Kamis, 15 Desember 2016

ANALISIS IMUNOKIMIA UNTUK DETEKSI MIKROBA PATOGEN DAN SENYAWA RACUN




Analisis imunokimia adalah analisis berdasarkan reaksi antara antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Analisis ini bisa bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Dalam analisis ini senyawa label diperlukan untuk mendapatkan visualisasi hasil reaksi. Prinsip reaksi imulogi pada mamalia adalah sebagai berikut:

Ag + Ab → kompleks Ag-Ab → Reaksi sekunder → Reaksi tersier

                    (Reaksi primer)    

Reaksi sekunder dapat berupa fiksasi komplemen, aglutinasi atau presipitasi, sedangkan reaksi tersier dapat berupa degranulasi atau opsonisasi.

Dalam analisis imunokimia, jika analisis digunakan untuk mendeteksi antigen, maka antigen tersebut sebagai target, dimana antigen berupa senyawa aktif atau racun yang dimaksud. Sedangkan bila analisis dimaksudkan untuk mendeteksi antibodi, maka antigen yang menjadi perekai didalam kit. Antibodi dalam tubuh terbentu berdasarkan antigen yang menginduksinya. Reaksi spesifik antara antigen dan antibodi dapat terjadi melalui ikatan hidrogen, ikatan elektrostatik, ikatan van der walls atau hidofobik.

Senyawa imunogenik adalah senyawa yang dapat memicu sistem imun mamalia. Senyawa antigenik adalah senyawa yang dapat bereaksi spesifik dengan dengan antibodi. Syarat senyawa imunogenik adalah memiliki bobot molekul tinggi, lebih dari 5000 dalton. Bila suatu senyawa memiliki bobot molekul rendah, maka dapat diupayakan melalui konjugasi dengan protein carier agar bersifat imunogenik.

Bahan yang dapat dianalisis secara imunokimia (sebagai antigen) diantaranya:

  1. Mikroba patogen atau toksin mikroba
  2. Toksin tanaman atau hewan
  3. Protein spesifik atau senyawa lain yang berstruktur spesifik
  4. Senyawa obat (narkotik, psikotropik)
  5. Senyawa pestisida
Antibodi adalah hasil reaksi humoral sel B dalam limpa mamalia. Antibodi bersifat spesifik terhadap antigen yang memicunya. Contoh antibodi adalah Imunoglobulin; IgA, IgD, IgM, IgE, IgG.

Reaksi antara antigen dan antibodi dengan adanya senyawa label maka hasil reaksi tersebut dapat divisualisasi. Senyawa label adalah senyawa yang dikonjugasikan pada antigen atau antibodi sehingga dapat memvisualisasikan reaksi Ag-Ab yang terjadi. Senyawa label dapat berupa enzim, senyawa yang dapat berflouresensi, radioaktif dan lain-lain. Reaksi amplifikasi dapat dilakukan sehingga dapat diukur secara fisikokimia.

Beberapa contoh senyawa label diantaranya:
  • Enzim: Horse radish peroxidase (HRP), Alkaline phosphatase
Syarat enzim yang ideal sebagai label yaitu:
  1. memiliki aktivitas tinggi pada konsentrasi rendah
  2. stabil pada kondisi reaksi (biasanya pH netral)
  3. mudah dikonjugasi ke molekul lain untuk reaksi lanjutan atau dalam penyimpanan
  4. Tersedia dalam keadaan murni (tingkat kemurniannya tinggi)
  5. harga murah
  6. Mudah dideteksi dengan cara sederhana
  7. tidak terdapat dalam cairan sampel biologi yang akan diuji 

  • Senyawa berflouresensi; fluoresein, umbeliferon, tetrametil rodhamin
  • Senyawa luminesence; luciferin
  • Partikel: Tanned erythrocyte, colloidal, microsphere, gold, silver
  • vesikel: liposom
Karakteristik senyawa label yang diperlukan dalam analisis imunokimia adalah:
  • memiliki aktivitas spesifik, aktivitas spesifik label berhubungan dengan: 1). fraksi pada label yang akan digunakan untuk deteksi, 2). derajat amplifikasi, 3). efisiensi deteksi
  • mudah dideteksi
  • tidak berbahaya
Metode-metode analisis imunokimia berdasarkan label yang digunakan diantaranya:
  1. EIA (Enzime Immuno Assay)
  2. ELISA (Enzyme Linked-Immunoabsorbent Assay)
  3. RIA (Radio Immuno Assay)
  4. IFA (Immuno Fluoresence Assay)
  5. LIA (Luminesence Immuno Assay)
Bahan-bahan yang diperlukan dalam analisis imunokimia:
  1. Antigen
  2. Antibodi
  3. Media penyangga reaksi
  4. Larutan dapar pelarut
  5. Larutan dapar pencuci
  6. Senyawa label
  7. Substrat
  8. Senyawa penghenti reaksi
  9. Instrumen pendeteksi hasil reaksi
Langkah-langkah dalam analisis imunokimia:
  1. Suatu larutan atau suspensi antigen (atau dapat pula dilakukan sebaliknya yaitu dengan memasukkan antibodi terlebih dahulu) dimasukkan ke dalam sumur plat solid, lalu diinkubasi pada suhu tertentu selama waktu tertentu (sesuai dengan jenis antigen dan antibodi yang digunakan), lalu ditambahkan larutan pemblok untuk menghindari ikatan non-spesifik.
  2. Larutan antibodi B (antigen A) dimasukkan ke dalam sumur plat tersebut setelah proses pencucian. Kompleks A-B akan terbentuk dengan kuat. Suatu konjugat antibodi C (anti-antibodi B) dengan suatu label (misalnya enzim) ditambahkan sehingga membentuk komplek A-B-C-enzim.
  3. Penambahan substrat tertentu akan menyebabkan terbentuknya warna dan reaksi warna dihentikan dengan penambahan senyawa lain agar warna yang terbentuk stabil pada saat pengukuran.
  4. Warna yang terbentuk diukur intensitasnya dengan menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi yang terukur akan sebanding dengan antigen yang terikat pada reaksi yang terjadi.
Tahapan Radioimmunoassay:
  1. Sensitize plate
  2. wash
  3. add test antibody
  4. wash
  5. add radiolabelled ligand
  6. wash
  7. count
Tahapan ELISA:
  1. Sensitize plate
  2. wash
  3. add test antibody
  4. wash
  5. add ligand
  6. wash
  7. add chromogen
  8. develop plate
Sumber kesalahan dalam analisis imunokimia:
  1. Kesalahan random/acak (impresisi)
Kesalahan acak dapat berupa:
  • pemipetan; masalah desain pipet itu sendiri, cara menggunakan dan hal teknis dalam penggunaan pipet (volume yang dikeluarkan)
  • Pemisahan padatan dari cairan; proses pembentukan endapan yang tergantung waktu, kecepatan, suhu, dll, proses pencucian yang tidak sempurna
  • Kondisi reaksi biokimia; konstanta kesetimbangan antibodi, waktu, suhu
  • Jumlah radioaktif, jika menggunakan RIA
  • Intensitas fluoresensi yang terjadi jika menggunakan IFA
  • Kesalahan spektrofotometrik
  • Stabilitas pereaksi
      2. Kesalahan sistemik (inakurasi)
  • Masalah kalibrasi alat, bentuk pipet
  • Interferensi dalam reaksi; terjadinya pengikatan nonspesifik, inhibisi enzim, pendaran cahaya, adanya pengaruh enzim endogen, pengaruh obat lain yang digunakan, pengaruh senyawa endogen lainnya (bilirubin, dll)
  • Efek matriks 







Seluruh MATERI dalam tulisan ini adalah materi yang disampaikan
Ibu MARLIA SINGGIH WIBOWO
dalam Kuliah Mikrobiologi Obat dan Makanan
SEKOLAH FARMASI ITB 

Rabu, 14 Desember 2016

PEMASTIAN MUTU PRODUK STERIL DI INDUSTRI FARMASI




Produk obat atau bahan baku obat  serta eksipien termasuk dalam cakupan Farmakope dan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope. Bab-bab umum dalam farmakope Amerika Serikat (USP) memuat bab-bab tentang metode analisis (Test and Assay) yang resmi dan informasi yang penting yang berkaitan dengan metode-metode analisis terkait. Bab dengan nomor lebih dari 1000 merupakan informasi yang tidak memuat standard ataupun spesifikasi.

Bahan atau produk steril dapat dikelompokkan menjadi:
  1. Bahan baku obat, ruahan (senyawa aktif obat non kompleks, senyawa obat hasil bioteknologi, senyawa-senyawa yang terkandung dalam suplemen makanan)
  2. Produk obat, vaksin (senyawa aktif non kompleks, produk obat hasil bioteknologi, Produk-produk darah, produk terapi gen dan sel, produk suplemen makanan)
  3. Sediaan-sediaan steril
  4. Bahan eksipien obat
  5. Alat (devices), wadah (containers)
  6. Alat kesehatan (Medical devices)
Jenis-jenis analisa utama yang dimuat dalam USP yang berkaitan dengan produk steril (USP 30):
  1. Uji batas endotoksin <85> Bacterials Endotoxins Test
  2. Uji sterilitas <71> Sterility Test dan <1208>Sterility Testing - Validation of Isolators Systems
  3. Proses-proses aseptik <1116> Microbiological Evaluation of Clean Room and other Controlled Environments, <1208>, <1211> Sterilization and Sterility Assurance of Compendial Articles, 
  4. Filtrasi <1211> Filtration
  5. Perakitan <1116>, <1207> Sterile product Packaging-Integrity Evaluation

Selain preparasi atau produksi produk steril di industri farmasi, preparasi produk steril di rumah sakit juga mulai diatur oleh USP. Sejak 1 januari 2004, USP menetapkan <797> Pharmaceutical Compounding; Sterile Preparations. Peraturan tersebut mulai dipublikasikan sejak USP 27 dan NF 22 tahun 2004 dan tetap berlaku hingga kini. Bab ini berisi tentang persyaratan dan penetapan standar-standar yang dapat diterapkan pada seluruh aktivitas pembuatan produk steril.

Tingkat resiko pada pembuatan produk steril berupa:
  1. Low risk (resiko rendah)
  2. Medium risk (resiko sedang)
  3. High Risk (resiko tinggi)

Pemastian mutu produk steril dilakukan pada:
  1. Bahan baku, intermediate dan produk akhir
  2. Proses produksi; teknik aseptik, sterilisasi akhir
  3. Peralatan yang digunakan
  4. Kontrol kualitas (Quality control, QC)
  5. Lingkungan; monitoring, validasi
  6. Personel; trampil dan terlatih
  7. Dokumentasi; kelengkapan, arsip
  8. Pemasaran; monitoring, evaluasi

Quality Assurance (QA) Program berupa:
  1. Monitoring
  2. Evaluating
  3. Correcting
  4. Improving
  5. Maintaining

Uji Sterilitas


Uji sterilitas dilakukan dengan tujuan untuk menetapkan apakah bahan farmakope yang harus steril memenuhi syarat berkenaan dengan uji sterilitas seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Suatu produk dapat dikatakan steril jika memenuhi persyaratan dalam uji sterilitas. Kemungkinan hasil positif mengandung mikroba dapat terjadi karena teknik yang salah atau kontaminasi lingkungan pada waktu pengujian. Mikroba yang digunakan pada uji sterilitas adalah:
  • Bacillus subtilis (ATCC No. 6633)
  • Candida albicans (ATCC No. 10321)
  • Bacteroides vulgatus (ATCC No. 8482)
Media uji yang digunakan adalah media yang bersifat merangsang pertumbuhan mikroba, yaitu:
  • Fluid Thioglycolate Medium (FTM) dan atau dengan Alternative Thioglycolate Medium (ATM)
  • Soybean-Casein Digest Medium (SCDM)
Sedangkan cairan pengencer atau pembilas yang dapat digunakan diantaranya:
  1. Cairan A; cairan ini terbuat dari 1 gram jaringan hewan yang telah diuraikan dengan enzim pepsin, dilarutkan dalam air hingga volumenya 1 liter, saring/sentrifugasi, pH diatur pada 7,1. Cairan ini jika akan digunakan pada sediaan yang mengandung senyawa golongan penisilin atau sefalosporin (beta laktam) maka media tersebut harus ditambahkan enzim penisilinase untuk proses inaktivasi.
  2. Cairan D; terbuat dari 1 liter cairan A ditambah dengan 1 ml tween 80. Cairan ini digunakan bila sediaan mengandung lesitin atau minyak, atau untuk uji peralatan steril dengan menggunakan penyaring membran.
  3. Cairan K; cairan ini mengandung jaringan hewan yang telah diuraikan oleh enzim lambung (peptic digest), beef extract dan tween 80.
Semua cairan pembilas harus disterilkan dengan autoklaf.

Penambahan penisilinase dilakukan pada uji sediaan yang mengandung pengawet antimikroba golongan penisilin. Penambahan penisilinase ditentukan dengan menggunakan sediaan penisilinase yang sebelumnya telah diuji daya pengaktif penisilin atau sefalosporinnya atau dengan menetapkann jumlah penisilinase yang diperlukan dengan menambahkannya kedalam tabung FTM dan sejumlah antibiotik dalam spesimen uji, kemudian diinokulasikan media dengan 1 ml pengenceran (1:1000) biakan selama 18-24 jam Staphylococcus aureus dalam FTM, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30-35 derajat celcius.

Sebelum media digunakan perlu juga diuji fertilitas, uji ini bertujuan untuk memastikan bahwa media yang digunakan dapat menumbuhkan mikroba uji sampai waktu 7 hari. Uji ini dilakukan sebelum dilakukannya uji sterilitas terhadap sampel. Uji fertilitas:

  1. FTM, dilakukan dengan bakteri ujinya berupa Bacillus subtilis, Candida albicans dan Bacteroides vulganus dengan kondisi aerobik pada suhu 30-35 derajat celcius.
  2. ATM, dilakukan dengan bakteri uji Bacteroides vulgatus dengan kondisi anaerobik, pada suhu 30-35 derajat celcius.
  3. SCDM dilakukan dengan bakteri uji Bacilus substilis dan Candida albicans pada kondisi aerobik pada suhu 20-25 derajat celcius.

Metode Uji Sterilitas

Inokulasi Langsung Ke Dalam Media Uji
Sebelum dinokulasikan, maka diperlukan uji bakteriostatik dan fungistatik. Jika pertumbuhan mikroba uji dalam campuran media bahan secara visual sebanding dengan pertumbuhan dalam tabung kontrol, gunakan jumlah bahan dan media seperti yang tertera pada tabel jumlah untuk bahan cair dalam pemilihan spesimen uji dan masa inkubasi. Penetapan perbandingan bahan dan media yang tidak merugikan pertumbuhan mikroba uji.

Ketentuan penambahan atau pengurangan dalam menentukan perbandingan bahan dan media adalah sebagai berikut:
  1. Jika sejumlah tertentu bahan dalam 250 ml media masih mempunyai daya bakteriostatik atau fungistatik, kurangi jumlah bahan hingga diperoleh jumlah maksimum yang tidak menghambat pertumbuhan uji dalam 250 ml media
  2. Untuk cairan atau suspensi yang jumlahnya kurang dari 1 ml, perbesar jumlah media hingga cukup untuk mengencerkan dan mencegah hambatan pertumbuhan
  3. Untuk bahan padat yang tidak segera larut atau terdispersi, jika jumlahnya kurang dari 50 mg, perbesar jumlah media hingga cukup untuk mengencerkan untuk mencegah hambatan pertumbuhan.
Prosedur inokulasi langsung ke dalam media uji dapat dilakukan untuk uji:
  • cairan
  • salep dan minyak yang tidak larut dalam isopropil miristat
  • zat padat
  • kapas murni, perban, pembalut, benang bedah dan bahan sejenisnya
  • alat kesehatan steril
  • alat suntik kosong atau terisi seril
Prinsip pengujiannya adalah dengan menambahkan bahan uji kedalam media kemudian diinkubasi selama 14 hari dengan pengamatan pada hari ke 3,4 atau 5, hari ke 7 atau 8, dan pada hari terakhir pengujian.
Perlakuan-perlakuan awal yang diperlukan pada berbagai sediaan adalah:
  1. Sediaan cairan; pemindahan cairan ke wadah uji dengan menggunakan pipet steril, secara aseptik diinokulasikan ejumlah tertentu bahan kedalam tabung media. Pencampuran cairan dan media tanpa aerasi berlebihan.
  2. Sediaan salep dan minyak yang tidak larut dalam isopropil miristat; dipilih 20 wadah yang mewakili kemudian dibagi atas 2 kelompok masing-masing 10 wadah, dan tiap kelompok diperlakukan: secara aseptis pindahkan 100 mg dari tiap wadah kedalam labu berisi 100 ml pembawa air steril yang dapat mendispersi homogen bahan uji dalam seluruh campuran cairan. Kemudian campurkan 10 ml alikuot dari campuran cairan yang diperoleh dengan 80 ml tiap media.
  3. Sediaan padat; ambil sejumlah tertentu produk dalam bentuk padat kering (atau yang sudah dibuat larutan atau suspensi dalam cairan pengencer steril) tidak kurang dari 300 mg tiap wadah atau seluruh isi wadah jika tiap isi kurang dari 300 mg. Inokulasikan ke dalam masing-masing media tidak kurang dari 40 ml FTM dan SCDM.
  4. Kapas murni, perban, pembalut, benang bedah dan bahan sejenisnya; dari setiap kemasan, ambil secara aseptik 2 bagian atau lebih masing-masing 100-500 mg dari bagian paling dalam. Secara aseptik pindahkan bagian bahan uji ini ke dalam sejumlah tertentu wadah media yang sesuai dan inkubasi.
  5. Alat kesehatan steril; untuk alat yang bentuk dan ukurannya memungkinkan dicelupkan keseluruhan ke dalam tidak lebih dari 1000 ml media, maka alat diuji ke dalam media secara utuh. Sedangkan untuk alat yang mempunya pipa atau saluran berlubang seperti alat transfusi atau alat infus atau yang ukurannya menyebabkan pencelupan tidak dapat dilakukan dan hanya saluran cairanya yang steril, bilas lumen masing-masing dengan sejumlah FTM dan SCDM hingga diperoleh kembali tidak kurang dari 15 ml setiap media, kemudian inkubasikan tidak kurang dari 100 ml masing-masing media.
  6. Alat suntik kosong atau terisi steril; uji dilakukan sama seperti uji untuk produk steril dalam ampul atau vial. Cara inokulasi langsung dapat dilakukan jika penentapan bakteriostatik dan fungistatik telah menunjukan aktivitas yang tidak merugikan dalam kondisi pengujian.
 
Uji Sterilitas dengan Teknik Penyaringan Membran
Uji ini berguna untuk:
  1. Cairan yang serbuk yang dapat larut yang bersifat bakteriostatik atau fungistatik, untuk memisahkan mikroba kontaminan dari penghambatan pertumbuhan.
  2. Untuk bahan yang seperti minyak, salep atau krim yang dapat melarut ke dalam larutan pengencer bukan bakteriostatik atau fungistatik.
  3. Uji sterilitas permukaan atau lumen kritis alat-alat kesehatan
Prosedur awal uji ini:
  1. Buat perbandingan yang sama menggunakan sejumlah tertentu bahan uji dan cairan pengencer dan pembilas yang sesuai
  2. Bilas membran 3x, tiap kali dengan 100 ml cairan pengencer dan pembilas
Pertumbuhan mikroba uji dari membran yang digunakan untuk menyaring bahan diikuti cairan pengencer dan pembilas yang telah diinokulasi secara visual sebanding dengan pertumbuhan dari membran yang hanya digunakan untuk menyaring cairan pengencer dan pembilas yang telah diinokulasi.
Secara khusus metode ini digunakan untuk pengujian:
  • cairan yang dapat bercampur dengan pembawa air
  • cairan yang tidak bercampur dengan pembawa air (kurang dari 100 ml per wadah)
  • zat padat yang dapat disaring
  • Salep dan minyak yang larut dalam isopropil miristat
  • zat padat yang tidak dapat disaring
  • alat kesehatan
Peralatan yang diperlukan porositas 0,45 mikrometer, diamater kurang lebih 47 mm, kecepatan penyaringan 55-75 ml/menit dengan tekanan 70 cm Hg.
Penafsiran hasil uji sterilitas:
  1. Tahap 1; amati adanya pertumbuhan mikroba seperti kekeruhan dan atau pertumbuhan pada permukaan pada isi semua wadah dalam interval waktu tertentu dan pada akhir periode inkubasi. Jika tidak terjadi pertumbuhan, maka bahan uji memenuhi syarat.
  2. Tahap 2; jumlah spesimen yang diuji minimal 2x jumlah tahap 1. Jika tidak ditemukan pertumbuhan mikroba, maka bahan yang diuji memenuhi syarat. Jika ditemukan pertumbuhan mikroba, maka bahan yang diuji tidak memenuhi syarat. 

Uji Endotoksin


Produk-produk farmasi parenteral harus steril karena produk tersebut diberikan langsung ke sistem sirkulasi pembuluh darah, selain itu produk tersebut juga harus bebas dari kontaminasi endotoksin dalam batasan tertentu. Produk steril dapat terkontaminasi endotoksin karena pada proses sterilisasi produk parenteral (menggunakan panas), bakteri gram negatif yang mungkin ada dalam produk, akan mati dan mengalami lisis, sehingga endotoksin terlepas dari dalam sel dan akan tetap tinggal dalam produk. Endotoksin bersifat stabil terhadap panas. Endotoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif.

Pirogen adalah senyawa yang dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh akibat penggunaan produk farmasi yang diberikan secara intravena. Semua endotoksin bersifat pirogen, tetapi tidak semua senyawa pirogen merupakan endotoksin. Endotoksin bakteri terdiri dari senyawa lipopolisakarida (LPS) yang umumnya terikat pada protein dan fosfolipid. LPS ini menyusun membran luar bakteri gram negatif. Contoh LPS dari Salmonella terdiri dari bagian A yang hidrofob yang terikat pada suatu daerah inti yang mengandung molekul KDO (2-keto-3-deoksioktonat).

Efek endotoksin pada tubuh:

  • demam
  • aktivasi sistem sitoksin
  • rusaknya sel-sel endotelial
  • permeabilitas pembuluh darah berubah sehingga menyebabkan turunannya tekanan darah
Regulasi tentang uji endotoksin telah banyak mengalami perkembangan. Bacterial Endotoxin Test (BET) merupakan salah satu uji penting terhadap produk parenteral dan alat kesehatan. Tahun 1912 uji pirogen diberlakukan dengan metode kelinci (Rabbit Test), dan diadopsi oleh USP sejak tahun 1942 dan bertahan hingga 40 tahun kemudian. Sejak tahun 1980 metode baru yang diterapkan yaitu Limulus amoebocyte lysate (LAL) test.

LAL tes adalah uji in vitro untuk mendeteksi dan menganalisis kuantitatif adanya endotoksin bakteri. LAL diperoleh dari ekstrak cair amoebosit Horseshoes crab (Limulus polyphemus atau Tachypleus tridentatus). Metode analisis LAL mencakup teknik gel-clot dan turbidimetri kinetik dan kromogenik (kolorimetri). LAL test adalah metode alternatif terhadap Rabbt pyrogen test yang difokuskan pada pendeteksian senyawa pirogen dalam produk, untuk menghindari penggunaan hewan dalam percobaan. Metode ini lebih akurat.

Dalam LAL test, lisat diperoleh dari amoebosit kepiting landam kuda (Limulus polyphemus atau Tachipleus tridentatus). Penggunaan LAL untuk deteksi endotoksin berawal dari pengamatan Bang (1956) bahwa infeksi bakteri gram negatif pada Limulus polyphemus menyebabkan koagulasi intravaskular yang parah. Pada tahun 1964, Levin dan Bang kemudian menunjukan bahwa penggumpalan itu merupakan hasil reaksi antara endotoksin dan protein yang dapat menggumpal dalam amoebosit. Dilanjutkan oleh Solum (1970, 1973) dan Young (1972), melakukan pemurnian dan karakterisasi protein yang dapat menggumpal dari reaksi LAL dan menunjukan bahwa reaksi dengan endotoksin merupakan reaksi enzimatik.

Prinsip Gel-clot Assay:

  1. pembentukan gel padat pada titik akhir reaksi sebagai hasil reaksi antara LAL dan endotoksin
  2. Reagen LAL dan larutan uji dalam tabung reaksi dengan volume yang sama
  3. Inkubasi pada suhu 37 +- 2 derajat celcius selama 60 +- 1 menit
  4. Bila rekasi positif maka terbentuk gel stabil dan melekat pada dasar tabung bila dibalik 180 derajat
  5. Bila reaksi negatif, maka gel kental terlepas dari dasar tabung bila dibalikkan 180 derajat
Reagen LAL berupa ekstrak amoebosit dalam kepiting landam kuda Limulus polyphemus.

Selain LAL test, uji endotoksin juga dapat dilakukan dengan TAL (Tachyplues Amoebocyte lysate), yang merupakan hasil ekstraksi amoebosit dari Tacypleus tridentatus (kepiting landam kuda China atau Jepang). Reagen berupa TAL 0,125 EU/ml, dengan kontrol standar endotoksin (CSE) 10 EU/ml.

Sebelum uji TAL terhadap sampel perlu dilakukan:
  1. Uji konfirmasi kepekaan lisat (λ)
Uji ini untuk mengecek kepekaan/sensitivitas reagen TAL, apakah sesuai dengan yang tercantum pada label. Dibuat 4 seri pengenceran 2λ, λ, 0,5 λ, 0,25 λ dari CSE dalam 4 replikasi dan kontrol negatif (Reagent water, RW). Persyaratan; kadar rata-rata geometrik titik akhir harus > 0,25 λ dan < 2.0 λ.
Pengenceran maksimum yang absah (PMA=MVD) adalah:
PMA = batas kadar endotoksin/Kepekaan (λ)
         = 0,25 UE/ml / 0,125 EU/ml
         = 2
jadi, sampel ini hanya dapat diencerkan maksimum 1:2.
      2. Optimasi kondisi percobaan
Optimasi kondisi dilakukan dengan melakukan variasi suhu dan atau waktu inkubasi
      3. Verifikasi atau validasi metode (sesuai keperluan di laboratorium uji)
Parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode:

   4. Uji terhadap sampel

Pengujian dengan Toksinometer


Pengujian dengan toksinometer merupakan teknik kinetik-turbidimetri. Endotoksin mengaktifkan enzim pada LAL menghasilkan gelatinasi coagulin, sehingga meningkatkan turbiditas sampel. Perubahan transmitan diukur selama kurun waktu gelatinasi dari awal sampai akhir reaksi. Waktu gelatinasi berhubungan dengan jumlah endotoksin dalam sampel. 








Seluruh MATERI dalam tulisan ini adalah materi yang disampaikan oleh:
Ibu MARLIA SINGGIH WIBOWO dalam kuliah Mikrobiologi Obat dan Makanan
SEKOLAH FARMASI ITB