Rabu, 25 September 2013

MUAL DAN MUNTAH SELAMA KEHAMILAN




Kasus

Seorang wanita berusia 25 tahun mengalami mual dan muntah yang menetap selama 8 minggu terakhir sejak menstruasi terakhir pada kehamilan pertamanya. Sarana kesehatan primer enggan memberikan obat untuk pasien ini. Pasien mengalami penurunan berat badan sebesar 2,3 Kg dalam kurun waktu 6 minggu terakhir. Bagaimana sebaiknya terapi yang diberikan untuk pasien ini?.

Problem Klinis

Sekitar 50% wanita mengalami mual dan muntah pada awal kehamilannya, dan sekitar 25% wanita hamil muda mengeluh mual saja. Istilah "morning sicknes" adalah sebuah ironi, karena kondisi mual-muntah tersebut tak jarang bertahan sepanjang hari terutama pada wanita hamil muda yang mengalami mual dan muntah secara signifikan, sehingga seringkali berdampak pada hilangnya waktu kerja dan mengganggu hubungan dalam keluarga. Pada kelompok minoritas, wanita hamil dengan mual dan muntah dapat menyebabkan dehidrasi, penurunan berat badan bahkan memerlukan perawatan di rumah sakit. Kejadian hiperemesis gravidarum adalah sekitar 0,3-1,0%, kondisi ini ditandai dengan muntah terus-menerus, penurunan berat badan lebih dari 5%, ketonuria, kelainan elektrolit (hipokalemia), dan dehidrasi (urin tinggi).

Penyebab mual dan muntah pada kehamilan tidak jelas. Pengamatan menunjukan bahwa kehamilan dengan mola hidatidosa lengkap (tidak ada janin) berhubungan dengan mual dan muntah yang signifikan secara klinis, hal ini menunjukan bahwa stimulus diproduksi oleh plasenta, tidak oleh janin. Mual biasanya dimulai 4 minggu setelah periode menstruasi terakhir, dan biasanya mencapai puncaknya pada usia 9 minggu kehamilan. 60% kasus kehamilan yang disertai keluhan mual dan muntah akan berakhir pada akhir trimester pertama, dan 91% kasus berakhir pada usia kehamilan mencapai 20 minggu. Mual dan muntah lazimnya tidak terjadi pada wanita yang lebih tua, wanita multipara (telah melahirkan lebih dari 2 kali), dan wanita perokok; observasi ini dihubungkan dengan dugaan bahwa wanita tersebut memiliki volume plasenta yang lebih kecil. Dalam sebuah penelitian wanita hamil multipara yang mengalami mual dan muntah biasanya juga memiliki riwayat mual dan muntah pada kehamilan sebelumnya. Mual dan muntah berhubungan dengan penurunan resiko keguguran.

Mual dan muntah selama kehamilan berhubungan dengan level human chorionic gonadotropin (hCG).  Hal ini didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa hCG merangsang produksi estrogen dari ovarium, dimana estrogen diketahui mampu meningkatkan rangsang mual dan muntah. Wanita dengan kehamilan ganda (kembar) atau mola hidatidosa, yang memiliki kadar hCG melebihi wanita hamil normal beresiko mengalami mual dan muntah yang lebih parah. Teori lain menyatakan bahwa kekurangan vitamin B juga dapat berkontribusi, karena penggunaan suplemen vitamin B terbukti mampu mengurangi keluhan mual dan muntah. Beberapa ahli juga menyatakan bahwa mual dan muntah dapat juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, namun tak ada bukti yang mendukung pernyataan tersebut.

Komplikasi kehamilan seperti hiperemesis gravidarum jarang dapat dicegah, termasuk komplikasi berupa neuropati perifer yang disebabkan defisiensi vitamin B6 dan B12 dan yang paling serius yaitu ensepalopati Wernicke’s yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B1. Opthalmoplegia, ataksia dan kebingungan dapat terjadi jika muntah terus-menerus setidaknya terjadi dalam kurun waktu 3 minggu. Jika pasien tersebut kemudian diterapi dengan pemberian cairan intravena dekstrosa tanpa vitamin B1, maka metabolisme yang cepat dari dekstrosa akan mengkonsumsi persediaan vitamin B1 yang ada yang lebih lanjut dapat mengakibatkan terjadinya ensefalopati akut. 

Bayi yang lahir dari ibu yang mengalami penurunan berat badan pada awal kehamilan akan cenderung memiliki berat badan lahir rata-rata yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang mengalami peningkatan berat badan atau relatif tetap pada awal kehamilannya. 

Strategi dan Bukti

 

Evaluasi
Hiperemesis gravidarum harus dibedakan dari kondisi lain yang mungkin dapat menyebabkan muntah yang menetap selama kehamilan, ternasuk kondisi gastrointestinal (misal usus buntu, hepatitis, pankreatitis, dan penyakit saluran empedu), pielonefritis, dan gangguan metabolisme seperti ketoasidosis diabetes, porfiria dan penyakit Addison.Onset mual dan muntah yang dimulai setelah 8 minggu sejak periode menstruasi terakhir jarang terjadi pada kehamilan. Kehadiran demam, sakit kepala, dan sakit perut pada wanita dengan hiperemesis menunjukan adanya penyebab lain. Pengujian laboratorium harus dilakukan yang meliputi:
  • Tingkat keton urin
  • Nitrogen urea darah
  • Kreatinin
  • Alanin transferase
  • Aspartat aminotransferase
  • Elektrolit
  • Amilase
  • Thyrotropin dan tiroksin bebas (T4)
Karena reaksi silang antara thyrotropin dan hCG serta rangsangan kelenjar tiroid, thyrotropin biasanya tertekan pada pasien tersebut. Hipertiroidisme biasanya sembuh secara spontan dan pengobatan dengan profiltiourasil (PTU) biasanya tidak mengurangi mual dan muntah. Pasien hipertiroidisme primer jarang mengalami muntah. Tingkat T4 dan thyrotropin pada pasien dengan hiperemesis umumnya sebanding dengan pasien penyakit Graves, hanya saja pasien hiperemesis tidak menunjukan gejala klinis penyakit Graves atau antibodi tiroid. Jika T4 bebas meningkat tanpa adanya gejala klinis penyakit Graves, maka tes ini harus diulang pada usia kehamilan sekitar 20 minggu, karena biasanya kadarnya akan menurun seiring ketiadaan hipertiroidisme. USG harus dilakuan untuk mendeteksi kemungkinan kehamilan ganda atau mola hidatidosa.

Manajemen
Wanita hamil harus disarankan untuk menghindari bau, makanan, dan suplemen yang memicu mual. Pemicu umum mual adalah makanan berlemak, makanan pedas dan suplemen zat besi. Pengalaman klinis menunjukan bahwa makan dalam jumlah kecil beberapa kali sehari dan minum cairan antara makanan dapat membantu. Secara tradisonal pasien disarankan untuk menyimpan makanan ringan didekat tempat tidur dan menghindari perut kosong. Makanan tinggi protein membantu mengurangi mual dibandingkan dengan sejumlah makanan dengan nilai kalori yang sama yang didominasi karbohidrat dan lemak.

Perempuan hamil dengan mual dan muntah yang menetap dengan konsentrasi keton yang tinggi memerlukan hidrasi intravena dengan multivitamin termasuk vitamin B1 dan ditindaklanjuti dengan pengukuran tingkat keton urin dan elektrolit. Agen antiemetik juga harus diresepkan pada pasien ini.

Terapi Farmakologis
Sekitar 10% wanita yang mual dan muntah pada awal kehamilannya memerlukan pengobatan. Terapi farmakologis termasuk vitamin B6, antihistamin, agen prokinetik dan obat lainnya.


Dalam sebuah uji terkontrol plasebo vitamin B6 10-25 mg setiap 8 jam terbukti efektif mengurangi mual dan muntah pada kehamilan. Dalam percobaan dimana tingkat mual diukur dengan menggunakan skor skala analog visual dengan rentang nilai skor 1 sampai 10 (skor yang lebih tinggi menunjukan keparahan mual), ditunjukan bahwa rata-rata skor pasien yang menerima terapi aktif adalah 4,3 dibandingkan dengan plasebo 1,8. Dalam sebuah studi juga diketahui adanya korelasi antara level vitamin B6 serum dengan tingkat keparahan morning sickness.

Kombinasi vitamin B6 dan antihistamin doksilamin (Bendectin) telah dilarang penggunaannya di Amerika Serikat pada tahun 1983 karena diduga teratogenik, meskipun dugaan tersebut belum dapat dibuktikan. Kombinasi tersebut masih digunakan di Kanada dengan nama dagang Dicletin, yang mana penggunaannya dikaitkan dengan penurunan insiden rawat inap pada wanita hamil dengan keluhan mual dan muntah. Kini sediaan oral vitamin B6 dan doksilamin dijual bebas di Amerika Serikat, dan studi observasional menunjukan bahwa kombinasi tersebut tidak bersifat teratogenik dan terbukti dapat menurunkan keluhan mual dan muntah hingga 70%. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan kombinasi obat tersebut sebagai terapi lini pertama mual dan muntah pada wanita hamil.

Fenotiazin atau metoklopramid biasanya diresepkan jika terapi dengan antihistamin gagal. Prokloferazin juga tersedia dalam sediaan tablet bukal, yang terbukti mampu mengurangi efek sedasi obat ini dibandingkan jika diberikan melalui rute oral.

Metoklopramid merupakan agen prokinetik yang merupakan antagonis dopamin. Penggunaan obat ini dikaitkan dengan kasus tardive dyskinesia dan FDA telah mengeluarkan peringatan sehubungan penggunaan obat ini. Resiko berkembangnya komplikasi meningkat seiring lamamnya durasi pengobatan dan total dosis kumulatif, pengobatan terus-menerus selama 12 minggu atau lebih harus dihindari. Peringatan tersebut tidak hanya berlaku pada kasus kehamilan. Dalam uji coba acak diketahui bahwa terapi intravena metoklopramid dan intravena prometazin memberikan efektivitas yang sama dalam penanganan hiperemesis, namun metoklopramid memberikan efek samping mengantuk dan pusing yang lebih kecil. Dalam sebuah studi diketahui bahwa paparan metoklopramid pada wanita hamil trimester pertama menunjukan adanya hubungan yang signifikan dengan malformasi bawaan, bobot badan lahir rendah, persalinan prematur dan kematian perinatal.

Suatu antagonis reseptor 5-hidroksitriptamin 3 seperti ondansetron semakin banyak digunakan pada kasus hiperemesis, tetapi informasi keamanannya pada wanita hamil masih sangat terbatas. Dalam sebuah uji coba acak yang membandingkan efektivitas ondansetron dan prometazin diketahui bahwa efektivitas keduanya relatif sama, namun ondansetron memberikan efek sedasi yang lebih kecil. Dalam serangkaian kasus yang melibatkan 169 bayi yang terpapar ondansetron pada trimester pertama kehamilan 3,6% diantaranya mengalami malformasi utama; tingkat ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada kelompok kontrol.

Daftar-daftar obat yang dapat digunakan pada terapi mual dan muntah:
  1. Vitamin B6 (kategori FDA : A) dengan dosis 10-25 mg setiap 8 jam. Vitamin B6 tunggal atau dikombinasi dengan antihistamin merupakan terapi lini pertama mual dan muntah pada kehamilan
  2. Kombinasi vitamin B6 dan doksilamin (kategori FDA : A), dosis vitamin B6 10-25 mg setiap 8 jam, doksilamin: 25 mg saat menjelang tidur, ditambah 12,5 mg pada pagi dan siang hari jika diperlukan. Kombinasi ini memberikan efek sedasi.
  3. Kombinasi vitamin B6 dan doksilamin lepas lambat (Dicletin) (kategori FDA : A). Dicletin mengandung 10 mg vitamin B6 dan 10 mg doksilamin lepas lambat, dosis 2 tablet menjelang tidur dan 1 tablet tambahan pada pagi dan siang hari jika diperlukan.
Obat golongan antihistamin
  1. Doksilamin (kategori FDA : A), dosis 12,5-25 mg setiap 8 jam.
  2. Difenhidramin (kategori FDA : B), dosis25-50 mg setiap 8 jam
  3. Meklizin (kategori FDA : B), dosis 25 mg setiap 6 jam
  4. Hidroksizin (kategori FDA : C), dosis 50 mg setiap 4-6 jam
  5. Dimenhidrinat (kategori FDA : B), dosis 50-100 mg setiap 4-6 jam
Semua obat golongan ini memberikan efek samping sedasi.

Obat golongan Fenotiazin
  1. Prometazin (kategori FDA : C), dosis 25 mg setiap 4-6 jam. Pada pasien dengan cedera jaringan yang parah obat ini diberikan sebagai intravena (black-box warning
  2. Proklorperazin (kategori FDA : C), dosis 5-10 mg setiap 6 jam. Obat ini tersedia juga dalam sediaan bukal.
Obat golongan dopamin
  1. Trimetobenzamid (kategori FDA : C), dosis 300 mg setiap 6-8 jam
  2. Metoklopramid (kategori FDA : B), dosis 10 mg setiap 6 jam. Obat ini dapat menyebabkan tardive dyskinesia
  3. Droperidol (Kategori FDA : C), dosis 1,25-2,5 mg intramuskular atau intravena
Obat Golongan antagonis reseptor 5-hidroksitriptamin 3
  1. Ondansetron (kategori FDA : B), dosis 4-8 mg setiap 6 jam
Obat golongan glukokortikoid
  1. Metilprednisolon (kategori FDA : C), dosis 16 mg setiap 8 jam selama 3 hari, kemudian dosis diturunkan perlahan selama 2 minggu. Peningkatan resiko bibir sumbing dapat terjadi jika digunakan sebelum 10 minggu usia kehamilan.
Ginger ekstrak (kategori FDA : C) dosis 125-250 mg setiap 6 jam. Obat ini tersedia sebagai suplemen makanan. Dapat menyebabkan efek samping refluks dan mulas.

Droperidol terbukti efektif dalam mengatasi mual dan muntah pada kehamilan namun penggunaanya telah banyak berkurang karena potensi merugikan dari obat ini. Obat ini dapat menyebabkan interval QT berkepanjangan pada elektrokardiografi (EKG), dan berpotensi menyebabkan aritmia yang fatal, kematian juga dapat terjadi saat dosis yang digunakan lebih rendah dari dosis standar. Pasien yang menerima terapi droperidol harus menjalani tes EKG 12-lead sebelum, selama dan 3 jam setelah pemberian droperidol.

Terapi Alternatif dan Pendukung
Terapi alternatif seperti akupunktur dan pemberian ekstrak jahe harus diteliti lebih lanjut, dan pada beberap percobaan hasilnya tidak konsisten. Dalam sebuah percobaan yang melibatkan 33 pasien hiperemesis gravidarum, akupunktur mampu mengurangi gejala mual dan muntah. Sedangkan perbandingkan penggunaan akupunktur tradisional dan akupunktur sham tampak tidak ada perbedaan hasil.

Dalam sebuah uji efektivitas ekstrak jahe (kapsul) terhadap penanganan mual dan muntah, diketahui bahwa ekstrak jahe memberikan efek yang mirip dengan vitamin B6.Efek samping ekstrak jahe ini berupa refluks dan mulas relatif ringan. Ekstrak jahe lebih dianggap sebagai suplemen makanan bukan sebagai obat.

Manajemen Kasus Refraktori
Pasien wanita hamil dengan komplikasi mual dan muntah yang tak terkontrol dengan pemberian regimen obat rawat jalan memerlukan hidrasi intravena dan suplemen makanan. Pemberian makanan melalui tuba enteral mungkin efektif, meskipun pasien tetap mengalami gangguan mual. Pemberian nutrisi parenteral dihubungkan dengan resiko sepsis (25%), steatohepatitis juga dapat terjadi pada penggunaan emulsi lipid selama kehamilan. Mengingat risiko ini nutrisi parenteral harus diberikan pada pasien yang mengalami penurunan berat badan yang signifikan secara klinis (>5%) dari berat badan yang tidak memberikan respon terhadap antiemetik.


Kesimpulan

 

Pada wanita hamil trimester pertama dengan komplikasi mual dan muntah disertai kehilangan/penurunan berat badan, terapi farmakologis dibenarkan. Perlu juga untuk mempertimbangkan mencari kemungkinan lain yang dapat menyebabkan mual dan muntah tersebut seperti sakit kepala migrain atau gangguan gastrointestinal. Tingkat nitrogen urea darah, kreatinin, SGPT, aminotransferase aspartat, elektrolit dan amilase harus dikaji. Merubah pola makan dalam porsi kecil dengan frekuensi yang sering dapat membantu mengatasi mual dan muntah. Vitamin B6 tunggal atau dalam kombinasi dengan doksilamin merupakan terapi farmakologis lini pertama. Jika terapi lini pertama kurang berhasil, maka fenotiazin, metoklopramid, ondansetron dapat dicadangkan. Metilprednisolon harus disiapkan pada kondisi refrakter setelah usia kehamilan mencapai 10 minggu. Pemberian terapi alternatif seperti akupunktur dan ekstrak jahe dapat dicoba setiap saat.

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp1003896



Selasa, 24 September 2013

KEHAMILAN EKTOPIK



Kasus


Seorang wanita sehat berusia 29 tahun dan tengah menginginkan kehamilan, suatu hari mendapati adanya bercak darah dari vagina yang bertahan selama 5 hari dan disertai adanya kram pada perut bagian bawah dalam kurun waktu tiga hari terakhir. Biasanya wanita ini memiliki siklus menstruasi yang teratur, namun menstruasi yang terakhir memiliki siklus 6 minggu 2 hari sebelum timbulnya gejala ini. Dia telah memiliki riwayat persalinan pervaginam spontan dan sebuah kehamilan anembrionik yang mengharuskan menjalani perawatan dilatasi dan kuretase. Bagiamanakah evaluasi dan pengobatan yang tepat untuk pasien ini?.

Problem Klinis


Keguguran adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada awal kehamilan. Keguguran terjadi pada sekitar 15-20% kasus kehamilan muda. Kehamilan ektopik, dimana implantasi sel telur yang telah dibuahi terjadi diluar rongga endometrium terjadi pada sekitar 1,5-2% kasus kehamilan. Kejadian kehamilan ektopik meningkat pada kurun waktu 1970 hingga 1992. Dan angka kematian yang berkaitan dengan kehamilan ektopik tersebut menurun menjadi sekitar 0,5 per 1000 kehamilan karena ketepatan dan kecepatan diagnosis dini pada kehamilan ini, yang memungkinkan penanganan atau pengobatan sebelum pecahnya (rupture) sel telur tersebut. Pecahnya kehamilan ektopik dapat terjadi karena kekurangmampuan dokter dan atau pasien mengenali gejala-gejalanya, hal ini terjadi pada sekitar 6% kasus kematian ibu akibat kehamilan.

Kerusakan saluran tuba akibat penyakit inflamasi pelvik (pelvic inflamatory disease (PID)), riwayat operasi tuba dan riwayat kehamilan ektopik sebelumnya meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik kembali. Sedangkan faktor resiko minornya diantaranya adalah kebiasaan merokok, faktor usia ibu lebih dari 35 tahun, dan pasangannya. Tidak ada hubungan yang jelas antara kehamilan ektopik dengan penggunaan kontrasepsi oral, terminasi kehamilan elektif sebelumnya, riwayat keguguran dan operasi caesar. Pembuahan yang terjadi dengan adanya alat kontrasepsi dalam rahim atau setelah ligasi tuba jarang terajdi, namun jika hal ini terjadi maka diperkirakan 25-50% kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.

Wanita subfertil juga mengalami peningkatan resiko mengalami kehamilan ektopik karena adanya perubahan pada fungsi tuba. Selain itu juga, pada penggunaan teknik reproduksi dibantu, terutama pada fertilisasi in vitro, menyebabkan peningkatan resiko kehamilan ektopik, meskipun kondisi saluran tuba wanita tersebut masih baik. 

Kehamialn ektopik yang melibatkan terjadinya implantasi di leher rahim, bagian interstisial dari saluran tuba, ovarium, perut dan bekas luka operasi caesar terjadi pada kurang dari 10% dari semua kasus kehamilan ektopik. Namun kehamilan ektopik jenis ini sulit didiagnosa dan sangat berhubungan dengan tingginya angka morbiditas (kematian).

Resiko kembalinya mengalami kehamilan ektopik sekitar 10% pada wanita dengan riwayat sekali mengalami kehamilan ektopik dan sekitar 25% pada wanita dengan riwayat kehamilan ektopik lebih dari sekali. Perempuan yang telah mengalami operasi pemotongan tuba falopi (saluran tuba) beresiko mengalami kehamilan ektopik pada sisa saluran tuba tersebut. Serangkaian kasus menunjukan bahwa sekitar 60% wanita yang pernah didiagnosa kehamilan ektopik akan mendapati kehamilan intrauterin dikemudian hari.


Bukti dan Strategi


Evaluasi

Pasien dengan kehamilan ektopik yang pecah biasanya ditandai dengan munculnya gejala syok, hipotensi, takikardia, dan lemah. Pasien ini harus ditangani secara darurat. Namun umumnya pasien datang ke pusat pelayanan kesehatan sebelum pecah, dengan manifestasi yang tidak spesifik seperti halnya yang terjadi pada kasus kehamilan intrauterin atau keguguran. Tanda dan gejala termasuk perdarahan trimester pertama (berselang, bercahaya, berwarna merah terang atau gelap dan jarang melampaui aliran menstruasi normal), kram perut atau nyeri pelvik (panggul) yang unilateral atau menyebar berkisar dari ringan hingga melemahkan atau keduanya. Wanita dengan gejala tersebut harus dianggap beresiko mengalami kehamilan ektopik sampai diagnosa definitif ditetapkan.

Kehamilan ektopik yang tidak pecah (unruptured) dapat dengan mudah didiagnosa secara cepat dan akurat dengan menggunakan ultrasonografi (USG) transvaginal dalam hubungannya dengan kadar  human chorionic gonadotropin (hCG) serum. Langkah pertama dalam mengevaluasi wanita hamil pada trimester pertama dengan keluhan diatas adalah menentukan apakah kehamilan tersebut layak dipertahankan atau tidak dengan menentukan lokasi kehamilannya. Kehamilan non intauterin atau kehamilan ektopik dapat ditentukan dengan cara tersebut.

Ultrasonografi (USG)
Karakteristik kehamilan awal melalui USG memungkinkan untuk mengetahui apakah kehamilan tersebut normal atau abnormal, dan sangat memungkinkan dalam mengidentifikasi kehamilan ektopik. Kehamilan intrauterin dengan usia lebih dari 5,5 minggu dapat diidentifikasi melalui USG dengan akurasi mendekati 100%. Sensitivitas USG transvaginal dalam mendeteksi kehamilan ektopik berkisar antara 73-93% tergantung pada usia kehamilan dan kemampuan ultrasonografer. Ada 4 kriteria USG dalam mendeteksi kehamilan ektopik (kehamilan ekstrauterin) dengan berbagai sensitivitas dan spesifisitas, yaitu:

  1. Kehamilan ekstrauterin layak; terdapat kantung kehamilan ekstrauterin dengan kutub janin dan aktivitas jantung
  2. Kehamilan ekstrauterin tak layak; terdapat kantung janin ekstrauterin dengan katub janin, tanpa adanya aktivitas jantung
  3. Ring Sign (tanda cincin); ditemukan adanya massa adneksa dengan cincin hyperhoic disekitar kantung kehamilan
  4. Massa nonhomogen; massa adneksa terpisah dari ovarium
Misdiagnosa dapat terjadi jika massa adneksa tidak jelas berbeda dengan ovarium atau kekeliruan pada struktur panggul, termasuk usus, kista sederhana yang berhubungan dengan tuba dan ovarium (kista paratubal), endometrioma dan korpus luteum.
Pada sekitar 8-31% wanita yang dicurigai menderita kehamilan ektopik, pada pemeriksaan awal dengan USG tidak tampak adanya kehamilan baik pada uterus maupun tuba falopi (kondisi ini umum disebut kehamilan dengan lokasi tak tentu). Kehamilan ektopik dini, tanpa adanya perdarahan, mungkin terlalu kecil untuk dideteksi dengan USG. Alasan lain yang dapat menyebabkan hasil USG tidak dapat mendeteksi kehamilan diantaranya adalah kekurangmampuan operator dan peralatan USG yang kurang memadai, disamping adanya kemungkinan adanya kelainan kongenital, fibroid dan hidrosalping yang dapat menutupi kehamilan baik intrauterin maupun ekstrauterin. Umumnya sekitar 25-50% wanita dengan kehamilan ektopik awalnya tidak diketahui lokasi kehamilannya. 

Korelasi Antara Temuan USG dengan Nilai hCG
Nilai hCG tidak dapat digunakan untuk mendeteksi suatu kehamilan intrauterin atau ekstrauterin, tidak pula dapat mendeteksi apakah kehamilan tersebut ruptur atau tidak, namun dapat digunakan sebagai penanda usia kehamilan. Nilai ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat hCG dimana sensitivitas USG dalam mendeteksi kehamilan intrauterin mendekati 100%. Nilai "hCG diskriminatif" adalah sekitar 1500-3000 mlU/ml. Nilai hCG yang rendah, meningkatkan sensitivitas dalam mendiagnosa kehamilan ektopik.

Berikut gambaran temuan USG pada kehamilan ektopik:


Gambar 1
Kantung kehamilan dalam rahim tanpa kantung yolk atau tiang janin pada kehamilan intrauterin. Usia kehamilan 5 minggu 2 hari.


Gambar 2
Kehamilan semu, kantung menyerupai kehamilan namun dengan lokasi terpusat dan tidak simetris dan berhubungan dengan septasi



Gambar 3
Terdapat kantung kehamilan dan kantung yolk dan adanya aliran cairan bebas


Gambar 4
Ring sign


Gambar 5
Kehamilan ektopik yang dikarakterisasi adanya massa adneksa ekstrauterin

Akurasi USG dalam mendeteksi potensi kehamilan ektopik bervariasi tergantung pada level hCG serum. Dalam sebuah studi ditunjukan bahwa jika level hCG dibawah 1500 mlU/ml, maka kemungkinan kehamilan intrauterin 80% dan kemungkinan kehamilan ektopik sebesar 60%. 

Satu seri pengukuran level hCG dapat membantu membedakan antara kehamilan intrauterin yang layak dipertahankan, kehamilan yang berpotensi mengalami abortus spontan dan kehamilan ektopik. 99% kehamilan intrauterin layak, menunjukan adanya peningkatan level hCG sekitar 53% dalam 2 hari. Laju peningkatan hCG relatif sama pada kehamilan tunggal atau pun ganda, namun nilai absolut hCG lebih tinggi pada kehamilan ganda. Penurunan hCG terjadi pada wanita dengan kehamilan yang berakibat mengalami keguguran. Penurunan nilai hCG tersebut tergantung pada level hCG awal, pada level hCG awal lebih rendah akan mengalami penurunan lebih lambat. Penurunan level hCG yang lebih tinggi sangat mungkin menyebabkan abortus spontan. Wanita dengan kehamilan ektopik dapat mengalami peningkatan atau pun penurunan level hCG, namun sekitar 71% wanita dengan kehamilan ektopik akan mengalami peningkatan level hCG yang relatif lebih rendah dibandingkan pada wanita yang hamil intrauterin, atau mengalami penurunan yang lebih lambat dibandingkan pada wanita yang beresiko mengalami abortus spontan.

Ketika level hCG jauh diatas nilai diskriminatif maka perlu dilakukan upaya untuk mengetahui lokasi kehamilan dan dapat dianggap kehamilan yang tidak layak karena kegagalan memvisualisasikan kehamilan intrauterin melalui USG. Penurunan level hCG 20% atau lebih dalam kurun waktu 12-24 jam setelah evakuasi uterus menunjukan hilangnya sel-sel trofoblas, yang menunjukan adanya kehamilan intrauterin yang tak layak. Tercapainya level puncak atau peningkatan level hCG pasca operasi menunjukan adanya kehamilan ektopik. Seorang pasien dengan penurunan level hCG dapat dipantau dengan pengukuran satu seri level hCG hingga tak terdeteksi atau sampai evaluasi patologis spesimen kuretase menunjukan adanya vili korionik. 

Pemeriksaan USG ulang 2-7 hari setelah USG awal dapat membantu mengidentifikasi lokasi kehamilan yang tak terlihat pada USG pertama. Namun pada kasus kehamilan yang dicurigai merupakan kehamilan ektopik, diagnosa dan tindakan pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah pecahnya (rupture) kehamilan tersebut.

Pengambilan keputusan harus didasarkan pada dua kadar hCG yang diukur dalam rentang waktu 48 jam, sistem skoring (berdasarkan usia, ada tidaknya perdarahan vagina, ada tidaknya riwayat ektopik atau keguguran, dan level hCG awal), dan pengukuran level progesteron tunggal dapat membantu memprediksi lokasi kehamilan. Namun spesifisitas dan sensitivitas metode ini relatif rendah.

Manajemen


Manajemen kehamilan ektopik dapat berupa tindakan medis atau pembedahan. Tindakan pembedahan dapat berupa  penghilangan pengaruh tuba falopi (salpingectomy) atau membedah kehamilan ektopik dengan konservasi tuba (salpingostomy). Laparaskopi merupakan tindakan pembedahan yang efektif dari segi biaya dan merupakan tindakan pembedahan yang lebih disukai. Laparatomy dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan intraperitoneal yang luas, kompromi intravaskuler, atau panggul sempit pada visualisasi laparoskopi. 

Sebuah studi observasional menunjukan bahwa pembedahan dengan salpingostomy dibandingkan dengan salpingectomy memberikan kemungkinan kehamilan berikutnya intrauterin sebesar 73%:57%, dengan resiko tingkat kehamilan ektopik berikutnya 15% : 10%. Pasca operasi salpingostomy perlu dilakukan pemantauan level hCG serum karena sel-sel trofoblas tetap bertahan dalam tuba falopi pada sekitar 5-20% pasien. Ketika kehamilan ektopik tetap bertahan pasca operasi, maka dapat dilakukan operasi pengangkatan atau diberikan terapi ajuvan dengan metotreksat. Keputusan untuk melakukan salpingostomy atau salpingectomy ditentukan berdasarkan kerusakan tuba, riwayat kehamilan ektopik, dan kesuburan yang diharapkan setelah tindakan tersebut, serta ketersediaan teknologi reproduksi dan keterampilan ahli bedah.

Manajemen Medis
Manjemen medis pada kasus kehamilan ektopik adalah dengan pemberian injeksi intramuskular metotreksat, menjadi alternatif yang aman terhadap tindakan pembedahan. Dibandingkan regimen multidosis, regimen dosis tunggal lebih umum digunakan, namun sering dikaitkan dengan kegagalan terapi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan manajemen medis ini diantaranya level hCG awal yang lebih besar dari 5000 mlU/ml, deteksi USG yang moderat, cairan peritoneal bebas dalam jumlah besar, adanya aktivitas jantung janin, dan peningkatan level hCG sebelum pengobatan yang lebih besar dari 50% dalam kurun waktu 48 jam.

Manajemen medis kehamilan ektopik harus dihindari ketika kemungkinan kehamilan tersebut akan mengalami keguguran belum dipastikan karena dapat menyebabkan adanya kemoterapi yang tidak perlu, serta mengakibatkan kunjungan per pasien yang lebih banyak yang berarti pemborosan biaya dan memungkinkan adanya komplikasi.

Pembedahan Vs Manajemen Medis
Sebuah studi acak yang membandingkan efektivitas terapi kehamilan ektopik tak ruptur dengan pembedahan salpingostomy laparoskopik dengan pemberian metotreksat multidosis menunjukan tingkat keberhasilan yang tidak signifikan lebih tinggi pada terapi metotreksat multidosis, dan tingkat keberhasilan yang sedikit lebih rendah pada terapi metotreksat dosis tunggal. Analisis tersebut menunjukan bahwa terapi dengan metotreksat relatif lebih murah dibandingkan dengan laparaskopi jika level hCG serum lebih besar dari 1500 mlU/ml. Studi observasional menunjukan bahwa tingkat patensi tuba 62-90%, dan potensi kekambuhan kehamilan ektopik 8-15%, nilai tersebut dinyatakan sama baik pada terapi pembedahan maupun terapi medis.

Pada beberapa kasus, kehamilan ektpoik dapat menghilang secara spontan tanpa tindakan terapi. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menyatakan bahwa terapi medis dengan menggunakan metotreksat dikontraindikasikan pada beberapa kondisi berikut:
  1. Mutlak dikontraindikasikan jika terdapat: menyusui, bukti laboratorium yang menunjukan immunodefisiensi, diskrasia darah (hipoplasia sumsum tulang, leukopenia, trombositopenia, anemia klinis yang signifikan), sensitivitas terhadap metotreksat, penyakit paru aktif, penyakit ulkus peptikum, penyakit hati, ginjal dan disfungsi hematologialkoholisme, penyakit hati kronis pada alkoholik.
  2. Relatif dikontraindikasikan jika: massa ektopik > 3,5 cm, adanya gerakan jantung janin
  3. Pemilihan regimen berdasarkan level hCG jika; regimen metotreksat multidosis cocok pada kondisi pasien dengan level hCG lebih dari 5000 mlU/ml







http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp0810384




Senin, 23 September 2013

DEFISIENSI VITAMIN B12

Gambar 1
Temuan Laboratorium dan Klinis pada Pasien dengan Defisiensi Vitamin B12


Problem Klinis



Pengenalan dan pengobatan kondisi defisiensi vitamin B12 sangat penting. Defisiensi vitamin B12 menyebabkan kegagalan sumsum tulang belakang dan penyakit demielinasi sistem saraf yang berulang (reversibel). Vitamin B12 (kobalamin) merupakan suatu zat yang disintesis oleh mikroorganisme dan banyak terdapat pada sumber makanan hewani. Penyerapan vitamin B12 dalam saluran cerna sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik yang disintesis oleh sel-sel parietal lambung dan pada "cuban reseptor" pada distal ileum. Penyebab paling sering yang menyebabkan beratnya kondisi defisiensi vitamin B12 pada seorang pasien adalah karena hilangnya faktor intrinsik yang disebabkan oleh gastritis atropik autoimun, kondisi ini kemudian secara historis dikenal dengan istilah "anemia pernisiosa". Pasien dengan anemia pernisiosa umumnya akan datang ke sarana kesehatan lebih karena keluhan manifestasi neurologis.

Patofisiologi Defisiensi Vitamin B12


Vitamin B12 merupakan kofaktor untuk 2 jenis enzim, yaitu enzim metionin sintase dan methilmakonil koenzim A mutase. Interaksi antara folat dan vitamin B12 bertanggung jawab pada terjadinya anemia megaloblastik yang terjadi akibat defisiensi kedua zat tersebut. Disinkronisasi antara pematangan sitoplasma dan inti sel menyebabkan terjadinya makrositosis, inti immatur, dan hipersegmentasi granulosit dalam pembuluh darah perifer. Gambar 1 diatas merupakan temuan klinis dan laboratorium pada anemia megaloblastik dalam pembuluh darah perifer dan sumsum tulang.

Vitamin B12 sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan dan mielinasi awal sistem saraf pusat serta untuk membantu pemeliharaan fungsi normalnya. Defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan demielinasi sistem saraf pusat.

Kondisi kurang umum yang dapat terjadi terkait dengan defisiensi vitamin B12 adalah glositis, malabsorpsi, infertilitas dan trombosis (termasuk trombosis yang terjadi pada lokasi yang tidak lazim seperti trombosis sinus vena serebral). Trombosis juga dapat berhubungan dengan terjadinya hiperhomosisteinemia pada kondisi defisiensi vitamin B12 yang parah. Kadang pasien juga mengalami hiperpigmentasi.

Poin klinis penting sehubungan dengan defisiensi vitamin B12:
  • Defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia megaloblastik reversibel, demielinasi sistem saraf pusat, atau keduanya
  • Gastritis autoimun (anemia pernisiosa) adalah penyebab paling umum terjadinya defisiensi vitamin B12 parah
  • Masalah metodologis dapat mempengaruhi sensitivitas dan spesifitas pengukuran kadar vitamin B12
  • Pengukuran kadar asam metilmalonik, homosistein, atau keduanya digunakan untuk mengkonfirmasi kondisi defisiensi vitamin B12 pada pasien yang tak terobati
  • Untuk pasien dengan anemia pernisiosa atau malabsorpsi, diindikasikan untuk menjalani terapi vitamin B12 seumur hidup
  • Pemberian vitamin B12 oral dosis tinggi (1000-2000 mg perhari) sama efektifnya dengan injeksi intramuskular bulanan dalam mengoreksi abnormalitas darah dan sistem saraf.

Penyebab Defisiensi Vitamin B12


Anemia Pernisiosa
Anemia pernisiosa adalah gastritis autoimun yang disebabkan oleh hancurnya sel-sel parietal lambung yang lebih lanjut menyebabkan berkurangnya faktor intrinsik lambung yang berperan dalam mengikat vitamin B12. Respon imun secara langsung terhadap H/K-ATPase yang berperan menyumbangkan akloridia. Penyakit autoimun terutama penyakit thyroid, diabetes mellitus tipe 1 dan vitiligo adalah kondisi-kondisi umum yang berhubungan dengan anemia pernisiosa.

Gastritis autoimun dapat menyebabkan malabsorpsi zat besi yang kemudian berkembang gejala klinis defisiensi zat besi dan lebih lanjut mengakibatkan malabsorpsi vitamin B12. Prevalensi anemia pernisiosa berkisar antara 50-400 kasus per 100.000 orang. Kondisi ini dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun paling sering terjadi pada kelompok usia 70-80 tahun. Anemia pernisiosa lebih sering terjadi pada keturunan Afrika dan Eropa.

Malnutrisi pada Bayi dan Anak-anak
Bayi yang lahir dari ibu yang mengalami defisiensi vitamin B12 berpotensi mengalami defisiensi pula, terlebih bila bayi tersebut menerima ASI ekslusif. Manivestasi khas adanya defisiensi vitamin B12 pada anak-anak diantaranya:
  • Kegagalan perkembangan otak
  • Gangguan pertumbuhan dan perkembangan secara keseluruhan
  • Regresi perkembangan
  • Hipotonia
  • Tidak nafsu makan
  • Lesu
  • Tremor
  • Hiperiritabilitas
  • Koma
Pencitraan otak dapat menunjukkan ada tidaknya atrofi dan penundaan mielinasi. Anak ini juga mungkin akan mengalami anemia. Suplementasi vitamin B12 dapat segera membantu proses penyembuhan. Namun semakin lama kondisi defisiensi vitamin B12 ini dialami seseorang, maka seseorang tersebut akan semakin berpotensi mengalami cacat permanen.

Kondisi lain yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12 pada anak adalah reseksi ileum, sindrom  Imerslund–Gräsbeck, penyakit radang usus, dan anemia pernisiosa.


































Gambar 2
Mekanisme Normal dan Malabsorpsi Vitamin B12

Strategi dan Bukti

 

 

Evaluasi

Pengujian dan penetapan diagnosa defisiensi vitamin B12 bisa jadi menjadi upaya yang sulit dilakukan.  

Riwayat medis yang mungkin pernah dialami pasien dapat berupa gejala anemia, gejala-gejala malabsorpsi dan neurologis. Gejala neurologis yang umum biasanya berupa parestesia simetris atau mati rasa. Pemeriksaan fisik umumnya akan menunjukan adanya kondisi pucat, edema, perubahan pigmen kulit, sakit kuning atau cacat neurologis seperti gangguan rasa, ketidaknyamanan posisi, sensasi pada kulit, ataksia dan kelemahan.

Biopsi sumsum tulang dan aspirasi tidak diperlukan dalam penentuan diagnosa anemia megaloblastik dan bahkan dapat menyesatkan pada kasus pansitopenia dengan hiperselularitas yang parah, peningkatan eritoblast dan kelainan sitogenetika, dan bahkan akan membingungkan dalam penentuan diagnosa leukemia akut. Pencitraan sumsum tulang juga tidak diindikasikan pada pasien yang ditengarai mengalami defisiensi vitamin B12.

Penetapan Kadar Vitamin B12
Untuk mengetahui kadar vitamin B12 seseorang biasanya dilakukan melalui pengukuran kadar B12 serum, kadar vitamin B12 yang sangat rendah (<100 pg/ml) biasanya berhubungan dengan defisiensi klinis, namun kondisi ini jarang diamati. Pada pengukuran ini hasil negatif atau positif palsu sangat sering terjadi. Besarnya kemungkinan negatif atau positif palsu tersebut kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa hanya sekitar 20% dari total vitamin B12 yang terukur pada protein seluler pengiriman, transkobalamin; sementara sisanya terikat pada haptocorrin, yaitu suatu protein yang belum diketahui fungsinya. Metode penentuan vitamin B12 terbaru adalah dengan tes holotranskobalamin (Mengukur saturasi vitamin B12 pada transkobalamin), metode ini memberikan perbaikan spesifitas pada pengukuran vitamin B12, namun demikian metode ini belum divalidasi secara klinis dan belum tersedia secara komersil.

Pengukuran Asam Metilmalonik Serum dan Homosistein
Pengukuran asam metilmalonik, jumlah homosistein atau kombinasi keduanya berguna dalam menentukan diagnosis pasien defisiensi vitamin B12 yang belum menerima terapi apa pun. Tingkat asam metilmalonik dan jumlah homosistein akan meningkat signifikan pada pasien dengan defisiensi vitamin B12, termasuk pada pasien yang hanya menunjukan manivestasi neurologis tanpa anemia.

Kadar asam metilmalonik dan jumlah homosistein akan segera menurun setelah dilakukannya terapi, dan kadarnya dapat diukur kembali untuk mengetahui pengaruh terapi suplementasi vitamin B12. 

Tingginya kadar asam metilmalonik cukup spesifik pada pasien defisiensi vitamin B12 yang akan segera menurun seiring pemberian terapi suplementasi vitamin B12. Peningkatan asam metilmalonik sederhana (300-700 nmol/liter) dapat terjadi pada pasien dengan gagal ginjal. Namun hampir semua pasien anemia megaloblastik atau mielopati akan memiliki tingkat asam metilmalonik lebih dari 500 nmol/liter dan 86% diantaranya memiliki kadar yang lebih tinggi yaitu diatas 1000 nmol/liter. Tingkat homosistein total serum kurang spesifik, karena kadarnya juga akan meningkat pada pasien dengan defisiensi asam folat, homosistinuria klasik dan gagal ginjal. 

Tes Untuk Menentukan Penyebab Defisiensi Vitamin B12
Jika pasien defisiensi vitamin B12 telah mengkonsumsi suplemen vitamin B12 dalam jumlah yang cukup dan dikonfirmasi secara klinis adanya malabsorpsi maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Pengujian anemia pernisiosa, faktor anti-intrinsik perlu dilakukan. Gastritis atrofik kronik dapat didiagnosis berdasarkan tingginya level gastrin serum puasa dan rendahnya kadar pepsinogen serum. Beberapa ahli menyarankan perlunya endoskopi untuk mengkonfirmasi gastritis dan mengesampingkan kemungkinan kanker lambung. Pasien dengan anemia pernisiosa beresiko mengalami kanker lambung.


Terapi Defisiensi Vitamin B12

 

 

Kebutuhan harian vitamin B12 adalah sekitar 2,4 μg, namun adakalanya kebutuhan tersebut lebih besar hingga berkisar 4-7 μg. Umumnya seseorang yang mengkonsumsi daging dan atau multivitamin harian akan memiliki nilai asam metilmalonik yang rendah. Orang dewasa sehat sebaiknya mempertimbangkan penggunaan suplemen vitamin B12. Sedangkan pasien yang secara klinis menunjukan adanya gejala defisiensi vitamin B12 akan mengalami malabsorpsi sehingga memerlukan pemberian vitamin B12 parenteral atau oral dosis tinggi. Suplementasi yang memadai akan menghasilkan perbaikan pada anemia megaloblastik atau pun mielopati.

Injeksi Vitamin B12
Vitamin B12 di Amerika dikenal dengan istilah Sianokobalamin, sedangkan di Eropa dikenal dengan nama hidoksokobalamin. Pada injeksi vitamin B12 sekitar 10% dari dosis yang disuntikan dipertahankan. Pasien dengan kelainan yang parah harus menerima suntikan setidaknya 1000 μg beberapa kali per minggu dalam 1-2 minggu, kemudian diikuti dengan suntikan mingguan hingga adanya perbaikan yang nyata dan kemudian diikuti dengan pemberian dosis bulanan. Respon hematologik umumnya cepat, ditandainya dengan peningkatan jumlah retikulosit dalam 1 minggu yang diikuti dengan adanya koreksi anemia megaloblastik dalam 6-8 minggu berikutnya. Pasien dengan anemia berat dan gejala penyakit jantung harus diterapi dengan transfusi dan agen diuretik, dan elektrolit harus selalu dipantau. Gejala neurologis dapat memburuk  sementara dan kemudian akan membaik dalam hitungan minggu hingga bulan. Tingkat keparahan dan durasi dari kelainan neurologis sebelum pengobatan akan mempengaruhi masa penyembuhannya. Pengobatan anemia pernisiosa berlangsung seumur hidup. Pada pasien yang menghentikan terapi suplementasi vitamin B12, dapat mengalami kekambuhan gejala neurologis yang dapat terjadi dalam kurun waktu yang singkat hingga sekitar 6 bulanan, selain dapat juga mengalami kekambuhan anemia megaloblastik dalam beberapa tahun kemudian.

Vitamin B12 Oral Dosis Tinggi
Pengobatan vitamin B12 oral dosis tinggi terbukti efektif dan semakin populer. Pemberian dosis oral vitamin B12 1000  μg akan memberikan 5-40 μg, bahkan saat diberikan bersamaan dengan makanan. Sebuah studi menunjukan bahwa terapi vitamin B12 oral 2000 μg perhari dibandingkan dengan 7 suntikan 1000 μg dalam kurun waktu satu bulan menghasilkan efektivitas terapi yang relatif sama.



 



 http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp1113996