Laman

Sabtu, 03 November 2012

STUDI KASUS; FLUSHING DAN HIPOTENSI



Kasus

Seorang pria berusia 37 tahun dirawat di rumah sakit karena flushing dan hipotensi. 
Pada pagi hari dia merasakan bersin-bersin, rhinorhea, gatal pada tenggorokan dan demam. Atas keluhan tersebut dia mengkonsumsi obat flu yang dijual secara bebas. Sediaan obat flu tersebut mengandung asam asetilsalisilat (aspirin), dekstrometorphan-HBr, dan fenilefrin bitartrat. Tiga puluh menit setelah mengkonsumsi obat tersebut, dia merasakan perasaan lelah, lemah, mual, nyeri epigastrum, kemerahan pada wajah, telinga memerah, dan dua kali muntah. Dia juga mengeluhkan adanya sakit kepala ringan, diaforesis (berkeringat secara berlebihan) dan near syncope. Pria tersebut kemudian terjatuh pingsan (kehilangan kesadaran) tanpa trauma kepala. Pria ini kemudian mendapatkan pelayanan di instalasi gawat darurat. Dari hasil evaluasi diketahui adanya kemerahan pada kulit, tekanan darah sistolik turun hingga 50 mm Hg, denyut jantung 56x/menit dan teratur, pernafasan 16x/menit, dan saturasi oksigen 100% saat dia menghirup oksigen tambahan dengan menggunakan masker wajah nonbreather. Dari elektrokardiogram (EKG) diketahui adanya bradikardia sinus dengan inversi T-wave. Ondansetron dan normal saline diberikan secara intravena.

Pada saat kedatangannya pasien menyatakan adanya nyeri dada pleuritik dan menyebar dan memburuknya kondisi ketidaknyamanan pada abdomen. Dia menyatakan adanya kesamaan beberapa gejala yang terjadi dengan yang pernah dialaminya saat usianya belum genap 12 tahun, yaitu flushing, konjungtiva, mual dan diare. Episode ini telah mengalami peningkatan frekuensi dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yang awalnya episode terjadi 2 kali dalam setahun menjadi sekali setiap bulannya. Gejala-gejala tersebut terprovokasi oleh adanya aktivitas fisik, tekanan mental, atau intensitas emosi. Gejala berlangsung hingga 12 jam yang kemudian diikuti dengan kelemahan selama 3-4 hari. Evaluasi di rumah sakit lainnya menunjukan adanya penurunan tekanan darah sistolik hingga 60 mm Hg. Episode ini dihubungkan dengan adanya dehidrasi dan stres sehingga diberikan terapi dengan normal saline intravena. 

Pasien tidak memiliki penyakit lain dan tidak ada alergi obat. Buah kiwi telah menyebabkan penyempitan tenggorokan dan munta, namun pasien tidak mengkonsumsi buah tersebut. Pasien bekerja dalam bidang yang berhubungan dengan kesehatan dan berpartisipasi dalam triathlon. Pasien kadang-kadang minum alkohol, punya kebiasaan merokok dimasa lalu, tidak mengkonsumsi obat-obat terlarang dan tidak menggunakan produk herbal. Tidak ada paparan dengan orang sakit, makanan laut atau makanan-makanan lain yang tidak biasa dikonsumsinya. Dia merupakan keturunan Eropa dan Karibia. Tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit ginjal, anafilaksis atau rheumatoid.

Pada pemeriksaan diketahui suhu tubuh 36,2°C, tekanan darah 57/33 mm Hg, denyut jantung 116x/menit dan tidak teratur, pernafasan 26x/menit dan saturasi oksigen 93% saat bernafas dengan 4 liter oksigen melalui kanula nasal. Ada injeksi skleral dan eritema pada tubuh bagian atas, ekstremitas hangat dengan perfusi yang baik, dengan pengisian kapiler normal. Pemeriksaan tersebut dinyatakan normal.

Tingkat natrium, klorida, karbon dioksida, D-dimer, magnesium, amilase, lipase, kreatin, kinase MB isoenzim, troponin T, tes fungsi hati, waktu tromboplastin teraktivasi parsial, dan indeks sel darah merah normal. Skrining untuk troponin T dan racun serum negatif. 

EKG menunjukan adanya fibrilasi atrium dengan tingkat ventrikel 102 denyut/menit, dengan ketinggian segmen ST (2 mm, cembung) dan leads aVR dan V1 dan sedikit landai dan depresi segmen ST (3-4 mm) disadapan I, II, III aVF, dan V3 melalui V6. 

Normal saline ditransfusikan secara cepat melalui dua kateter intravena perifer dan diberikan 325 mg aspirin. Pasien kemudian mengalami peningkatan flushing. Lima puluh menit setelah kedatangannya tekanan darah meningkat hingga 140/81 mm Hg. Radiograf dada menunjukan volume paru yang rendah dengan intestinal penuh dan dinyatakan normal.

7 jam berikutnya suhu tubuh naik hingga 38.1°C, sakit perut semakin parah dengan sakit pada bagian perut atas. Normal saline, kalium klorida, magnesium sulfat, ondansetron, dan metoklopramid diberikan secara intravena. Mual mulai berkurang dan membaik. 

Dari hasil urinalisis menunjukan warna urin jelas kuning, dengan jejak keton, jejak urobilinogen, albumin +2, bilirubin +1, dengan jumlah sel darah putih pada kisaran 20-50 (kisaran normal 0-2), dan beberapa skuamosa sel (normalnya tidak ada). Urinalisis ini dinyatakan normal.

Saturasi oksigen meningkat menjadi 100% saat pasien menghirup udara ambien. 8 jam sejak kedatangannya, EKG menunjukan ritme sinus, pada 100 denyut/menit dan tidak ada depresi segmen ST. CT Scan abdomen dan pelvis dengan bahan kontras oral dan intravena menunjukan lesi hipodens pada hati dan limpa yang konsisten dengan hemangioma, data ini dinyatakan normal. Siprofloksasin mulai diberikan. Dia dimasukan ke unit telemetri jantung. Suhu tubuh naik menjadi 39.4°C, tekanan darah sistolik kembali turun menjadi 80-90 mm Hg, saturasi oksigen menurun hingga 89% saat menghirup ambien, dan terjadi muntah. Suplementasi oksigen kembali diberikan dan pasien dipindahkan ke unit perawatan medis intensif.

18 jam setelah kedatangan tekanan darah sistolik kembali turun menjadi 75 mm Hg. Difenhidramin, ranitidin, fenilefrin, hidrokortison, epinefrin, parasetamol, vankomisin, seftriakson, dan oseltamivir diberikan. Transthoracic echocardiography menunjukan perkiraan fraksi ejeksi 76%, ventrikel kanan melebar, hipertrofi ventrikel kanan dengan fungsi ventrikel normal, dilatasi atrium kanan, trace regurgitasi mitral, trace insufisiensi paru, dan stenosis valve paru. Pemeriksaan darah smear tidak menunjukan adanya bentuk malaria, pengujian antibodi virus negatif. Tingkat sedimentasi eritrosit dan tes fungsi tiroid normal. Hipotensi teratasi dalam 2 jam, dan pemberian fenilefrin dihentikan. Pasien dipindahkan ke ruang perawatan medis pada hari ketiga.

Tiga hari berikutnya dilakukan tes antinukleat antibodi, virus hepatitis (A, B dan C), dan H. pylori dan hasilnya negatif. Kultur spesimen darah dan urin juga tetap steril. Dan pada biakan tinja tumbuh flora yang enterik normal. Penggunaan antibiotik dihentikan. USG abdomen menunjukan dua lesi yang konsisten dengan hemangioma dalam penebalan dalam hati.

Diferensial Diagnosis

Dr. Dudzinki (seorang dokter di Massachuset General Hospital, tempat pasien ini dirawat) menjelaskan gambaran tentang jantung pasien. Berdasarkan hasil EKG dia menjelaskan bahwa pasien mengalami fibrilasi atrial dengan respon ventrikel yang cepat. Ada hipertrofi ventrikel kanan yang ringan dan dilatasi dengan mandatarkan septum diastolik, dilatasi atrium kanan, regurgitasi trikuspid moderat, stenosis pulmonar ringan dan diperkirakan tekanan darah sistolik pada ventrikel kanan sebesar 43 mm Hg. Temuan tersebut memungkinkan adanya penyakit jantung karsinoid, namun pada penyakit ini biasanya regurgitasi pulmonar adalah umum (80%), namun hal ini tak terjadi pada pasien. 

Episode flushing, mual, muntah, pusing, diare dan hipotensi terjadi sejak 12 jam sebelum pasien masuk rumah sakit yang dipicu oleh adanya stres fisik dan mental. Hipotensi berlangsung sekitar 12 jam, namun kelemahan berlangsung selama 3-4 hari. Frekuensi episode ini meningkat yang awalnya hanya 2 kali setahun menjadi sekali setiap bulannya, demikian menurut pengakuan pasien. Rawat inap ini didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas, dan episode terjadi 30 menit setelah pasien mengkonsumsi obat yang mengandung asam asetilsalisilat. Gejala yang menonjol adalah wajah memerah, telinga "gemuk merah", muntah, dada sesak, perubahan EKG, diaforesis dan hipotensi yang menyebabkan nearsyncope. Episode tersebut muncul sebagai penyakit sistemik yang berulang dan meningkat. 

Pemberian asam asetilsalisilat selama resusitasi memperburuk flushing, tanpa mengi atau urtikaria. Terapi dengan cairan intravena, difenhidramin, ranitidin, fenilefrin, hidrokortison, parasetamol dan antibiotik menyebabkan resolusi hipotensi. Dengan demikian episode yang ditandai dengan flushing, mual, hipotensi, kelamahan dan depresi dengan eskalasi keparahan dan presipitasi stres mental dan asam asetilsalisilat dapat dipertimbangkan sebagai diferensial diagnosis.

Flushing


Flushing dan hipotensi merupakan petunjuk diagnosis. Flushing adalah sensasi kehangatan disertai dengan eritema sementara biasanya diatas wajah, leher, telinga, dada dan anggota badan yang disebabkan oleh vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke kulit. Vasodilatasi dimediasi oleh regulasi neurogenik (autonomik) otot polos vaskular kulit atau dengan tindakan langsung melalui stimulus vasodilator sepeti histamin, substansi P, dan prostaglandin. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular menyebabkan syok distributif pada pasien. Histamin bertindak melalui reseptor H1 dan H2 turut memvasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya flushing dan hipotensi pada pasien. Histamin yang bertindak melalui reseptor H3 menghasilkan efek vasodilatasi neurogenik dan efeknya pada sistem syaraf pusat termasuk perubahan emosi dan memori serta kelainan kognitif, hal ini menjelaskan terjadinya depresi dan kelelahan yang mengikuti episode akut tersebut.

Petunjuk lebih lanjut untuk menentukan diagnosis dapat dilihat dengan memperhatikan karakteristik flushing, yaitu apakah termasuk flushing kering (tanpa keringat) atau flushing basah (berkeringat). Flushing akibat rangsangan neurogenik bersifat basah karena adanya inervasi autonomik dari kelenjar keringat eccrine. Proses ini terjadi pada demam, aktivitas olahraga, paparan panas dan menopause disertai gangguan neurologis dengan disfungsi otonom seperti pasca sindrom ensefalitis atau pada penderita Parkinson. Sebaliknya, vasodilator menyebabkan flushing kering, ini adalah kondisi yang terjadi pada pasien dalam kasus ini. Stimulus vasodilator dapat berasal dari sumber endogen maupun eksogen.

Vasodilator Eksogen yang Memediasi Flushing
  1. Obat ; asam nikotinat, pemblok kanal kalsium (calcium chanel blockers), inhibitor phosphodiesterase-5, vankomisin, angiotensin converting enzim (ACE) inhibitor
  2. Makanan, makanan famakologik; kapsaisin, etanol, sulfida, dan monosodium glutamat. Makanan yang tergolong racun; histamin asam yang dihasilkan dari kontaminasi spoiled seperti ikan tuna, mackerel dan mahimahi.
  3. Anafilaksis. Anailaksis imunologik dapat berupa: IgE dan FcεR1 yang memediasi alergi terhadap penisilin, racun serangga, lateks, serum heterolog, dan antibodi monoklonal chimeric, non IgE yang memediasi reaksi terhadap produk darah, asam asetilsalisilat, radiokontras, dan beberapa obat. Anafilaksis nonimunologik dapat disebabkan oleh aktivitas fisik, rangsangan dingin, opioat dan kurare. Selain itu anafilaksis dapat pula disebabkan oleh sebab lain yang tak diketahui (anafilaksis idiopatik)
Vasodilator Endogen yang Memediasi Flushing
  1. Sepsis
  2. Sindrome karsinoid
  3. Karsinoma medulary thyroid
  4. Feokromositoma
  5. Sindrom kebocoran kapiler sistemik idiopatik

Anafilaksis


Bisa jadi penyakit yang diderita oleh pasien merupakan manivestasi klinis dari reaksi anafilaksis berulang akibat alergi makanan, obat bahan lain yang belum diketahui. Anafilaksis adalah sebuah aktivasi sel mast sistemik atau sindrom basilaktivasi, dimana mediator-mediator dilepaskan oleh sel mast normal, biasanya akibat paparan zat eksogen seperti makanan atau obat. WHO menyebutkan definisi anafilaksis sebagai reaksi hipersensitif umum/sistemik yang parah yang mengancam jiwa yang bersifat imunologik (dimediasi oleh IgE atau tidak) atau pun nonimunologik. Pasien menderita sindrom alergi oral buah kiwi. Namun episode flushing dan hipotensi tidak dipicu oleh konsumsi buah kiwi. Gatal-gatal pada kulit atau angiodema atau keduanya hadir pada sekitar 90% pasien yang mengalami anafilaksis, dan gangguan pernafasan (sesak nafas, mengi, rhinitis) dijumpai pada sekitar 40-60% pasien. Dalam kasus pasien ini, adanya reaksi anafilaksis terhadap makanan tertentu hampir dapat dipastikan tidak mungkin. Namun asam asetilsalisilat potensial mengaktivasi sel mast dan memperburuk flushing pada pasien.

Sejauh ini dugaan anafilaksis idiopatik sangat kuat, terkait sindrom anafilaktik yang berulang dengan penyebab yang belum diketahui.

Sepsis


Perburukan klinis yang cepat (dengan demam, flushing, takikardia, hipotensi dengan respon rendah terhadap terapi cairan) dan leukositosis neurofilik dengan bandemia dan peningkatan waktu protrombin menunjukan respon sistemik terhadap inflamasi sitokin, seperti yang terlihat pada sepsis. Inflamasi sitokin menyebabkan hati memproduksi protein fase akut. Walaupun profil kekambuhan episode penyakit sistemik ini melibatkan penyakit sistemik yang tak menular.

Sindrom Flushing yang Disebabkan Oleh Tumor Endokrin

 Tumor neuroendokrin, termasuk feokromositoma, tumor penghasil peptida vasoaktif intestinal, karsinoma thyroid medular, dan tumor karsinoid dapat menyebabkan flushing, hipotensi atau hipertensi, diare dan gejala pernafasan dalam berbagai kombinasi. Karakteristik flushing yang atipikal untuk feokromositoma.

Sindrom Karsinoid

Sindromkarsinoid ditanda dengan kulit kemerahan, diare, mengi dan lesi katup jantung. Episode ini sering dipicu oleh konsumsi alkohol atau coklat, namun tidak dipicu oleh aktivitas fisik atau penggunaan asam asetilsalisilat seperti yang terjadi pada pasien ini. Facial telangiectasia, sianosis dan pelagra dapat terjadi pada kasus yang parah. 

Sindrom Kebocoran Kapiler Sistemik Idiopatik


Sindrom kebocoran kapiler sistemik ditandai dengan hipotensi, hipoalbuminemia, dan hemokonsentrasi. Kondisi ini sering didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas dan syok distributif yang diawali dengan munculnya sensai hangat dan kulit kemerahan. Pada kasus ini, pasien tidak menunjukan adanya profil biokimia yang sesuai untuk diagnosa ini. 

Mastositosis


Presentasi pasien konsisten untuk sindrom aktivasi sel mast namun tidak khas anafilaksis. Fitur klinis flushing dan hipotensi dengan melibatkan sistem kardiovaskuler, pencernaan, dan sistem syaraf tanpa adanya urtikaria, angiodema dan saluran pernafasan atas mununjukan adanya mastositosis sistemik, sebuah neoplasma sel mast. Jika tanpa kelainan hematologi, hepatosplenomegali, dan disfungsi jaringan, maka diagnosis klinisnya adalah mastosistosi sistemik indolen. Secara umum mastositosis dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. Mastositosis kutaneus; urtikaria pigmentosa, mastositosis kutaneus difuse, mastositoma kutaneus dan Telangiectasia macularis eruptiva perstans.
  2. Mastositosis sistemik. Kriteria mayor kasus ini adalah : multifokal, agregat padat sel mast (>15) dibagian sumsum tulang, ekstrakutaneus organ atau organ lain atau keduanya. Sedangkan kriteria minor (diperlukan setidaknya 1 kriteria minor, atau 3 kriteria minor jika tanpa adanya kriteria mayor): morfologi sel mast atipikal >25%, ekspresi CD2 atau CD5 oleh sel mast, adanya KIT kodon 816 mutasi, total triptase serum>20 mg/dl. Yang termasuk dalam mastositosis sistemik ini adalah: mastositosis sistemik indolen (tidak ada disfungsi organ yang berhubungan dengan sel mast, tidak berhubungan dengan hematologi, dan biasanya ditandai dengan adanya lesi kulit), mastosistosis sistemik terkait hematologi non kekacauan sel mast (buktinya dapat berupa: neoplasma myeloproliferatif myelodisplastik, leukemia myeloid akut, atau neoplasma limfoid), mastositosis sistemik agresif (disfungsi organ karena infiltrasi sel mast baik dalam sumsum tulang, hati, limpa, saluran pencernaan, atau tulang. Mastositosis ini biasanya tanpa disertai lesi kulit), dan leukemia sel mast (terdapat lebih dari 10% sel mast dewasa dalam darah dan lebih dari 20% dalam sumsum tulang)
  3. Mastositoma kutaneus (tumor sel mast soliter tanpa sitologi atipia)
  4. Sarkoma sel mast (tumor sel mast soliter dengan sitologi atipia tingkat tinggi)

Diagnosis Klinis

Mastositosis sistemik indolen rumit akibat reaksi anafilaksis asam asetilsalisilat (aspirin). Sementara itu dr. Mandakolathur R. Murali menyatakan diagnosanya sebagai manivestasi akut dari mastositosis sistemik indolen yang dipicu oleh infeksi saluran pernafasan atas dan asam asetilsalisilat.