PENGANTAR
Secara farmakologis, obat menawarkan terapi lengkap dengan paket sifat-sifat kimia dan karakteristiknya, mekanisme tindakan, respon fisiologis terhadap obat, dan penggunaannya secara klinis. Farmakologi bersimpangan dengan toksikologi saat respon fisiologis terhadap obat menyebabkan terjadinya efek samping. Toksikologi sering dianggap sebagai ilmu yang mempelajari tentang racun atau keracunan, namun toksikologi ini mengembangkan suatu definisi yang ketat sehubungan dengan masalah racun atau keracunan tersebut. Racun adalah setiap zat, termasuk obat yang memiliki kapasitas membahayakan organisme. Paracelsus (1493-1541) seorang dokter pada masa Renaissance mendefinisikan istilah racun dengan sebuah pertanyaan "Apa ada yang bukan termasuk racun?, pada dasarnya semua hal/zat adalah racun dan tidak ada satu zat pun yang tidak dapat menyebabkan keracunan. Dosislah yang semata-mata membedakan suatu zat itu racun atau bukan". Keracunan menunjukan adanya efek fisiologis yang merusak akibat paparan zat atau obat tertentu. Jadi secara umum dapat dinyatakan bahwa semua obat adalah racun yang potensial, dosis, kondisi individu, lingkungan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan gen yang akan berkontribusi menentukan apakah obat tersebut memberikan efek racun atau tidak.
Beberapa senyawa kimia secara inheren dapat menjadi racun, seperti timah, yang tidak diketahui bagaimana peran fisiologisnya dalam tubuh namun dapat menyebabkan cedera neural bahkan pada tingkat paparan yang sangat rendah. Kebanyakan obat-obatan adalah racun pada ambang batas tertentu, pada dosis terapi obat memberikan efek yang menguntungkan, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan keracunan. Sebagai contoh, besi merupakan nutrisi yang penting untuk sintesis heme dan berbagai fungsi fisiologis enzim, tetapi over dosis besi sulfat dapat menyebabkan disfungsi berbagai organ yang mengancam jiwa.
RESPON TERHADAP DOSIS
Evaluasi respon terhadap dosis atau dosis-efek sangat penting bagi seorang ahli toksikologi. Ada hubungan dosis-efek pada satu individu dan adapula hubungan dosis-efek quantal dalam suatu populasi. Dalam hubungan dosis-efek individual biasanya seseorang akan mengalami peningkatan efek seiring peningkatan dosis. Hubungan dosis-efek quantal adalah persentase kenaikan jumlah penduduk yang terpengaruh kenaaikan dosis. Fenomena dosis-efek quantal penting dalam nilai dosis mematikan median (lethal dose (LD) LD50) obat-obatan dan bahan kimia tertentu.
LD50 ditentukan secara eksperimental, dengan memberikan obat atau bahan uji kepada marmut atau tikus (baik secara oral atau intraperitoneal) hingga dosis yang menyebabkan kematian pada 50% hewan uji.
Gambar 1
Grafik LD50
Gambar 2
Indeks Terapi
Kurva pada gambar 2 mengilustrasikan hubungan kurva dosis-efek quantal untuk efek terapi obat untuk menghasilkan dosis efektif median (effective dose (ED) ED50), yaitu konsentrasi obat yang mana menghasilkan efek yang diinginkan pada 50% populasi, dan kurva dosis quantal yang mematikan 50% populasi. Kedua kurva menghasilkan indeks terapi (therapeutic index = TI) yang menunjukan kuantisasi obat yang aman digunakan. Semakin tinggi nilai TI, maka semakin aman obat tersebut digunakan.
Setiap obat memiliki nilai TI tersendiri yang berkisar antara 1-2 hingga lebih dari 100. Obat dengan nilai TI yang rendah harus diberikan secara hati-hati. Obat dengan nilai TI rendah diantaranya glikosida jantung dan agen kemoterapi kanker. Obat dengan nilai TI yang tinggi menunjukan tingkat keamanannya yang juga tinggi, obat kelompok ini mencakup obat golongan antibiotik (misalnya penisilin), kecuali bila diketahui adanya reaksi alergi.
Penilaian keamanan obat dengan menggunakan parameter LD50 dan ED50 bukan tanpa kelemahan, karena parameter tersebut tidak menganggap bahwa lereng kurva efek terapi dan lethal mungkin berbeda. Sebagai alternatif nilai ED99 (ED untuk 99% populasi) dibandingkan dengan LD1 (LD 1% populasi) dapat digunakan untuk menentukan nilai margin kemanan (margin of safety).
Margin of safety = LD1/ED99
FARMAKOKINETIK VS TOKSIKOKINETIK
Prinsip-prinsip farmakokinetik meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi. Sedangkan toksikokinetik didefinisikan sebagai farmakokinetik obat yang menghasilkan efek racun atau paparan yang berlebihan yang dapat berbeda secara signifikan setelah keracunan, dan perbedaan-perbedaan tersebut mungkin akan sangat mempengaruhi keputusan pengobatan dan prognosis. Mengkonsumsi obat dalam dosis yang lebih besar dapat mengakibatkan absorpsi obat yang berkepanjangan, mengubah komposisi protein darah yang mengikat obat tersebut serta merubah pula volume distribusi dan jalur metabolismenya. Saat terjadi kondisi yang dicurigai keracunan obat, maka perlu diketahui dua hal berikut:
- Berapa lama kondisi asimptomatik (penyerapan dan dinamika obat) harus dipantau?
- Berapa lama waktu yang diperlukan pasien untuk menunjukan gejala keracunan hingga kondisinya membaik (eliminasi obat dan dinamikanya)?
Absorpsi Obat
Aspirin merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas obat terkait over dosis penggunaanya. Dalam dosis terapi, aspirin mencapai konsentrasi plasma puncak dalam waktu sekitar 1 jam. Namun dalam kondisi overdosis faktor-faktor fisiologi yang mempengaruhi obat tersebut kemungkinan berubah. Overdosis aspirin menyebabkan spasme katup pilorus yang menyebabkan penundaan aspirin memasuki usus halus. Aspirin, terutama dalam bentuk salut enterik saling bergabung sehingga mengurangi luas permukaan penyerapan. Konsentrasi puncak salisilat dalam plasma mungkin akan tercapai dalam waktu 4-35 jam setelah menelan aspirin.
Eliminasi Obat
Pada dosis terapi, asam valproat memiliki waktu paruh (t1/2) sekitar 14 jam. Keracunan asam valproat dapat menyebabkan koma. dalam memprediksi durasi koma, penting untuk mempertimbangkan bahwa setelah over dosis proses metabolisme orde pertama menjadi jenuh dan t1/2 eliminasi dapat berlangsung antara 30-45 jam.
Obat-obat yang memberikan manivestasi overdosis dalam waktu 4-6 jam diantaranya:
- Parasetamol
- Aspirin
- Obat-obat terlarang yang dikemas dalam paket karet atau plastik
- Inhibitor monoamin oksidase
- Sulfonilurea
- Obat-obat sediaan lepas lambat
- Hormon tiroid
- Asam valproat
- Antikoagulan warfarin
Obat-obat diatas yang tertelan bersamaan dengan agen yang memiliki aktivitas kolinergik, akan menunjukan penurunan motilitas usus dan menyebabkan keterlambatan mulai kerja (onset) obat.
TIPE-TIPE KERACUNAN OBAT
Dalam terapi, obat biasanya memberikan berbagai efek, namun biasanya hanya 1 efek terapi yang diharapkan sedangkan efek-efek lain tidak diharapkan dapat dianggap sebagai efek samping. Efek-efek samping ini biasanya mengganggu namun tidak membahayakan. Efek yang tidak diinginkan dan membahayakan dianggap sebagai efek toksik.
Reaksi-reaksi yang Dipengaruhi Dosis
Efek toksik obat dapat dikelompokan sebagai efek farmakologis, patologis dan genotoksik. Biasanya keparahan toksisitas secara proporsional terkait dengan konsentrasi obat dalam tubuh dan durasi paparan. Overdosis obat adalah contoh toksisitas obat terkait dosis.
Toksisitas Farmakologis
Depresi sistem saraf pusat terkait penggunaan barbiturat dipengaruhi oleh dosis. Efek klinis berkembang mulai dari efek ansiolitik, sedasi hingga koma. Demikian pula tingkat hipotensi yang dihasilkan oleh nifedipin sangat dipengaruhi oleh dosis yang diberikan. Tardive dyskinesia adalah gangguan motorik ekstrapiramidal yang berhubungan dengan penggunan obat antipsikotik, tampaknya tergantung pada durasi paparan. Toksisitas farmakologi juga dapat terjadi ketika dosis yang diberikan tepat, misalnya pada kasus pasien yang diobati dengan tetrasiklin, sulfonamida, klorpromazin dan asam nalidiksat yang disebabkan adanya efek fototoksisitas oleh sinar matahari terhadap pasien.
Toksisitas Patologis
Parasetamol dimetabolisme menjadi glukoronida nontoksik dan sulfat terkonjugasi, dan metabolit yang sangat reaktif N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI) melalui isoform CYP. NAPQI disebut sebagai senyawa biologis reaktif menengah yang sering timbul dari hasil metabolisme obat. Pada dosis terapi NAPQI mengikat glutation nukleofilik tapi dalam kondisi overdosis penipisan glutation dapat menyebabkan nekrosis hati patologis.
Gambar 3
Mekanisme Pembentukan NAPQI dari Metabolisme Parasetamol
Efek Genotoksik
Radiasi senyawa kimia yang mengion yang banyak terdapat dilingkungan dapat melukai DNA dan menyebabkan toksisitas mutagenik dan karsinogenik. Diduga banyak agen kemoterapi kanker yang potensial genotoksik.
Reaksi Alergi
Alergi adalah suatu reaksi merugikan yang diawali dengan sensitisasi suatu bahan kimia tertentu atau senyawa dengan struktur kimia yang mirip. Bahan kimia dengan berat molekul rendah menyebabkan reaksi alergi dengan membentuk produk metabolik yang biasanya bertindak sebagai hapten dengan menggabungkan protein-protein endogen membentuk antigen kompleks. Antigen tersebut menginduksi pembentukan antibodi, biasanya setelah periode laten setelah 1-2 minggu. Paparan berikutnya dengan senyawa kimia tersebut atau senyawa lain yang struktur kimianya mirip akan menyebabkan interaksi antigen-antibodi yang memprovokasi manivestasi khas alergi. Hubungan dosis-efek biasanya tidak jelas pada kasus reaksi alergi ini. Reaksi alergi dibedakan menjadi 4 kategori umum berdasarkan mekanisme keterlibatan imunologi.
Tipe I: Reaksi Anafilaktik
Reaksi anafilaktik diperantarai oleh antibodi IgE. Fc portion of IgE dapat mengikat reseptor pada sel mast dan basofil. Jika bagian Fab molekul antibodi mengikat antigen, berbagai mediator (seperti histamin, leukotrien dan prostaglandin) dilepaskan dan menyebabkan vasodilatasi, edema dan respon inflamasi. Sasaran utama dari reaksi ini adalah saluran gastrointestinal (alergi makanan), kulit (urtikaria dan dermatitis atopik), saluran pernafasan (rhinitis dan asma), dan pembuluh darah (syok anafilaktik). Respon ini cenderung berlangsung cepat setelah tantangan dengan antigen individu yang telah peka, kondisi ini disebut reaksi hipersensitif.
Tipe II: Reaksi Sitolitik
Reaksi alergi tipe II ini dimediasi oleh antibodi IgG dan IgM dan biasanya dikaitkan dengan kapasitas antibodi tersebut dalam mengaktifkan sistem komplemen. Jaringan utama reaksi sitolitik adalah sel-sel dalam sistem peredaran darah. Contoh respon alergi tipe II adalah anemia hemolitik yang disebabkan penisilin, quinidin yang menginduksi purpura trombositopenik, dan sulfonamida yang menginduksi granulositopenia. Untungnya, reaksi autoimun akibat obat umumnya mereda dalam waktu beberapa bulan setelah pengangkatan agen penyebab.
Tipe III: Reaksi Artrus
Reaksi alergi tipe III terutama dimediasi oleh antibodi IgG, mekanisme ini melibatkan satu generasi kompleks antigen-antibodi. Senyawa kompleks tersebut disimpan dalam endotelium pembuluh darah, dimana respon inflamasi destruktif yang disebut
serum sickness terjadi. Fenomena ini kontras dengan reaksi alergi tipe II, dimana respon inflamasi yang disebabkan oleh antibodi diarahkan ke antigen jaringan. Gejala klinis
serum sickness dapat berupa urtikaria, arthralgia atau arthritis, limfodenopati dan demam. Beberapa obat termasuk antibiotik yang biasa digunakan, dapat menyebabkan reaksi alergi ini. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 6-12 hari dan gejala menghilang setelah penggunaan agen penyebab dihentikan.
Tipe IV; Reaksi Hipersensitivitas Tertnnda
Reaksi alergi ini dimediasi oleh sensitisasi limfosit T dan makrofag. Ketika sel-sel yang telah tersensitisasi mengalami kontak dengan antigen, sebuah reaksi inflamasi dihasilkan melalui produksi limfokin yang diikuti dengan masuknya netrofil dan makrofag. Contoh reaksi tipe ini adalah dermatitis kontak akibat keracunan ivy.
Reaksi Idiosinkratik
Idiosinkrasi adalah reaktivitas abnormal suatu bahan kimia yang khusus terjadi pada individu tertentu. Respon idiosinkrasi dapat berupa sensitivitas ekstrim terhadap suatu obat baik pada dosis rendah maupun tinggi. Reaksi ini dapat dihasilkan dari polimorfisme genetik yang menyebabkan perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik obat atau dari variabilitas ekspresi aktivitas enzim pada seseorang.
Peningkatan insiden neuropati perifer terjadi pada pasien dengan defisiensi asetilasi isoniazid pada pengobatan tuberkulosis, perlambatan atau percepatan asetilator disebabkan oleh adanya polimorfisme N-asetil transferase. Banyak pria kulit hitam mengalami anemia hemolitik ketika mereka menerima primakuin untuk terapi malaria, individu tersebut mengalami kekurangan eritrosit dehidrogenase glukosa-6-fosfat. Resistensi genetik menyebabkan aksi koagulan warfarin dan menyebabkan perubahan pada vitamin K epoksida reduktase.
INTERAKSI OBAT
Pasien biasanya menerima lebih dari satu jenis obat, mengkonsumsi berbagai jenis makanan, serta kemungkinan menggunakan obat-obat bebas dan juga vitamin dan suplemen, hal ini memberikan potensi terjadinya interaksi. Interaksi obat dapat menyebabkan perubahan penyerapan, ikatan protein, tingkat biotransformasi yang berbeda serta ekskresi obat-obatan tersebut. Farmakodinamika obat dapat berubah karena adanya kompetisi pada tingkat reseptor, dan interaksi farmakodinamik non reseptor yang dapat terjadi ketika dua obat atau lebih memiliki mekanisme aksi yang serupa. Induksi atau inhibisi metabolisme obat oleh CYPs merupakan kondisi yang sangat mempengaruhi interaksi obat.
Interaksi Penyerapan
Suatu obat dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan absorpsi obat lain dari lumen usus. Ranitidin, suatu antagonis reseptor histamin H2, meningkatkan pH saluran gastrointestinal dan karenanya dapat meningkatkan absorpsi obat-obat basa seperti triazolam, Sebaliknya suatu sekuestran asam empedu kolestiramin menyebabkan penurunan konsentrasi serum dari propranolol secara signifikan dan menyebabkan penurunan khasiat.
Interaksi pada Ikatan Protein
Banyak obat-obatan seperti apirin, barbiturat, fenitoin, sulfonamida, asam valproat dan warfarin memiliki tingkat ikatan protein plasma yang tinggi, dan obat bebas yang tidak terikat protein plasma akan bekerja memberikan efek klinis. Obat-obat tersebut berpotensi menyebabkan toksisitas jika ikatan dengan protein plasma telah jenuh, dan menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia, atau terjadi penggantian pengikatan protein oleh obat lain. Efek antikoagulan warfarin meningkat dengan adanya asam valproat jika kedua obat tersebut diberikan secara simultan.
Interaksi Metabolisme
Suatu obat dapat mempengaruhi metabolisme obat lain terutama pada CYPs hati. Parasetamol sebagian dimetabolisme oleh CYP2E1 menjadi NAPQI yang bersifat toksik, konsumsi etanol menginduksi secara kuat isoenzim 2E1 yang meningkatkan potensi keracunan akibat parasetamol. Antihistamin piperidin generasi ke dua (terfenadin, astemizol) telah dilarang penggunaannya karena obat tersebut dapat menyebabkan perpanjangan QT ketika obat tersebut diberikan bersama dengan makrolida.
Interaksi Ikatan pada Reseptor
Suatu obat dapat mempengaruhi metabolisme obat lain, hal ini terutama terjadi pada CYPs hati. Parasetamol sebagian diubah menjadi NAPQI yang toksik oleh CYP2E1. Penggunaan bersama parasetamol dan etanol akan memperbesar potensi toksik dari NAPQI karena akan menginduksi dengan kuat isoenzim 2E1. Demikian pula sejumlah antihistamin piperidin (terfenadin, astemizol) yang dapat mengalami perpanjangan interval QT jika digunakan bersamaan dengan makrolida.
Interaksi Pada Ikatan Protein
Buprenorfin adalah opioid yang memilik aktivitas parsial pada reseptor agonis dan antagonis. Obat ini digunakan sebagai analgesik, namun lebih sering digunakan pada pengobatan kecanduan narkotika. Obat ini mengikat reseptor opioid dengan afinitas tinggi, dan dapat mencegah euforia akibat penggunaan obat-obatan narkotika.
Interaksi pada Aksi Terapeutik
Aspirin adalah penghambat agregasi platelet sedangkan heparin adalah suatu koagulan, jika diberikan secara bersamaan maka dapat menimbulkan terjadinya perdarahan. Sulfonilurea menyebabkan hipoglikemia dengan cara merangsang pelepasan insulin pankreas, sedangkan biguanida (metormin) menyebabkan penurunan produksi glukosa hepatik, dan kedua golongan obat tersebut dapat digunakan secara bersamaan untuk mengontrol kadar glukosa darah penderita diabetes.
- Interaksi obat dikatakan memiliki efek aditif jika efek gabungan kedua obat sama dengan jumlah dari efek dari setiap obat jika diberikan sebagai agen tunggal.
- Efek sinergis adalah efek dimana efek gabungan melebihi jumlah dari masing-masing obat jika diberikan secara tunggal.
- Potensiasi menggambarkan adanya penciptaan efek toksik suatu obat akibat adanya obat lain
- Antagonisme adalah gangguan dari suatu obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Antagonisme obat dapat memberikan keuntungan terapi jika obat yang digunakan merupakan obat penangkal toksisitas obat lainnya. Antagonisme fungsional atau fisiologis terjadi ketika dua bahan kimia atau obat menghasilkan efek yang berlawanan pada fungsi fisiologis yang sama, ini adalah dasar paling mendukung pada pengobatan overdosis obat. Antagonisme kimia atau inaktivasi adalah reaksi antara dua bahan kimia yang saling menetralisir efek, seperti terlihat pada terapi khelasi. Antagonisme disposisional adalah perubahan disposisi zat (penyerapan, biotransformasi, metabolisme dan ekskresi) sehingga obat yang mencapai organ target tidak mencukupi. Reseptor antagonis memerlukan blokade efek obat dengan obat lain yang bersaing dilokasi reseptor yang sama.
EPIDEMIOLOGI REAKSI OBAT MERUGIKAN (ROM) DAN KERACUNAN OBAT
Keracunan dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Insiden reaksi obat yang merugikan yang serius dan fatal di rumah-rumah sakit di Amerika Serikat sangat tinggi. Diperkirakan sekitar 2 juta pasien rawap inap mengalami reaksi obat merugikan yang serius setiap tahunnya.
Kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya keracunan:
- Toksisitas obat terapeutik
- Paparan eksplorasi oleh anak-anak muda
- Paparan lingkunan
- Pajanan
- Penyalahgunaan obat
- Kesalahan dalam pengobatan
- Upaya bunuh diri
- Upaya meracuni orang lain
Obat-obat yang sering berhubungan dengan resiko kematian diantaranya:
- Kokain
- Opioid
- Benzodiazepin
- Alkohol
- Antidepresan
Senyawa-senyawa yang paling sering berhubungan dengan risiko keracunan pada manusia:
- Analgesik
- Produk perawatan diri
- Produk pembersih rumah tangga
- Sedatif/ antipsikotik dan hipnotik
- Benda asing
- Sediaan obat lokal
- Obat flu dan batuk
- Antidepresan
Pencegahan Keracunan
Mengurangi Risiko Kesalahan Pengobatan (Medication Errors)
Upaya mengurangi kesalahan pengobatan dan ROM terbukti akan mampu mengurangi risiko keracunan terkait penggunaan obat. Kesalahan pengobatan atau medication errors (ME) dapat terjadi pada proses peresepan atau pun pada proses penggunaan obat tersebut, sedangkan ROM adalah cedera yang berhubungan dengan penggunaan obat. Secara umum penggunaan obat yang tepat atau rasional harus memenuhi kriteria:
- Tepat obat
- Tepat pasien
- Tepat dosis
- Tepat rute pemberian, dan
- Tepat waktu pemberian
Praktik-praktik yang direkomendasikan untuk mengurangi ME dalam jangka pendek:
- Sistem distribusi unit-dose untuk pemberian obat-obat non gawat darurat
- Penyiapan larutan intravena oleh farmasis
- Memindahkan obat-obat berbahaya (seperti KCl pekat) dari daerah perawatan pasien
- Mengembangkan prosedur khusus untuk obat-obat berisiko tinggi
- Meningkatkan sumber daya manusia untuk memberikan informasi yang memadai tentang obat
- Mengedukasi pasien sehubungan penggunaan obat yang rasional
- Meningkatkan akses dokter dan farmasis pada pasien rawat inap
Sedangkan dalam jangka panjang pencegahan ME dapat dilakukan dengan :
- Komputerisasi sistem pemesanan obat
- Komputerisasi dosis dan pemeriksaan alergi
- Komputerisasi sistem pelacakan obat
- Penggunaan bar codes untuk penyiapan dan pemberian obat
Mengurangi Risiko Keracunan di Rumah Tangga
Paparan racun dilingkungan rumah dan lingkungan lainnya harus dikurangi. Pencegahan keracunan harus dilakukan secara pasif, misalnya dengan mengurangi peredaran obat-obat atau bahan beracun dipasaran, dan dilakukan secara aktif oleh masing-masing individu.
Prinsip-Prinsip Penanganan Keracunan
Prioritas pengobatan keracunan adalah menjaga fungsi-fungsi vital tubuh tetap berlangsung hingga obat atau bahan kimia penyebab keracunan dapat dikeluarkan dari dalam tubuh. Dengan mempertimbangkan onset dan durasi obat penyebab keracunan, maka pengobatan harus segera dilakukan. Tujuan utama pengobatan toksisitas adalah mempertahankan fungsi fisiologis normal tubuh. Tujuan keduanya adalah menekan agar konsentrasi racun (obat penyebab keracunan) seminimal mungkin dengan menghambat absorpsi dan meningkatkan eliminasinya. Selain itu, tujuan ketiganya adalah untuk melawan efek toksikologi racun pada sisi efektor.
Dekontaminasi Pasien Keracunan
Paparan racun dapat terjadi karena terhirup, kontak melalui kulit atau mukosa penyerapan, melalui suntikan atau pun tertelan. Langkah pertama dalam mencegah keracunan adalah dengan menghentikan terjadinya paparan dengan racun tersebut. Jika perlu mata dan kulit harus dicuci dengan air mengalir. Dekontaminasi gastrointestinal adalah upaya untuk mengurangi penyerapan zat racun setelah zat racun tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan. Strategi utama yang dapat dilakukan untuk dekontaminasi gastrointestinal adalah dengan pengosongan lambung (bilas lambung), penyerapan racun dan katarsis. Indikasi perlunya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal adalah:
- Racun berpotensi membahayakan
- Racun masih belum terserap, artinya racun masih berada pada lambung atau usus, sehingga dekontaminasi gastrointestinal harus segera dilakukan
- Prosedur dekontaminasi dapat dilakukan secara aman.
Pengosongan lambung kini telah jarang dilakukan.
Metode dekontaminasi gastrointestinal yang dapat dilakukan:
- Sirup Ipecac. Sirup ipecac adalah agen emetik (perangsang muntah) lokal pada saluran usus. Komponen alkaloid cephaeline dan emetine dalam sirup ipecac bertindak sebagai agen emetik karena kedua senyawa tersebut memberikan efek iritasi lokal pada saluran usus dan efek sentral pada chemoreceptor trigger zone pada postrema medula. Dosis sirup ipecac adalah 15 ml pada anak-anak kurang dari 12 tahun dan 30 ml pada orang dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun. Sirup ini akan menghasilkan efek emetik dalam kurun waktu 15-30 menit. Sirup ini dikontraindikasikan pada pasien yang menderita gangguan sistem saraf pusat, dan pasien yang mengkonsumsi obat korosif atau hidrokarbon. Obat ini sering disalahgunakan oleh pasien bulimia. Penggunaan obat ini secara berlebihan dapat mengakibatkan kelainan elektrolit serum, kardiomiopati, aritmia ventrikel dan kematian.
- Pengosongan lambung/bilas lambung. Proses ini dilakukan dengan memasukan pipa orogastrik kedalam perut dimana posisi pasien dekubitus lateral kiri dengan kepala lebih rendah daripada kaki, kemudian isi perut dikeluarkan melalui pipa tersebut.
- Penyerapan Racun dengan Karbon Aktif. Karbon aktif dibuat melalui proses pirolisis terkendali dari bahan-bahan organik dan diaktifkan dengan penguapan atau penambahan bahan kimia yang meningkatkan struktur pori internal dan kapasitas serap permukaan karbon. Permukaan karbon aktif mengandung gugus karbonil, dan sekelompok hidroksil yang mampu mengikat racun. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-2 gram per Kg berat badan, dengan dosis maksimum 75-100 gram. Diperkirakan setiap 10 gram karbon aktif mampu mengikat 1 gram racun. Efektivitas karbon aktif menurun seiring berjalannya waktu. Alkohol, bahan korosif, hidrokarbon dan logam tidak dapat diserap dengan baik oleh karbon aktif. Komplikasi yang mungkin timbul dalam terapi ini dapat berupa mual, muntah, sembelit, aspirasi paru dan kematian. Terapi ini dikontraindikasikan pada pasien dengan perforasi gastrointestinal dan pada pasien yang akan menjalani endoskopi.
- Irigasi usus. Irigasi usus meliputi pemberian senyawa dengan berat molekul besar secara enteral dalam jumlah besar, larutan elektrolit polietilen glikol iso osmotik dengan tujuan mempercepat sampainya racun ke rektum sebelum sempat diserap. Irigasi usus disarankan pada kasus keracunan obat-obatan terlarang, overdosis besi, obat luar yang tertelan, overdosis obat lepas lambat.
- Katarsis. Ada dua tipe katarsis sederhana yang umum digunakan yaitu garam magnesium seperti magnesium sitrat dan magnesium sulfat, serta karbohidrat tak tercerna seperti sorbitol. Metode ini kini jarang digunakan. Meski sorbitol sering digunakan sebagai pemanis pada terapi dengan karbon aktif.
- Peningkatan laju eliminasi obat (racun). Setelah obat diserap, efek toksikodinamik buruk dari obat tersebut dapat dikurangi dengan meningkatkan laju eliminasinya. Ekskresi obat dapat ditingkatkan dengan proses perangkap ion pada kebasaan urin. Beberapa obat dapat dikeluarkan dari tubuh dengan teknik ekstrakorporeal seperti dialisis peritoneal, hemodialisis dan hemoperfusion.
- Terapi Antidot. Terapi antidot melibatkan mekanisme antagonisme atau dengan menginaktivasi racun secara kimiawi. Farmakodinamika racun dapat diubah dengan jalan memberikan kompetitornya pada reseptor, seperti pada antagonisme nalokson dalam mengobati overdosis heroin. Antidot fisiologis dapat ditempuh melalui mekanisme seluler yang berbeda, seperti pada penggunaan glukagon untuk merangsang pemblokiran alternatif terhadap reseptor adrenergik dan meningkatkan siklik AMP seluler pada terapi overdosis propranolol. Antivenom dan agen pengkhelat mengikat dan secara langsung menonaktifkan racun. Biotransformasi racun juga dapat diubah oleh antidot; seperti pada kasus fomepizol yang akan menghambat dehidrogenasi alkohol dan menghentikan pembentukan metabolit asam beracun dari etilen glikol dan metanol. Banyak jenis obat yang dapat digunakan dalam perawatan pendukung pasien keracunan (misal; antikonvulsan, vasokonstriktor0 yang dapat dianggap sebagai antidot fungsional yang tak spesifik. Berikut jenis-jenis antidot yang dapat digunakan:
Antidot Indikasi Keracunan
- Asetilsistein Parasetamol
- Atropin sulfat organoforus Pestisida karbamat
- Benztropin Obat penginduksi distonia
- Bikarbonat, natrium Obat pemblok kanal natrium
- Bromokriptin Sindrom Neuroleptik
- Karnitin Hiperammonemia valproat
- Dantrolen Hipertermia ganas
- Deveroksamin Besi
- Digoksin Glikosida jantung
- Difenhidramin Obat penginduksi distonia
- Dimerkaprol Raksa, Arsen
- Etanol Metanol, etilen glikol
- Fomepizol Metanol, etilen glikol
- Flumazenil Benzodiazepin
- Glukagon Antagonis adrenergik
- Hidroksokobalamin hidroklorida Sianida
- Insulin dosis tinggi Pemblok kanal kalsium
Sumber
Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutic. 12th Edition. Ebook.