Jumat, 10 Februari 2017

BAHAN TAMBAHAN PANGAN (FOOD ADDITIVE)


Pengertian dan Definisi


Menurut Permenkes No. 722 tahun 1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM). BTM adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang secara sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.
Sedangkan menurut Permenkes No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP). Bahan tambahan pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

Prinsip-prinsip Penilaian Keamanan BTP Berdasarkan Pendekatan Analisis Risiko

Analisis risiko adalah suatu prosesyang terdiri dari: penilaian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko. Risiko itu sendiri adalah suatu fungsi probabilitas dari suatu efek merugikan dan besaran efek tersebut akibat adanya bahaya dalam makanan. Contoh : Formaldehide murni berbentuk gas, sedangkan formaldehide dalam campuran dengan air disebut formalin. Formaldehide bersifat volatil, sehingga akan menguap dan membentuk udara jenuh dilingkungan, dan menyebabkan paparan melalui inhalasi. Paparan inhalasi berisiko karsinogenik. Paparan oral formaldehide tidak karsinogenik, namun berisiko toksik (TDI: 0,2 mg/Kg BB/hari.

Penilaian risiko (Risk Assesment) didasarkan pada ilmu pengetahuan (science based), Manajemen risiko berdasarkan kebijakan (Policy based), sedangkan komunikasi risiko berdasarkan pada kesepakatan semua pihak yang berkepentingan. Sebelum penetapan suatu aturan perlu dilakukan komunikasi semua pihak yang berkepentingan.

Penilaian Risiko
Penilaian isiko adalah evaluasi ilmiah terhadap efek yang telah diketahui atau berpotensi merugikan kesehatan manusia sebagai akibat paparan oleh bahaya yang terkait dengan makanan. Bukti ilmiah diperoleh melalui uji toksisitas dan uji epidemiologi. Uji toksisitas dilakukan pada hewan uji. Uji epidemiologi, contohnya pada warga Bamgladesh yang terpapar Arsen (As) dari lingkungan karena lingkungannya memiliki kandungan As yang tinggi, maka dilakukan uji epidemiologi untuk mengetahui batas paparan dari sumber lain yang masih mungkin tanpa menimbulkan gangguan.

Evaluasi dalam penilaian risiko meliputi:

  1. Identifikasi Bahaya
Bahaya adalah sifat-sifat biologis, kimiawi maupun fisik suatu suatu substansi yang terdapat dalam makanan atau sifat-sifat makanan itu sendiri yang dapat menyebabkan efek merugikan kesehatan manusia (toksisitas). Sedangkan identifikasi bahaya adalah identifikasi efek yang telah diketahui atau berpotensi merugikan kesehatan manusia terkait dengan bahan tertentu (uji toksisitas).
Identifikasi bahaya dapat dilakukan dengan:
  • Uji epidemiologi
  • Uji toksisitas in vitro dan in vivo
  • Hubungan kuantitatif struktur aktivitas (HKSA)
  • Komputasi
Menurut dokumen WHO dalam International Programme On Chemical Safety, Priciples for The Safety Assesment of Food Additives an Contaminants in Food, WHO, Geneva, 1987 dalam subbab 3.1.2. Predicting toxicity from Chemical Structure, disebutkan:
"Chemical structure determines to a great extent the attitude of toxicologis towards a compound. As a result, there have been many efforts to systematize the use of chemical structures a predictor of toxicity. The use of such relationship hasbeen suggested by JECFA with certain classes of flavouering agents (section 6.1.2), and chemical structure is an important consideration in the selection of compounds for carcinogenicity testing. Structure/activity relationships also form the basis for establishing group ADI's (section 5.5.4). Structure/activity relationship appear to provide a reasonably good basis for predicting toxicity for some categories of compounds, primarily carsinogens, which are characterized by spesific fungtional groups (e.g nitrosamines, carbamates,, epoxides and aromatic amines) or by structural features an spesifik atomic arrangements (e.g polycyclic aromatic hydrocarbons and aflatoxins)".

Karakterisasi Bahaya

 Karakterisasi bahaya merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif terhadap sifat efek merugikan suatu bahan biologis, kimiawi dan fisik yang mungkin terdapat dalam makanan. Parameter toksisitas, pernyataan karakter toksisitas secara kuantitatif dinyatakan dengan:

Non-Threshold Approach (Tanpa Ambang Batas)
Ini berarti pada setiap takaran terdapat risiko, maka yang harus dimenej adalah batas yang masih dapat ditoleransi. Pendekatan ini diterapkan untuk bahan-bahan yang merupakan kontaminan atau residu, bahan yang memiliki sifat genotoksik-karsinogenik dengan atau tanpa threshold. 
  1. Prosedur ED10/LED10. Cara ini merupakan cara yang direkomendasikan oleh EPA. Dilakukan dengan menentukan margin of exposure (MOE). MOE dihitung sebagai rasio dari point of comparison (POC) yang dapat diturunkan dari kurva dosis-respon, dan perkiraan intake malalui makanan. MOE = POC/intake. Intreval kepercayaan dari insiden tumor pada 10% objek uji sebesar 95% (Lower 95% confidence of Benchmark Dose= BMDL = LED10 digunakan sebagai POC). Tabel MOE dapat dilihat pada tabel 1. Semakin besar MOE semakin baik, sebaliknya semakin kecil MOE maka semakin berbahaya. 
  2. Prosedur T25. Pendekatan ini menghitung dosis relatif yang berhubungan dengan insiden tumor 25% dengan paparan suatu senyawa karsinogen seumur hidup melalui interpolasi tanpa memperhitungkan hubungan dosis-respon yang lengkap. Prosedur ini digunakan secara reguler jika kalkulasi benchmark tak dapat dibuat. Kelompok dosis terendah menunjukan insiden tumor yang meningkat secara signifikan dipilih sebagai poin of departure (POD). Dalam prosedur ini diperlukan: Background incidence (negative control), posisible correction of non lifespan experiment, assumption of complete absorption of the substance, Correction factor of dose (animal to human).

Pendekatan Nilai Ambang
Pendekatan ini digunakan untuk zat0zat yang non-karsinogenik genitoksik. Penentuan end point karakterisasi bahaya melalui:
  • No Observed Effect Level (NOEL)
  • No Observed Adverse Effect Level (NOAEL)
  • Lowet Observed Adverse Effect Level (LOAEL)
  • Dengan memperhitungkan faktor keamanan
  • Menghitung Acceptable Daily Intake (ADI). ADI = (NOEL at NOAEL at LOAEL) / faktor kemanan
  • Faktor keamanan nilainya 1-10000, namun yang biasa digunakan 100 untuk penggunaan jangka panjang atau 500 untuk penggunaan jangka pendek. FK 100 artinya 10 untuk variabilitas hewan-manusia, 10 untuk variabilitas antar manusia, maka faktor keamanannya = 10 x 10 = 100. FK pangan umumnya 100, namun bila data pengujian sangat meyakinkan maka FK bisa kurang dari 100.


 ADI adalah jumlah maksimum BTP dalam mg/Kg BB yang dapat dikonsumsi setiap harinya selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan (mg/Kg BB/hr). ADI dapat dieproleh dari uji toksisitas pada hewan, perlu kehati-hatian dalam pemanfaatan data ADI untuk menghitung batasan penggunaan maksimum BTP.

Penilaian paparan adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai tingkat asupan yang dapat terjadi. Metode penilaian paparan dapat dilakukan dengan:
  1. Perkiraan per kapita (pendapatan)
  2. Perkiraan berdasarkan survey asupan makanan
  3. Perkiraan berdasarkan survey "market-basket" (total diet)

Karakterisasi Risiko

Hasil yang diharapkan dari karakterisasi risiko adalah perkiraan kemungkinan efek merugikan terhadap kesehatan dalam populasi termasuk ketidakpastian yang menyertainya.

  • Zat dengan nilai ambang dinilai berdasarkan ADI vs paparan, paparan yang kurang dari sama dengan TDI, maka dapat dinyatakan zero risk.
  • Zat non nilai ambang, dinilai dengan data MOE, maka nilai MOE harus lebih dari sama dengan 10000 pada prosedur ED10/LED10, atau dosis setara T25 pada metode T25.
Manajemen risiko adalah proses dalam mempertimbangkan alternatif kebijakan untuk menerima, meminimalkan atau mengurangi risiko yang telah dinilai dan untuk memilih dan melaksanakan opsi yang sesuai. Manajemen risiko meliputi:
  1. Evaluasi risiko; identifikasi bahaya, pmbentukan komisi penilaian risiko, dan pertimbangan hasil penilaian risiko.
  2. Penilaian opsi manajemen risiko
  3. Implementasi keputusan manajemen
  4. Monitoring dan review
Komunikasi risiko adalah proses interaktif pertukaran informasi dan pendapat mengenai risiko diantara penilai risiko, menejer risiko, dan berbagai pihak terkait.





Materi kuliah Analisis Keamanan Pangan

Rabu, 08 Februari 2017

IDENTIFIKASI FLAVONOID DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETRI ULTRA VIOLET DAN VISIBEL


Sejumlah review mengenai penggunaan spektrofotometri ultra violet dan visible dalam identifikasi falvonoid telah banyak dipublikasikan sejak tahun 1962. Sebuah buku yang ditulis oleh Mabry et al (1970) menampilkan sebuah katalog detail dari spektrum ultraviolet 175 senyawa flavonoid dan dilengkapi dengan data reagent yang menginduksi geseran pada masing-masing flavonoid. 


Pertimbangan Umum


Spektrofotometri UV menjadi teknik utama dalam analisis flavonoid karena 2 alasan berikut:
  1. Analisis hanya memerlukan sedikit senyawa murni. Seringkali bercak tunggal pada kromatografi kertas menghasilkan senyawa yang cukup untuk dianalisis dengan spektrofotometri UV.
  2. Jumlah informasi yang berhubungan dengan struktur senyawa meningkat jika digunakan bersama reagent spesifik yang beraksi dengan gugus fungsi tertentu pada flavonoid. Penambahan secara terpisah masing-masing reagent pada suatu sampel yang mengandung flavonoid dengan pelarut alkohol akan menghasilkan geseran spektrum UV yang signifikan. Geseran-geseran tipe ini biasanya diinduksi oleh penambahan natrium metoksida (NaOMe), natrium asetat (NaOAc), natrium asetat-asam borat (NaOAc/H3BO3), alumunium klorida (AlCl3) dan alumunium klorida/asam hidroklorida (AlCl3/HCl).
Spektrum UV flavonoid umumnya terdiri dari 2 puncak serapan maksimum, pada rentang panjang gelombang 240-285 nm (pita II) dan pada 300-400 nm (pita I). Pita II terbentuk dari cincin benzoil A, sedangkan pita I dihasilkan dari cincin cinnamoil B.

Spektrum Flavonoid dalam Metanol

FLAVON DAN FLAVONOL


Flavon mengabsorpsi pada daerah 304-350 nm, sedangkan flavonol pada 352-385 nm, sehingga serapan pada pita I ini memberi petunjuk awal tentang tipe flavonoid yang diuji. Flavon dan flavonol dengan banyak atom oksigen akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang dibanding dengan flavon dan flavonol yang memiliki atom oksigen lebih sedikit. Sebagai contoh:
  • Gallangin (3,5,7-triOH) puncak absorpsi pita I pada 359 nm
  • Kaemferol (3,5,7,4'-tetraOH), puncak pita I pada 367 nm
  • Quersetin (3,5,7,3',4'-pentaOH) puncak pita I pada 370 nm
  • Myristin (3,5,7,3',4',5'-hexaOH) puncak pita I pada 374 nm
Pita II kurang dipengaruhi oleh oksigenasi cincin B, meskipun 3',4'-dihydroxylated flavon umumnya menunjukan 2 puncak (atau satu puncak dengan bahu) pada daerah pita II. Pita II secara signifikan dipengaruhi oleh pola oksigenasi pada cincin A, dan panjang gelombang puncak meningkat dari 250 nm pada flavon menjadi 252 nm pada 7-hydroxyflavone, 268 nm pada 5-hydroxyflavone dan 5,7-dihydroxyflavone, 274 nm pada 5,6,7-trihydroxyflavone, serta 281 pada 5,7,8-trihydroxyflavone. Tak adanya gugus hidroksi pada kedua cincin biasanya dibuktikan dengan lemahnya intensitas pita yang relevan.

Metilasi atau glikosilasi pada atom 3,5- dan 4'-OH pada inti flavonoid menyebabkan geseran hipsokromik, khususnya pada pita I. Geseran tersebut sekitar 3-10 nm (pada pita I), menjadi 5-15 nm (pada pita I dan II) pada substitusi gugus 5-OH dan 12-17 nm pada substitusi 3-OH.


ISOFLAVON, FLAVANON, DAN DIHIDROFLAVONOL


Isoflavon, flavanon dan dihiroflavonol dikelompokkan manjadi satu karena kesamaan sifat dalam hal kurangnya konjugasi baik pada cincin A maupun B. Spektrum UV kelompok ini dapat dibedakan dari spektrum flavon dimana, intensitas absorpsi pita I lemah dan lebih menyerupai bahu bagi puncak pita II. Spektrum dari kelompok ini umumnya tidak dipengaruhi oleh pola oksigenasi dan substitusi pada cincin B. Namun, peningkatan oksigenasi pada cincin A menyebabkan geseran batokromik pada pita II, misal : 7,4'-dihydroxyisoflavone (249 nm), 5,7,4'-trihydroxyisoflavone (261 nm) dan 5,6,7,4'-tetrahydroxyisoflavone (270 nm).

Pada isoflavon, spektrum serapan pita II berada pada daerah 245-270 nm dan bahu pita I pada rentang 300-340 nm. 5-deoxyisoflavone (dan isoflavone 5-O-ethers) memiliki puncak pita II 7-17 nm lebih dekat dibanding 5-hydroxyisoflavone. Flavanon dan dihidroflavonol menunjukkan serapan maksimum pita II pada daerah 270-295 nm. Sebagai isoflavon, tidak adanya gugus 5-OH bebas menyebabkan geseran hipsokromik 10-15 nm.


KALKON DAN AURON


Kalkon dan auron dikarakterisasi oleh adanya spektrum pita I yang dominan dan pita II yang relatif minor. Pita II kalkon pada 220-270 nm sedangkan pita I pada 340-390 nm meski hanya sebuah pita minor atau infleksi sering terjadi pada daerah 300-320 nm. Sebagaimana flavonoid, peningkatan oksigenasi umumnya menyebabkan geseran batokromik terutama pada pita I.

Pita I auron umumnya ditemukan pada 370-430 nm. Contoh auron di alam: hispidol (388 nm), dan maritimetin (413 nm). Metilasi atau glikosilasi pada gugus OH pada inti auron tidak menyebabkan perubahan spektrum yang bermakna.


ANTOSIANIDIN DAN ANTOSIANIN


Spektrum antosianidin beserta glikosidanya, dan antosianin umumnya diukur dalam larutan metanol yang mengandung 0.01% HCl. Beberapa variasi lokasi serapan maksimum akan terjadi ketika pelarut yang digunakan etanol/HCl dan air/HCl yang saling menggantikan.

Antosianidin dan antosianin mempunyai serapan pita I pada rentang 465-550 nm, dan pita II menunjukkan puncak yang kurang intensif pada daerah 270-280 nm. Sebagaimana flavonoid laiinya, peningkatan oksigenasi pada cincin B menyebabkan geseran batokromik pita I, dibandingkan dengan pelargonidin (4'-OH) 520 nm, sianidin (3',4'-diOH) 553 nm, dan delphinidin (3',4',5'-triOH) 546 nm. Posisi pita I dapat juga menjadi panduan untuk menentukan substitusi pada cincin A, misalnya untuk membedakan 5,6,7-triOH antosianidin dari isomernya 5,7,8-triOH antosianidin , yang mengabsorpsi pada panjang gelombang 30 nm lebih pendek. 3-deoxyanthocyanidin memberikan puncak serapan pada pita I 40 nm lebih pendek dibanding 3-hydroxyanthocyanidin.

Metilasi dan glikosilasi pada gugus OH cincin A dan B antosianidin umumnya menyebabkan sedikit geseran hipsokromik. 3-glycosides dari pelargonidin, sianidin dan delphinidin masing-masing memiliki puncak pada 506, 525 dan 535 nm. Pola geseran batokromik dan intensitas absorpsi pada daerah 400-460 nm dapat digunakan untuk menentukan pola glikosilasi. Dimana Harborne menunjukkan bahwa 3,5-di- dan 5-glycoside hanya memiliki setengah absorpsi pada 440 nm,, yang relatif terhadap 3-glycosides.

Asilasi gula pada antosianin melalui substitusi  tipe asam sinamat ditunjukkan dengan adanya 2 puncak pada daerah UV, puncak tambahan (310-335 nm) disebabkan adanya gugus asil.


Geseran-geseran yang Diinduksi Natrium Metoksida


Semua gugus hidoksil (OH) dalam inti flavonoid akan terionisasi dalam beberapa tingkat tergantung pada kekuatan basa NaOMe. Karena pada umumnya flavonoid terhidroksilasi, geseran-geseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar (batokromik) umumnya akan teramati pada kedua pita. Geseran-geseran yang terinduksi NaOMe diantaranya:
  1. Pada Flavon dan Flavonol
  • Adanya gugus 4'-OH dibuktikan dengan geseran batokromik pita I sebesar 40-65 nm, tanpa adanya penurunan intensitas
  • Adanya gugus 3-OH pada flavonol tanpa 4'-OH juga menghasilkan geseran batokromik 50-60 nm, namun dengan adanya penurunan intensitas
  • Glikosilasi pada gugus 7-OH sering terdeteksi dengan tidak adanya puncak absorpsi pada 320-330 nm yang umumnya akan teramati pada aglikon
  • Flavonol yang mengandung gugus OH pada nomor  3,4'- dan 3,3',4' , akan memberikan spektrum pada kedua pita dengan intensitas menurn seiring waktu 
   2. Pada Isoflavon, Flavanon dan dihidroflavonol
  • Tidak adanya geseran besar pada pita mengindikasikan tidak adanya hidroksilasi cincin A
  • Adanya sistem 5,6,7- dan 5,7,8-triOH dibuktikan dengan adanya degenerasi spektrum MeOH-NaOMe seiring waktu. Hal ini juga dapat menjadi indikasi adanya sistem 3',4'-diOH pada isflavon dan dan flavanon.
  •  Flavanon dan dihidroksiflavanol dengan sistem 5,7-diOH menunjukkan pergeseran batokromik yang konsisten sebesar 35-40 nm dalam NaOMe disertai dengan peningkatan intensitas puncak , Ketika gugus 5-OH tidak ada geseran sebesar 60 nm akan teramati.
  • Beberapa flavanon, khususnya yang tidak memeiliki gugus 5-OH bebas, berisomerisasi membentuk kalkon dalam larutan alkali kemudian akan teramati puncak pita I pada daerah 400 nm.
    3. Pada Kalkon dan Auron
  •  Gugus 4'-OH pada auron dan 4-OH pada kalkon dibuktikan dengan geseran batokromik sebesar 80-95 nm dan 60-100 nm, masing-masing, yang disertai dengan peningkatan intensitas
  • 6-OH auron memberikan geseran yang lebih kecil (sekitar 60-70 nm) dibandingkan 4'-OH auron. Dan jika terdapat 6,4'-diOH atau 6-OH-4'-alkoksi terdapat dalam senyawa maka geserannya akan lebih kecil lagi.
  • Kalkon yang tidak memiliki gugus 4-OH tapi memiliki 2- atau 4'-OH akan memberikan geseran batokromik pita I 60-100 nm, tanpa peningkatan intensitas
  • Geseran yang berhubungan dengan gugus 4'-OH pada kalkon dikurangi 40-50 nm ketika ada gugus 2'-OH atau 4-alkoksi..
    4. Antosianidin dan Antosianin
  •  Hanya antosianidin yang memberikan spektrum yang stabil dalam NaOMe, yaitu 3-deoxyanthocyanidins, geseran batokromik pita I sebesar 50-60 nm.

 Geseran-geseran yang Diinduksi Natium Asetat


Natrium asetat adalah basa yang lebih lemah dibandingkan NaOMe, karenanya hanya akan mengionisasi gugus OH fenolik yang lebih asam.
  1. Flavon dan Flavonol
  • Flavon dan flavonol yang mempunyai gugus 7-OH menunjukkan geseran batokromik 5-20 nm pada pita II. Adanya gugus 6- atau 8-oksigenais pada flavon (namun tidak pada flavonol) ditandai dengan penurunan tingkat geseran tersebut
  • Perbandingan pada geseran pita I spektrum NaOMe dan NaOAc pada 4'-OH flavon dan flavonol dapat menunjukan dimana gugus 7-OH tersubstitusi atau tidak. Ketika tersubstitusi, pada NaOAc akan menghasilkan geseran yang sama atau lebih besar dibandingkan NaOMe.
  • Adanya alkali mensensitisasi gugus seperti 5,5,7-, 5,7,8- dan 3,3',4'-triOH menyebabkan spektrum dalam NaOAc terdegenerasi seiring waktu 
    2.  Isoflavon, Flavanon dan Dihidroflavonol
  • Adanya gugus 7-OH pada isoflavon dibuktikan dengan adanya geseran batokromik sebesar 6-20 nm. Dalam 5,7-diOH flavanon dan dihidroflavonol geserannya sebesar 35 nm, sedangkan 5-deoksi flavanon dan dihidroflavonol geserannya sebesar 60 nm
  •  Alkali mensensitisasi gugus pada cincin A menyebabkan spektrum terdegenrasi seiring waktu.
   3. Kalkon dan Auron
  • Gugus OH pada posisi 4' dan atau 4 pada kalkon dan pada 4' dan atau 6 pada auron dibuktikan dengan geseran batokromik pada pita I atau dengan munculnya puncak bahu.

Geseran yang Diinduksi Borat


Campuran NaOAc dan asam borat digunakan untuk mendeteksi gugus o-OH pada semua jenis flavonoid, namun tidak pada antosianin dan antosianidin. Geseran batokromik yang teramati adalah sebagai berikut:

  1. Flavon dan flavonol (cincin B), 12-30 nm pada pita I. Gugus o-OH pada 6,7- dan 7,8- memberikan peningkatan ke arah geseran yang lebih rendah.
  2. Isoflavon, flavanon, dan dihidroflavonol (hanya cincin A) 10-15 nm (pita II). Geseran ini tidak teramati pada gugus 5,6-diOH. 
  3. Auron dan kalkon (cincin B) memberikan geseran 28-36 nm pada pita I. Gugus o-diOH memberikan peningkatan geseran yang lebih kecil.

Geseran yang Diinduksi Alumunium Klorida (AlCl3)


AlCl3 membentuk khelat dengan gugus fungsi seperti 5-hydroxy-4-keto, 3-hidroxy-4-keto dan ortho-hydroxy yang dibuktikan dengan adanya geseran batokromik pada salah satu atau kedua pita. 
  1. Stabilitas relatif kompleks yang terbentuk adalah sebagai berikut: flavonol > 5-OH (flavon) > 5-OH (flavanon) > o-OH > 3-OH dihidroksiflavonol
  2. Dengan adanya sejumlah kecil asam (HCl), kompleks akan terbentuk dengan gugus fungsi o-diOH dan 3-Hydroxy-4-keto dalam dekomposisi dihidroksiflavonol (gambar 1). Kompleks dihidroksiflavonol dapat dibedakan melalui instabilitasnya dalam NaOAc.
  3. Jejak air dalam etanol (tapi tidak dalam metanol) mencegah pembentukan kompleks Al-o-diOH, karena itu metanol menjadi pelarut pilihan utama dalam mendeteksi gugus o-diOH.
  4. Ketika sebuah gugus o-diOH ada dalam flavonoid bersamaan dengan 5- atau 3-OH, maka kompleks ganda akan terbentuk (gambar 1).
  5. Ketika dalam flavonoid terdapat gugus 3- atau 5-OH maka pembentukan khelat 3-hydroxy-4-keto lebih disukai.
FLAVON DAN FLAVONOL

  • Adanya gugus 5-OH dan tidak adanya 3-OH dibuktikan dengan geseran batokromik pita I sebesar 35-55 nm dalam penambahan GAlCl3/HCl.
  • Flavon dengan 3- atau 3'- atau 5-OH akan menunjukan geseran batokromik pita I 50-60 nm dalam penambahan AlCl3/HCl. Reagent ZrOCl2/asam sitrat dapat digunakan untuk mendeteksi gugus 3-OH dengan adanya 5-OH.
  • Adanya gugus o-diOH pada cincin B dibuktikan dengan adanya geseran batokromik dalam AlCl3 sebesar 30-40 nm dan teramati pada AlCl3/HCl. Kadang ketika AlCl3 segar digunakan dan senyawa mengandung 3',4'-o-diOH geseran pita I sebesar 10 nm kadang teramati diatas yag diperolah untuk AlCl3/HCl. Peningkatan geseran akan terjadi jika terdapat gugus o-diOH pada cincin A sebesar 20-25 nm. Jika gugus o-diOH hadir pada kedua cincin, maka nilai geseran merupakan penjumlahan keduanya.
ISOFLAVON, FLAVANON DAN DIHIDROFLAVONOL

  • Adanya gugus 5-OH dibuktikan dengan adanya geseran batokromik 10-14 nm pada pita II isoflavon, dan 20-26 nm pada flavanon dan dihidroksiflavonol.
  • Gugus o-diOH hanya akan terdeteksi pada cincin A (6,7 atau 7,8) dimana spektrum akan menunjukan geseran batokromik pita II 11-30 nm pada AlCl3, jauh diatas yang teramati pada AlCl3/HCl.
  • Gugus 3-OH pada dihidroksiflavonol yang tidak memiliki gugus 5-OH bebas memberikan peningkatan geseran batokromik pita II sebesar 30-38 nm dalam AlCl3.
KALKON DAN AURON
  • Adanya gugus 2'-OH pada kalkon dan 4-OH pada auron dibuktikan dengan geseran batokromik pita I 48-64 nm dan 60-70 nm, berturut-turut. Geseran kalkon akan berkurang sekitar 40 nm ketika terdapat oksigenasi pada posisi 3'.
  • Gugus o-diOH pada cincin B akan memberikan peningkatan geseran batokromik40-70 nm pada pita I dalam AlCl3/HCl. Gugus o-diOH pada cincin A akan memberikan peningkatan geseran yang lebih kecil.
ANTOSIANIDIN DAN ANTOSIANIN
  • Antosianidin dan antosianin yang mengandung gugus o-diOH akan memberikan geseran batokromik 25-35 nm pada PH 2-4 dengan AlCl3. Geseran yang lebih besar teramati pada 3-deoxyanthocyanidin. Efek penambahan gugus o-diOH akan memberikan efek aditif.




Dirangkum dari Buku The Flavonoids. Harborne J.B, T.J Mabry, H. Mabry. Chapman and Hall. London. 1975

Merupakan materi Kuliah pada mata kuliah Elusidasi Struktur
Sekolah Farmasi ITB



Minggu, 05 Februari 2017

PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM SKRINING FITOKIMIA


Pentingnya bahan-bahan obat yang berasal dari tanaman dalam duni pengobatan modern sering dianggap remeh. Senyawa-senyawa seperti digitoksin, rutin, papain, amina, kuinin, papaverin, atropin, reserpin, ergometrin, ergonovin, kokain, vinkaleukoblastin, leurokristin, d-tubokurarin, proverin A dan B, efedrin, fisostigmin, pilokarpin, kafein, adalah sedikit contoh dari beragamnya aktivitas farmakologis yang dihasilkan dari senyawa-senyawa yang berasal dari alam. Terlebih lagi produk obat mentah seperti daun Digitalis purpurea dan akar Rowolfia serpentina sering digunakan secara langsung dalam praktek pengobatan.

Tujuan para ahli mengeksplorasi tanaman dalam dunia kesehatan adalah untuk mendapatkan isolat senyawa yang memiliki aktivitas biologi dan dapat digunakan dalam pengobatan. Karenanya, dengan pemilihan jenis tanaman yang spesifik untuk diinvestigasi lebih lanjut, kemudian diperlukan metode-metode pendekatan skrining fitokimia. Skrning fitokimia umumnya dimulai dengan melakukan uji terhadapnya ada/tidaknya kandungan alkaloid dalam sampel. Skrining dimulai dengan alkaloid karena alasan-alasan berikut:
  1. Alkaloid umumnya memiliki aktivitas farmakologis tertentu, yang biasanya bekerja pada sistem saraf pusat, meski tidak selalu demikian
  2. Mayoritas produk alam yang digunakan dalam pengobatan adalah senyawa golongan alkaloid
  3. Uji kandungan alkaloid dalam sampel tanaman dapat dilakukan dengan metode yang sederhana dan cepat dengan hasil wajar terpercaya
  4. Karena sifat kimianya, alkaloid dengan beberapa cara manipulasi relatif lebih mudah untuk diektraksi dan diisolasi.
Kelompok fitokimia lain seperti halnya flavonoid, umumnya tidak dipilih dalam skrining awal, karena kelompok senyawa ini memiliki diversitas dan aktivitas biologi yang sangat beragam. Sebagai contoh Willaman telah menemukan setidaknya 137 flavonoid alami yang terdapat pada 62 famili, 153 jenis, dan 277 spesies tanaman. Serta laporan adanya 33 akvitas biologi yang berbeda dari 30 jenis flavonoid. Contoh lain adalah Kumarin yang dilaporkan memiliki 31 jenis akvitas biologi yang berbeda.

Karena banyaknya jumlah kategori kimia senyawa alam, yang mungkin masing-masingnya memiliki aktivitas biologi yang berbeda, maka tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mereviewnya. Tulisan ini akan fokus pada pembahasan untuk melakukan skrining fitokimia, yang dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kategori-kategori fitokimia yang dihadirkan dalam tulisan ini. Kategori fitokimia yang dimaksud meliputi:
  • alkaloid
  • glikosida sebagai kelas umum (heterosida)
  • saponin (steroid dan triterpenoid)
  • sterol
  • glikosida jantung
  • antrakuinon
  • flavonoid dan sejenisnya
  • tanin
  • kumarin dan senyawa yang berhubungan
Setiap metode yang digunakan dalam skrining fitokimia harus:
  • simpel
  • cepat
  • desain dengan peralatan minimalis
  • selektif untuk satu kelompok senyawa
  • kuantitatif, memiliki batas deteksi yang rendah
  • memberikan informasi tambahan mengenai ada atu tidaknya gugus spesifik dalam kelompok senyawa yang dianalisis
Prosedur skrining yang umumnya dipublikasikan memenuhi kriteria simpel, selektif, kuantitatif dan mampu memberikan informasi spesifik adanya gugus kimia tertentu dalam sampel, namun beberap diantara prosedur tersebut tidak reproduksible karena kurangnya detail dalam publikasi.


SKRINING ALKALOID


ALKALOID, Hegnauer mendefinisikan alkaloid adalah  senyawa yang agak atau kurang toksik yang terutama memberikan aktivitas biologis pada sistem saraf pusat, memiliki karakter basa, mengandung nitrogen herterosiklik, dan disintesis dalam tanaman dari asam-asam amino atau senyawa turunannya. Pada umumnya, distribusi alkaloid terbatas hanya pada kingdom plantae. Berdasarkan definisi ini, maka senyawa nitrogen alifatik (efedrin), amida (colchicine), dan asam-asam amino (tiamin) bukanlah alkaloid.

Diperkirakan distribusi alkaloid pada tanaman sekitar 15-20%, sumber lain menyebutkan sekitar 10%, 14%, atau bahkan 9-10%.

Alkaloid umumnya terdapat pada tanaman sebagai garam yang larut air, sehingga dapat diekstraksi dengan menggunakan air yang diasamkan, sehingga menghasilkan ekstrak mentah yang dapat secara langsung diuji dengan menggunakan reagent pengendap alkaloid. Namun, kekhawatiran akan hasil uji positif palsu, maka ekstrak mentah perlu dimurnikan terlebih dahulu sebelum akhirnya diuji. Pemurnian dilakukan dengan cara menambahkan basa dan kemudian dilakukan ekstraksi lanjutan dengan menggunakan pelarut air-pelarut organik. Ekstrak organik kemudian diuji dengan mengaplikasikan kertas saring, pengeringan dan dipping atau penyemprotan dengan reagent pendeteksi alkaloid. Jika metode ini tidak memuaskan, maka dapat dilakukan ekstraksi kembali ekstrak organik dengan menggunakan larutan asam dan penambahan reagent pengendap alkaloid.

Metode lain untuk menyingkirkan pengotor (misal: protein) pada ekstrak air-asam adalah dengan cara "salt out" dengan menambhakan bubuk NaCl. Sebuah prosedur tambahan pada deteksi alkaloid dapat dilakukan dengan penambahan alkali secara langsung pada serbuk sampel tanaman, kemudian dikestraksi dengan pelarut organik, kemudian di partisi dengan dengan cara diatas atau diuji alkaloid secara langsung.

Variabilitas hasil pada uji alkaloid dapat dipengaruhi oleh:
  • usia tanaman
  • iklim
  • habitat
  • bagian tanaman yang diuji
  • musim
  • waktu pemanenan
  • sensitivitas tipe alkaloid pada reagent yang digunakan
contoh kasus:
  • Geijera salicifolia memberikan konsistensi hasil pengujian yang lebih baik pada bentuk daun lebar dibandingkan dengan bentuk daun sempit, meskipun daun-daun uji tersebut tumbuh pada tanaman yang bersebelahan.
  • Pada kelompok tanaman tertentu (misal: Compositae) alkaloid sering ditemukan hanya pada bunga atas, sedangkan pada Apocynaceae alkaloid umumnya berkonsentrasi pada akar dan kulit kayu.

Reagent Pendeteksi Alkaloid


Dalam skrining alkaloid terdapat 2 grup reagent yang biasa digunakan yaitu reagent pengendap alkaloid dan reagent semprot (spray and dip). Reagent pendeteksi alkaloid diantaranya:
  • Mayer
  • Silicotungsteic acid
  • Dragendorff drop
  • Wagner
  • Dragendorff spay
  • Sonnenschein
  • Hager
  • Bouchardat
  • Phosphotungsteic acid
  • Valser
  • Chloroplatinis acid
  • Sodium tetraphenylboron
  • Ammonium reineckate
  • Tannic acid
Sedangkan reagent pengendap alkaloid dapat dilihat pada tabel 1.

Setiap regaent memiliki sensitivitas yang beragam dan nospesifik, maka dalam skrining alkaloid biasanya digunakan 4 atau 5 reagent, dan hanya sampel yang memberikan memberikan hasil positif pada semua pengujian saja yang dipertimbangkan mengandung alkaloid. Reagent Mayer dan silicotungsteic acid adalah reagent yang banyak digunakan. Dalam uji sensitivitas reagent, disimpulkan bahwa tidak ada satu pun reagent yang mampu mendeteksi alkaloid (efedrin) pada konsentrasi 0.1% atau lebih rendah. Namun reagent Wagner, Bouchardat, Scheibler mampu mendeteksi alkaloid lain (selain efedrin) pada rentang konsentrasi 0.001-0.1%.

Metode lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi alkaloid adalah dengan kromatografi.Regaent drop (spot) yang digunakan dalam kromatografi umumnya adalah hasil modifikasi dari reagent dragendorff drop, yang umumnya akan membentuk warna orange hingga merah dengan alkaloid. 

Beberapa reagent pendeteksi alkaloid memberikan reaksi dengan gugus tertentu atau gugus fungsi yang spesifik menghasilkan respon kromogenik karakteristik suatu alkaloid. Berikut adalah tabel yang memuat reagent-reagent umum dan spesifik terhadap alkaloid yang digunakan dalam kromatografi.

Reaksi Positif Palsu Alkaloid


Mekanisme reaksi antara alkaloid dan reagent pendeteksi tergantung pada karakter kimia alkaloid. Fulton mengklasifikasikan reagent pengendap alkaloid sebagai berikut:
  1. Reagent yang berekasi dengan senyawa dasar alkaloid membentuk garam alkaloid yang tak larut, contoh: silicotungstic acid, phosphomolybdic acid dan phosphotungstic acid.
  2. Reagent yang bereaksi dengan alkaloid sebagai senyawa kompleks longgar yang mengendap, contoh : reagent Wagner dan Bouchardat
  3. Reagent yang bereaksi dengan alkaloid menghasilkan produk yang meningkatkan ketidaklarutan (menurunkan kelarutan) melalui nitrogen alkaloid, contoh: reagent Mayer, Valser, Marme dan Dragendorff
  4. Reagent yang bereaksi melalui interaksi asam organik dengan basa alkaloid membentuk garam yang tak larut, contoh: reagent Hager.
Karena sifat-sifat reagent yang tidak spesifik maka sangat mungkin dihasilkan positif palsu pada pengujian alkaloid. Terlebih bila pengujian dilakukan langsung terhadap ekstrak yang tidak dipurifikasi dengan menggunakan pelarut asam-basa-organik.

Senyawa yang paling sering memberikan hasil positif palsu adalah protein. Protein akan membentuk endapan dengan adanya eagent yang mengandung logam berat. Protein-protein ini meliputi"albuminous substances seperti: pepton dan protamin. Selain itu, asam-asam amino juga umumnya memberikan positif palsu dengan reagent alkaloid umum. Glikosida tertentu, karbohidrat,, betain, kolin, purin, methylated amines, tanin dan garam-garam amonium juga mungkin memberikan positif palsu alkaloid.

Akhirnya, upaya pemisahan dengan melakukan ekstraksi dengan basa, diikuti dengan ekstraksi dengan pelarut organik dan kemudian diekstraksi kembali dengan asam-air akan mampu membantu meminimalisir hasil positif palsu. Sebuah laporan dari Briggs and Locker pada tahun 1940 sangat menarik, karena ia berhasil mengisolasi 3 senyawa dari Melicope lernata, yang membentuk endapan dengan reagent alkaloid dan membentuk kristal dengan penambahan asam, meskipun senyawa tersebut tidak mengandung nitrogen dan terbukti merupakan senyawa hidroksi flavon teralkilasi sempurna, yaitu senyawa meliternatin, meliternin dan ternatin.

Laporan terbaru dari Russian workers menunjukkan bahwa isolasi ala=kaloid yang bernama rosmaricine dari Rosmarinus officinalis (Labialae) menujukkan sesuatu yang anomali dari sejumlah alkaloid famili mint. Rosmaricine memang tidak muncul sebelum penambahan amonia (sebagaimana dilakukan oleh Russian worker dalam upaya isolasinya) dan alkaloid ini tidak pasti dibentuk sebagai hasil dari aksi dari basa pada carnosic acid. 

Reaksi alkaloid yang anomali juga ditunjukan ekstrak Samolus repens (Primulaceae) yang memberikan reaksi membentuk warna hitam dan mengendap dengan reagent Dragendorff. Fenomena ini sering terjadi pada pengujian bahan tanaman segar dan dapat diasumsikan sebagai reaksi dari salah satu iodin bebasndalam reagent dengan pati sehingga memberikan tipikal warna biru-hitam. Ekstrak dari Plagianthus divaritus (Malvaceae) memberikan warna pink, namun tidak mengendap dengan reagent Dragendorff.

Berikut contoh beberapa senyawa yang memberikan uji positif palsu alkaloid:


Reaksi Negatif Palsu pada Uji Alkaloid


Jika senyawa-senyawa basa nitrogen nonheterosiklik (protoalkaloid) dianggap sebagai alkaloid, maka kemungkinan besar kelompok senyawa ini akan memberikan hasil uji negatif jika diuji dengan reagent pengendap alkaloid. Selain itu, alkaloid kuarterner dan amina oksida (nupharidine, dilupine, trilupine) juga akan memberikan hasil uji negatif. Jika suatu ekstrak air-asam tanaman dipurifikasi dengan ditambah basa kemudian diekstraksi dengan pelarut organik, maka kedua lapisan ekstrak yang diperoleh (lapisan air dan pelarut organik) harus diuji alkaloid, dimana pada umumnya prosedur skrining alkaloid mengabaikan lapisan basa. Uji pada kedua apisan ekstrak dilakukan dengan asumsi bahwa alkaloid kuarterner dan amina oksida tidak dapat dipastikan keberadaannya, sehingga harus dikecualikan.








Materi ini merupakan materi kulaih pada mata kuliah Elusidasi Struktur
yang disampaikan Prof. Asep Ghana Suganda
Sekolah Farmasi ITB

Referensi:
Biological and Phytochemical Screening of Plants - Journal of Pharmaceutical Sciences
Maret 1966 volume 55, number 3