Laman

Rabu, 08 Agustus 2012

GEJALA SALURAN KEMIH BAWAH DAN BPH



Seorang pria berusia 59 tahun dengan riwayat Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dan gejala saluran urin bawah datang untuk perawatan. Dia telah menerima doksasozin 4 mg/hari selama 2 tahun terakhir dengan perbaikan yang minimal. Dia kembali mengalami gejala nokturia, aliran kencing lemah, dan sering urinasi (8 kali perhari). Bagaimana penanganan kasus ini???

BPH adalah sebuah diagnosis histotolgik, yaitu kondisi kesehatan seiring penuaan, prevalensi meningkat seiring peningkatan umur. Prevalensinya sekitar 25% pada pria berusia 40-49 tahun dan meningkat hingga 80% pada pria berusia 70-79 tahun. Meskipun banyak pria dengan temuan histologik dengan pembesaran anatomi prostat, namun tanpa disertai gejala, sekitar 50% dari pria berusia 60-an mengalami gejala saluran kemih bawah. Gejala ini lebih diklasifikasikan sebagai obstruktif kemih atau gejala penyimpanan kemih. Gejala obstruktif kemih diantaranya:
  • Keraguan berkemih
  • Keterlambatan permualan berkemih
  • Gangguan intermitensi
  • Aliran kencing lemah
  • Tak sadar kencing
  • Sensasi pengosongan kemih yang tak lengkap
Sedangkan gejala penyimpanan kemih meliputi: sering kencing, nokturia, urgensi, inkontinensia, kandung kemih terasa sakit dan disuria. 

patofisiologi BPH tidak diketahui secara pasti. Perkembangan histologis BPH tergantung pada ketersediaan hayati testosteron dan metabolitnya, dihidrotestosteron. Kurangnya bawaan 5-alfa-reduktase menghasilkan kelenjar prostat vestiginal. Selain tingkat endogen testosteron dan dihidrotestosteron penanda lain yang berhubungan dengan peningkatan resiko BPH adalah tingginya dehidroepiandrosterone dan estradiol, insulin seperti halnya faktor pertumbuhan, dan penanda inflamasi (protein C-reaktif). Faktor resiko tambahan termasuk faktor ras kulit hitam (vs ras putih), obesitas, diabetes, dan tingginya tingkat konsumsi alkohol dan kurangnya aktivitas fisik. Mekanisme yang berhubungan dengan hal ini kurang dipahami.

EVALUASI


Evaluasi terhadap gangguan kesehatan ini harus dilakukan secara lengkap meliputi pemeriksaan medis, neurologis, dan sejarah urologi untuk membedakan antara gejala saluran urin bawah, BPH dan disfungsi kandung kemih. Evaluasi ini mencakup kelebihan cairan, asupan kafein dan penggunaan obat diuretik atau antihistamin yang dapat memberikan efek melemahkan fungsi detrusor kandung kemih. Dalam beberapa kasus gejala saluran urin bawah dapat diatasi dengan penghentian penggunaan diuretik. Pemeriksaan digital prostat dan pengukuran PSA juga harus dilakukan karena dalam beberapa kasus obstruksi disebabkan oleh adanya kanker prostat besar. Urinalisis harus dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi saluran urin atau hematuria, yang mungkin menunjukan adanya urolitiasis atau kanker pada ginjal, kandung kemih atau pun prostat. Infeksi saluran kemih harus segera ditangani sebelum terapi lainnya dilakukan. Jika pasien merasakan adanya sensasi pengosongan kemih yang tidak lengkap maka pengukuran urin sisa harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan retensi urin "silent" (volume urin residual normal <100 ml).

Evaluasi juga harus mencakup penggunaan American Urological Association Symptom Index
(AUASI) untuk mengetahui tingkat keparahan gejala saluran urin bawah (skala 0-35 dengan 0 menyatakan tidak ada gejala dan 35 sebagai gejala terparah). Skor AUASI juga menampilkan panduan manajemen dan respon kuantitatif terhadap terapi, perubahan minimal 3 poin (penurunan atau peningkatan) dianggap sebagai perbedaan klinis yang penting.

Komplikasi Gejala-gejala saluran urin bawah:
  1. Riwayat kanker prostat
  2. Tingginya level PSA
  3. Hematuria
  4. Batu kandung kemih
  5. Kanker kandung kemih
  6. Striktur uretra
  7. Cedera korda spinal
  8. Penyakit parkinson
  9. Stroke
  10. Prostatitis
  11. Retensi urin
  12. Infeksi saluran kemih berulang atau berkelanjutan
  13. Kegagalan terapi medis
  14. Preferensi pasien untuk terapi nofarmakologis

MANAJEMEN

Pada pria dengan gejala ringan atau bahkan tanpa gejala (skor AUASI <8) atau yang tidak merasa terganggu dengan adanya gejala, maka harus tetap wasapada. Dengan penilaian AUASI tahunan, pemeriksaan fisik dan review riwayat pasien dan untuk setiap indikasi baru pengobatan maka harus dengan rujukan urologist.

Setiap terapi farmakologis yang diberikan pada pasien dengan gejala menengah (skor lebih dari atau sama dengan 8) untuk memperhatikan manfaatnya pada gejala. Tujuan terapi adalah untuk memperbaiki gejala-gejala urinasi, membatasi perkembangan gejala saluran urin bawah atau keduanya. Empat kelas obat yang menunjukan keberhasilan yaitu: pemblok reseptor alfa-adrenergik, inhibitor 5-alfa-reduktase, agen antimuskarinik dan inhibitor fosfodiesterase-5.

Pemblok reseptor alfa-adrenergik (alfa-bloker)
Awalnya obat ini dikembangkan sebagai antihipertensi, alfa-bloker memberikan pengaruhnya dengan menghalangi reseptor adrenergik simpatik dan memediasi kontraksi otot-otot halus prostat dan leher kandung kemih. Alfusozin, doksasozin, terasozin dan silodosin disetujui oleh FDA untuk pengobatan gejala saluran kemih bawah pada pria. Terazosin, doksasozin dan alfusozin nonselektif pada reseptor alfa-1. Distribusi yang luas dari reseptor alfa-1B dan alfa-1D pada pembuluh darah dan jaringan sistem syaraf pusat menjelaskan kemungkinan timbulnya efek samping yang umum seperti: hipotensi, kelelahan dan pusing. Tamsulosin dan silodosin memblok reseptor adrenergik alfa-1A lebih baik dibanding reseptor adrenergik alfa-1B dan dianggap selektif pada subtipe reseptor alfa-1, meskipun efek sampingnya relatif mirip dengan pemblok reseptor nonselektif.

5α-Reduktase Inhibitor
5α-Reduktase Inhibitor memblokir konversi testosteron menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron, yang mengecilkan prostat dan mengurangi perkembangan prostat lebih lanjut. Ada dua 5α-Reduktase Inhibitor yang disetujui penggunaannya oleg FDA yaitu:
  1. Finasteride yang menghambat 2 isoenzim 5α-reduktase, menyebabkan penurunan kadar dihidrotestosteron serum pada level 70%-90% 
  2. Dustasteride yang memblok kedua tipe isoenzim  5α-reduktase yang mengurangi dihidrotestosteron hingga ke level nol. 
Kedua agen tersebut telah diuji secara random, terkontrol plasebo untuk mengurangi ukuran prostat hingga 25% dan mengurangi gejala saluran kemih dalam 2-6 bulan, dengan skor AUASI menurun sekitar 4-5 poin pada pria dengan ukuran prostat lebih besar (>30 gram). Dalam sebuah perbandingan langsung, efek dari finasteride dan dustasteride adalah serupa.

Meskipun kriteria inklusi pada pengujian obat ini bervariasi, ukuran prostat lebih dari 30 gram digunakan, yang diukur dengan ultrasonografi. Mengingat ketidaknyamanan pengujian ultrasonografi sehingga koerelasi ukuran prostat dengan level PSA, tingkat PSA lebih dari 1,5 ng/ml direkomendasikan sebagai kriteria pengganti penggunaan terapi 5α-reduktase inhibitor. Ukuran prostat umumnya diremehkan pada pemeriksaan digital.

Efek samping dari kedua obat ini diantaranya: penurunan libido, disfungsi ereksi, penurunan ejakulasi dan ginekomastia. Dalam sebuah uji untuk menilai apakah finasteride atau dustasteride bisa mencegah kanker prostat, terapi dengan kedua agen tersebut menghasilkan penurunan mutlak dalam resiko kanker prostat hingga 6 poin prosentase, tetapi juga terkait dengan peningkatan resiko kanker moderat hingga berat (skor GLEASON lebih dari sama dengan 7). FDA telah merevisi label sehubungan dengan resiko ini. 5α-reduktase inhibitor mengurangi konsentrasi PSA sekitar 50% setelah 6 bulan, efek ini harus dipertimbangkan daam uji PSA untuk deteksi kanker.

Dalam uji coba acak, terkontrol plasebo membandingkan alfa-bloker (doksasozin), 5α-reduktase inhibitor (finasteride) dan kombinasi dari 2 5α-reduktase inhibitor tipe 1 (dengan atau tanpa alfa-bloker), tapi tidak alfa-bloker saja, secara signifikan mengurangi tingkat hasil sekuneder dari retensi urin dan kebutuhan terapi invasif untuk BPH.

Kombinasi Alfa-bloker dan 5α-Reduktase Inhibitor
Terapi kombinasi lebih unggul dibandingkan terapi tunggal dalam mengurangi resiko klinis BPH, yang didefinisikan sebagai memburuknya gejala saluran kemih bawah, retensi urin akut, inkontinensia urinasi, insufisiensi ginjal, atau infeksi saluran kemih berulang atau berkelanjutan (pengurangan resiko relatif vs palsebo 66%). Tingkat ejakulasi abnormal, edema perifer, dan dispnea lebih umum dengan terapi kombinasi dibandingkan dengan agen tunggal, tetapi kondisi ini relatif jarang dalam kelompok terapi kombinasi (rata-rata 5 kasus per 100 orang pertahun).

Dalam percobaan kombinasi dustasteride dan tamsulosin menunjukan bahwa keuntungan dari terapi kombinasi lebih besar daripada dengan agen tunggal. Namun kebanyakan pria tidak memerlukan terapi kombinasi, dan tingkat efek samping dan faktor biaya harus diperhitungkan. Maka masuk akal untuk memulai terapi dengan agen tunggal, menilai efektivitasnya, dan dilakukan penyesuaian dosis (jika menggunakan alfa-bloker nonselektif) dan kemudian menggantinya atau menambahkan dengan agen kedua bila diperlukan.

Antimuskarinik
Agen antimuskarinik menghambat reseptor muskarinik pada otot destrusor, sehingga mengurangi komponen yang terlalu aktif pada gejala saluran kemih bawah. Beberapa agen antimuskarinik yang telah disetujui penggunaannya pada kondisi ini: darifenasin, solifenasin, trospium klorida, oksibutinin, tolterodine, dan festosterodine. Agen antimuskarinik darifenasin dan solifenasin adalah agen yang selektif yang terutama mempengaruhi reseptor muskarinik tipe M3 pada otot halus detrusor kandung kemih. Sebaliknya reseptor muskarinik tipe M2 juga terdapat pada kelenjar ludah, sistem kardiovaskular, otak dan saluran intestinal, hal ini menjelaskan kemungkinan efek samping yang luas pada penggunaan antimuskarinik nonselektif. Profil keamanan antimuskarinik selektif dan nonselektif belum dikaji secara intensif.

Walaupun American Urological Association (AUA) menyatakan bahwa terapi antimuskarinik dapat memberikan manfaat pada kelompok pria yang memiliki gejala penyimpanan, namun hal ini kurang didukung sejumlah data. Dan tampaknya terapi antimuskarinik tidak meningkatkan resiko retensi urin.

Inhibitor Fosfodiesterase-5
Inhibitor fosfodiesterase-5 awalnya disetujui untuk terapi disfungsi ereksi, yang mungkin juga mempengaruhi perbaikan pada saluran kemih. Fosfodiesterase 5 selain berada pada saluran reproduksi terdapat pula pada prostat terutama pada zona transisi detrusor, kandung kemih dan pembuluh darah halus yang berkaitan dengan kandung kemih. Penghambatan fosfodiesterase-5 menyebabkan peningkatan siklus AMP dan guanosin monofosfat yang menyebabkan relaksasi otot halus dan mungkin juga memiliki efek proliferatif pada sel otot halus prostat dan kandung kemih.

Hanya tadalafil yang disetujui penggunaannya dalam terapi gejala saluran kemih bawah.

Terapi Lainnya
Meskipun penggunaan suplemen herbal seperti saw palmetto (Serenoa repens) untuk BPH telah meningkat, namun data percobaan yang tersedia tidak mendukung efektivitasnya.

Bagi pria yang tidak tertarik dengan terapi medis, yang memiliki efek samping yang tidak dapat diterima, atau yang tidak memiliki respon terhadap terapi medis, intervensi pembedahan seperti thermotherapy microwave, atau transuretral reseksi prostat dapat menjadi pilihan. Penggunaan teknologi laser dan reseksi transuretral bipolar dari prostat dibandingkan dengan reseksi transuretral standar prostat telah terbukti memberikan efek samping yang lebih rendah seperti disfungsi ereksi.


Sumber
New England Journal of Medicines
Journal lengkap