β-thalasemia adalah anemia herediter yang disebabkan oleh adanya defek/cacat pada produksi hemoglobin. β-thalasemia yang diakibatkan oleh adanya penurunan produksi rantai β-globin, berdampak pada banyak organ-organ tubuh penderita tersebut dan akan sangat berhubungan dengan tingkat morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian). Oleh karena itu seorang pasien β-thalasemia memerlukan teapi seumur hidupnya. Dan terapi ini memerlukan biaya yang relatif besar.
Thalasemia adalah salah satu kelainan genetik yang paling umum didunia. Ada sekitar 4,83% populasi thalasemia diseluruh dunia, termasuk didalamnya 1,67% yang merupakan populasi penderita thalasemia heterozigot, baik α-thalasemia dan β-thalasemia. Selain itu terdapat 1,92% pembawa hemoglobin sabit, 0,92% pembawa (carrier) hemoglobin E, dan 0,29% pembawa hemoglobin C. Dengan demikian tingkat kelahiran bayi-bayi dengan gangguan/penyakit globin baik homozigot maupun heterozigot termasuk α-thalasemia dan β-thalasemia tidak kurang dari 2,4 per 1000 kelahiran dimana 1,96 diantara memiliki penyakit sel sabit dan 0,44 diantaranya memiliki penyakit thalasemia.
PATOLOGI MOLEKULAR DAN SELULAR
β-thalasemia disebabkan oleh adanya lebih dari 200 titik yang mengalami mutasi, dan kadang pula disebabkan oleh adanya delesi (penghapusan) namun hal ini jarang terjadi. Secara klinis thalasemia bersifat heterogenus karena lesi genetik yang bervariasi dapat mengakibatkan kerusakan sintesis rantai globin yang bervariasi pula. Namun variabilitas genotip pada lokus yang dikenali tidak cukup mampu untuk menjelaskan perbedaan fenotif pada masing-masing individu dengan genotif yang sama. Perbedaan antara genotip dan fenotip terutama pada thalasemia intermedia dan hemoglobin E. Namun faktor-faktor genetik yang telah diketahui umumnya tidak cukup untuk menjelaskan perbedaan tanda-tandanya, dan kemungkinan diantaranya terdapat modifikasi genetik.
Baru-baru ini diketahui adanya sebuah protein penstabil α-hemoglobin yang mengikat dan menstabilkan sebuah rantai bebas, sehingga menghambat produksi oksigen reaktif dan mengurangi kerusakan eritrosit oksidatif. Protein ini tampaknya memodulasi gambaran klinis dari β-thalasemia dalam sebuah model murine.
Hemolisis dan eritopoisis tak aktif sama-sama menyebabkan anemia yang terjadi pada thalasemia. Kontribusi dari kedua proses patofisiologis tersebut berbeda dalam berbagai bentuk thalasemia. Berikut adalah ilustrasi rantai kompleks yang terjadi dalam eritrosit yang menghasilkan percepatan kerusakan periferal.
Baru-baru ini diketahui adanya sebuah protein penstabil α-hemoglobin yang mengikat dan menstabilkan sebuah rantai bebas, sehingga menghambat produksi oksigen reaktif dan mengurangi kerusakan eritrosit oksidatif. Protein ini tampaknya memodulasi gambaran klinis dari β-thalasemia dalam sebuah model murine.
Hemolisis dan eritopoisis tak aktif sama-sama menyebabkan anemia yang terjadi pada thalasemia. Kontribusi dari kedua proses patofisiologis tersebut berbeda dalam berbagai bentuk thalasemia. Berikut adalah ilustrasi rantai kompleks yang terjadi dalam eritrosit yang menghasilkan percepatan kerusakan periferal.
Gambar 1
Peristiwa Kompleks yang Terjad Pada Eritrosit
Sumsum tulang pasien dengan thalasemia dibandingkan dengan orang sehat (tanpa thalasemia) mengandung 5-6 kali jumlah prekursor eritroid dan 15 kali jumlah sel apoptosis pada tahap polikromatofilik dan ortokromik. Percepatan apoptosis merupakan penyebab utama eritopoesis tak aktif yang disebabkan karena adanya kelebihan deposisi rantai α dalam prekursor eritroid. meskipun mekanismenya tidak diketahui dengan jelas. Dalam eritopoesis normal, mekanisme apoptosis tampaknya memainkan peran dalam pengaturan yang diperlukan dalam pematangan eritroid normal. Percepatan apoptosis dikaitkan dengan peningkatan paparan ekstraseluler Phosphatidilserin yang merupakan sinyal penting pada penghapusan melalui aktivasi makrofage yang jumlahnya meningkat pada pasien dengan thalasemia.
MANIFESTASI KLINIS DAN TERAPI PENDUKUNGNYA
- Transfusi rutin untuk mempertahankan level hemoglobin setidaknya 9-10 g/dl memungkinkan perbaikan pertumbuhan dan perkembangan serta mengurangi heptosplenomegali karena hematopoesis ekstramedullary serta cacat tulang. Dalam terapi transfusi beberapa hal berikut harus sangat diperhatikan yaitu: titik akhir optimalnya adalah level hemoglobin 9-10 daripada 10-12, penggunaan teknik leukodepletion (leukodeplesi), dilakukannya pengujian virus (termasuk hepatitis B dan C, HIV dan HTLV-I), dan penggunaan perangkat akses-vena. Dalam terapi ini tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi akumulasi zat besi dan alloiimunisasi, mengurangi munculnya kejang demam sebagai reaksi transfusi nonhemolitik, mengurangi transmisi sitomegalovirus, mengurangi alloimunisasi, mengurangi resiko infeksi melalui transfusi, serta meningkatkan efektivitas terapi dan kenyamanan serta kepatuhan pasien.
- Kelasi (chelation), dalam hal ini diberikan dosis individual deferoksamin, pengembangan kelator oral dan mengkombinasikannya dengan terapi kelasi lainnya. Tujuan kelasi adalah untuk mengurangi efek samping tak diinginkan seperti gangguan pendengaran dan displasia tulang serta untuk meningkatkan efikasi terapi dan meningkatkan kepatuhan pasien.
- Terapi dukungan endokrin dapat dilakukan dengan pemberian terapi hormon pengganti (hormon seks, tiroid, dan pertumbuhan), pemberian agen fertilitas, dan pemberian inhibitor osteoklast. Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan pematangan seksual dan pencegahan osteoporosis.
Gambar 2
Manajemen Thalasemia dan Komplikasinya
Manajemen Thalasemia dan Komplikasinya
KELEBIHAN ZAT BESI; PATOGENESIS, PENGUKURAN DAN TERAPI
Kelebihan zat besi pada seorang penderita thalasemia merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Deposisi zat besi ini terjadi pada organ-organ dalam seperti jantung, hati dan kelenjar endokrin, yang kemudian menyebabkan kerusakan jaringan dan disfungsi organ-organ tersebut. Serangan jantung dapat terjadi akibat adanya kelebihan zat besi dan sering kali berakibat kematian. Kelebihan zat besi pada penderita thalasemia dapat terjadi karena adanya penimbunan zat besi yang berlebihan pada berbagai organ dan atau karena penyerapan zat besi yang berlebihan dari saluran gastrointestinal. Paradoksnya, penyerapan zat besi dari usus (saluran gastrointestinal) akan tetap tinggi meskipun tubuh telah kelebihan beban akan zat besi tersebut.
Hepsidin adalah sebuah molekul peptida kecil yang dapat menghambat penyerapan zat besi dari usus. Level hepsidin akan meningkat saat level penyimpanan zat besi meningkat. Level hepsidin pada penderita thalasemia intermedia dan mayor tidak tepat rendah. Selanjutnya serum dari penderita thalasemia akan menghambat ekspresi r-RNA pada sel HepG2 yang menunjukan adanya faktor humoral yang meregulasi hepsidin. Pengamatan ini menunjukan bahwa pemberian hepsidin atau agen lain yang dapat meningkatkan ekspresi hepsidin mungkin bermanfaat untuk mengurangi penyerapan zat besi.
Pengukuran noninvasif pada kondisi penyimpanan besi harus dilakukan untuk evaluasi dan manajemen terapi kelasi. Pengukuran ferritin serum dianggap sebagai indikator untuk mengetahui kondisi penyimpanan besi. Kadar ferritin kurang dari 2500 mg/ml menjamin kelangsungan hidup pasien yang lebih baik dan mengurangi resiko serangan jantung. Namun pengukuruan ferritin serum tidak dapat diandalkan bila pasien juga menderita penyakit hati. Terapi invasif dapat dilakukan dengan biopsi hati. Pengukuran noninvasif langsung pada penyimpanan besi dapat dilakukan dengan metode magnetic susceptometry (dengan menggunakan seperangkat superconducting quantum-interference), metode ini lebih baik dan lebih akurat dibandingkan dengan metode biopsi hati.
Namun perlu diketahui juga bahwa pengukuran yang akurat terhadap penyimpanan besi dihati tidak dapat menggambarkan kondisi penyimpanan besi pada organ-organ lainnya misal pada jantung. Sehingga kini perlu dikembangkan metode invasif untuk pengukuran penyimpanan besi pada jantung. Magnetic resonance imaging (MRI) untuk pengukuran besi di jantung menimbulkan banyak masalah sehingga tidak memungkinkan aplikasinya. T2-gradientecho sequencing tampaknya bermanfaat dalam pengukuran besi di jantung pada penderita thalasemia karena sensitivitasnya terhadap hemosiderin.
Adanya penimbunan zat besi pada jaringan merupakan salah satu efek merusak yang timbul akibat adanya kelebihan zat besi dalam tubuh. Adanya non–transferrin-bound iron (besi yang terikat pada molekul lain selain transferrin) merupakan suatu bentuk besi yang menghasilkan efek toksisitas yang tinggi, molekul besi semcam ini terbentuk karena kapasitas pengikatan transferrin yang telah terlampaui. Non–transferrin-bound iron sangat beracun karena dapat mengkatalisis pembentukan spesies oksigen yang reaktif melalui reaksi Fenton. Non–transferrin-bound iron, merupakan molekul besi yang labil didalam plasma dan kadarnya dapat diukur secara langsung dan berguna secara klinis guna melakukan pemantauan terapi kelasi besi.
Terapi kelasi besi telah terbukti mampu meningkatkan harapan hidup banyak pasien thalasemia. Deferoksamin merupakan pengkelat besi yang paling banyak digunakan, cara pemberiannya secara parenteral memberikan dampak yang menyakitkan sehingga menurunkan tingkat kepatuhan pasien, efek samping yang relatif tinggi dan biaya yang relatif mahal menjadi penyebab keterbatasan penggunaan agen ini.
Berkaca dari deferoksamin, maka pengembangan agen pengkelat oral menjadi sebuah keharusan. Deferipron terbukti sebagai kelator oral yang aman dan efektif meskipun awalnya agen ini dianggap tidak memadai dan diduga dapat memperburuk fibrosis hati. Pemberian deferipron jangka panjang tidak berhubungan dengan kerusakan hati. Efek samping umum dari deferipron diantaranya adalah arthralgia, mual, dan gejala gastrointestinal lainnya, fluktuasi enzim hati, leukopenia, dan efek samping yang jarang adalah agranulositosis dan defisiensi seng (zink).
Deferipron memiliki beberapa keunggulan dibandingkan deferoksamin. Deferipron dapat menembus membran sel dan mengkelat spesies besi intraseluler yang toksik. Dalam sebuah studi pendahuluan, kadar hemoglobin meningkat dan menurunkan kebutuhan akan transfusi pada pasien dengan thalasemia hemoglobin E yang dirawat dengan deferipron selama rata-rata 50 minggu. Dan yang lebih penting dari itu, bukti terbaru menunjukan bahwa deferipron lebih efektif daripada deferoksamin dalam hal penghapusan/peniadaan zat besi dalam jantung.
Pendekatan terbaru dalam terapi kelasi besi ini adalah dengan pemberian terapi kombinasi deferipron dan deferoksamin. Studi ini menunjukan bahwa besi intraseluler terkelasi oleh deferipron kemudian ditransfer ke dalam plasma untuk dikelasi dengan agen kelator yang lebih kuat yaitu deferoksamin (deferoksamin disebut sebagai “shuttle hypothesis”), sebagai konsekuensinya akan lebih banyak besi yang diekskresikan. Selain itu terapi kombinasi ini juga dapat meningkakan kepatuhan pasien karena dosis penyuntikan deferoksamin yang lebih kecil sehingga pasien tidak menderita kesakitan yang berlebihan akibat penyuntikannya.
Sejumlah kelator oral kini sedang dikembangkan. Deferasiroks (ICL670) menjanjikan keberhasilan dan mungkin memiliki efektivitas yang serupa dengan deferipron.
Singkatnya semakin banyak bukti yang menunjukan bahwa deferipron merupakan alternatif deferoksamin yang dapat diterima. Kombinasi deferipron dan deferoksamin tampaknya menjanjikan, namun hal ini masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut.
HIPERKOAGULABILITAS
Fenomena tromboemboli, baik vena maupun arteri, tidak jarang terjadi pada pasien dengan thalasemia, khususnya pada pasien yang mengalami splenektomi dan jarang menerima transfusi. Kelainan pada tingkat faktor koagulasi dan faktor-faktor penghambatnya menyebabkan terjadinya kondisi hiperkoagulasi kronis.
Kelainan pada membran eritrosit berkontribusi pada terjadinya hiperkoagulasi. Peroksidasi membran lipid meningkatkan ekspresi permukaan fosfolipid anionik seperti phosphatidilserin. Paparan fosfatidilserin pada eritrosit sangat berhubungan dengan ekspresi marker aktivasi platelet. Eritrosit yang terpapar fosfatidilserin juga dapat berkontribusi langsung pada kerusakan vaskuler yang dapat diamati pada penderita thalasemia. Selain itu eritrosit dan trombosit seorang penderita thalasemia mengandung spesies oksigen reaktif yang lebih tinggi dan level gluthation intraseluler yang lebih rendah. Selanjutnya dieprlukan sebuah studi sebelum memberikan kesimpulan rekomendasi untuk memberikan terapi profilaksis antikoagulasi, terapi antiplatelet, atau kombinasi keduanya pada pasien thalasemia yang beresiko (selama kehamilan atau pasca operasi) atau secara rutin, khususnya pada pasien yang telah menjalani splenektomi.
TRANSPLANTASI STEM-CELL HEMATOPOEITIK
Transplantasi stem-cell hematopoeitik untuk penderita thalasemia hanya tersedia sebagai pendekatan kuartif. Tingginya biaya, kecocokan HLA dan keterkaitannya dengan donor menyebabkan terbatasnya penggunaan terapi ini.
Pasien beresiko rendah (pasien thalasemia kelas 1 dan 2 menurut klasifikasi Lucarelli, suatu metode klasifikasi untuk menilai faktor resiko untuk memprediksi hasil dan prognosis dan derajat hepatomegali, adanya fibrosis portal pada biopsi hati dan efektivitas terapi kelasi sebelum transplantasi) menghasilkan keberhasilan terapi transplantasi dengan sumsum tulang, namun pasien thalasemia kelas 3 (memiliki kerusakan hati yang luas dan adanya kelebihan zat besi) kurang berhasil jika menerima terapi transplantasi ini. Rejimen persiapan baru (termasuk hidroksi urea, azathioprin, fludarabin, busulfan dan siklofosfamid) secara substansial meningkatkan keberhasilan transplantasi stem-cell pada pasien thalasemia kelas 3 dengan usia kurang dari 17 tahun. Tingkat kelangsungan hidup pasien adalah sebesar 93%, dan tingkat penolakan sebesar 8%.
Sumber tulisan