Jumat, 30 November 2012

HIPERTENSI KRONIS PADA KEHAMILAN



Seorang wanita yang telah berusia 35 tahun, belum pernah hamil dan telah memiliki riwayat hipertensi selama 5 tahun terakhir dan ingin segera mendapatkan kehamilan. Dia telah berhenti menggunakan kontrasepsi. Satu-satunya obat yang masih dikonsumsinya adalah lisinopril 10 mg perhari. Tekanan darahnya kini 124/68 mm Hg, dengan indeks masa tubuh 27. Indeks masa tubuh adalah berat badan dalam satuan kilogram permeter persegi luas permukaan tubuh. Apa yang dapat kita sarankan untuk pasien ini?

*****************

Problem Klinis


Hipertensi kronis pada masa kehamilan didefinisikan sebagai kondisi tekanan darah sekurang-kurangnya sistolik 140 mm Hg dan dengan tekanan darah diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg pada masa sebelum kehamilan. Untuk wanita yang baru pertama kali hamil hipertensi tersebut dimulai sekurang-kurangnya 20 minggu sebelum kehamilan. Prevalensi hipertensi kronis di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 3% dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan prevalensi ini terutama disebabkan oleh peningkatan prevalensi obesitas, yang merupakan faktor resiko utama hipertensi. Penundaan masa kehamilan sering terjadi pada perempuan yang mengalami hipertensi kronis tersebut. Sehingga peningkatan jumlah wanita hamil yang disertai dengan hipertensi memerlukan pemantauan khusus kemungkinan terjadinya hipertensi kronis dan perlunya penyesuaian terapi antihipertensi sebelum dan selama masa kehamilan.

Umumnya wanita hamil yang disertai dengan hipertensi kronis akan memiliki kondisi kehamilan yang baik, tetapi mengalami resiko peningkatan komplikasi kehamilan dibandingkan dengan wanita hamil yang tanpa hipertensi. Resiko perburukan kehamilan meningkat seiring peningkatan keparahan hipertensi. Selain itu beberapa agen antihipertensi beresiko pada kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya sebelum pembuahan (konsepsi). Mengingat sebagian besar kehamilan adalah kehamilan yang tidak direncanakan, maka pada wanita usia produktif yang mengalami hipertensi harus mendapatkan nasehat khusus sehubungan dengan kehamilan dan upaya perawatan rutin.

Wanita hamil dengan hipertensi kronis memiliki resiko peningkatan preeklamsia sebesar 17-25% dibandingkan populasi umum yang hanya sebesar 3-5%, abrupsi plasenta, pembatasan pertumbuhan janin, kelahiran prematur, dan operasi caesar. Resiko preeklamsia semakin meningkat seiring lamanya masa hipertensi. Preeklamsia merupakan penyebab utama kelahiran prematur dan persalinan dengan operasi caesar pada kelompok ini. 

Pada sebuah studi yang melibatkan 861 pasien dengan hipertensi kronis, preeklamsia berkembang pada 22% pasien dan kondisi tersebut terjadi pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu kehamilan, suatu kondisi yang terjadi lebih awal dibandingkan pada kelompok wanita yang tanpa disertai hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi kronis dan preeklamsia merupakan kelompok wanita hamil yang beresiko melahirkan bayi kecil dan abrupsi plasenta, dibandingka wanita hamil dengan hipertensi kronis yang tanpa disertai preeklamsia.

Tanpa disertai preeklamsia pun, wanita hamil dengan hipertensi kronis sangat beresiko mengalami hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan kehamilannya. Sebuah studi yang dilakukan di Kanada, Amerika Serikat dan New Zealand telah menunjukan adanya pembatasan pertumbuhan janin (berat janin diperkirakan 10% lebih rendah dari kehamilan normal). Dalam sebuah metaanalisis di Denmark setelah penyesuaian untuk usia, indeks massa tubuh, status merokok, paritas dan diabetes, hipertensi kronis dikaitkan dengan kira-kira lima kali kelahiran prematur dan peningkatan 50% melahirkan bayi kecil. Wanita hamil dengan hipertensi kronis memiliki resiko dua kali lebih besar mengalami abrupsi plasenta dibandingkan dengan wanita normotensif (1,56% vs 0,58%), dan resiko tersebut semakin meningkat bila disertai dengan preeklamsia. Hipertensi kronis juga dikaitkan dengan resiko kematian bayi.

Umumnya wanita hamil dengan hipertensi kronis akan mengalami penurunan tekanan darah selama kehamilannya, mirip dengan wanita hamil normotensif (tekanan darahnya normal). Tekanan darah turun pada akhir trimester pertama, dan terus meningkat pada trimester ketiga. Akibatnya penggunaan obat antihipertensi selama masa kehamilan ini sering kali memperuncing masalah. Namun demikian pada sekitar 7-20% wanita hamil ini juga kemungkinan mengalami perburukan hipertensinya selama kehamilan tanpa timbulnya preeklamsia. 

Strategi Dan Bukti


Evaluasi Sebelum Kehamilan


Perawatan wanita dengan hipertensi kronis harus dimulai sebelum masa kehamilan dalam rangka mengoptimalkan rejimen pengobatan sebelum konsepsi dan memfasilitasi konseling tentang potensi komplikasi kehamilan. Evaluasi hipertensi kronis sebelum kehamilan harus mengikuti pedoman oint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatmentof High Blood Pressure 7 (JNC 7) untuk penilaian target-target kerusakan organ, rekomendasi untuk melakukan evaluasi khusus sebelum dan selama masa kehamilan. Rekomendasi tersebut termasuk penggunaan elektrokardiografi (EKG), dan penilaian kadar glukosa darah, hematokrit, kalium serum, kreatinin, kalsium dan profil lipoprotein serta urinalisis.

Mengingat peningkatan resiko preeklamsia pada wanita dengan hipertensi kronis ini, evaluasi sebelum kehamilan juga harus mencakup kuantifikasi 24 jam protein urin untuk mengidentifikasi preeklamsia. Adanya manivestasi hipertensi pada organ dapat memperburuk prognosis selama kehamilan dan harus dilakukan konseling. Sebagai contoh, adanya proteinuria pada awal kehamilan meningkatkan resiko preeklamsia berlapis dan penghentian pertumbuhan janin.

Umumnya wanita dengan hipertensi kronis tidak diketahui penyebabnya. Identifikasi penyebab hipertensi pada wanita usia subur tidak diteliti dengan baik. Evaluasi penyebab hipertensi umumnya terbatas pada wanita dengan hipertensi yang resisten terhadap obat-obatan yang memerlukan beberapa terapi atau memiliki tanda-tanda yang kemungkinan menjadi penyebab sekunder. Namun karena pengujian dalam kasus ini mungkin memerlukan penggunaan diagnostik radiasi dan karena pengobatan kelainan yang terdeteksi sering melibatkan tindakan operasi, praktisi harus melakukan kemungkinan evaluasi tersebut sebelum terjadinya pembuahan.

Pemantauan Preeklamsia


Identifikasi preeklamsia pada wanita dengan hipertensi kronis sangat menantang, mengingat tekanan darah yang tinggi pada permulaan kehamilan serta kemungkinan adanya proteinuria. Preeklamsia harus selalu dipertimbangkan setip kali terjadi kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan setap kali ada onset baru peningkatan proteinuria dari kondisi basalnya. Tingginya level asam urat akan membantu membedakan dua kondisi, meskipun ada tumpang tindih yang substansial. Adanya trombositophenia atau tingginya pengujian level fungsi hati dapat mendukung penetapan diagnosis preeklamsia. Baru-baru ini penanda serum dan urin angiogenik telah dipelajari dan mungkin akan membantu dalam diagnosis preeklamsia 

Pilihan Perawatan


Pengobatan dengan Agen antihipertensi


Alasan utama untuk mengobati hipertensi pada kehamilan adalah untuk mengurangi morbiditas ibu terkait hipertensi. Sebuah metaanalisis termasuk 28 uji acak membandingkan pengobatan dengan antihipertensi baik dengan plasebo maupun tanpa pengobatan menunjukan bahwa pengobatan dengan antihipertensi secara signifikan mengurangi hipertensi berat. Namun pengobatan tidak mengurangi resiko preeklamsia berlapis, abrupsi plasenta atau pembatasan pertumbuhan janin, juga tidak memberikan manfaat pada neonatus.

Obat-obat antihipertensi yang dapat digunakan pada masa kehamilan yaitu:
  1. Metildopa, sebuah agonis reseptor alfa yang bekerja sentral, dosis sebesar 250-1500 mg dua kali perhari peroral. Metildopa sering digunakan sebagai terapi lini pertama, data jangka panjang menunjukan keamananya pada keturunan.
  2. Labetalol, yang merupakan kombinasi alfa dan beta bloker. Dosis 2x100-1200 mg peroral. Sering menjadi terapi lini pertama. Obat ini dapat memperburuk asma. Formulasi intravena tersedia untuk pengobatan darurat hipertensi.
  3. Metoprolol, sebuah beta bloker dengan dosis 2x25-200 mg peroral. Obat ini dapat memperburuk asma dan kemungkinan berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin. Beta bloker lainnya misal: pindolol dan propranolol dapat dipakai secara aman. Beberapa ahli merekomendasikan untuk menghindari penggunaan atenolol.
  4. Nifedipin (kerja panjang), sebuah pemblok kanal kalsium. Dosis 30-120 mg perhari. Nifedipin kerja cepat tidak direkomendasikan untuk terapi ini, mengingat kemungkinan resiko hipotensi. Pemblok kanal kalsium lainnya dapat digunakan secara aman.
  5. Hidralazin, merupakan sebuah vasodilator perifer. Dosis 50-300 mg perhari dalam dosis terbagi 2 atau 4. Sediaan hidralazin intravena tersedia untuk terapi darurat hipertensi.
  6. Hidroklorotiazid, sebuah diuretik dengan dosis 12,5-50 mg sekali perhari. Ada kekhawatiran sehubungan penggunaan obat ini, namun tidak ada data studi yang mendukung.
Metildopa merupakan agen antihipertensi yang paling banyak didukung dengan data penelitian tentang khasiat dan keamanan penggunaannya pada wanita hamil. Obat ini telah digunakan sejak tahun 1960-an. Dalam sebuah studi, metildopa tidal menimbulkan efek yang merugikan pada anak-anak yang dilahirkan. Karenanya metildopa sering dijadikan sebagai terapi lini pertama hipertensi pada wanita hamil. Namun, metildopa sering menyebabkan kantuk yang membatasi tolerabilitasnya.

Dalam sebuah metaanalisis beta bloker lebih sedikit menghasilkan episode hipertensi parah dibandingkan metildopa. Labetalol adalah sebuah kombinasi antara beta dan alfa bloker yang sering direkomendasikan sebagai terapi lini pertama hipertensi pada wanita hamil.

Pemblok kanal kalsium kerja panjang juga aman pada kehamilan, meskipun pengalaman penggunaan agen ini lebih terbatas dibandingkan labetalol. Diuretik yang telah lama dianggap kontraindikasi pada kehamilan, karena adanya kekhawatiran penurunan volume. Namun review dalam 9 studi acak menunjukan tidak ada perbedaan signifikan pada kehamilan antara wanita yang menggunakan diuretik dengan yang tidak menggunakannya.


Angiotensin-converting–enzyme (ACE) inhibitors dan  angiotensin-receptor blockers (ARBs) dikontraindikasikan pada kehamilan. Kedua kelompok agen tersebut dikaitkan dengan kasus:

  • oligohidramnion (mungkin akibat gangguan fungsi ginjal janin) 
  • neonatal anuria
  • kelainan pertumbuhan janin
  • hipoplasia tengkorak, dan
  • kematian janin
ACE inhibitor juga dikaitkan dengan efek teratogenik. Dalam sebuah studi retrospektif terhadap wanita yang mengalami paparan ACE inhibitor pada trimester pertama, ACE inhibitor berpotensi menyebabkan cacat jantung dan defek sistem syaraf pusat. 

Modisfikasi gaya hidup termasuk penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik bermanfaat untuk kontrol tekanan darah. Selain itu, peningkatan indeks massa tubuh merupakan faktor resiko mapan berkembangnya preeklamsia. The American College of Obstetrics and Gynecology merekomendasikan penurunan berat badan sebelum kehamilan. 

Tekanan Darah Ideal pada Kehamilan


Tidak ada data konklusif yang menyarankan nilai tekanan darah dimulainya terapi denganagen antihipertensi. Pedoman profesional memberikan rekomendasi berbeda tentang indikasi terapi awal dengan agen antihipertensi (rentang tekanan darah dari >159/89 mm Hg menjadi >169/109 mm Hg) dan tekanan darah target untuk wanita yang menerima terapi adalah <140/90 mm Hg hingga <160/110 mm Hg. Beberapa ahli merekomendasikan penghentian penggunaan agen antihipertensi selama kehamilan, selama tekanan darah berada pada ambang batas tersebut. Bagi wanita yang melanjutkan terapi antihipertensi harus menghindari penurunan tekanan darah yang agresif. Sebuah metaanalisis menyatakan bahwa penurunan tekanan darah yang terlalu besar berhubungan dengan penghentian pertumbuhan janin. Dengan demikian sebelum kehamilan, dosis antihipertensi perlu dikurangi, terutama pada trimester kedua.


Pencegahan Preeklamsia


Karena preeklamsia merupakan efek buruk utama pada kehamilan yang berkaitan dengan hipertensi, maka banyak wanita yang menanyakan adakah terapi pencegahan untuk hal ini. Pada sebuah uji terkontrol plasebo menunjukan tidak adanya penurunan resiko yang signifikan terkait penggunaan dosis rendah aspirin, suplemen kalsium, suplemen antioksidan dengan vitamin C dan E, meskipun dalam sebuah metaanalisi dalam skala lebih kecil menyatakan adanya manfaat dari terapi tersebut.


Pengawasan Janin


Upaya untuk memantau wanita hamil dan janin dalam kandungannya dapat dilakukan dengan kunjungan prenatal secara lebih sering pada wanita hamil dengan hipertensi kronis. Memantauan tersebut dilakukan dengan melakukan pengukuran tekanan darah dan protein urin. Karena kelompok kehamilan ini beresiko mengalami penghentian pertumbuhan janin, maka evaluasi pertumbuhan janin sangat perlu dilakukan. Banyak dokter melakukan pengukuran tinggi fundus uteri dan estimasi berat janin dengan menggunakan ultrasonografi (USG) yang dimulai pada awal trimester ketiga dan berlanjut dengan interval 2-4 minggu tergantung pada tekanan darah ibu, obat-obatan, komplikasi dan temuan pada pemeriksaan sebelumnya. Meskipun data pada populasi beresiko rendah menunjukan bahwa USG dan evaluasi tinggi fundus uteri menunjukan hasil yang sama dalam mendeteksi pembetasan pertumbuhan janin, namun USG memberikan kelebihan dalam hal penilaian terhadap volume cairan ketuban, serta nada dan pergerakan janin (profil biofisik), sehingga dalam hal ini USG dapat memberikan manfaat lebih. 

Mengingat adanya resiko bayi lahir meninggal dunia pada wanita hamil dengan hipertensi, maka pengawasan terhadap janin sangat dianjurkan, meskipun sebagian ahlinya lainnya hanya merekomendasikannya pada kehamilan yang disertai dengan kompikasi seperti penghentian pertumbuhan janin atau preeklamsia. Pengujian juga dapat meliputi evaluasi pola dan variabilitas denyut jantung janin (uji nonstres). Komplikasi maternal (misal; perburukan hipertensi atau preeklamsia), hasil uji nonstres janin dan penghentian pertumbuhan janin sering menjadi indikasi persalinan lebih awal (preterm). Dokter harus memperhitungkan resiko morbiditas janin pada persalinan terkait komplikasi pada janin dan ibu. Sedangkan pada wanita hamil dengan hipertensi kronis tanpa disertai komplikasi tambahan, persalinan umumnya terjadi pada waktunya.


Menyusui


Menyusui sebaiknya tetap dilakukan oleh wanita dengan hipertensi, termasuk yang memerlukan obat. Meskipun sebagian obat antihipertensi dapat dideteksi pada air susu ibu (ASI), namun umumnya konsentrasinya jauh lebih rendah dibandingkan konsentrasinya pada plasma ibu. American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa sebagian besar antihipertensi termasuk ACE inhibitor kompatibel/cocok untuk wanita yang sedang menyusui. Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada mencatat bahwa penggunaan nifedipi kerja panjang, labetalol, metildopa, kaptopril dan enalapril dapat diterima oleh wanita menyusui.


Kesimpulan dan Rekomendasi


Wanita dengan hipertensi kronis seperti dalam kasus ini harus diberi konseling untuk menggunakan kontrasepsi sampai ia menjalani evaluasi sebelum kehamilan, yang meliputi:
  • Penilaian kerusakan akhir organ-organ
  • Evaluasi penyebab hipertensi
  • Pencatatan riwayat medis
  • Pemeriksaan fisik
  • Pengujian laboratorium dan
  • Penyesuaian terapi antihipertensi
Jika penyebab hipertensi reversibel terdeteksi sebelum kehamilan maka harus segera diatasi sebelum kehamilan. Sebelum hamil, pasien harus mengganti ACE inhibitor dengan agen lain yang dianggap aman untuk wanita hamil seperti metildopa, labetalol atau nifedipin kerja panjang. Pasien juga disarankan untuk melakukan penurunan berat badan. Meskipun pedoman merekomendasikan penggunaan metildopa sebagai terapi lini pertama, namun dalam prakteknya labetalol lebih sering digunakan sebagai terapi lini pertama karena efek sampingnya yang lebih ringan. 

Pasien harus senantiasa didampingi selama kehamilannya. Karena dia memiliki riwayat 5 tahun hipertensi maka beresiko mengalami preeklamsia. Tekanan darah sebaiknya berada pada kisaran 130/80 hingga 150/100 mm Hg.







ENZIM




Enzim merupakan sebuah bentuk molekul protein yang sangat spesifik. Kekhususan molekul ini akibat adanya aktivitas katalitik yang dihasilkannya. Enzim merupakan katalisator biologis yang memiliki potensi aktivitas katalitik sangat besar, dengan spesifisitas yang tinggi tergantung pada substratnya. Dalam aktivitas katalitiknya, enzim mempercepat berlangsungnya suatu reaksi kimiawi dalam tubuh tanpa menghasilkan produk sampingan. Molekul ini dapat bekerja dengan baik pada larutan encer dengan kondisi pH normal.

Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim bekerja dengan sistematika yang sangat teratur, mengkatalisis ratusan reaksi tahap demi tahap yang sangat sistematis. Enzim mengkatalisis berbagai reaksi baik itu penguraian nutrien, penyimpanan dan pengubahan energi kimiawi, dan membuat sebuah mekromolekul dari prekursor-prekursor sederhana penyusunnya. 

Pada beberapa penyakit, terutama gangguan genetik yang bersifat menurun, penyakit tersebut mungkin disebabkan akibat kekurangan atau tidak adanya satu atau beberapa enzim pada jaringan. Pada keadaan abnormal lainnya, aktivitas yang berlebihan dari enzim tertentu kadang dapat dikontrol dengan obat-obatan tertentu yang bekerja dengan menghambat aktivitas katalitiknya. Selanjutnya, pengukuran aktivitas katalitik enzim tertentu pada plasma darah, sel darah merah atau jaringan diperlukan guna melakukan pemantauan terhadap suatu penyakit. Enzim telah menjadi molekul yang penting bukan saja pada dunia kesehatan, namun juga dalam industri kimiawi, pengolahan pangan dan pertanian. Bahkan dalam aktivitas sehari-hari di rumah tangga, enzim juga memainkan peranan penting.

Hingga saat ini terdapat sekitar 2000 jenis enzim yang telah diketahui sifat dan kekhususannya. 

Sejarah Penemuan Enzim


Penemuan enzim dimulai pada sekitar tahun 1800. Penelitian tersebut bermula dari pencernaan daging oleh sekresi lambung dan perubahan pati menjadi gula oleh air liur dan berbagai ekstrak tumbuhan. Selanjutnya, sejumlah katalis biologi diketahui bersifat enzimatik, ditemukan pada tahun 1850. Louis Pasteur menyimpulkan bahwa fermentasi gula menjadi alkohol dikatalisis oleh "fermen". Fermen kemudian dinamakan enzim ("didalam ragi") yang tidak dapat dipisahkan dari struktur sel ragi hidup. Pendapat ini bertahan hingga bertahun-tahun. Hingga pada tahun 1897 Eduard Buchner berhasil mengekstrak suatu bentuk sel aktif dari sel ragi, yaitu serangkaian enzim yang mengkatalisis fermentasi gula menjadi alkohol. Penemuan ini membuktikan bahwa enzim yang mengkatalisis lintas metabolik utama penghasil energi tetap berfungsi jika dipindahkan dari struktur sel hidup. Penemuan ini telah mendorong para ahli untuk lebih aktif mengekstrak berbagai jenis enzim.

Pada awal abad 20, Emil Fischer melakukan sebuah penelitian yang sistematis mengenai spesifisitas enzim. Namun baru pada tahun 1926, enzim dapat diisolasi dalam bentuk kristal. Enzim yang pertama kali diisolasi tersebut adalah urease yang diperoleh dari ekstrak kacang oleh James Summer di Universitas Cornell. Summer meneumukan bahwa kristal urease tersebut mempunyai sifat yang sama dengan protein.Oleh karena itu ia mengemukakan bahwa semua enzim adalah protein.

Hingga sekarang masih sangat banyak pertanyaan tentang enzim yang belum terjawab dengan baik. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan tersebut:

  • Mengapa protein diseleksi untuk menjadi katalisator sel?
  • Mengapa molekul enzim demikian besar dibandingkan dengan struktur substratnya?
  • Bagaimana asam amino yang dalam keadaan sendiri-sendiri tidak dapat mempercepat reaksi kimia, tetapi ketika bergabung menurut enzim dapat menghasilkan aktivitas katalitik yang demikian ampuh?
  • Bagaimanakah kerja enzim diatur?

Enzim Sebagai Protein


Semua enzim murni yang diamati hingga saat ini adalah protein. Aktivitas katalitiknya bergantung pada integritas strukturnya sebagai protein. Sebagai contoh, jika enzim dididihkan dengan asam kuat atau diinkubasi dengan tripsin, yaitu suatu perlakuan untuk memotong rantai polipeptida, maka aktivitas katalitiknya akan hancur. Hal tersebut menunjukan bahwa kerangka primer protein dari enzim dierlukan dalam aktivitas katalitiknya. Demikian pula perlakuan panas, pH yang menyimpang dari kondisi normal, atau perlakuan yang merusak molekul protein lainnya juga akan menghilangkan aktivitas katalitik enzim tersebut. Jadi struktur primer, sekunder dan tersier protein dari enzim penting dalam aktivitas katalitiknya.

Seperti halnya molekul protein, enzim mempunyai berat molekul yang berkisar 12000 hingga 1 juta. Karena itu enzim berukuran sangat besar. Beberapa enzim hanya mengandung polipeptida, namun ada juga enzim lain yang memerlukan komponen kimia lain sebagai kofaktor. Kofaktor ini dapat berupa molekul anorganik atau pun molekul organik kompleks yang disebut koenzim. Beberapa enzim memerlukan koenzim dengan satu atau lebih ion logam dalam aktivitas katalitiknya. Pada beberapa enzim, koenzim atau ion logam hanya terikat secara lemah atau sementara waktu pada protein, tetapi ada juga enzim yang mengikat kofaktor secara kuat dan permanen yang dalam hal ini kofaktor tersebut disebut sebagai gugus prostetik. Enzim yang strukturnya sempurna dan aktif mengkatalisis bersama koenzim dan gugus logamnya disebut holoenzim. Koenzim dan ion logam bersifat stabil terhadap pemanasan, sedangkan bagian protein yang pada enzim tersebut disebut apoenzim akan terdenaturasi saat pemanasan.

Beberapa ion logam pada enzim:
  1. Fe2+ atau Fe3+ pada enzim oksidase sitokrom, katalase, dan peroksidase 
  2. Cu2+ pada enzim oksidase sitokrom
  3. Mg2+ pada enzim heksokinase dan 6-fosfatase glukosa
  4. Mn2+ pada enzim arginase
  5. K+ pada enzim kinase piruvat (juga memerlukan Mg2+)
  6. Ni2+ pada enzim urease
  7. Mo pada enzim reduktase nitrat
  8. Se pada enzim peroksidase glutation
  9. Zn2+  pada enzim polimerase DNA, anhidrase karbonik dan dehidrogenase alkohol
Beberapa koenzim yang berfungsi sebagai pembawa sementara atom spesifik atau gugus fungsional:
  1. Tiamin pirofosfat berfungsi memindahkan gugus aldehide
  2. Flavin Adenin dinukleotida memindahkan atom hidrogen
  3. Nikotinamida adenin dinukleotida memindahkan ion hidrida (H-)
  4. Koenzim A memindahkan gugus asil
  5. Piridoksal fosfat memindahkan gugus amino
  6. 5-deoksiadenosiklobalamin (koenzim B12) memindahkan gugus H dan gugus alkil
  7. Biositin memindahkan CO2
  8. Tetrahidrofolat memindahkan gugus karbon lainnya


Klasifikasi Enzim


Enzim diklasifikasikan berdasarkan reaksi yang dikatalisisnya. Klasifikasi enzim secara internasional adalah sebagai berikut:
  1. Oksidoreduktase mengkatalisis pemindahan elektron
  2. Transferase mengkatalisis reaksi pemindahan gugus fungsional
  3. Hidrolase mengkatalisis reaksi hidrolisis (pemindahan gugus fungsional ke air)
  4. Liase mengkatalisis penambahan gugus ke ikatan ganda atau sebaliknya
  5. Isomerase mengkatalisis pemindahan gugus didalam molekul, menghasilkan bentuk isomer
  6. Ligase mengkatalisis pembentukan ikatan C-C, C-S, C-O, dan C-N oleh reaksi kondensasi yang berkaitan dengan penguraian ATP
Enzim adalah katalisator sejati. Enzim meningkatkan kecepatan reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasinya. 













Rabu, 28 November 2012

STUDI KASUS; RUPTURE UTERI




PRESENTASI KASUS

Seorang wanita berusia 27 tahun dengan gravida 3, para 2, dirawat di rumah sakit Ethiopia karena nyeri perut berat selama persalinannya, dengan penghentian kontraksi. 
Kondisi kesehatan pasien baik. Pasien juga menerima perawatan kehamilan normal (4 kali kunjungan) disebuah pusat kesehatan didekat rumah sakit ini selama kehamilan, yang dimulai pada usia 20 minggu kehamilan. Dia memiliki riwayat kelahiran pervaginam 5 tahun yang lalu dengan bobot badan lahir bayi sebesar 2800 gram, dan 3 tahun yang lalu pasien ini mengalami persalinan dengan bayi meninggal dunia, penyebab kematian bayi dan berat lahir bayi tidak diketahui, otopsi tidak dilakukan. Ultrasonografi (USG) selama kehamilan ini belum dilakukan. Semua kehamilan berasal dari ayah yang sama. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit atau prosedur pembedahan. Pasien juga tidak melakukan sirkumsisi. Pasien tinggal didaerah pedesaan terpencil di Ethiopia Utara dan tinggal bersama suami dan anak-anaknya.

Pada beberapa hari sebelum masuk di rumah sakit, diusia kehamilan yang telah mencukupi untuk melahirkan, persalinan spontan dimulai dirumahnya dengan dibantu oleh seorang dukun beranak. Sekitar 24 jam sebelum masuk rumah sakit, dia mulai aktif mendorong/mengedan. Sekitar 3 jam sebelum masuk rumah sakit terjadi perdarahan pervagina secara tiba-tiba yang disertai nyeri yang parah dan diikuti dengan penghentian kontraksi yang progresif. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit dengan hanya ditemani suaminya setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Pasien dibawa ke rumah sakit Ayder, sebuah rumah sakit pendidikan untuk College of Health Sciences at Mekelle University in Mekelle, Ethiopia.

Pada pemeriksaan awal, pasien dinyatakan sadar dengan kondisi pucat dan lemah. Tekanan darah 60/30 mm Hg dengan denyut nadi 112 denyut permenit dan lemah. Membran mukosa kering dan konjungtiva putih. Perut buncit tidak teratur. Pada bagian perut yang teraba adanya janin, bunyi jantung janin tidak terdengar, ada pergeseran perut kusam, dan adanya sensasi perut. Hematokrit 12%. Cairan infus diserap dengan cepat.  Setelah 30 menit kedatangan pasien dilakukan sebuah prosedur.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS


Dr. Birhanu Sendek Getahun: seorang wanita yang awalnya sehat memiliki onset sakit perut mendadak, perdarahan vagina dan penghentian kontraksi setelah 24 jam mendorong aktif. Kondisi emergensi terjadi di rumah, tanpa adanya tenaga medis yang membantu. Mencapai rumah sakit terdekat setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan tanpa adanya dukungan medis. 

Differensial diagnosis untuk kasus ini berupa nyeri abdomen yang parah selama persalinan termasuk nyeri yang disebabkan oleh faktor yang berhubungan dengan kehamilan dan tidak berhubungan dengan kehamilan. Setiap peristiwa nyeri akut yang terjadi selama kehamilan dapat dikelompokan menjadi:
Disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan
  • korioamnionitis
  • solusio plasenta
  • rusaknya gravida uterus
Disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan kehamilan
  • ginekologis; torsi kista ovarium, pecahnya kista ovarium
  • nonginekologis; strangulasi hernia, obstruksi usus, kolik ginjal, apendiksitis akut.
Dalam hal ini nyeri perut akut yang berhubungan dengan terhentinya kontraksi, maka kemungkinan nyeri akut tersebut berhubungan dengan kehamilan.

Korioamnionitis
Penyebab ini merupakan penyebab yang paling umum dan paling mungkin. Infeksi cairan ketuban dapat mengakibatkan endomyometritis, dengan pelembutan uterus dan nyeri. Korioamnionitis merupakan gangguan yang relatif umum pada kehamilan. Wanita dengan perpanjangan kala pembukaan (prolonged of labour) dan ketuban pecah dini yang telah mengalami pemeriksaan panggul sering beresiko mengalami infeksi cairan ketuban dan pasien ini mengalami perpanjangan kala pembukaan dan telah mendorong (mengedan) selama 24 jam. Dalam hal ini tidak diketahui apakah ketuban telah pecah serta apakah telah dilakukan pemeriksaan panggul atau belum. Demikian pula tidak diketahui kemungkinan adanya riwayat demam dan apakah pasien mengalami keputihan berbau busuk atau tidak. Namun lebih lanjut, tanpa mengesampingkan kemungkinan korioamnionitis, adanya eksaserbasi akut nyeri abdomen dengan penghentian kontraksi sangat tidak mungkin hadir dalam gangguan ini.

Solusio Plasenta
Solusio plasenta yang parah dapat menyebabkan eksaserbasi nyeri perut akut selama persalinan dan perdarahan vagina berat yang diikuti dengan syok. Selain itu kematian janin mendadak juga dapat terjadi jika solusio plasenta total terjadi. Dengan kondisi yang terjadi pada pasien, diagnosis ini layak dipertimbangkan. 

Solusio plasenta terjadi ketika seluruh atau sebagian plasenta terdorong dari dinding endometrium oleh darah arteri ibu. Perfusi plasenta menghilang secara mendadak sehingga mengakibatkan kematian janin dan perdarahan bagi sang ibu. Ada banyak faktor pada ibu hamil yang berhubungan dengan kasus ini, seperti:
  • Hipertensi
  • Trauma
  • Paparan asap rokok
  • Konsumsi alkohol
  • Penggunaan kokain
  • Riwayat solusio plasenta sebelumnya
  • Multigraviditas
  • Dan usia kehamilan 
selain itu, sering kali solusio plasenta ini disebabkan oleh sebab-sebab yang tidak diketahui (idiopatik).

Pada kasus ini, pada pemeriksaan abdomen teridentifikasi bagian yang teraba janin dan adanya bukti perdarahan peritoneal. Temuan ini menunjukan adanya penyebab yang berbeda, dan diduga adanya pecah rahim.

Pecah Uterus (Ruptur Uteri)
Pecahnya gravida uterus melewati semua ketebalan miometrium. Hal ini disebabkan oleh pembukaan dimana janin dan plasenta intraperitoneal diekstrusi dengan berakhirnya kontraksi uterus. Pemisahan lengkap atau sebagian rahim dari serviks atau cairan myometrium atau pengeluaran isi kandungan menyebabkan terhentinya kontraksi. Pecah uterus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Berdasarkan penyebabnya: spontan atau trauma
  2. Berdasarkan luasnya ruptur: komplit atau tak komplit
  3. Berdasarkan situs anatominya; anterior melintang, lateral kiri, lateral kanan, fundal, atau kombinasi
  4. Berdasarkan riwayat uterus; sebelumnya kelahiran SC, pembedahan uterus sebelumnya, atau tempat Cervical cerclage
  5. Berdasarkan hubungannya dengan persalinan; ante partum, intra partum atau post partum
Pecah uterus (ruptur uteri) merupakan kasus yang jarang terjadi dinegara-negara maju, namun sangat sering terjadi dinegara-negara miskin. Rupture uteri merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan janin yang umum dinegara-negara terbelakang. Prevalensi pecah uterus adalah sekitar 1 kasus per 4800 kasus persalinan dinegara maju dan 1 dari 325 kasus persalinan dinegara tertinggal (termasuk Ethiopia), dan 1 dari 56 kasus persalinan pada daerah-daerah yang sangat kekurangan sumber daya kesehatan seperti pada beberapa daerah di Ethiopia.

Sebab-sebab terjadinya Pecah Uterus
  1. Trauma. Trauma ini akan sering menyebabkan pecah uterus apabila rahim berparut. Luka uterus dapat terjadi karena cesarean section, myomektomi atau metroplasties. Pecah uterus traumatik dapat terjadi selama penggunaan obat uterotonika, persalinan dengan alat bantu atau prosedur obstetri lainnya. Pecah uterus spontan dapat terjadi tanpa persalinan, namun lebih sering merupakan komplikasi persalinan.
  2. Pada daerah dengan perawatan kebidanan yang terbatas, kasus pecah uterus dapat terjadi pada sekitar 75% kasus. Pecah uterus spontan dapat terjadi pada uterus tanpa parut sebagai konsekuensi perpanjangan kala persalinan. Pecahnya uterus ini dapat disebabkan oleh disproporsi cephalopelvic, letak sungsang, malpresentasi dan malformasi kongenital (misal janin asites atau kembar siam)
  3. Pernikahan dini dan kehamilan pada remaja yang belum sepenuhnya matang medis, kurang gizi dan praktek persalinan tradisional yang membahayakan merupakan faktor lain yang dapat meningkatkan resiko komplikasi kehamilan termasuk pecah uterus.
Presentasi Klinis
  1. Nyeri abdomen yang tajam disertai dengan berhentinya kontraksi
  2. Hilangnya dorongan untuk mengedan dan perdarahan pervagina
  3. Biasanya syok dengan takikardia, takipnea, dehidrasi, demam dan kebingungan akibatnya banyaknya kehilangan darah
  4. Pada pemeriksaan perut, janin teraba, area kelembutan, tidak terdengar detak jantung janin dan tanda-tanda pengumpulan cairan
  5. Pada pemeriksaan vagina terlihat adanya dilatasi serviks dengan bukti disproporsi cephalopelvic.
Situs yang paling umum dari pecah uterus spontan adalah dengan segmen anterior melintang rendah diikuti dengan segmen lateral kiri.

Manajemen dan Pencegahan
Manajemen pecah uterus dimulai dengan pemberian cairan kristaloid, transfusi darah intravena, dekompresi lambung dengan penyisipan tabung nasogastrik, kateterisasi urinasi, dan pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Laparatomi adalah perawatan standar untuk semua kasus pecah uterus dan kasus-kasus dimana ada kekhawatiran klinis tentang pecahnya uterus karena adanya sakit rahim yang ekstrim, kontraksi tetanus, dan sejarah perpanjangan persalinan. Keputusan manajemen definitif dibuat atas dasar keinginan pasien dengan mempertimbangkan kesburan dimasa depan, durasi ruptur, dan ada tidaknya komplikasi seperti infeksi. Dengan demikian manajemen dapat berkisar seputar perbaikan dengan atau tanpa ligasi tuba dengan histerektomi abdominal total. Resiko atonia uteri persisten adalah faktor utama dalam keputusan tentang apakah akan melanjutkan ke histerektomi atau tidak.

Manajemen pasca operasi dalam kasus ini sama rumitnya dengan prosedur operasi itu sendiri. Tindakan pasca operasi meliputi transfusi, pengistirahatan kandung kemih, perawatan luka dan pemberian antibiotik. Morbiditas dan mortalitas pasca operasi tetap tinggi. Setelah perbaikan, resiko pecah uterus lain tetap mungkin terjadi, oleh karena itu dalam manajemen ini hampir selalu melibatkan ligasi bilateral tuba. Keputusan melakukan ligasi tuba ini harus dilakukan atas persetujuan pasien dan keluarga.

Pencegahan ruptur uterus spontan memerlukan perbaikan dalam pengelolaan persalinan misalnya:

  • Pengakuan kegagalan untuk kemajuan
  • Disproporsi cephalopelvic
  • Malpresentasi
yang diikuti tindakan operatif cepat. Ada tiga keterlambatan yang berakibat fatal dalam hal persalinan:
  1. Keterlambatan dalam mengenali masalah persalinan dan memutuskan untuk mencari bantuan medis
  2. Keterlambatan dalam mencapai fasilitas medis yang terampil
  3. Keterlambatan dalam memperoleh intervensi yang tepat pada saat kedatangan
Keterlambatan-keterlambatan tersebut sering mengakibatkan komplikasi obstetri, ruptur uteri, fistula obstetri, kematian ibu dan janin. Kaus ini mencontohkan adanya 2 dari 3 keterlambatan tersebut, yaitu keterlambatan dalam mencari pertolongan medis (pasien telah mengedan lebih dari 24 jam) dan keterlambatan dalam mencapai fasilitas medis (diperlukan perjalanan lebih dari 2 jam untuk mencapai rumah sakit). 

Komplikasi lain Dari Perpanjangan Masa Persalinan
Ruptur uteri yang terjadi pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh perpanjangan tahap kedua persalinan yang juga beresiko mengakibatkan terjadinya fistula, yang merupakan komplikasi lain dari persalinan. Partus lama (perpanjangan masa persalinan) dipengaruhi oleh presentasi panggul, menyebabkan nekrosis tekanan jaringan panggul yang dapat menyebabkan abnormalitas antara vagina dan kandung kemih atau rektum yang dikenal dengan istilah fistula obstetri. Fistula obstetri terjadi pada sekitar 0,3-3% dari kasus komplikasi kahamilan dengan persalinan macet dan dapat terjadi bersama-sama dengan ruptur uteri. Diperkirakan sekitar 2 juta perempuan terutama dinegara-negara miskin mengalami fistula obstetri, dan kasus ini merupakan kasus yang jarang terjadi dinegara-negara maju.

Jika pasien ini bertahan, maka perlu dilakukan pemantauan kemungkinan berkembangnya fistula. Fistula vesikovaginal (suatu bagian antara kandung kemih dan vagina) merupakan bentuk paling umum dari fistula dengan kebocoran kemih yang terus-menerus yang biasanya dimulai pada hari ke-10 setelah melahirkan. 




Rabu, 21 November 2012

KAPTOPRIL



Kaptopril atau captopril adalah salah satu obat yang familiar dibanyak negara, termasuk Indonesia. Kaptopril ini digunakan secara luas di Indonesia, dan merupakan salah satu obat yang cukup banyak diresepkan oleh para dokter, baik dokter umum maupun spesialis penyakit dalam. Tulisan ini akan berusaha menyajikan semua informasi terkait dengan kaptopril dari berbagai aspek.

Kaptopril merupakan salah obat dari golongan Angiotensin-converting enzime (ACE) inhibitor atau obat yang bekerja dengan cara menghambat kerja dari enzim pengkonversi angiotensin. Kaptopril digunakaan secara luas dalam penanganan kasus hipertensi dan pada beberapa tipe gagal jantung kongestif. Kaptopril merupakan agen ACE inhibitor yang pertama kali dikembangkan dan dianggap sebagai terobosan baru yang baik karena mekanisme kerjanya yang terbilang revolusioner.

NAMA DAN STRUKTUR KIMIA


Kaptopril mempunyai nama sistematik berupa (2S)-1-[(2S)-2-methyl-3-sulfanylpropanoyl] pyrrolidine-2-carboxylic acid. Obat ini pertama kali dipasarkan dengan nama dagang Capoten yang diproduksi oleh Bristol-Myers Squib. Penggunaan kaptopril pada wanita hamil sangat tidak direkomendasikan karena obat ini masuk pregnancy category D. Struktur kimia obat ini adalah sebagai berikut:



Rumus Struktur Kaptopril

SEJARAH


Kaptoril awalnya dikembangkan oleh tiga orang peneliti yang bekerja untuk Bristol-Myers Squib sebuah perusahaan industri obat Amerika Serikat pada tahun 1975. Para peneliti tersebut adalah Miguel Ondetti, Bernard Rubin dan David Cushman. Squib kemudian mengajukan permohonan perlindungan paten Amerika Serikat pada bulan Februari 1976 dan mendapatkan persetujuan pada September 1977.

Pengembangan kaptopril telah mengawali keberhasilan konsep revolusioner dalam hal pengembangan obat yang berbasis desain struktur. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) telah dipelajari secara intensif sejak awal abad 20 dan menjadi sebuah sistem yang menjanjikan keberhasilan yang besar pada terapi hipertensi. Renin dan enzim pengkonversi angiotensin menjadi 2 target utama. Kaptopril menjadi simbol keberhasilan laboratorium Squib dalam pengembangan ACE inhibitor ini.

Penelitian mengenai kaptopril ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yaitu pada tahun 1967, dimana Kevin KF menemukan adanya konversi angiotensin I menjadi angiotensin II berlangsung didalam sirkulasi paru-paru dan bukannya didalam darah. Sementara itu Sergio Ferreira menemukan bahwa bradikinin menghilang dalam perjalanannya melalui sirkulasi paru-paru. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dan menghilangnya bradikinin diperkirakan dimediasi oleh enzim yang sama.

Tahun 1970 Sergio Ferreira menggunakan bradykinin potentiating factor (BPF) dan menemukan bukti bahwa konversi angiotensin I menjadi angiotensin II menjadi terhambat. BPF adalah sebuah peptida dalam bisa ular lancehead (Bothrops jararaca), yang merupakan produk penghambat konversi enzim. Kaptopril dikembangkan dari peptida tersebut dan ditemukan melalui  QSAR-based modification yang menunjukan bahwa rantai terminal sufhidril dari peptida tersebut memberikan potensi penghambatan ACE yang besar.

Kaptopril mendapat persetujuan FDA pada tanggal 6 April 1981. Dan obat ini menjadi obat generik di Amerika Serikat sejak Februari 1996, dan saat itu eksklusivitas yang dimiliki Squib berakhir. Pengembangan kaptopril telah dianggap sebagai 'biopiracy' (komersialisasi obat tradisional), karena tidak adanya keuntungan yang mengalir kepada pribumi Brazil sebagai kelompok masyarakat yang pertama kali memanfaatkan penggunaan bisa ular tersebut untuk pengobatan.

SINTESIS


Sintesis kaptopril secara kimia dengan memanfaatkan  L-proline dan (2S)-3-acetylthio-2-methylpropanoyl chloride pada kondisi basa (NaOH), yang kemudian diikuti dengan amiolisis dari kelompok asetil yang kemudian membuka masker tiol bebas. 


Sintesis Kaptopril

KEGUNAAN


Kaptopril dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasi dengan agen antihipertensi lainnya dalam pengelolaan hiperetensi. Karena kaptopril dapat menimbulkan efek samping yang serius (misalnya netropenia dan agranulositosis) terutama bila diberikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (terutama bila disertai dengan penyakit vaskuler kolagen) atau pasien yang menerima terapi imunosupresif, obat ini awalnya disiapkan untuk pasien dengan hipertensi (biasanya parah) yang tidak dapat tertangani dengan baik pada pemberian dosis terapi maksimal agen antihipertensi lainnya dalam regimen kombinasi (biasanya diuretik, β-bloker dan vasodilator) atau ketika regimen tersebut memberikan efek samping yang tak tertahankan. Namun, pengalaman klinis dengan dosis rendah (150 mg/hari) telah menunjukan bahwa kaptopril memiliki rasio manfaat-resiko yang menguntungkan dalam pengelolaan hipertensi ringan hingga sedang dan obat ini dapat digunakan sebagai terapi awal pasien dengan fungsi ginjal yang normal, dengan resiko efek samping hematologi yang relatif rendah. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, terutama dengan penyakit vaskuler kolagen, kaptopril hanya boleh diberikan jika antihipertensi lain menghasilkan efek samping yang tak tertahankan atau kombinasi obat lainnya tidak memberikan respon yang memadai.

The Joint National Committee (JNC 7) on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hypertension di Amerika serikat merekomendasikan tiazid sebagai terapi awal hipertensi pada kebanyakan pasien yang tanpa disertai adanya komplikasi penyakit lain. Dalam hal ini tiazid dapat digunakan sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan agen lainnya. Tiazid dapat dikombinasikan dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, beta-bloker atau pun pemblok kanal kalsium. Penelitian telah menunjukan bahwa penggunaan tiazid dan diuretik lainnya telah terbukti memberikan manfaat yang tak tertandingi dalam pencegahan komplikasi kardiovaskuler dari hipertensi yang murah dan dapat ditoleransi dengan baik.

Pertimbangan dalam Memulai Terapi Hipertensi
Terapi obat umumnya dicadangkan untuk pasien hipertensi yang tidak memberikan respon memadai terhadap terapi non-obat. Terapi non-obat ini diantaranya:
  1. Modifikasi gaya hidup (termasuk diet dan pembatasan asupan natrium)
  2. Aktivitas fisik/olahraga secara teratur
  3. Moderasi konsumsi alkohol
  4. Penurunan berat badan
Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan agen antihipertensi untuk setiap pasien yang memiliki tekanan sistolik/diastolik 140/90 mm Hg yang gagal menurunkan tekanan darahnya dengan modifikasi gaya hidup. Selain itu awal obat antihipertensi ini umumnya dianjurkan pada pasien yang juga menderita diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau gagal jantung yang memiliki tekanan darah sistolik 130 mg Hg atau lebih atau dengan tekanan darah diastolik 80 mm Hg atau lebih.

Terapi obat antihipertensi umumnya harus dimulai secara bertahap dengan menilai tekanan darah mingguan. Penambahan jenis obat kedua dimulai jika monoterapi dengan dosis yang cukup tidak mampu memberikan efek penurunan tekanan darah yang optimal. Inisiasi kombinasi antihipertensi dapat dimulai pada pasien dengan tekanan sistolik/diastolik lebih dari 20/10 mm Hg dari nilai yang diharapkan.

Terapi Obat Awal
Untuk hipertensi stadium 1 (tekanan sistolik 140-159 mm Hg atau tekanan diastolik 90-99 mm Hg) tanpa disertai adanya penyakit kardiovaskuler atau faktor-faktor resiko lainnya, sebagian besar ahli menyarankan penggunaan dosis rendah tiazid sebagai obat pilihan awal pada kelompok pasien ini.

Untuk pasien hipertensi stadium 2 (tekanan sistolik 160 mm Hg atau lebih atau dengan tekanan diastolik 100 mm Hg atau lebih) tanpa disertai adanya penyakit kardiovaskuler atau faktor-faktor resiko lainnya, para ahli menyarankan penggunaan kombinasi 2 antihipertensi (biasanya diuretik tiazid dengan ACE inhibitor, sebuah antagonis reseptor angiotensin II, β-bloker, atau pemblok kanal kalsium). Karena adanya kemungkinan resiko hipotensi ortostatik, maka penggunaan kombinasi antihipertensi harus dimulai secara sangat berhati-hati terutama pada kelompok pasien dengan diabetes melitus, geriatrik dan disfungsi otonom.

Terapi Pemeliharaan
Pasien yang gagal memberikan respon yang memadai terhadap terapi awal (1-3 bulan uji coba) dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, diuretik, β-bloker dan atau pemblok kanal kalsium, dosis dari obat awal dapat ditingkatkan (dosis sebaiknya kurang dari dosis maksimum yang masih dapat ditoleransi dengan baik), obat lain dapat diganti, atau ditambahkan obat dari kelas lainnya. Sedangkan pasien yang gagal merespon uji coba dengan pemberian 2 obat harus diobati dengan terapi gabungan. Kebanyakan pasien hipertensi akan memerlukan 2 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai tujuan tekanan sistolik/diastolik kurang dari 140/90 mm Hg atau kurang dari 130/80 mm Hg pada pasien yang juga disertai dengan diabetes melitus, gagal ginjal kronis atau gagal jantung.

Dengan demikian kaptopril dapat digunakan sebagai terapi inisiasi monoterapi, atau sebagai obat lini kedua menggantikan obat lain yang tidak memberikan efek memadai atau tidak dapat ditoleransi dengan baik, atau sebagai komponen suatu regimen dalam kombinasi. Bila sebagai monoterapi kaptopril tidak cukup mampu menurunkan tekanan darah, maka penambahan diuretik tiazid umumnya mampu memberikan tambahan pada penurunan darah, dan dapat dilakukan pengurangan dosis salah satu obat sehingga mengurangi resiko efek samping. Pada pasien hipertensi ringan-sedang (stadium 1 dan 2) tampaknya kombinasi diuretik tiazid dan kaptopril dapat ditoleransi dengan baik dibandingkan bila diuretik tiazid dikombinasikan dengan metildopa atau propranolol.

Kaptopril mungkin juga efektif dalam pengelolaan hipertensi yang resisten terhadap obat lain. Kadang monoterapi kaptopril juga efektif pada penanganan hipertensi berat. Pada pasien yang tekanan darahnya tidak dapat terkontrol dengan menggunakan kaptopril dan diuretik, penambahan β-bloker (misal propranolol) dapat dibenarkan, namun ada laporan yang divergen tentang kombinasi ini, sehingga masih diperlukan studi lebih lanjut tentang khasiat dan keamanannya. Pada pasien angina unstabil atau infark miokard yang disertai hipertensi yang tak terkendali dengan nitrogliserin dan β-bloker, maka kaptopril ditambahkan ke dalam regimen ini.

Toleransi terhadap efek hipotensi kaptopril pada penggunaan jangka panjang tampaknya tak terjadi, terutama bila obat digunakan bersamaan dengan diuretik. Seperti halnya pada penggunaan agen antihipertensi lainnya, penggunaan kaptopril tidak bersifat kuratif, penarikan/penghentian pengobatan dapat menyebabkan level darah kembali kekeadaan sebelum pengobatan. Penghentian penggunaan kaptopril secara mendadak menyebabkan kondisi hipertensi kembali secara bertahap.

Terapi Antihipertensi untuk Pasien dengan Penyakit Kardiovaskuler atau Faktor-faktor Resiko Lainnya
Penggunaan obat antihipertensi pada pasien yang juga menderita penyakit kardiovaskuler harus sangat berhati-hati dan bersifat individual dengan memperhatikan obat-obat lain yang digunakan secara bersamaan, efek samping yang dapat ditoleransi dan tingkat tekanan darah yang diinginkan.

Penyakit Jantung Iskemik

Banyak ahli yang menyatakan bahwa pasien dengan hipertensi dan angina stabil, β-bloker menjadi obat antihipertensi pilihan pertama dengan pemblok kanal kalsium kerja panjang sebagai alternatifnya. Pada pasien dengan sindrom koroner akut (misalnya angina unstabil dan infark miokard) terapi antihipertensi yang utama terdiri dari β-bloker dan ACE inhibitor. Sedangkan pada pasien dengan infark postmiokard penggunaan ACE inhibitor, β-bloker dan antagonis aldosteron (misal eplerenone dan spironolakton) dianggap paling menguntungkan.

Gagal Jantung

ACE inhibitor digunakan untuk mencegah kekambuhan gagal jantung serta mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan disfungsi sistolik yang mengikuti infark miokard.
Beberapa ahli menyarankan pasien hipertensi dengan gagal jantung (disfungsi ventrikular diastolik atau sistolik) sebaiknya menerima terapi ACE inhibitor atau β-bloker jika disfungsi ventrikular tersebut tanpa disertai gejala, sementara jika disfungsi ventrikular tersebut disertai dengan adanya gejala atau berada pada stadium akhir pasien dapat menerima ACE inhibitor, β-bloker, antagonis reseptor angiotensin II, dan atau antagonis aldosteron dalam kombinasi dengan loop diuretik.

Diabetes Melitus

Kehadiran diabetes melitus pada pasien hipertensi meningkatkan resiko penyakit jantung koroner 2 kali lipat pada pria dan 4 kali lipat pada wanita, dan studi menunjukan bahwa resiko penyakit kardiovaskuler sekitar sekitar 2 kali lebih tinggi pada pasien hipertensi yang disertai diabetes melitus dibandingan dengan pasien hipertensi yang tanpa disertai diabetes melitus. Hasil beberapa penelitian menunjukan bahwa pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, kontrol intensif tekanan darah (tekanan sistolik kurang dari 150 mm Hg dan diastolik kurang dari 85 mm Hg) dengan menggunakan ACE inhibitor (misal: kaptopril) atau dengan β-bloker (misal: atenolol) terbukti memberikan manfaat berupa pengurangan perkembangan komplikasi diabetes melitus (misal: kematian, stroke, gagal jantung, dan penyakit mikrovaskuler).

Penelitian terbaru juga menunjukan manfaat ACE inhibitor dalam mengurangi resiko perkembangan penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler pada pasien hipertensi yang disertai diabetes melitus baik tipe 1 maupun 2. Berdasarkan penelitian ini dan tentu saja penelitian-penelitian lainya, kebanyakan ahli merekomendasikan penggunaan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, β-bloker, dan diuretik thiazid, dan pemblok kanal kalsium sebagai terapi awal pasien diabetes melitus dengan hipertensiThe American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa jika ACE inhibitor tidak dapat ditoleransi dengan baik maka antagonis reseptor angiotensin II dapat digunakan sebagai pilihan berikutnya. Pasien diabetes melitus dengan mikroalbuminuri atau nefropati jelas tidak mampu mentoleransi ACE inhibitor dan untuk itu pemblok kanal kalsium nondihidropiridon atau β-bloker dapat dipertimbangkan penggunaannya.

Insufisiensi Ginjal Kronis

Pasien hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal yang kronis (GFR kurang dari 60 mL/menit per 1,73 m2 atau albuminuria melebihi 300 mg/hari) biasanya harus menerima 3 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (kurang dari 130/80 mm Hg). ACE inhibitor dan antagonis reseptor angiotensin II telah ditetapkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal diabetik maupun nondiabetik dan sebagai upaya untuk pencegahan nefropati.

Sedangkan pada pasien dengan penurunan fungsi gnjal yang parah (GFR kurang dari 30 mL/menit per 1,73 m2) umumnya memerlukan peningkatan dosis loop diuretik yang diberikan dalam kombinasi dengan antihipertensi lainnya.

Penyakit Serebrovaskuler
Meskipun resiko dan manfaat terapi antihipertensi agresif pada pasien dengan stroke akut belum dijelaskan, kontrol tekanan darah pada tingkat menengah (sekitar 160/100 mm Hg) dianggap benar sampai kondisi pasien membaik dan stabil. Pemberian ACE inhibitor yang dikombinasi dengan diuretik thiazid telah terbukti menurunkan angka kekambuhan stroke.

Pertimbangan-pertimbangan Khusus pada Terapi Antihipertensi

  • Ras. Secara umum, orang kulit hitam akan cenderung merespon dengan lebih baik monoterapi dengan diuretik atau pemblok kanal kalsium dibandingkan monoterapi dengan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II atau β-bloker. Namun respon tersebut umumnya berkurang ketika diuretik dikombinasikan dengan antihipertensi lainnya. Selain itu, para ahli menyatakan bahwa ketika penggunaan ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II dan β-bloker diindikasikan untuk pada pasien hipertensi dengan memperhatikan faktor-faktor resiko kardiovaskuler maka indikasi ini harus diterapkan secara sama tanpa memperhatikan faktor ras.
  • Hipertensi renovaskuler atau ganas. Kaptopril terbukti efektif untuk terapi hipertensi renovaskuler atau ganas, dan pada beberapa pasien terkait pula dengan menejemen hipertensi yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis.
  • Krisis hipertensi. Kaptopril juga dianggap obat pilihan yang tepat yang secara cepat menurunkan tekanan darah pada pasien dengan krisis hipertensi yang sifatnya urgency atau darurat. Karena terapi oral untuk krisis hipertensi dapat mengakibatkan hipotensi yang parah dan efek kardiovaskuler yang merugikan (misal: infark atau iskemia miokardiak, hipoperfusi serebrovaskuler atau stroke) maka penggunaan kaptopril dalam hal ini harus sangat berhati-hati. Pengalaman penggunaan kaptopril memang tidak sebanyak nifedipin (nifedipin tidak boleh lagi digunakan dalam kasus ini). Hipertensi darurat adalah kondisi hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. Kondisi ini merupakan kondisi yang lebih parah dari hipertensi berat. 












Sabtu, 17 November 2012

STIMULASI OTAK BAGI PENDERITA PARKINSON




Seorang pria berusia 72 tahun dengan riwayat 12 tahun penyakit Parkinson mengalami penurunan respon terhadap pengobatan yang diterimanya dan diskinesia (gangguan gerakan sukarela seperti kontraksi otot yang terus-menerus tanpa kendali). Selama beberapa tahun terakhir dia telah menerima beberapa rejimen obat untuk Parkinson termasuk inhibitor monoamin oksidase, amantadin, agonis dopamin dan karbidopa-levodopa. Dia menyatakan bahwa dengan rejimen yang sekarang ini diterima yaitu 1,5 tablet karbidopa-levodopa 25/100 setiap 2 jam, dia mengalami pengurangan yang nyata pada gejala tremor, kekakuan, bradikinesia dan perbaikan yang substansial pada kemampuannya untuk berjalan. Meskipun dalam hal ini dia memerlukan penyesuaian dosis dan interval pemberian obat. Selain itu pasien ini juga melaporkan adanya diskinesia bagian tubuh sebelah kanan yang parah selama 4 jam perhari. Sedangkan gejala pada bagian tubuh sebelah kiri relatif ringan dan tidak mengganggu aktivitas hariannya. Aktivitas kognisi sangat baik, pemeriksaan neurologis dinyatakan normal dan tidak memiliki gangguan medis lain selama hidupnya. Neurolog yang menangani pasien ini merujuknya pada seorang ahli bedah saraf untuk mempertimbangkan perlunya stimulasi otak-mendalam.

PROBLEM KLINIS


Penyakit Parkinson biasanya berkembang pada kelompok usia 55-65 tahun dan 1-2% diantaranya terjadi pada usia diatas usia 60 tahun. Prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Manivestasi yang umum pada pergerakan tubuh diantaranya adalah:
  • Termor saat istirahat 
  • Suara yang melembut 
  • Tulisan tangan kecil (mikrografia)
  • Kekakuan (rigiditas)
  • Lambatnya gerakan (bradikinesia)
  • Langkah menyeret
  • Gangguan keseimbangan
Tremor saat istirahat merupakan gejala klasik dari penyakit Parkinson ini. Penyakit Parkinson juga menyebabkan terjadinya banyak manivestasi klinis lain yang bersifat nonmotorik seperti:
  • Gangguan mood (depresi, kecemasan dan apatis)
  • Gangguan kognisi (disfungsi lobus frontal, gangguan memori dan demensia)
  • Gangguan tidur (penyakit tidur dan apnea)
  • Disfungsi otonomik (disfungsi seksual, masalah pencernaan dan orthostasis)
Sepertiga dari pasien Parkinson akan berhenti bekerja dalam kurun waktu 1 tahun setelah diagnosa tersebut dinyatakan. Biaya obat dalam pengobatan Parkinson berkisar antara 1000-6000 USD perpasien pertahun. Sedangkan biaya perawatan berkisar antara 2000-20000 USD perpasien pertahun. Resiko kematian untuk setiap kasus gangguan kesehatan rata-rata meningkat dua kali lipat pada pasien dengan Parkinson. Rujukan pasien Parkinson ke neurologis telah mengurangi tingkat mortalitas, morbiditas dan penempatan pasien di panti-panti jompo.

PATOFISIOLOGI DAN EFEK TERAPI


Penyakit Parkinson adalah sindrom neurodegeneratif yang melibatkan banyak sirkuit saraf motorik dan nonmotorik di ganglia basal. Perekaman fisiologis pada manusia dan hewan menyebabkan banyak gangguan sinyal otak terhadap cahaya yang mendukung berkembangnya penyakit ini. Disfungsi pada loop talamokortikal motorik dan nonmotorik pada ganglia basal paralel maupun tersegregasi menghasilkan perubahan karakteristik pada tingkat penembakan neuron, pola penembakan, dan aktivitas sel otak.

Biasanya seorang penderita Parkinson mempunyai respon yang kuat terhadap satu atau beberapa obat. Namun setelah 5 tahun menjalani terapi obat tersebut, komplikasi pengobatan berkembang pada sebagian besar pasien. Komplikasi tersebut termasuk diskinesia dan fluktuasi "on-off" dari obat, dimana kadang secara tiba-tiba dan tak terduga kehilangan manfaat atas obat yang dikonsumsi menghilang yang ditandai dengan berkurangnya mobilitas, tremor, kekakuan dan manivestasi motorik dan nonmotorik lainnya. Beberapa gejala misalnya kesulitan bergerak, kesulitan bicara, kesulitan menelan dan kognisi dapat semakin resisten terhadap karbidopa-levodopa dan terapi obat lainnya. Pasien dengan gejala yang responsif terhadap levodopa merupakan kandidat yang potensial untuk stimulasi otak-dalam.

Stimulasi otak-dalam adalah teknik bedah dimana satu atau lebih elektroda melekat pada lead yang tertanam pada daerah tertentu diotak. Elektroda kemudian dihubungkan ke generator impuls yang memberikan rangsangan listrik ke jaringan otak untuk memodulasi atau mengganggu pola sinyal saraf pada wilayah yang ditargetkan. Dua situs tertentu diotak yang paling sering ditargetkan untuk stimulasi otak-dalam pada penderita Parkinson adalah inti subthalamus dan segmen internal globus pallidus. Keduanya merupakan inti ganglia basal yang mana banyak terjadi perubahan degeneratif pada pasien Parkinson ini.


Gambar 1. Implantasi Elektroda Stimulasi Otak-Dalam


Stimulasi otak-dalam bekerja pada sel dan serat yang terletak paling dekat dengan tempat ditanamnya elektroda. Dan pada banyak kasus menghambat sel-sel dan serat otak. Terapi ini mempengaruhi beberapa sirkuit talamokortal, jalur hilir dan struktur otak lainnya. Stimulasi otak-dalam mengubah laju pembakaran dan pola neuron individual pada ganglia basal. Listrik juga bertindak pada sinaps dan memicu astrosit untuk melepaskan gelombang kalsium yang kemudian mempromosikan rilis neurotransmiter lokal seperti adenosin dan glutamat. Akhirnya terapi ini akan meningkatkan aliran darah ke otak dan merangsang neurogenesis. Semua efek tersebut terjadi secara kumulatif diseluruh jaringan saraf yang besar dan meluas melampaui badan sel neuronal lokal dan akson yang terletak disekitar medan listrik. Dengan demikian dapat diketahui bahwa stimulasi otak-dalam bekerja pada medan listrik, molekul kimiawi otak dan berpengaruh pada jaringan otak lainnya. Namun masih belum jelas persis bagaimana pengaruh tersebut menyebabkan perubahan dalam gejala penyakit Parkinson, karena itu penerapan terapi ini lebih bersifat empiris.

Gambar 2. Efek Stimulasi Otak-dalam pada Jaringan Otak

BUKTI KLINIS


Telah ada 4 uji klinis terkontrol untuk menilai efektivitas terapi stimulasi otak-dalam ini. Tiga pengujian diantaranya membandingkan efektivitas stimulasi otak-dalam dengan terapi obat. Titik akhir pengujian dinilai dengan:
  1. Menilai kualitas hidup pasien dengan mengukur Parkinson’s Disease Questionnaire (PDQ-39; skor berkisar antara 0-100 dengan skor yang lebih tinggi menunjukan buruknya fungsi) 
  2. Keparahan gejala motorik selama pasien tidak mengkonsumsi obat yang dinilai dengan Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (UPDRS-III; skor 0-108 dengan skor lebih tinggi menunjukan keparahan gejala)
  3. Jumlah jam per hari yang terlewati tanpa diskinesia, dimana pasien/responden diminta untuk mengisi buku harian diskinesia
Pada bagian pertama pengujian yang dilakukan di Jerman dan Austria, 156 pasien penyakit Parkinson mengalami gejala motorik yang persisten meskipun telah menerima terapi obat. Pada bulan ke 6 pasien tersebut menjalani stimulasi otak-dalam dan mengalami perbaikan gejala dengan rata-rata skor PDQ-39 (31.8 vs. 40.2) dan UPDRS-III (28.3 vs. 46.0).

Pengujian berikutnya dilakukan dengan melibatkan 255 pasien di Amerika Serikat dengan waktu 6 bulan tindak lanjut, pasien menjalani stimulasi otak-dalam inti subthalamus dan globus internal pallidus memperoleh rata-rata 4,6 jam waktu "on" perhari dibandingkan 0 jam pada kelompok terapi medis.

APLIKASI KLINIS


Penggunaan stimulasi otak dalam telah disetujui penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA) sejak tahun 2002 sebagai terapi pendukung untuk mengurangi beberapa gejala penyakit Parkinson yang responsif terhadap levodopa namun tidak cukup dikendalikan dengan obat. Kebanyakan pemilihan terapi stimulasi ini didasarkan pada sifat gejala pada pasien dan kemungkinan respon terapi terhadap obat. Berikut daftar pasien Parkinson yang potensial terhadap terapi stimulasi otak-dalam adalah:
Kandidat utama
  • Pasien yang memberikan respon yang memadai terhadap terapi obat dopaminergik
  • Keberadaan fluktuasi on-off
  • Pengaruh kecacatan diskinesia terhadap kualitas hidup
  • Tremor yang resisten obat
  • Fungsi kognitif yang wajar
Kandidat Terbatas
  • Pasien dengan diskinesia parah dengan respon yang rendah terhadap dopaminergik
  • Adanya fluktuasi on-off dengan fungsi kognitif moderat
  • Adanya fluktuasi on-off dengan respon terhadap dopaminergik yang rendah
  • Pasien resisten terhadap obat tremor dengan disfungsi kognitif moderat
  • Pasien resisten terhadap obat tremor dengan respon yang rendah terhadap obat dopaminergik
Kandidat Lemah
  • Pasien dengan demensia yang parah
  • Pasien dengan disfungsi otonom yang parah
  • Pasien yang memberikan respon buruk terhadap terapi obat dopaminergik
  • Parkinsonisme atipikal (misal: degenerasi ganglionik kortikobasal, progressive supranuclear palsy, multiple system atrophy, dan dementia with Lewy bodies)
  • Penyakit kejiwaan tak stabil
  • Tak adanya perawat khusus
Biasanya gejala-gejala respon terhadap levodopa, tremor, fluktuasi on-off, dan diskinesia membaik dengan terapi stimulasi otak-dalam, sedangkan gangguan berjalan, keseimbangan, dan bicara cenderung meningkat atau bahkan memburuk. Pasien harus dipertimbangkan untuk menjalani terapi stimulasi otak-dalam hanya jika pasien tersebut menunjukan keberhasilan terapi saat diterapi dengan obat-obat parkinson (karbidopa-levodopa, agonis dopamin, inhibitor monoamin oksidase, dan amantadin)

Jika penyesuaian pengobatan tidak dapat mengontrol gejala Parkinson, maka skrining untuk dilakukannya terapi stimulasi otak-dalam perlu dilakukan. Skrining ini adalah sebuah proses multidisiplin yang melibatkan ahli saraf, ahli bedah saraf, neuropsikolog dan mungkin juga profesional kesehatan lainnya. Skrining ini dilakukan untuk menentukan profil resiko-manfaat dan pendekatan perawatannya.

Pendekatan standar untuk implantasi elektroda pada stimulasi otak-dalam memerlukan pencitraan otak yang detail sebelum prosedur dilakukan. Computed tomography (CT) atau  magnetic resonance imaging (MRI) dilakukan untuk menggambarkan target dan perangkat lunak komputer yang digunakan untuk menetapkan lokasi target melalui registrasi pada frame yang dipasang pada kepala atau penanda fiducial sebelum ditempatkan pada tengkorak.

Dalam kebanyakan kasus, anestesi umum tidak dilakukan selama implantasi elektroda. Obat parkinson dihentikan 12 jam sebelum prosedur, dan pasien tetap terjaga selama prosedur penilaian dan respon perilaku. Anestesi mungkin diperlukan untuk kasus-kasus tertentu misalnya pada anak-anak atau orang dewasa dengan tingkat kecemasan yang parah. CT Scan dan MRI selain berguna dalam menentukan wilayah target pemasangan elektroda juga berguna untuk menetapkan lintasan yang akan dipilih untuk menghindari pembuluh darah.

Sebuah lubang kecil pada tengkorak dibuat untuk menyisipkan mikroelektroda dan elektroda stimulasi otak-dalam quadripolar. Mikroelektroda dapat digunakan untuk mendapatkan rekaman elektrofisiologi yang dapat mengungkapkan karakteristik sinyal saraf pada wilayah target diotak. Selain itu, respon dari sinyal yang direkam dengan gerakan pasif anggota tubuh dapat mengonfirmasi hubungannya dengan fungsi motorik. Sebuah respon fisiologis berupa cahaya langsung yang diarahkan pada mata juga dapat membantu dalam menentukan lokasi saluran optik pada kasus dimana globus pallidus interna yang menjadi targetnya. Sekali tindakan stimulasi dilakukan, stimulasi terapeutik dapat diamati dengan menilai tanggapannya pada tremor, kekakuan, bradikinesia, serta menilai ambang yang menimbulkan efek samping.

Ketika lead stimulasi telah berada pada posisi yang tepat dan telah diuji, stimulasi tersebut kemudian dilekatkan pada tengkorak dengan perangkat fiksasi. Sebuah kabel penghubung menghubungkan lead stimulasi dan terowongan bawah kulit kepala dan leher menuju dinding dada anterior, dimana saku subkutan dibuat untuk menyisipkan generator impuls. Pada beberapa hal kabel penghubung dan generator impuls dilakukan sebagai prosedur yang terpisah dan dilakukan dalam kurun waktu 2-4 minggu setelah penyisipan elektroda. CT Scan atau MRI pascaoperasi atau luka bedah tertutup dilakukan untuk memastikan posisi akhir dari elektroda dapat diterima.

Stimulasi melalui penyisipan lead biasanya tertunda selama beberapa minggu setelah implantasi bedah yang memungkinkan resolusi edema otak disekitar elektroda. Pengaturan pulse-generator yang digunakan untuk stimulasi biasanya berfrekuensi tinggi (130-185 Hz) dengan lebar pulse 60-120 μsec  pada voltase mulai 2,0-5,0 V. Pengaturan tersebut sangat bervariasi antar pasien dan sering kali memerlukan penyesuaian stimulasi selama beberapa bulan. Dan bersamaan dengan itu pemberian obat dapat dikurangi, namun tentu saja hal ini tidak berlaku pada semua kasus. Durasi terapeutik dari terapi ini belum diketahui dengan jelas, namun diperkirakan pasien akan mengalami perbaikan selama 10 tahun.

Pada sejumlah kecil pasien, pasien dapat memilih terapi lesi (pallidotomy, thalamotomy, atau subthalamotomy) dan bukannya terapi stimulasi otak-dalam. Biaya, menajemen perangkat keras yang kompleks, resiko infeksi, dan masalah ketersediaan termasuk pertimbangan perjalanan menjadi faktor penting yang mendukung keputusan tidak dilakukanya terapi stimulasi otak-dalam dan beralih pada terapi lesi. Namun terapi lesi bilateral menunjukan berbagai resiko, sedangkan stimulasi otak-dalam memberikan keuntungan dalam hal programabilitas dan reversibilitas.

Biaya operasi stimulasi otak-dalam diperkirakan sekitar 28.000-50.000 USD dengan biaya tambahan sekitar 3000 USD sebagai biaya pemprograman dan penyesuaian.

Perangkat keras yang digunakan dalam terapi stimulasi otak-dalam biasanya tidak dibuang, kecuali pada kasus infeksi. Kegagalan terapi stimulasi otak-dalam ini biasanya disebabkan oleh:
  • Proses seleksi yang tidak tepat
  • Penempatan elektroda yang tidak tepat
  • Kurangnya perhatian pada perangkat pemprograman yang optimal
  • Pengobatan yang kurang memadai

EFEK SAMPING


Ada beberapa efek samping yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam hal terapi stimulasi otak-dalam ini. Efek-efek samping yang mungkin terjadi diantaranya:
  1. Infeksi. Efek samping ini merupakan efek samping yang paling mengkhawatirkan. Pada beberapa kasus infeksi memerlukan operasi lebih lanjut pada sekitar 15,2% kasus. Adanya infeksi ini mengharuskan pengambilan kembali perangkat keras yang telah dipasang dan terapi antibiotik sebelum dilakukan pemasangan perangkat penggantinya. 
  2. Perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial terjadi pada sekitar 5,0% dari semua pasien, dan 1% pasien mengalami defisit permanen yang berakibat kematian 
  3. Kejang pascaoperasi juga dilaporkan terjadi pada 2,4% pasien.
  4. Efek samping neurologis dan neuropsikologis terkait stimulasi otak-dalam ini juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus. Efek ini biasanya terkait dengan implantasi perangkat yang mungkin memerlukan relokasi elektroda dan pada beberapa kasus bersifat permanen. Efek neurologis ini termasuk penurunan kognitif, defisit memori, kesulitan bicara, disequilibrium, disfagia, serta gangguan motorik dan sensorik. Sedangkan efek samping emosional dan psikologis diantaranya mania, depresi, apatis, tertawa, menangis, panik, ketakutan, kecemasan dan hasrat bunuh diri. Sehingga dalam hal ini diperlukan pemeriksaan kemungkinan hasrat bunuh diri, impulsivitas (misal; perjudian, belanja secara impulsiv, hiperseksualitas) dan sindrom disregulasi dopamin (kecanduan terkait penggunaan dopamin) yang harus dilakukan sebelum dan sesudah prosedur operasi.


Jumat, 09 November 2012

HEPATITIS E



Hepatitis E adalah bentuk virus hepatitis kelima pada manusia yang telah diketahui keberadaannya. Virus ini mungkin merupakan penyebab paling umum dari penyakit hepatitis dan penyakit kuning (jaundice) diseluruh dunia. Namun di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, hepatitis E jarang ditemukan, demikian pula perannya sebagai penyebab hepatitis tidak nampak berarti. Penyakit hepatitis E mulai dikenal pada tahun 1980, dan pada saat itu dikenal sebagai hepatitis non-A non-B, yang menular dengan cara penularan menyerupai hepatitis A. Tiga tahun kemudian Mikhail Balayan memvisualisasikan virus hepatitis E (HEV) dengan menggunakan mikroskop elektron untuk memeriksa sampel tinjanya sendiri. 

Urutan RNA HEV lebih lanjut dikarakterisasi melalui tes pengembangan antibodi anti-HEV. Immunoassay sensitif enzim menunjukan bahwa antibodi anti-HEV umum ditemukan di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Kandungan antibodi yang tinggi dijumpai pada spesies mamalia terutama babi. Tahun 1997, strain HEV babi diidentifikasi dan diklasifikasikan sebagai genotip. 

Karakteristik HEV


HEV adalah virus kecil dengan inti RNA beruntai tunggal dengan panjang 7,2 kb dan berisi 3 bagian frame yang saling tumpang tindih (ORFs);
  1. ORF1 mengkodekan aktivitas enzimatik nonstruktural yang diperlukan untuk replikasi virus
  2. ORF2 kapsid, struktur virus yang mencakup epitop penetral
  3. ORF3 yang belum diketahui fungsinya
Struktur genom HEV unik dan mendefinisikan keluarga Heveviridae, yang merupakan anggota pertama yang diidentifikasi (genus hevevirus). HEV bereplikasi dalam sitoplasma dengan RNA subgemonik memproduksi protein kapsid.

Ada 4 genotip dari HEV yang dimasukan dalam 2 kelompok besar. Genotip 1 dan 2 adalah virus pada manusia yang telah diidentifikasi sebagai penyebab epidemi hepatitis dan berhubungan dengan transmisi yang ditularkan cairan dan fekal-oral. Sedangkan genotip 3 dan 4 adalah virus pada babi namun juga dapat menginfeksi pada manusia. Ada lintas netralisasi antar keempat genotip tersebut yang menunjukan bahwa mereka memiliki satu serotip meskipun ada perbedaan klinis dan epidemiologi. Pertumbuhan in vitro HEV relatif buruk, namun akhir-akhir ini telah ditemukan kultur sel sistem untuk pembiakan HEV genotip 3 dan 4.

Beberapa strain HEV telah teridentifikasi pada beberapa mamalia lainnya selainnya babi, diantaranya yaitu rusa, domba, sapi dan tikus. Beberapa virus diantaranya tampil seperti genotip baru namun sbagian besar menyerupai genotip 3 dan 4. Meskipun beberapa virus telah diketahui menular pada babi, namun tetap saja mereka memiliki potensi untuk menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada manusia. Akhir-akhir ini HEV lain juga telah diidentifikasi pada burung dan ikan, namun kemungkinan juga berasal dari genus yang berbeda dan berpotensi menginfeksi manusia.

Penetapan Diagnosa


Seperti halnya virus hepatitis lainnya, viremia muncul selama periode hepatitis E, dan antibodi (IgG dan IgM) muncul pada onset klinis sebelum munculnya symptom dan meningkatnya level enzim aminotransferase. Pemulihan ditandai dengan pemberantasan virus, peningkatan titer IgG dan penurunan kadar IgM. HEV dapat dijumpai pada tinja, biasanya selama masa inkubasi, masa infeksi aktif dan saat awal pemulihan. Antibodi IgG dan IgM tetap akan terdeteksi selama 3-12 bulan, Sedangkan antibodi IgG anti-HEV akan bertahan bertahun-tahun.

Tes antibodi anti-HEV (termasuk IgG dan IgM) tersedia secara komersial. Namun sayangnya spesifisitas dan sensitivitasnya bervariasi secara luas. Pada studi di Amerika Serikat prevalensi antibodi anti-HEV pada populasi donor darah adalah 3,6%. 

Pasien dengan hepatitis akut maupun kronis harus menjalani uji antibodi anti-HEV IgM, dengan hasil positif menunjukan adanya infeksi virus yang sedang berlangsung. Pengujian HEV RNA dalam serum dan tinja saat ini masih bersifat eksperimental. Pengujian serologi dan virologi tersedia secara terbatas di Centers for Disease Control and Prevention (www.cdc.gov/hepatitis).

Epidemiologi


Dinegara berkembang, hepetitis E terjadi secara sporadis dan epidemik, dan mempengaruhi sebagian besar penduduk. Sebagain besar diantaranya disebabkan oleh genotip 1 (genotip 2 di Meksiko dan Afrika Selatan). Tingkat antibodi anti-HEV didaerah-daerah tersebut berkisar 30-80%. Di Bangladesh kejadian infeksi dipelajari dengan metode kohort dan prospektif pada populasi umum dan wanita hamil yang terutama rentan terhadap hepatitis fulminan. Kejadian HEV pada masyarakat umum adalah sebesar 6,4% diantara 1200 orang pada semua kelompok usia. Sedangkan pada kelompok wanita hamil kejadian hepatitis adalah sebesar 4,6% dan 5,6%. Penilaian terhadap status mikronutrien dan tingkat sitokin serum memainkan peran penting yang mengindikasikan bahwa status gizi dan fitur imunologi sangat berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi ini. 

Manivestasi Klinis

Hepatitis E akut memiliki masa inkubasi sekitar 3-8 minggu, sebuah fase prodromal yang singkat, sebuah periode munculnya simptom atau jaundice yang akan berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Dalam beberapa kasus hepatitis ini tidak berkembang menjadi kronis. Tingkat kematian pada penyakit ini berkisar antara 0-10% dengan rata-rata 5%, namun hubungan antara hepatitis fulminan dengan kehamilan (yang umumnya terinfeksi genotip 1) dalam hal ini belum diketahui. 




Sabtu, 03 November 2012

STUDI KASUS; FLUSHING DAN HIPOTENSI



Kasus

Seorang pria berusia 37 tahun dirawat di rumah sakit karena flushing dan hipotensi. 
Pada pagi hari dia merasakan bersin-bersin, rhinorhea, gatal pada tenggorokan dan demam. Atas keluhan tersebut dia mengkonsumsi obat flu yang dijual secara bebas. Sediaan obat flu tersebut mengandung asam asetilsalisilat (aspirin), dekstrometorphan-HBr, dan fenilefrin bitartrat. Tiga puluh menit setelah mengkonsumsi obat tersebut, dia merasakan perasaan lelah, lemah, mual, nyeri epigastrum, kemerahan pada wajah, telinga memerah, dan dua kali muntah. Dia juga mengeluhkan adanya sakit kepala ringan, diaforesis (berkeringat secara berlebihan) dan near syncope. Pria tersebut kemudian terjatuh pingsan (kehilangan kesadaran) tanpa trauma kepala. Pria ini kemudian mendapatkan pelayanan di instalasi gawat darurat. Dari hasil evaluasi diketahui adanya kemerahan pada kulit, tekanan darah sistolik turun hingga 50 mm Hg, denyut jantung 56x/menit dan teratur, pernafasan 16x/menit, dan saturasi oksigen 100% saat dia menghirup oksigen tambahan dengan menggunakan masker wajah nonbreather. Dari elektrokardiogram (EKG) diketahui adanya bradikardia sinus dengan inversi T-wave. Ondansetron dan normal saline diberikan secara intravena.

Pada saat kedatangannya pasien menyatakan adanya nyeri dada pleuritik dan menyebar dan memburuknya kondisi ketidaknyamanan pada abdomen. Dia menyatakan adanya kesamaan beberapa gejala yang terjadi dengan yang pernah dialaminya saat usianya belum genap 12 tahun, yaitu flushing, konjungtiva, mual dan diare. Episode ini telah mengalami peningkatan frekuensi dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yang awalnya episode terjadi 2 kali dalam setahun menjadi sekali setiap bulannya. Gejala-gejala tersebut terprovokasi oleh adanya aktivitas fisik, tekanan mental, atau intensitas emosi. Gejala berlangsung hingga 12 jam yang kemudian diikuti dengan kelemahan selama 3-4 hari. Evaluasi di rumah sakit lainnya menunjukan adanya penurunan tekanan darah sistolik hingga 60 mm Hg. Episode ini dihubungkan dengan adanya dehidrasi dan stres sehingga diberikan terapi dengan normal saline intravena. 

Pasien tidak memiliki penyakit lain dan tidak ada alergi obat. Buah kiwi telah menyebabkan penyempitan tenggorokan dan munta, namun pasien tidak mengkonsumsi buah tersebut. Pasien bekerja dalam bidang yang berhubungan dengan kesehatan dan berpartisipasi dalam triathlon. Pasien kadang-kadang minum alkohol, punya kebiasaan merokok dimasa lalu, tidak mengkonsumsi obat-obat terlarang dan tidak menggunakan produk herbal. Tidak ada paparan dengan orang sakit, makanan laut atau makanan-makanan lain yang tidak biasa dikonsumsinya. Dia merupakan keturunan Eropa dan Karibia. Tidak ada keluarga dengan riwayat penyakit ginjal, anafilaksis atau rheumatoid.

Pada pemeriksaan diketahui suhu tubuh 36,2°C, tekanan darah 57/33 mm Hg, denyut jantung 116x/menit dan tidak teratur, pernafasan 26x/menit dan saturasi oksigen 93% saat bernafas dengan 4 liter oksigen melalui kanula nasal. Ada injeksi skleral dan eritema pada tubuh bagian atas, ekstremitas hangat dengan perfusi yang baik, dengan pengisian kapiler normal. Pemeriksaan tersebut dinyatakan normal.

Tingkat natrium, klorida, karbon dioksida, D-dimer, magnesium, amilase, lipase, kreatin, kinase MB isoenzim, troponin T, tes fungsi hati, waktu tromboplastin teraktivasi parsial, dan indeks sel darah merah normal. Skrining untuk troponin T dan racun serum negatif. 

EKG menunjukan adanya fibrilasi atrium dengan tingkat ventrikel 102 denyut/menit, dengan ketinggian segmen ST (2 mm, cembung) dan leads aVR dan V1 dan sedikit landai dan depresi segmen ST (3-4 mm) disadapan I, II, III aVF, dan V3 melalui V6. 

Normal saline ditransfusikan secara cepat melalui dua kateter intravena perifer dan diberikan 325 mg aspirin. Pasien kemudian mengalami peningkatan flushing. Lima puluh menit setelah kedatangannya tekanan darah meningkat hingga 140/81 mm Hg. Radiograf dada menunjukan volume paru yang rendah dengan intestinal penuh dan dinyatakan normal.

7 jam berikutnya suhu tubuh naik hingga 38.1°C, sakit perut semakin parah dengan sakit pada bagian perut atas. Normal saline, kalium klorida, magnesium sulfat, ondansetron, dan metoklopramid diberikan secara intravena. Mual mulai berkurang dan membaik. 

Dari hasil urinalisis menunjukan warna urin jelas kuning, dengan jejak keton, jejak urobilinogen, albumin +2, bilirubin +1, dengan jumlah sel darah putih pada kisaran 20-50 (kisaran normal 0-2), dan beberapa skuamosa sel (normalnya tidak ada). Urinalisis ini dinyatakan normal.

Saturasi oksigen meningkat menjadi 100% saat pasien menghirup udara ambien. 8 jam sejak kedatangannya, EKG menunjukan ritme sinus, pada 100 denyut/menit dan tidak ada depresi segmen ST. CT Scan abdomen dan pelvis dengan bahan kontras oral dan intravena menunjukan lesi hipodens pada hati dan limpa yang konsisten dengan hemangioma, data ini dinyatakan normal. Siprofloksasin mulai diberikan. Dia dimasukan ke unit telemetri jantung. Suhu tubuh naik menjadi 39.4°C, tekanan darah sistolik kembali turun menjadi 80-90 mm Hg, saturasi oksigen menurun hingga 89% saat menghirup ambien, dan terjadi muntah. Suplementasi oksigen kembali diberikan dan pasien dipindahkan ke unit perawatan medis intensif.

18 jam setelah kedatangan tekanan darah sistolik kembali turun menjadi 75 mm Hg. Difenhidramin, ranitidin, fenilefrin, hidrokortison, epinefrin, parasetamol, vankomisin, seftriakson, dan oseltamivir diberikan. Transthoracic echocardiography menunjukan perkiraan fraksi ejeksi 76%, ventrikel kanan melebar, hipertrofi ventrikel kanan dengan fungsi ventrikel normal, dilatasi atrium kanan, trace regurgitasi mitral, trace insufisiensi paru, dan stenosis valve paru. Pemeriksaan darah smear tidak menunjukan adanya bentuk malaria, pengujian antibodi virus negatif. Tingkat sedimentasi eritrosit dan tes fungsi tiroid normal. Hipotensi teratasi dalam 2 jam, dan pemberian fenilefrin dihentikan. Pasien dipindahkan ke ruang perawatan medis pada hari ketiga.

Tiga hari berikutnya dilakukan tes antinukleat antibodi, virus hepatitis (A, B dan C), dan H. pylori dan hasilnya negatif. Kultur spesimen darah dan urin juga tetap steril. Dan pada biakan tinja tumbuh flora yang enterik normal. Penggunaan antibiotik dihentikan. USG abdomen menunjukan dua lesi yang konsisten dengan hemangioma dalam penebalan dalam hati.

Diferensial Diagnosis

Dr. Dudzinki (seorang dokter di Massachuset General Hospital, tempat pasien ini dirawat) menjelaskan gambaran tentang jantung pasien. Berdasarkan hasil EKG dia menjelaskan bahwa pasien mengalami fibrilasi atrial dengan respon ventrikel yang cepat. Ada hipertrofi ventrikel kanan yang ringan dan dilatasi dengan mandatarkan septum diastolik, dilatasi atrium kanan, regurgitasi trikuspid moderat, stenosis pulmonar ringan dan diperkirakan tekanan darah sistolik pada ventrikel kanan sebesar 43 mm Hg. Temuan tersebut memungkinkan adanya penyakit jantung karsinoid, namun pada penyakit ini biasanya regurgitasi pulmonar adalah umum (80%), namun hal ini tak terjadi pada pasien. 

Episode flushing, mual, muntah, pusing, diare dan hipotensi terjadi sejak 12 jam sebelum pasien masuk rumah sakit yang dipicu oleh adanya stres fisik dan mental. Hipotensi berlangsung sekitar 12 jam, namun kelemahan berlangsung selama 3-4 hari. Frekuensi episode ini meningkat yang awalnya hanya 2 kali setahun menjadi sekali setiap bulannya, demikian menurut pengakuan pasien. Rawat inap ini didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas, dan episode terjadi 30 menit setelah pasien mengkonsumsi obat yang mengandung asam asetilsalisilat. Gejala yang menonjol adalah wajah memerah, telinga "gemuk merah", muntah, dada sesak, perubahan EKG, diaforesis dan hipotensi yang menyebabkan nearsyncope. Episode tersebut muncul sebagai penyakit sistemik yang berulang dan meningkat. 

Pemberian asam asetilsalisilat selama resusitasi memperburuk flushing, tanpa mengi atau urtikaria. Terapi dengan cairan intravena, difenhidramin, ranitidin, fenilefrin, hidrokortison, parasetamol dan antibiotik menyebabkan resolusi hipotensi. Dengan demikian episode yang ditandai dengan flushing, mual, hipotensi, kelamahan dan depresi dengan eskalasi keparahan dan presipitasi stres mental dan asam asetilsalisilat dapat dipertimbangkan sebagai diferensial diagnosis.

Flushing


Flushing dan hipotensi merupakan petunjuk diagnosis. Flushing adalah sensasi kehangatan disertai dengan eritema sementara biasanya diatas wajah, leher, telinga, dada dan anggota badan yang disebabkan oleh vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke kulit. Vasodilatasi dimediasi oleh regulasi neurogenik (autonomik) otot polos vaskular kulit atau dengan tindakan langsung melalui stimulus vasodilator sepeti histamin, substansi P, dan prostaglandin. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular menyebabkan syok distributif pada pasien. Histamin bertindak melalui reseptor H1 dan H2 turut memvasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya flushing dan hipotensi pada pasien. Histamin yang bertindak melalui reseptor H3 menghasilkan efek vasodilatasi neurogenik dan efeknya pada sistem syaraf pusat termasuk perubahan emosi dan memori serta kelainan kognitif, hal ini menjelaskan terjadinya depresi dan kelelahan yang mengikuti episode akut tersebut.

Petunjuk lebih lanjut untuk menentukan diagnosis dapat dilihat dengan memperhatikan karakteristik flushing, yaitu apakah termasuk flushing kering (tanpa keringat) atau flushing basah (berkeringat). Flushing akibat rangsangan neurogenik bersifat basah karena adanya inervasi autonomik dari kelenjar keringat eccrine. Proses ini terjadi pada demam, aktivitas olahraga, paparan panas dan menopause disertai gangguan neurologis dengan disfungsi otonom seperti pasca sindrom ensefalitis atau pada penderita Parkinson. Sebaliknya, vasodilator menyebabkan flushing kering, ini adalah kondisi yang terjadi pada pasien dalam kasus ini. Stimulus vasodilator dapat berasal dari sumber endogen maupun eksogen.

Vasodilator Eksogen yang Memediasi Flushing
  1. Obat ; asam nikotinat, pemblok kanal kalsium (calcium chanel blockers), inhibitor phosphodiesterase-5, vankomisin, angiotensin converting enzim (ACE) inhibitor
  2. Makanan, makanan famakologik; kapsaisin, etanol, sulfida, dan monosodium glutamat. Makanan yang tergolong racun; histamin asam yang dihasilkan dari kontaminasi spoiled seperti ikan tuna, mackerel dan mahimahi.
  3. Anafilaksis. Anailaksis imunologik dapat berupa: IgE dan FcεR1 yang memediasi alergi terhadap penisilin, racun serangga, lateks, serum heterolog, dan antibodi monoklonal chimeric, non IgE yang memediasi reaksi terhadap produk darah, asam asetilsalisilat, radiokontras, dan beberapa obat. Anafilaksis nonimunologik dapat disebabkan oleh aktivitas fisik, rangsangan dingin, opioat dan kurare. Selain itu anafilaksis dapat pula disebabkan oleh sebab lain yang tak diketahui (anafilaksis idiopatik)
Vasodilator Endogen yang Memediasi Flushing
  1. Sepsis
  2. Sindrome karsinoid
  3. Karsinoma medulary thyroid
  4. Feokromositoma
  5. Sindrom kebocoran kapiler sistemik idiopatik

Anafilaksis


Bisa jadi penyakit yang diderita oleh pasien merupakan manivestasi klinis dari reaksi anafilaksis berulang akibat alergi makanan, obat bahan lain yang belum diketahui. Anafilaksis adalah sebuah aktivasi sel mast sistemik atau sindrom basilaktivasi, dimana mediator-mediator dilepaskan oleh sel mast normal, biasanya akibat paparan zat eksogen seperti makanan atau obat. WHO menyebutkan definisi anafilaksis sebagai reaksi hipersensitif umum/sistemik yang parah yang mengancam jiwa yang bersifat imunologik (dimediasi oleh IgE atau tidak) atau pun nonimunologik. Pasien menderita sindrom alergi oral buah kiwi. Namun episode flushing dan hipotensi tidak dipicu oleh konsumsi buah kiwi. Gatal-gatal pada kulit atau angiodema atau keduanya hadir pada sekitar 90% pasien yang mengalami anafilaksis, dan gangguan pernafasan (sesak nafas, mengi, rhinitis) dijumpai pada sekitar 40-60% pasien. Dalam kasus pasien ini, adanya reaksi anafilaksis terhadap makanan tertentu hampir dapat dipastikan tidak mungkin. Namun asam asetilsalisilat potensial mengaktivasi sel mast dan memperburuk flushing pada pasien.

Sejauh ini dugaan anafilaksis idiopatik sangat kuat, terkait sindrom anafilaktik yang berulang dengan penyebab yang belum diketahui.

Sepsis


Perburukan klinis yang cepat (dengan demam, flushing, takikardia, hipotensi dengan respon rendah terhadap terapi cairan) dan leukositosis neurofilik dengan bandemia dan peningkatan waktu protrombin menunjukan respon sistemik terhadap inflamasi sitokin, seperti yang terlihat pada sepsis. Inflamasi sitokin menyebabkan hati memproduksi protein fase akut. Walaupun profil kekambuhan episode penyakit sistemik ini melibatkan penyakit sistemik yang tak menular.

Sindrom Flushing yang Disebabkan Oleh Tumor Endokrin

 Tumor neuroendokrin, termasuk feokromositoma, tumor penghasil peptida vasoaktif intestinal, karsinoma thyroid medular, dan tumor karsinoid dapat menyebabkan flushing, hipotensi atau hipertensi, diare dan gejala pernafasan dalam berbagai kombinasi. Karakteristik flushing yang atipikal untuk feokromositoma.

Sindrom Karsinoid

Sindromkarsinoid ditanda dengan kulit kemerahan, diare, mengi dan lesi katup jantung. Episode ini sering dipicu oleh konsumsi alkohol atau coklat, namun tidak dipicu oleh aktivitas fisik atau penggunaan asam asetilsalisilat seperti yang terjadi pada pasien ini. Facial telangiectasia, sianosis dan pelagra dapat terjadi pada kasus yang parah. 

Sindrom Kebocoran Kapiler Sistemik Idiopatik


Sindrom kebocoran kapiler sistemik ditandai dengan hipotensi, hipoalbuminemia, dan hemokonsentrasi. Kondisi ini sering didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas dan syok distributif yang diawali dengan munculnya sensai hangat dan kulit kemerahan. Pada kasus ini, pasien tidak menunjukan adanya profil biokimia yang sesuai untuk diagnosa ini. 

Mastositosis


Presentasi pasien konsisten untuk sindrom aktivasi sel mast namun tidak khas anafilaksis. Fitur klinis flushing dan hipotensi dengan melibatkan sistem kardiovaskuler, pencernaan, dan sistem syaraf tanpa adanya urtikaria, angiodema dan saluran pernafasan atas mununjukan adanya mastositosis sistemik, sebuah neoplasma sel mast. Jika tanpa kelainan hematologi, hepatosplenomegali, dan disfungsi jaringan, maka diagnosis klinisnya adalah mastosistosi sistemik indolen. Secara umum mastositosis dapat dikategorikan sebagai berikut:
  1. Mastositosis kutaneus; urtikaria pigmentosa, mastositosis kutaneus difuse, mastositoma kutaneus dan Telangiectasia macularis eruptiva perstans.
  2. Mastositosis sistemik. Kriteria mayor kasus ini adalah : multifokal, agregat padat sel mast (>15) dibagian sumsum tulang, ekstrakutaneus organ atau organ lain atau keduanya. Sedangkan kriteria minor (diperlukan setidaknya 1 kriteria minor, atau 3 kriteria minor jika tanpa adanya kriteria mayor): morfologi sel mast atipikal >25%, ekspresi CD2 atau CD5 oleh sel mast, adanya KIT kodon 816 mutasi, total triptase serum>20 mg/dl. Yang termasuk dalam mastositosis sistemik ini adalah: mastositosis sistemik indolen (tidak ada disfungsi organ yang berhubungan dengan sel mast, tidak berhubungan dengan hematologi, dan biasanya ditandai dengan adanya lesi kulit), mastosistosis sistemik terkait hematologi non kekacauan sel mast (buktinya dapat berupa: neoplasma myeloproliferatif myelodisplastik, leukemia myeloid akut, atau neoplasma limfoid), mastositosis sistemik agresif (disfungsi organ karena infiltrasi sel mast baik dalam sumsum tulang, hati, limpa, saluran pencernaan, atau tulang. Mastositosis ini biasanya tanpa disertai lesi kulit), dan leukemia sel mast (terdapat lebih dari 10% sel mast dewasa dalam darah dan lebih dari 20% dalam sumsum tulang)
  3. Mastositoma kutaneus (tumor sel mast soliter tanpa sitologi atipia)
  4. Sarkoma sel mast (tumor sel mast soliter dengan sitologi atipia tingkat tinggi)

Diagnosis Klinis

Mastositosis sistemik indolen rumit akibat reaksi anafilaksis asam asetilsalisilat (aspirin). Sementara itu dr. Mandakolathur R. Murali menyatakan diagnosanya sebagai manivestasi akut dari mastositosis sistemik indolen yang dipicu oleh infeksi saluran pernafasan atas dan asam asetilsalisilat.