurunkan tingkat kematian, diduga pemberian aspirin berperan mencegah atau mengurangi risiko berulangnya serangan stroke iskemik. Dari hasil penelitian yang lain, aspirin disarankan diberikan sebagai pencegahan sekunder setelah beberapa minggu pertama. Aspirin memberikan profil keamanan yang baik dan tampaknya efektif pada berbagai pasien stroke. Karena efek aspirin yang dikombinasikan dengan rt-PA, maka akan lebih baik untuk menunda pemberian aspirin selama sekurang-kurangnya 24 jam saat pasien diobati dengan trombolisis intravena. Penggunaan dipyridamole atau clopidogrel pada fase stroke akut belum diuji dalam uji acak.
Antikoagulan
Sebuah meta analisis menunjukan bahwa pemberian antikoagulan (heparin takterfraksinasi, heparin dengan bobot molekul rendah, heparinoid, inhibitor trombin dan antikoagulan oral) pada fase akut stroke memberikan efek yang menguntungkan.
Pencegahan dan Manajemen Komplikasi
Pasien stroke sering kali mengalami gangguan nutrisi. Namun pemberian suplemen nutrisi oral mampu menjadi solusi.
Pasien dengan stroke iskemik akut berisiko mengalami trombosis vena dan emboli paru, risiko ini meningkat seiring peningkatan usia dan tingkat keparahan stroke. Meskipun pemberian antikoagulan tidak seutuh memperbaiki fungsi, pemberian dosis rendah heparin tak terfraksinasi atau heparin berbobot molekul rendah secara subkutan direkomendasikan pada pasien pasca stroke yang berisiko tinggi mengalami trombosis vena, seperti pada pasien yang tidak mampu bergerak (misal mengalami kelumpuhan pada kaki).