Sabtu, 21 Juli 2012

PEMANTAUAN TERAPI VANKOMISIN PADA PASIEN DEWASA: SEBUAH KONSENSUS DARI KOMUNITAS FARMASIS SISTEM KESEHATAN AMERIKA, KOMUNITAS PENYAKIT INFEKSI AMERIKA DAN KOMUNITAS FARMASIS PENYAKIT INFEKSI AMERIKA



Oleh:

Michael Rybak, Ben Lomaestro, John C. Rotschafer, Robert Moellering Jr., William Craig,

Marianne Billeter, Joseph R. Dalovisio, and Donald P. Levine

Tahun 2009

Vankomisin merupakan salah satu antibiotik golongan glikopeptida yang telah digunakan secara klinis selama lebih dari 50 tahun sebagai alternatif penisilin dalam pengobatan strain Staphylococcus aureus yang menghasilkan enzim pensilinase. Vankomisin merupakan salah satu antibiotik yang penggunaannya paling luas dalam pengobatan infeksi serius bakteri gram positif yang melibatkan methicilin resistant S. aureus (MRSA). Awal penggunaan vankomisin dikaitkan dengan sejumlah efek samping, termausk toksisitas yang berhubungan dengan pemberian infus, nefrotoksisitas dan mungkin juga ototoksisitas. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sejumlah pengotor dalam sediaan vankomisin menimbulkan banyak kejadian merugikan. Sehingga penggunaan vankomisin dihentikan seiring dengan ditemukannya agen antibiotik penisilin semisintetik seperti methicilin, oksasilin dan nafsilin yang dianggap kurang toksik. Namun seiring kenaikan jumlah infeksi MRSA sejak tahun 1980 telah membawa vankomisin kembali ke garis depan dalam pengobatan infeksi akibat bakteri gram positif.

Selama bertahun-tahun vankomisin menjadi salah satu antibiotik yang paling banyak dipelajari. Studi ekstensif farmakokinetik terhadap berbagai populasi pasien dan ketersediaan obat komersial memungkinkan dokter menetapkan konsentrasi vankomisin pada organ target dalam waktu yang cepat dan tepat. Pendekatan tersebut sangat membantu dokter untuk mengurangi resiko nefrotoksisitas atau pun ototoksisitas guna mencapai konsentrasi terapetik. Namun harus diingat bahwa pemantauan terapi obat dengan penyesuaian konsentrasi obat dalam serum masih menjadi kontroversi. Kontroversi ini disebabkan adanya pertentangan mengenai penggunaan data konsentrasi serum vankomisin untuk memprediksi toksisitasnya dengan ukuran efektivitasnya dalam terapi infeksi. Penelitian terbaru menunjukan bahwa resiko nefrotoksisitas atau toksisitas vankomisin relatif kecil bila digunakan pada dosis konvensionalnya misalnya 1 gram tiap 12 jam atau 15 mg/Kg BB tiap 12 jam kecuali bila digunakan bersama obat yang nefrotoksik. Konsensus ini mengevaluasi data ilmiah dan kontroversi terkait dengan pemantauan konsentrasi serum vankomisin dan untuk memberikan rekomendasi berdasarkan data yang tersedia.

Ini adalah pernyataan konsensus dari American Society of Health-System Pharmaist (ASHP), Infectious
Diseases Society of America (IDSA), dan Society of Infectious Diseases Pharmacists (SIDP). Dalam hal ini semua anggota komite ditugaskan untuk berkontribusi pada topik tertentu tentang vankomisin. Sebuah draf dokumen daerah tertentu yang mencangkup rekomendasi telah diperiksa oleh semua anggota komite. Setelah semua anggota ASHP, IDSA, dan SIDP meninjau draf tersebut maka panitia bertemu untuk mengajukan komentar dan rekomendasi. Tinjauan ini mewakili mayoritas pendapat anggota komite.

Sebuah pencarian (search) di PubMed dilakukan dengan kata pencarian berikut: vancomycin pharmacokinetics, pharmacodynamics, efficacy, resistance, dan toxicity. Semua studi peer-review yang tersedia dalam Bahasa Inggris diterbitkan antara tahun 1958-2008. Studi ini menilai kualitas bukti dan selanjutnya menilai rekomendasi dengan menggunakan klasifikasi schemata dari Asosiasi Medis Kanada. Rekomendasi dari panel ahli ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel.

Pembatasan potensi dari kajian ini meliputi fakta bahwa beberapa calon uji coba acak pemantauan vankomisin yang tersedia dan dipublikasikan mengenai vankomisin terhadap pasien dengan infeksi S. aureus. Pemantauan vankomisin pada pasien anak adalah diluar skope kajian ini.

SEKILAS TENTANG SIFAT FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK VANOMISIN

Teknik farmakokinetik modern seperti model Bayesian dan nonkompartemental digunakan untuk menjelaskan sifat-sifat farmakokinetik vankomisin. Profil konsentrasi serum vankomisin vs waktu adalah kompleks dan dikarakteristik sebagai model 1, 2 dan 3 kompartemen. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal:

  •  fase distribusi berkisar antara 30 menit hingga 1 jam 
  • waktu paruh eliminasi antara 6 hingga 12 jam
  • volume distribusi antara 0,4-1 L/Kg
Sementara itu data ikatan protein vankomisin bervariasi, 50-55% merupakan nilai yang paling sering dinyatakan dalam literatur. Penetrasi vankomisin kedalam jaringan juga bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh keadaan penyakit dan adanya peradangan. Misal pada meninges yang tidak mengalami inflamasi, konsentrasi vankomisin pada cairan otak mencapai 4 mg/dL, sedangkan dengan adanya inflamasi konsentrasinya 6,4-11,1 mg/dL. Penetrasi ke jaringan kulit secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan diabetes melitus (median 0,1 mg/dL dengan rentang 0,01-0,45 mg/dL) dibandingkan dengan pasien nondiabetes (median 0,3 mg/dL dengan rentang 0,46-0,96 mg/dL). Konsentrasi vankomisin dalam jaringan paru-paru berkisar antara 5-41% dari konsentrasi vankomisin serum baik pada pasien mupun sukarelawan sehat. Penetrasi vankomisin ke dalam cairan epitelial pada pasien yang terluka sangat bervariasi. Rasio konsentrasi vankomisin dalam seluruh darah dengan vankomisin dalam cairan epitelial adalah 6:1.

Pemilihan Parameter Farmakokinetik dan Farmakodinamik dalam Pemantauan

Berbagai parameter farmakodinamik dan farmakokinetik telah diusulkan diantaranya waktu (t) untuk mencapai konsentrasi hambat minimum (KHM), rasio konsentrasi area under curve (AUC) dan KHM, rasio konsentrasi maksimum serum (Cmax) dan KHM. Kajian farmakokinetik dan farmakodinamik menetapkan bahwa parameter AUC/KHM sebagai parameter yang paling disukai baik pada pengujian terhadap hewan percobaan, uji invitro maupun uji terbatas pada manusia. Dalam studi Ackerman et. al, Löwdin et al., dan Larsonn et al. bahwa vankomisin mampu membunuh S.aureus dan S. epidermidis pada model percobaan yang tergantung pada konsentrasi. Dengan simulasi bebas, konsentrasi puncak vankomisin 40, 20,10 dan 5 mg/dL dalam suatu model invitro chemostat dengan waktu paruh eliminasi normal 6 jam, Larsonn tidak menemukan perbedaan kurva yang menyebabkan S. aureus terbunuh.

Dengan menggunakan model tikus netropenia, peneliti menemukan bahwa parameter AUC/KHM adalah parameter yang paling tepat untuk mengukur efektivitas vankomisin dalam pengobatan S.aureus termasuk S. aureus yang rentan terhadap methicilin (MSSA), MRSA dan strain S.aureus vancomycin-intermediate. Kecuali ditentukan fAUC/KHM, konsensus ini mengacu pada AUC/KHM total.

Craig dan Andes akhir-akhir ini mengevaluasi penggunaan vankomisin bebas AUCO-24hr/KHM (fAUC/KHM) sebagai parameter utama untuk menilai efektivitas vankomisin pada VISA, heteroresistant VISA (hVISA) dan MSSA pada model tikus murin netropenia. Mereka menemukan bahwa persyarat fAUC/KHM bervariasi tergantung pada KHM vankomisin dan fungsi kepadatan bakteri pada tempat infeksi. fAUC/KHM rendah dibutuhkan untuk inokulum bakteri yang lebih rendah kepadatannya. Yang menarik adalah dosis yang diperlukan untuk membunuh 2 log koloni bakteri hVISA adalah 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan yang digunakan untuk membunuh strain VISA dan S. aureus rentan vankomisin. Para peneliti menyimpulkan bahwa dosis 500 mg vankomisin setiap 6 jam atai 1 gram setiap 12 jam memberikan nilai fAUC/KHM sebesar 100-250 dan menyarankan bahwa nilai sekitar 500 dapat meningkatkan efektivitas terapi pada manusia.

Moise-Broder et al. mengeksplorasi penggunaan AUC/KHM dalam memprediksi kesuksesan klinis dan mikrobiologis S.aureus pneumonia terkait penggunaan ventilator. Para peneliti ini menyarankan AUC/KHM sekitar 345 untuk mendapatkan keberhasilan klinis dan rasio 850 untuk keberhasilan mikrobiologis. Untuk patogen dengan KHM 1 mg/L angka AUC/KHM 250 dapat dicapai pada kebanyakan pasien dengan dosis 1 gram setiap 12 jam berdasarkan angka berat badan aktual 80 Kg dan fungsi ginjal normal (kliren kreatinin (ClCr) 100 ml/menit, tetapi target yang memerlukan AUC/KHM 850 umumnya memerlukan dosis yang lebih tinggi.

Kesimpulan: Berdasarkan hasil studi, rasio AUC/KHM lebih dari sama dengan 400 akan memberikan efektivitas klinis vankomisin pada target. Sudi pada hewan dan studi terbatas pada manusia bahwa vankomisin tidak tergantung konsentrasi dan AUC/KHM adalah parameter prediktif untuk vankomisin

Dampak Strategi Dosis pada Parameter Faramkokinetik dan Farmakodinamik

Strategi dosis klinis awal vankomisin dikembangkan pada akhir tahun 1950an sebelum munculnya farmakodinamik antibiotik. Publikasi data farmakodinamika vankomisin terhadap bakteri patogen atau infeksi tertentu sangat terbatas, dan umumnya dengan model in vitro dan hewan. Hal ini karena vankomisin berstatus obat generik yang menghambat produsen melakukan penyelidikan ilmiah terkontrol yang dapat memberikan data farmakodinamik tambahan. Dosis disarankan dihitung berdasarkan angka berat badan aktual. Data dosis pada pasien dengan obesitas sangat terbatas; namun dosis awal harus didasarkan pada angka berat badan aktual dan disesuaikan berdasarkan konsentrasi serum vankomisin untuk mencapai level terapetik.

Vankomisin adalah model yang ideal untuk menggambarkan data farmakokinetik dan farmakodinamik obat dengan cara pemberian intermitten berdasarkan kerentanan Staphylococcus dan Streptococcus (nilai KHM kurang dari sama dengan 1 mg/L), dengan dosis yang umum digunakan yaitu 1 gram setiap 12 jam dan obat tidak tergantung konsentrasi. Sehingga, kemungkinan konsentrasi vankomisin serum baik dalam bentuk bebas maupun terikat melebihi KHM untuk interval dosis 100% dengan infus intravena intermitten untuk bakteri Streptococcus dan Staphylococcus.

Meskipun tidak ada data klinis yang mendukung t>KHM sebagai parameter untuk memprediksi efektivitas klinis, namun strategi pemberian dengan infus kontinue disarankan untuk mengoptimalkan konsentrasi vankomisin serum dan memperbaiki aktivitasnya. Uji acak Crossover pada pasien diruang perawatan intensif (ICU) tidak menemukan perbedaan signifikan antara pemberian infus kontinue dan intermitten ketika dilakukan pengukuran aktivitas membunuh bakteri pada uji in vitro, meskipun kemampuan untuk mempertahankan kemampuan bakterisidal titer serum lebih baik pada cara pemberian secara kontinue. Dalam sebuah penelitian yang sama dirancang dengan subjek orang sehat, Lacy et al. ditemukan bahwa hampir tidak ada perbedaan aktivitas bakterisidal baik pada pemberian kontinue maupun intermitten. Selanjutnya, dalam sebuah studi acak Wisocky et al. mengevaluasi 160 pasien dengan infeksi Staphylococcus parah. Dan tidak ada perbedaan hasil baik pada pasien yang menerima infus kontinue maupun intermitten. Vankomisin berbeda dari antibiotik beta laktam yang umumnya memiliki waktu paruh pendek dan sering kali memerlukan interval pemberian obat yang lebih pendek atau pemberian infus kontinue untuk mengoptimalkan terapi. 

Kesimpulan dan rekomendasi: Dosis vankomisin harus dihitung berdasarkan angka berat badan aktual. Untuk pasien obesitas dosis awal didasarkan pada perhitungan berdasarkan angka berat badan aktual dan kemudian disesuaikan berdasarkan konsentrasi vankomisin dalam serum untuk mencapai level terapetik. Rejimen infus kontinue tidak secara sustansial meningkatkan efektivitas vankomisin dibandingkan dengan infus intermitten. (Tingkat bukti=II, kelas rekomendasi=A).

Pemantauan Terapi Obat Vankomisin

Konsentrasi Puncak vs Konsentrasi Palung
Selama bertahun-tahun, pemantauan konsentrasi vankomisin dalam serum telah dipraktekan secara berbeda-beda. Geraci menyarankan bahwa pada konsentrasi puncak sebesar 30-40 mg/d dan konsentrasi palung sebesar 5-10 mg/dL cenderung tidak menunjukan adanya penurunan eksponensial kurva konsentrasi vankomisin vs waktu.

Bagimana Geraci mendefinisikan konsentrasi puncak tidak jelas. Selain itu, sifat-sifat farmakodinamik vankomisin belum dievaluasi saat rekomendasi ini dibuat. Karena telah diketahui bahwa AUC/KHM berkorelasi pada uji in vitro dan hewan, hal ini menyebabkan beberapa dokter mempertanyakan relevansi pemantauan konsentrasi puncak vankomisin. Akibatnya beberapa dokter mengurangi aktivitas pemantauan antibiotik ini. Namun karena sulitnya menentukan berapa konsentrasi serum vankomisin untuk menentukan nilai AUC/KHM, pemantauan konsentrasi palung yang dapat digunakan sebagai penanda AUC direkomendasikan sebagi metode yang paling praktis dan akurat dalm pemantauan vankomisin.

Kesimpulan dan rekomendasi
Konsentrasi palung vankomisin dalam serum lebih akurat dan praktis untuk memotivasi efektivitas vankomisin. Konsentrasi palung harus ditentukan sebelum pemberian dosis berikutnya pada kondisi steady-state (tingkat bukti=2, tingkat rekomendasi=B). (Catatan: kondisi steady-state adalah kondisi yang tergantung pada berbagai faktor. Sampel palung harus ditentukan sebelum pemberian dosis keempat pada pasien dengan fungsi ginjal normal untuk memastikan bahwa konsentrasi target tercapai).

Konsentrasi Palung Optimal
Geraci merekomendasikan bahwa konsentrasi palung tidak didasarkan pada data percobaan klinis. Patokan konsentrasi obat 5-10 mg/dL. Target yang mempunyai konsentrasi palung serum yang lebih tinggi kemungkinan akan menghasilkan paparan yang lebih efektif .

Dalam publikasinya yang terbaru American Thoracic Society (ATS) dosis awal vankomisin dimulai dari 15 mg/Kg BB setiap 12 jam pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal. ATS mengakui bahwa vankomisin adalah pembunuh bakteri patogen gram positif yang tidak tergantung konsentrasi (tergantung waktu) namun memiliki penetrasi yang lebih rendah ke dalam cairan endotelial dan sekresi pernafasan. ATS lebih lanjut merekomendasikan agar konsentrasi palung dipertahankan 15-20 mg/L. Namun berdasarkan prinsip farmakokinetik pada pasien dengan berat badan dan fungsi ginjal normal tidak mungkin dosis 15 mg/Kg BB akan menghasilkan konsentrasi palung sekitar 15-20 mg/L. Lebih lanjut tidak ada data yang menunjukan bahwa konsentrasi palung sebesar itu akan aman dan dapat ditoleransi dengan baik sepanjang waktu.

Dalam upaya mengevaluasi konsentrasi palung target sebesar 15-20 mg/L Jefress et al secara retrospektif mengevaluasi 102 pasien pneumonia MRSA. Moratalitas secara keseluruhan adalah 31% (32 pasien). Tidak ada perbedaan signifikan pada rata-rata ±SD dari konsentrasi palung yang dihitung (13,6 ± 5,9 mg/dL dan 13,9  ±  6,7 mg/dL) ataupun rata-rata  ± SD yang dihitung dari AUC (351  ± 143 mg.jam/L dan 354  ± 109 mg.jam/L) baik pada penderita maupun non penderita. Selain itu juga tidak ditemukan adanya hubungan antara konsentrasi palung dalam serum atau AUC dengan kematian di rumah sakit. Meskipun tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan antara konsentrasi palung dalam serum dengan AUC pada penderita dan non penderita, namun beberapa faktor harus diperhatikan, misalnya perhitungan ukuran sampel yang tidak ditentukan, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan tipe II. Ada juga variabilitas besar diantara konsentrasi palung (4,2-29,8 mg/dL) dan AUC (119-897 mg.jam/L) yang dapat menjelaskan tidak ditemukannya perbedaan signifikan tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi serum dalam target tidak ditentukan/diukur yang mungkin dapat menjadi faktor penting dalam menentukan hasil pada pasien. Selain itu karena menggunakan metode disk-diffusion maka KHM organisme tidak dapat ditentukan. Dan karenanya hanya AUC yang dievaluasi, dan bukannya AUC/KHM yang merupakan prediktor potensial dalam memprediksikan keberhasilan atau kegagalan. Meski hasil penelitian ini menarik, studi prospektif tambahan diperlukan untuk mengonfirmasinya.

Hubungan antata konsentrasi palung dalam serum, resistensi dan kegagalan terapetik.
Sementara vankomisin dianggap sebagai antibiotika bakterisida, tingkat membunuhnya lambat bila dibandingkan dengan beta laktam, dan aktivitas vankomisin dipengaruhi oleh inokulum bakteri. Besarnya beban bakteri pada fase diam dan atau dalam lingkungan anaerobik merupakan tantangan besar untuk mempercepat dan menjangkau aktivitas bakterisid dari vankomisin.

Dalam beberapa tahun terakhir, VISA atau S. aures yang rentan-sedang terhadap glikopeptida (GISA) dan S.aureus resisten-vankomisin (VRSA) telah muncul dan mempertanyakan kemampuan antibiotik ini. (Catatan istilah VISA atau GISA sering digunakan secara bergantian, untuk tujuan konsensus ini akan digunakan istilah VISA). Meskipun infeksi oleh organisme tersebut jarang, ada ketakutan bahwa organisme tersebut akan lebih umum bila paparan dan penggunaan vankomisin terus-menerus. Penemuan penginduksi hVISA (yaitu strain bakteri dengan KHM dalam kisaran nilai rentan 0,5-2 mg/dL pada pasien yang diterapi dengan dosis standar vankomisin akan mengalami kegagalan terapi) sehingga lebih lanjut meningkatkan pertanyaan tentang dosis antibiotik ini secara keseluruhan. Kekhawatiran ini diesebabkan adanya kegagalan pengobatan dan ketidakmampuan mendeteksi isolat hVISA dalam pengaturan klinis.

Tahun 2006,  Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) menyetakan kerentanan vankomisin sebagai berikut :

  • Rentan ≤ 4 hingga ≤2 mg/dL
  • Rentan sedang 8-16 hingga 4-8 mg/dL
  • Resisten ≥32 hinga ≥16 mg/dL
Keputusan tersebut didasarkan pada kenyataan data klinis yang menunjukan bahwa pasien dengan infeksi S.aureus kurang berhasil jika diobati dengan vankomisin dengan KHM  4 mg/dL. Namun informasi ini saja tidak cukup menginformasikan apakah penggunaan konsentrasi vankomisin yang lebih tinggi akan meningkatkan efektivitasnya secara keseluruhan. Konsentrasi vankomisin serum yang rendah dapat menimbulkan masalah, karena adanya korelasi langsung antara rendahnya konsentrasi serum dengan munculnya hVISA, VISA atau setidaknya MRSA dengan genotip tertentu. Selain itu, dalam studi ini mengindikasikan bahwa konsentrasi palung serum yang kurang dari 10 mg/dL menunjukan adanya kegagalan terapi dan potensi munculnya VISA dan VRSA.

Studi bakteremia MRSA dan hVISA mengungkap secara signifikan tingkat morbiditas yang lebih tinggi akibat infeksi hVISA. Pasien tersebut mungkin memiliki beban infeksi bakteri yang lebih tinggi, konsentrasi palung awal yang rendah dan kegagalan terapi. Jones, akhir-akhir ini melaporkan bahwa 74% strain hVISA 15% strain S. aureus tipe ganas yang toleran (konsentrasi bakterisdia minimum ≥ 32 mg/dL) yang memberikan kontribusi pada kegagalan terapi pada pasien.

Sakoulas et al. melaporkan korelasi signifikan antara kerentanan dengan keberhasilan terapi pada pasien. Pengobatan infeksi pada sirkulasi darah yang disebabkan oleh MRSA memiliki KHM kurang dari sama dengan 0,5 mg/dL dengan tingkat keberhasilan sebesar 55,6%, sedangkan pengobatan pasien yang terinfeksi strain MRSA dengan KHM 1-2 mg/dL memiliki tingkat keberhasilan sebesar 9,5% (p= 0,03). Kegagalan pengobatan didefinisikan sebagai tanda-tanda atau gejala infeksi yang terus-menerus misalnya demam atau lekositosis atau mungkin memburuknya tanda-tanda atau gejala infeksi pada pasien yang menerima terapi vankomisin sekurang-kurangnya 5 hari dengan konsentrasi serum 10-15 mg/dL. Namun studi ini relatif kecil (n=30), pasien bakterremik MRSA yang refrakter terhadap terapi vankomisin dan terdaftar dalam pasien uji coba obat. 

Dalam studi yang lebih baru pada pasien yang terinfksi MRSA (n=34) Moise et al. menunjukan bahwa pasien dengan isolat MRSA dengan KHM vankomisin sebesar 2 mg/L memiliki median yang lebih tinggi dalam eradikasi organisme, pengobatan dengan vankomisin yang lebih lama, dan kemapuan eradikasi bakteri yang lebih rendah secara keseluruhan.

Hidayat et al. mengevaluasi penggunaan vankomisin dosis tinggi untuk mencapai konsentrasi palung serum tak terikat 4 kali KHM pasien dengan infeksi MRSA. Dari 95 pasien pneumonia atau bakteremia MRSA yang dievaluasi atau keduanya, 51% (54) memiliki nilai KHM 1,5 atau 2 mg/dL. Respon awal 74% pasien mencapai KHM yang diinginkan, kelompok yang terinfeksi strain ini memiliki respon yang lebih buruk (62% dibandingkan 85%) dan dengan infeksi mortalitas yang lebih tinggi (24% banding 10%) dibandingkan dengan pasien terinfeksi yang memiliki KHM lebih rendah (0,5: 0,75; atau 1 mg/dL) meskipun konsentrasi serum yang mencapai target adalah sama yaitu sebesar 15-20 mg/dL. Data dari kedua studi menunjukan bahwa isolat S.aureus yang memiliki KHM 1-2 mg/dL yang masih berada dalam kisaran rentan mungkin kurang responsif terhadap terapi vankomisin. 

Soriano et al. mengevaluasi pengaruh KHM vankomisin pada 414 pasien bakteremik MRSA. Evalusi KHM dilakukan dengan metode Etest. Diantara beberapa faktor yang diperkirakan memberikan hasil yang buruk, isolat S. aureus dengan KHM 2 mg/dL berpengaruh signifikan pada kematian. Berdasarkan kemungkinan rendahnya vankomisin yang mencapai target (AUC/KHM) penulis menyarankan bahwa vankomisin tidak harus dianggap sebagi terapi yang optimal dalam terapi infeksi dengan KHM lebih dari 1 mg/dL ketika konsentrasi palung vankomisin yang digunakan lebih dari 10 mg/dL.

Lodise et al. mengevaluasi hubungan antara KHM dengan kegagalan etrapi pada 94 pasien nonneutropenia dengan infeksi MRSA pada sirkulasi darah. Kegagalan terapi didefinisikan sebagai 30 hari kematian, 10 hari atau lebih pada terapi bakteremia vankomisin. Klasisfikasi dan pohon regresi analisis menemukan bahwa KHM lebih dari sama dengan 1,5 mg/dL berhubungan dengan kegagalan terapi. Pasien dengan KHM lebih dari sama dengan 1,5 mg/dL 2,4 kali lebih besar berpotensi gagal terapi dibandingkan dengan pasien yang memiliki KHM kurang dari 1 mg/dL (36,4% VS 15,4% dengan p=0,049). Analisis regresi keracunan menyatakan bahwa KHM lebih dari sama dengan 1,5 mg/L secara independen berhubungan dengan kegagalan terapi. Berdasarkan temuan ini para peneliti menyarankan perlunya terapi alternatif.

Analisis skala besar terhadap 35.458 strain S. aureus oleh Jones menemukan bahwa KHM diperlukan untuk menghambat 50% pertumbuhan mikroorganisme atau 90% pertumbuhan mikroorganisme (KHM 90) untuk vankomisin adalah 1 mg/L. Pusat pencegahan dan pengendalian penyakit AS tahun 2005 melaporkan bahwa 241.605 strain S. aureus 16,2% diantaranya memiliki KHM sebesar 2 mg/L 




Sumber


Diterjemahkan dari Jurnal yang dipublikasikan di American Journal of Health System Pharmacy