Minggu, 23 Maret 2014

TRANSPLANTASI STEM CELL HEMATOPOIETIK



Konsep dasar mengenai transplantasi stem cell hematopoietik:

  1. Hematopoietic stem cell transplantation (HSCT) adalah proses yang melibatkan infus intravena sel induk/sel punca (stem cell) hematopoietik dari pendonor kepada penerima, setelah pemberian kemoterapi dengan atau tanpa radiasi. Alasan dilakukannya tindakan ini adalah untuk membunuh sel tumor dengan meningkatkan dosis kemoterapi. Efek sistem imun juga dapat berkontribusi membunuh sel tumor yang diamati setelah dilakukannya HSCT alogenik.
  2. Sel induk hematopoietik yang digunakan dapat berasal dari resipien (autolog) atau berasal dari pendonor (alogenik). 
  3. Ketidakcocokan Human leukocyte antigen (HLA) pendonor dan penerima baik pada kelas I atau pun kelas II berkorelasi pada lokus dengan risiko kegagalan graft, graft-versus-host disease (GVHD), dan kelangsungan hidup. Donor yang cocok adalah pendonor yang memiliki kecocokan HLA-A, -B, -C, dan DRB1.
  4. Sel induk hematopoietik terdapat pada sumsum tulang, pembuluh darah perifer dan darah tali pusat. Karena kelangkaan dan kesamaannya dengan sel-sel lain maka akan sulit untuk mengisolasi dan mengukur sel-sel tersebut. Sel-sel induk mengekspresikan antigen CD34, dan sejumlah sel CD34+ yang berguna secara klinis sebagai sel induk.
  5. Karena keuntungan klinis dan ekonomi, sel darah perifer lebih banyak dimanfaatkan sebagai sel induk hematopoietik dibandingkan dengan sumsum tulang sebagai sel induk autologous dan alogenik.
  6. Tujuan penyiapan rejimen transplantasi myeloablatif ini adalah untuk membunuh sel tumor dan imunosupresi bagi resipien untuk mengurangi resiko penolakan graft (HSCT alogenik).
  7. Pengondisian rejimen intensitas rendah (termasuk nonmyeloablatif) dikembangkan untuk mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas graft-versus-tumor (GVT).
  8. Imunoterapi pasca transplantasi didasarkan pada efek GVT yang disebabkan oleh subset tertentu pada sel T yang bertanggung jawab pada pemberantasan sel-sel ganas. Imunoterapi pasca transplantasi meliputi penggunaan infus limfosit donor, imunomodulator sitokin, antibodi monoklonal, dan vaksin antitumor.
  9. Mortalitas terkait transplantasi alogenik HSCT berkisar antara 10-80% tergantung pada usia, pendonor dan status penyakit. Penyebab kematian diantaranya infeksi, toksisitas organ, dan GVHD. Penyebab paling umum setelah HSCT autologous adalah kekambuhan penyakit. Kematian terkait transplantasi umumnya kurang dari 5%, tergantung pada penyiapan rejimen, usia, dan status penyakit.
  10. Pengobatan GVHD akut sering kali tidak berhasil, dan sering kali justru menghasilkan komplikasi yang berakibat fatal. Pasien yang menjalani HSCT alogenik juga memerlukan terapi imunosupresif profilaksis, yang menghambat aktivitas dan atau proliferasi sel T. Rejimen profilaksis GVHD yang paling umum digunakan adalah siklosporin atau takrolimus dan metotreksat.
  11. Terapi awal baik pada GVHD akut maupun kronis adalah dengan pemberian prednison tunggal atau dikombinasi dengan siklosporin atau takrolimus.

HSCT adalah proses yang melibatkan adanya infus intravena hematopoietik dari donor yang kompatibel ke penerima, biasanya setelah pemberian dosis kemoterapi dosis tinggi. Sel-sel induk hematopoietik dapat diturunkan dari sumsum tulang, darah perifer dan darah tali pusat. Alasan penggunaan HSCT adalah untuk pengobatan penyakit ganas yang didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukan bahwa pada umumnya pengobatan dengan antikanker berhubungan dengan respon imunosupresi sumsum tulang dan hal ini membatasi dosis kemoterapi yang dapat diberikan dalam batas aman. Meskipun dosis standar kemoterapi terbukti mampu memperpanjang harapan hidup banyak pasien kanker, namun kebanyakan pasien tersebut tidak sembuh dari penyakitnya. Infus sel induk hematopoietik memungkinkan pemberian kemoterapi dosis tinggi (hingga 10 kali dosis standar). Jika sel-sel tumor yang resisten pada dosis standar sensitif terhadap dosis tinggi kemoterapi, maka akan semakin banyak sel tumor yang terbunuh, dan kemungkinan sembuh juga meningkat. Namun dosis kemoterapi tidak dapat ditingkatkan tanpa batas karena risiko kematian yang disebabkan oleh faktor nonhematopoietik. Keberhasilan dan peningkatan penggunaan dengan pengurangan rejimen (termasuk pada nonmyeloablative transplants [NMT]) bahwa efek kekebalan juga berkontribusi membunuh sel tumor setelah HSCT alogenik.


Kemoterapi dosis tinggi yang diikuti dengan HSCT telah menjadi pilihan penting dalam pengobatan penyakit tumor ganas dan tak ganas. Diperkirakan sekitar 50-60 ribuan transplantasi dilakukan setiap tahunya diseluruh dunia. 40% diantaranya dilakukan di Amerika Utara. Jumlah transplantasi menurun dalam beberapa dekade terakhir karena penurunan transplantasi autologous untuk kanker payudara dan peningkatan inhibitor tirosin kinase untuk pengobatan leukemia myelogenous kronis. Namun penurunan ini juga diimbangi dengan peningkatan transplantasi darah tali pusat atau umbilical cord blood (UCB) pada pasien usia diatas 55 tahun.

HSCT umumnya berfokus pada pengobatan penyakit ganas, namun beberapa penyakit nonganas seperti anemia aplastik, talasemia, anemia sel sabit, gangguan imunidefisiensi dan gangguan genetik lain berpotensi disembuhkan dengan HSCT alogenik. Transplantasi juga berpotensi untuk mengobati penyakit yang mengancam nyawa seperti penyakit autoimun, rheumatoid artritis, multiple sklerosis dan sistemik serta lupus eritematosus sistemik.

DONOR DAN UJI HISTOKOMPATIBILITAS


Berbagai tipe donor digunakan dalam HSCT. Dalam transplantasi autologous pasien menerima sel induk hematopoietik mereka sendiri yang dikumpulkan dan disimpan sebelum terapi sitotoksik intensif dimulai. Sedangkan dalam tranplanstasi singeneyc, saudara kembar identiklah yang menjadi donornya dengan memberikan sebagian jaringan antigen yang umum. Kompatibiltas imunologi dievaluasi melalui studi antigen permukaan sel (human leukocyte antigens [HLAs]) yang dikode oleh gen major histocompatibility complex (MHC) yang terletak pada kromosom keenam. 6 gen HLA dikelompokan kedalam 3 kelas. Antigen kelas I dan II berfungsi sebagai antigen transplantasi utama, produk gen kelas III memiliki peran penting dalam sistem kekebalan tubuh. Lokus kelas utama pada kelas I pada manusia disebut sebagai HLA-A, HLA-B, dan HLA-C. Lokus utama pada kelas II disebut HLAD. Hampir semua antigen kelas I bernukleus dan berfungsi sebagai target utama limfosit T sitotoksik. Antigen kelas II biasanya hanya diekspresikan pada makrofag, limfosit B, limfosit T teraktivasi dan merupakan target utama limfosit T pembantu.

Gen HLA terkait erat satu sama lain dalam HMC dan umumnya diwariskan secara bersamaan. Rangkaian alel HLA terikat pada kromosom tunggal yang disebut haptoptype. Kombinasi dua haptoptype dari sang ayah diwariskan pada keturunannya dan menentukan genotipe individu keturunannya tersebut. Untuk lokus HLA tertentu, individu umumnya memiliki dua antigen yang berbeda yang menentukan genotipe mereka (contoh:  HLA-A2 dan HLA-A3, HLA-B44 dan HLA-B7, HLA-DR4  dan HLA-DR2).

Secara historis, lokus HLA yang paling penting dalam HSCT alogenik adalah HLA-A, HLA-B, dan HLA-D (atau HLA-DR [D-Terkait]. 

Ketidakcocokan HLA baik pada kelas I maupun II akan berisiko kegagalan graft, GVHD, dan risiko kematian. Donor paling umum untuk HSCT alogenik adalah HLA saudara kembar identiknya.

Pengumpulan Sel Induk Hematopoietik


Sel induk hematopoietik berfungsi sebagai sel induk semua sel darah termasuk eritrosit, leukosit dan trombosit. Sel-sel induk tersebut adalah sel-sel langka yang menyusun kurang dari 0,01% sel sumsum tulang. Isolasi dan pengukuran kuantitatif sel ini sulit dilakukan karena kelangkaan dan kemiripan bentuknya dengan sel-sel lainnya. Untuk alasan tersebut penandaan/marker diperlukan. Sel-sel induk hematopoietik diekspresikan dengan adanya antigen CD34 (sel CD34+). Sel induk CD34 adalah sel yang mengekspresikan sel induk hematopoietik dan sel progenitor lainnya.

Sel induk yang diperoleh dari sumsum tulang diperoleh dari anterior dan posterior puncak iliaka, dimana sang donor menerima anestesi umum. Prosedur ini memerlukan waktu kurang lebih 1 jam dan menghasilkan 200-1500 ml tergantung pada ukuran donor. Sumsum kemudian ditransfer kedalam kultur jaringan yang mengandung pengawet bebas heparin. Sumsum dikumpulkan dan dilewatkan melalui serangkaian peralatan stainles steel untuk memecah agregat partikel dan menghasilkan sel tunggal. Pada alloHSCT sel induk diberikan 12-24 jam setelah pemanenan. Sedangkan pada autoHSCT, sel induk sumsum tulang dapat disimpan dan dibekukan hingga saatnya diperlukan. Infus intravena sel induk sumsum tulang akan memasuki sirkulasi darah dan kemudian menuju rongga sumsum tulang. Penerima donor mungkin akan merasakan nyeri lokal penyuntikan dalam beberapa hari. Sedangkan risiko utama yang harus ditanggung oleh pendonor adalah risiko yang berhubungan dengan penggunaan anestesi umum.

Sel induk hematopoietik dalam darah perifer ditemukan dalam fraksi sel mononukleat dari sel darah putih (limfosit atau monosit) dan dikumpulkan melalui proses yang disebut leukapheresis atau apheresis. Dalam prosedur ini sekitar 9-14L darah diproses dalam beberapa jam untuk setiap sesi leukapheresis. Sebagian besar sel darah dikembalikan pada pendonor, dan setiap proses leukapheresis rata-rata menghasilkan 200 mL sel. Jumlah sel induk hematopoietik dalam darah perifer relatif sangat kecil, sehingga setidaknya diperlukan 6 sesi leukapheresis.

Selain pada sumsum tulang dan darah perifer, sel induk hematopoietik juga ditemukan pada UCB. UCB merupakan sumber sel induk yang menarik, karena sel induk dikumpulkan dari plasenta darah sehingga relatif tak ada risiko pada bayi maupun sang ibu serta risiko yang rendah akan adanya penularan penyakit. Kelemahan sumber ini adalah volume darahnya yang kecil hanya sekitar 60-150 mL. Namun kemungkinan jmlah sel induk hematopoietiknya cukup.


Pendekatan dan Eradikasi Sel Ganas


Rejimen Pengkondisian Myeloablatif


Hampir semua pasien yang akan menerima infus HSCT, pasien terlebih dahulu harus dikondisikan. Pasien dengan tumor ganas, tujuan penyiapan dan pengkondisian rejimen adalah untuk membunuh sebanyak mungkin sel myeloablatif. Rejimen pengkondisian myeloablatif umumnya meliputi obat antikanker dosis tinggi, dosis yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan risiko kematian. Pada alloHSCT, rejimen pengkondisian juga bertujuan untuk menekan sistem kekebalan tubuh penerima. 

Dalam beberapa rejimen pengkondisian, satu-satunya obat antikanker yang diberikan adalah siklofosfamid karena obat ini memberikan efek sitotoksik dan imunosupresif yang baik. Jika efek siklofosfamid dalam beberapa kasus kurang memadai, maka dapat ditambahkan obat lain seperti sitarabin (ara-C), busulfan, thiotepa, etoposid (VP-16), karboplatin, sisplatin, karmustin (BCNU), melphalan dan ifosfamid.

Total-body irradiation (TBI) sering kali digunakan sebagai rejimen pengkondisian sebelum transplantasi, terutama pada pasien dengan leukemia. Pada pasien dengan penyakit ganas, rejimen ini ditujukan untuk memberantas sel-sel ganas yang berada diwilayah yang tak terjangkau sirkulasi darah dan sitotoksik. TBI juga memiliki aktivitas imunosupresif yang signifikan. Standar rejimen TBI adalah 1000 cGY (1 cGY= 1 rad), yang merupakan lebih dari 2 kali dosis mematikan pada orang normal. Toksisitas akut TBI dapat berupa demam, mual, muntah, diare, mukosistis, dan pembengkakan kelenjar parotis. Komplikasi jangka panjang TBI dapat berupa katarak, keterbelakangan pertumbuhan, karsinogenesis, kemandulan permanen dan keganasan sekunder.

Leukemia


Kebanyakan pasien leukemia dengan alloHSCT dapat menerima dengan baik siklofosfamid dan TBI atau busulfan dan siklofosfamid. Ketika diberikan dengan TBI, dosis awal siklofosfamid biasanya 60 mg/Kg/hari diikuti TBI. TBI dapat diberikan dalam dosis tunggal atau difraksinasi dalam beberapa hari. Pada pasien leukemia limfositik akut (ALL), dosis TBI adalah 120 cGY yang diberikan tiga kali sehari mulai hari -7 hingga -5 (hari 0 adalah hari dilakukannya transplantasi) dan 2 kali perhari pada hari terakhir (hari -4). Setelah pemberian TBI, dua dosis siklofosfamid diberikan secara intravena sekali perhari pada hari -3 dan -2. 

Karena banyaknya risiko toksisitas akut dan kronis, diperlukannya peralatan khusus, dan kurangnya bukti yang menunjukan keunggulan TBI dibanding rejimen non TBI, maka kebanyakan protokol rejimen pengkondisian tidak lagi melibatkan penggunaan TBI. Sebagai penggantinya busulfan dan siklofosfamid yang lebih banyak digunakan. Dalam rejimen asli busulfan diberikan secara oral dengan dosis 1 mg/Kg setiap 6 jam (4 mg/Kg/hari) sebanyak 16 dosis pada hari -9 hingga -6, diikuti oleh 4 dosis siklofosfamid secara intravena sekali perhari dengan dosis 50 mg/Kg pada hari -5 hingga -2. KOnsentrasi plasma busulfan dipantau pada beberapa pusat karena beberapa studi menunjukan bahwa paparan sistemik berkorelasi dengan hasil dan rejimen pengkondisian busulan dan siklofosfamid yang tertarget akan memperbaiki keberhasilan terapi. Dosis busulfan intravena yang disetujui adalah 0,8 mg/Kg setiap 6 jam selama 4 hari. Kini juga tengah dikembangakan dosis intravena harian busulfan, sehingga memungkinkan penanganan pasien rawat jalan.

Limfoma


Berdasarkan pengalaman pada pasien dengan leukemia, siklofosfamid dan TBI adalah rejimen awal yang digunakan pada pasien limfoma hodgkin atau pun non-hodgkin, khususnya pada kasus alloHSCT. Sebagian besar rejimen pengkondisian autoHSCT untuk limfoma adalah agen alkilasi (siklofosfamid atau melphalan), karmustin dan etoposid. TBI umumnya tidak masuk dalam rejimen pengkondisian karena pasien biasanya telah menerima radioterapi sebelumnya. Rejimen pengkondisian yang diberikan pada kebanyakan pasien autoHSCT adalah rejimen CBV yang terdiri dari siklofosfamid, karmustin dan etoposid. Dalam rejimen asli siklofosfamid diberikan pada dosis 1,5 g/m2 pada hari -6 hingga -3, karmustin pada dosis 300 mg/m2 pada hari -6, dan etoposid 100 mg/m2 setiap 12 jam sebanyak 6 dosis pada hari -6 hingga -4. Beberapa modifikasi CBV juga telah dilakukan dengan mengubah dosis beberapa obat atau menambahkan atau menggantinya dengan obat lain termasuk sitosin arabinosida, etoposid, melphalan, lomustin dan thioguanin. Rejimen lain yang digunakan secara luas adalah BEAC (BCNU, etoposid, ara-C dan siklofosfamid), dan BEAM (BCNU, ara-C, etoposid dan melphalan). Tidak ada rejimen pengkondisian tunggal yang terbukti lebih unggul dari rejimen lainnya untuk limfoma.

Meskipun TBI biasanya tidak dimasukan dalam rejimen pengkondisian, namun sering kali pasien menerma radiasi tergantung jenis, lokasi dan luasnya penyakit. Alih-alih TBI, beberapa pasien menerima radiasi lokal dalam dosis tinggi ke daerah-daerah residual atau bulk penyakit. Banyak pasien limfoma hodgkin yang menerima radiasi thoraks sebagai terapi utama penyakit mereka, sehingga TBI biasanya dihindari pada pasien ini. Sebaliknya, sebagian besar pasien dengan indolen limfoma non-hodgkin menerima TBI sebagai bagian dari rejimen pengkondisian telah diketahui sensitivitas tumor tersebut terhadap radiasi dosis lemah. 

Salah satu kerugian TBI adalah banyaknya organ normal yang juga terpapar radiasi sebagaimana sel-sel tumor. Antibodi monoklonal CD20-radiolabeled akan memberikan harapan lebih banyak sel tumor yang terkena radiasi dan sebaliknya akan semakin sedikit sel normal yang terkena radiasi. 

Tumor Padat


Sebagian besar rejimen pengkondisian autoHSCT, menyertakan setidaknya satu agen alkilasi. Banyak rejimen yang mencakup lebih dari 1 agen alkilasi berdasarkan uji praklinis yang menunjukan adanya resistensi terhadap agen alkilasi tertentu tetapi tidak menunjukan adanya resistensi silang terhadap agen alkilasi lainnya. Obat antikanker lain yang memodulasi aktivitas agen alkilasi seperti etoposid adalah obat yang menarik dalam rejimen pengkondisian dosis tinggi. Agen non-alkilasi dengan aktivitas antitumor terutama pada tumor padat diantaranya adalah mitoxantrone, paclitaxel dan topotecan. 




Pustaka
Pharmacotheraphy Dipiro. 2008



Baca juga: