Senin, 08 Desember 2014

ALERGI MAKANAN



Seorang anak laki-laki berusia tiga tahun memiliki riwayat gatal-gatal dan mengi setelah mengkonsumsi coklat. Pada saat usianya 18 bulan, urtikaria kontak terjadi saat anak tersebut meletakkan adonan kue yang mengandung telor. Anak tersebut juga memiliki riwayat rhinitis kronis,  batuk nokturnal, eksim yang parah, dan berulang kali menjalani rawat inap akibat berulangnya mengi. Bagaimana seharusnya terapi untuk anak ini?

********

Alergi makanan yang termediasi IgE terjadi pada sekitar 6-8 % anak-anak, dan sekitar 25% orang dewasa mengeluhkan gejala yang mungkin berkaitan dengan makanan tertentu. Prevalensi alergi makanan pada orang dewasa kurang dari 3%. Alergen makanan yang utama adalah glikoprotein larut air yang berasal dari hewan maupun tumbuhan. Glikoprotein tersebut relatif stabil meski telah mengalami proses pemanasan, pengasaman maupun pencernaan oleh protease. Makanan yang berbeda mempengaruhi kelompok umur yang berbeda pula. Susu sapi, telor ayam, kacang tanah dan kacang pohon serta biji wijen sering memicu alergi pada anak-anak. Gandum dan kiwi juga dilaporkan dapat memicu alergi. Kedelai sering pula dicurigai memicu alergi namun hingga kini blm terbukti kebenarannya. Kerang, ikan, kacang tanah dan kacang pohon adalah pemicu alergi paling umum pada orang dewasa.

Perbedaan geografis tampaknya mempengaruhi jenis makanan yang menyebabkan alergi, mustard lebih sering memicu alergi pada orang Perancis, wijen lebih banyak terjadi pada orang Israel, sedangkan telor ayam dan susu sapi tampaknya merupakan penyebab alergi pada anak-anak yang paling umum diseluruh dunia.

Kebanyakan kasus alergi makanan, akan segera memberikan reaksi pada paparan pertama terhadap bahan makanan tersebut, terutama pada kasus alergi telor dan kacang. Alergi telor biasanya telah usai pada sekitar usia 5 tahun (66%), dan sekitar 75% pada usia 7 tahun, kendati penelitian terbaru menunjukan kasus alergi telor dapat bertahan dalam durasi yang lebih lama, bahkan hingga usia lebih dari 16 tahun. Kasus yang jarang terjadi adalah onset alergi telor terjadi pada usia dewasa, dengan karakteristik klinis yang berbeda dengan alergi telor pada anak-anak.

Tabel 1

PRESENTASI KLINIS


Gejala alergi makanan biasanya berkisar antara reaksi gatal-gatal pada daerah tertentu hingga reaksi anafilaktik yang berpotensi mengancam nyawa. Sistem organ yang terlibat diantaranya:
  1. Kulit, ditandai dengan urtikaria, angioedema dan memburuknya kondisi eksim
  2. Saluran pencernaan ditandai dengan sakit perut, kram dan diare
  3. Saluran pernafasan, rhinitis, asthma dan stridor
Alergi telor jarang menyebabkan terjadinya reaksi fatal pada anak-anak, terlebih bila usianya kurang dari 2 tahun. Urtikaria kontak adalah reaksi umum alergi telor pada anak-anak.

Alergi makanan juga dapat memberikan manivestasi berupa keengganan anak-anak akan makanan tertentu. Status asmatikus juga dapat merupakan manivestasi alergi tanpa disertai gejala lainnya. Bila anak mendadak mengi parah setelah makan, maka harus dicurigai kemungkinan alergi makanan.


KONDISI PENYERTA


Eksim merupakan gejala yang umum berkembang pada sekitar 6-12 bulan pertama kehiduapan anak-anak, dan atopi merupakan manivestasi yang umum terjadi pada sekitar 80% anak dengan kondisi alergi telor. Eksim yang berkembang makin parah, patut dicurigai adanya kemungkinan alergi telor atau makanan lainnya, dan sensitisasi terhadap makanan meningkatkan keparahan eksim. Alergi pernafasan seperti astma dan rhinitis juga sering muncul seiring adanya alergi makanan. Alergi pernafasan umumnya terdiagnosa setelah anak berusia 3 tahun, sedangkan alergi makanan umumnya terdiagnosa pada saat usia anak 6 bulan hingga 2 tahun. Namun data menunjukan bahwa anak dengan atopi, umumnya akan terdiagnosa alergi pernafasan pada tahun pertama. Alergi atau sensitisasi telor adalah prediktor terkuat akan terjadinya alergi pernafasan pada anak-anak dan asthma pada masa dewasanya kelak. Meskipun eksim dan alergi makanan umumnya akan teratasi/terselesaikan pada masa anak-anak, namun tidak jarang pada beberapa anak kondisi tersebut terus bertahan bahkan mungkin berkembang pada alergi makanan lainnya. Pasien dengan alergi sistemik umumnya memiliki alergi terhadap beberapa makanan, eksim, rhinosinusitis alergik, asthma dan kombinasi kondisi tersebut yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien tersebut. Pasien dengan kondisi alergi makanan dan asthma berpotensi mengalami reaksi anafilaktik dan reaksi asthma yang mengancam kehidupan.


STRATEGI DAN BUKTI


Riwayat medis harus mencakup sifat gejala dan waktu sejak paparan substansi yang diduga sebagai alergen, konsistensi respon alergi dan respon pasien terhadap pengobatan. Rute paparan alergen juga penting, paparan pada kulit dapat menyebabkan urtikaria, paparan inhalasi selama proses memasak dapat menyebabkan mengi, dan paparan oral dapat menyebabkan gejala pada mulut dan saluran pencernaan lainnya.

Tes Skin prick dapat digunakan untuk menguji adanya alergi, tes ini memiliki sensitivitas sekitar 90% dengan spesifisitas sekitar 50% yang bervariasi tergantung pada jenis alergen dan faktor-faktor lain seperti usia pasien, ekstrak yang digunakan dan lokasi aplikasi. Uji IgE spesifik dengan enzyme-linked immunosorbent
assay juga memiliki sensitivitas tinggi namun spesifisitasnya rendah. 

Pada beberapa pasien, tantangan makanan akan menunjukan adanya alergi atau toleransi terhadap makanan tersebut. Tantangan makanan harus dilakukan dibawah pengawasan medis dengan peralatan resusitasi lengkap tersedia karena tantangan ini berpotensi mengakibatkan reaksi anafilaktik. Tantangan ini hanya boleh dilakukan pada pasien dengan gejala alergi seperti asthma yang terkontrol dengan baik sebelum dilakukan pengujian.

Pada anak-anak dengan alergi telor, uji skin prick dan pengukuran IgE direkomendasikan dilakukan setiap tahun untuk menilai perkembangan toleransi. Toleransi terhadap telor yang dimasak mungkin berkembang lebih dulu sebelum toleransi terhadap telor mentah.


MANAJEMEN


Manajemen Jangka Pendek
Reaksi anafilaktik memerlukan manajemen yang tepat dengan antihistamin kerja cepat dan epinefrin intramuskular, sering kali agonis beta inhalasi dan kortikosteroid sistemik diperlukan. Pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit dengan infus dan oksigen terpasang.
Epinefrin intramuskular harus diberikan dalam beberapa menit setelah munculnya reaksi alergi. Pemberian epinefrin subkutan atau inhalasi menghasilkan level terapeutik suboptimal.
 Penggunaan epinefrin lepas lambat dihubungkan dengan adanya risiko dan peningkatan risiko yang dapat berakibat fatal ( berupa reaksi tertunda yang mengikuti terjadinya reaksi akut alergi) karena proses penyerapan alergen dari saluran cerna yang tertunda. Reaksi bifasik (biphasic) terjadi pada sekitar 6% kasus reaksi anafilaktik; setengah diantaranya merupakan reaksi yang parah, dan 90% dari kasus ini terjadi pada kurun waktu 4-12 jam sejak munculnya gejala pertama. Pasien alergi makanan dengan gejala pernafasan harus dipantau sekurang-kurangnya selama 8 jam, karena reaksi bifasik sering kali terjadi pada fase ini. Pasien dengan gejala hipotensi dan penurunan kesadaran harus dipantau sekurang-kurangnya selama 24 jam. Penggunaan prednison oral dianjurkan (dengan dosis 1-2 mg/Kg BB perhari selama 3 hari) untuk mencegah terjadi reaksi fase akhir.

Manajemen Jangka Panjang
Manajemen alergi jangka panjang yang paling tepat adalah menghindari alergen yang relevan. Manajemen terapi alergi makanan terhadap berbagai jenis makanan lebih kompleks dibandingkan dengan alergi makanan tunggal. Perlu dilakukan konsultasi dengan ahli gizi untuk menetapkan diet yang tepat bagi pasien dengan alergi makanan.
Seseorang dengan riwayat alergi makanan harus selalu menyediakan obat pengobatan anafilaksis, obat tersebut berupa antihistamin kerja cepat dan seperangkat penyuntik mandiri epinefrin. Pasien dengan alergi makanan diserta astma harus selalu menyediakan bronkodilator inhalasi. Glukokortikoid juga disarankan untuk mengatasi bronkospasme.
Mengingat adanya risiko koeksistensi beberapa alergi makanan, anak-anak dengan alergi telor harus menjalani tes kemungkinan alergi terhadap bahan makanan lainnya. Seseorang yang mengalami eksim parah pada usia muda juga harus menjalani tes alergi makanan





Literatur
 http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp0800871