Inti dari perawatan alkoholisme adalah memberikan intervensi yang membantu meningkatkan perubahan bagaimana seseorang memandang masalah yang mereka hadapi, dan upaya untuk mengubah perilaku bermasalah. Dengan pendekatan kognitif-perilaku sebagai inti pengobatan.
Saat ini ada 3 macam obat yang disetujui FDA untuk terapi alkoholisme; disulfiram (Antabuse), naltrexone (Revia) dan acamprosate. Disuliram memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya diterima sebagai obat dalam terapi alkoholisme, namun penggunaannya kurang disukai karena risiko efek samping yang besar dan menuntut kepatuhan yang tinggi dalam penggunaannya. Naltrexone dan acamprosate merupakan obat yang lebih baru.
Disulfiram
Disulfiram (disulfida tetraethylthiuram; Antabuse) ditemukan pada tahun 1920 dan digunakan sebagai terapi pendukung pada alkoholisme kronis yang menghasilkan sensitivitas akut terhadap alkohol. Obat ini memblokir proses pengolahan alkohol dalam tubuh dengan cara menghambat asetaldehida dehidrogenase, sehingga menghasilkan reaksi tidak menyenangkan saat mengkonsumsi alkohol. Disulfiram harus digunakan sebagai terapi penunjang bersamaan dengan konseling. Disulfiram juga sedang diteliti kemungkinan digunakannya dalam terapi ketergantungan kokain, karena obat ini dapat mencegah pemecahan dopamin (sebuah neurotransmiter yang pelepasannya dipicu oleh kokain); kelebihan dopamin menyebabkan kecemasan, tekanan darah tinggi, kegelisahan, dan gejala-gejala tidak menyenangkan lainnya. Beberapa penelitian juga menunjukan obat ini memiliki eek antiprotozoa. Disulfiram juga menjadi objek penelitian obat kanker dan HIV.
Disulfiram, dalam terapi tunggal, pada dasarnya relatif tidak beracun. Namun, senyawa ini menghambat aktivitas ALDH dan menyebabkan konsentrasi asetaldehida meningkat 5-10 kali lebih besar dibandingkan seseorang yang tidak menerima terapi disulfiram. Asetaldehida merupakan hasil oksidasi alkohol oleh ADH, biasanya tidak akan menumpuk dalam tubuh karena akan segera teroksidasi seluruhnya segera setelah terbentuk. Setelah pemberian disulfiram, bentuk sitosol dan mitokondria dari ADH dilemahkan hingga beberapa tingkat, sehingga konsentrasi asetaldehida meningkat.
Dosis terapi disulfiram adalah 250 mg/hari dengan rentang dosis yang diperbolehkan antara 125-500 mg/hari. Mekanisme kerja disulfiram adalah dengan menghambat aktivitas ALDH sehingga meningkatkan konsentrasi asetaldehida.
Konsumsi alkohol oleh individu yang telah menerima terapi disulfiram menimbulkan tanda dan gejala keracunan asetaldehida. Dalam 5-10 menit setelah konsumsi alkohol wajah akan terasa panas dan tak lama kemudian akan memerah. Vasodilatasi menyebar ke seluruh tubuh, denyutan yang intensif dirasakan di kepala dan leher, dan terasa sakit kepala yang berdenyut yang semakin berat. Kesulitan pernafasan, mual dan muntah yang berlebihan, berkeringat, haus, nyeri dada, hipotensi, sinkop ortostatik, kegelisahan, kelemahan, vertigo, penglihatan kabur dan kebingungan juga sering terjadi, diikuti dengan perubahan warna wajah yang kemerahan menjadi pucat dan tekanan darah dapat turun drastis hingga level syok.
Obat tidak boleh diberikan sebelum pasien berhenti mengkonsumsi alkohol sekurang-kurangnya selama 12 jam. Pada tahap awal pengobatan dosis maksimumnya 500 mg selama 1-2 minggu, dosis pemeliharaan kemudian berkisar antara 125-500 mg/hari tergantung pada toleransi efek samping. Jika eek sedasi menonjol, maka disulfiram harus diberikan pagi hari, saat keinginan untuk kembali mengkonsumsi alkohol sedang maksimal. Sensitisasi terhadap alkohol dapat bertahan selama 14 hari setelah konsumsi disulfiram terakhir karena lambatnya pemulihan ALDH.
Disulfiram dan metabolitnya dapat menghambat banyak enzim dalam kelompok sulfhidril, dengan demikian obat ini memiliki spektrum biologis yang luas. Obat ini juga menghambat CYP hati sehingga menghambat metabolisme fenitoin, klordiazepoksida, barbiturat, warfarin dan obat lainnya.
Disulfiram dapat memicu munculnya jerawat, urtikaria, kelelahan, tremor, gelisah, sakit kepala, pusing, sensasi seperti mengkonsumsi bawang putih atau logam, dan gangguan ringan pada saluran pencernaan. Neuropati perifer, psikosis dan ketosis juga mungkin terjadi.
Naltrexone
Naltrexone secara kimiawi terkait dengan antagonis reseptor opioid yang sangat selektif seperti naloxon tetapi memiliki bioavailabilitas oral yang lebih tinggi dengan durasi kerja yang lebih lama. Obat ini tidak memiliki efek agonis reseptor opioid yang cukup. Obat ini awalnya digunakan dalam terapi overdosis dan kecanduan opioid.
Naltrexone membantu mempertahankan seseorang untuk tidak mengkonsumsi alkohol. Obat ini bukan obat alkoholisme dan tidak dapat mencegah kekambuhan. Naltrexone paling baik jika dikombinasikan dengan terapi psikososial seperti terapi perilaku kognitif. Obat ini biasanya diberikan setelah detoksifikasi dengan dosis 50 mg/hari selama beberapa bulan. Kepatuhan terhadap rejimen sangat penting untuk menentukan nilai terapeutik naltrexone. Efek samping yang paling umum diantaranya mual, yang lebih sering terjadi pada pasien wanita daripada pria, dimana kondisi ini akan membaik bila pasien tersebut menjauhkan diri dari alkohol. Jika diberikan dalam dosis yang berlebihan, naltrexone dapat menyebabkan kerusakan hati. Naltrexone dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal hati atau hepatitis akut.
Nalmeven adalah antagonis opioid lainnya yang potensial dalam uji klinis awal. Nalmeven mempunyai sejumlah keunggulan dibandingkan naltrexone termasuk bioavailabilitas yang lebih besar, durasi dan aksi yang lebih panjang, dan kurangnya toksisitas hati yang tergantung dosis.
Acamprosate
Sejumlah studi menunjukan bahwa dosis 1,3-2 gram/hari acamprosate menurunkan frekuensi minum dan mengurangi risiko kekambuhan pada pecandu alkohol. Studi pada hewan menunjukan bahwa terapi acamprosate mampu mengurangi asupan alkohol tanpa mempengaruhi konsumsi makanan atau air. Efek samping utamanya berupa diare.
Referensi
GG. Ed 12