Sabtu, 27 Oktober 2012

PENYAKIT-PENYAKIT AKIBAT KELEBIHAN ZAT BESI



Zat besi (iron) merupakan salah satu komponen unsur logam yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Manusia memerlukan zat besi dalam jumlah yang relatif kecil atau termasuk dalam kategori mikronutrien. Maka apa yang akan terjadi bila tubuh kita terlalu banyak menyimpan zat besi?. Berbahayakah?. Tulisan ini akan berusaha mengulas tentang kelebihan-kelebihan zat besi yang dapat terjadi pada tubuh manusia serta dampak yang ditimbulkannya.

Hingga saat ini telah diketahui berbagai penyakit yang berhubungan dengan kelebihan zat besi dalam tubuh. Penyakit-penyakit kelebihan zat besi umumnya bersifat membahayakan, berkembang secara progresif dan tak jarang pula bersifat irreversibel (tidak dapat kembali ke fungsi semula) dan berakhir dengan adanya cedera organ. Namun demikian keracunan besi (Fe) umumnya dapat dikurangi atau dicegah. Penyakit yang berhubungan dengan kelebihan zat besi yang paling umum adalah HFE yang terkait dengan hemokromatosis herediter atau β-thalasemia, dan berbagai bentuk penyakit lainnya yang kurang umum ditemukan.

METABOLISME BESI

Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar besi dalam tubuh adalah:
  • Enterosit duodenal (berperan mempengaruhi penyerapan besi dari saluran gastrointestinal) 
  • Prekursor eritroid (mempengaruhi penggunaan besi oleh tubuh)
  • Makrofag retikuloendothelial (mempengaruhi penyimpanan dan daur ulang besi)
  • Hepatosit (mempengaruhi penyimpanan dan regulasi endokrin)
masing-masing komponen tersebut memainkan peranan penting dalam homeostasis (keseimbangan) besi dalam tubuh dan berperan dalam pengaturan siklus besi. 

Enterosit
Untuk menjaga homeostasis zat besi pada dasarnya tubuh hanya memerlukan sekitar 1-3 mg asupan zat besi perharinya. Asupan zat besi tersebut berguna untuk mengimbangi/menggantikan kehilangan zat besi akibat kehilangan yang ditimbulkan oleh sel deskuamasi. Karena tidak ada fungsi fisiologis yang mengatur ekskresi besi, maka pengaturan besi lebih difokuskan pada penyerapannya oleh enterosit duodenal. Setelah zat besi pada membran apikal berkurang, zat besi dibawa kedalam transporter membran divalen 1 (DMT1). Heme besi diangkut melalui mekanisme yang tak sempurna. Sebagian besar zat besi diambil dari sumber penyimpanannya dalam bentuk ferritin dan hilang melalui peluruhan enterosit tua. Pengiriman besi dari enterosit ke dalam plasma terjadi melalui transporter basolateral ferroportin.

Pengaturan pada setiap langkah (reduksi, penyerapan, penyimpanan, dan transfer) dimediasi oleh sinyal yang mencerminkan tekanan oksigen di enterosit, kadar zat besi intraseluler, dan kebutuhan sistemik akan zat besi. Tekanan enterosit mengatur absorpsi zat besi melalui efeknya pada faktor hypoxia-inducible factor 2α (HIF-2α) dan perubahan pada transkripsi DMT1 dan ferroportin. Regulasi sistemik dari penyerapan zat besi diatur oleh hormon hepsidin. Hepsidin mengikat eksportir besi ferroportin dan menginduksi degradasi besi, sehingga mengurangi transfer besi dari enterosit ke dalam sirkulasi darah.

Sirkulasi Besi
Besi yang dilepaskan dari enterosit kemudian berikatan dengan situs bebas pada protein transport besi di plasma (transferrin). Karena kapasitas pengikatan transferrin umumnya melebihi konsentrasi besi dalam plasma, transferin mengikat besi hanya dari sumber fisiologis. Sel-sel mengatur asupan ikatan transferrin-besi dengan mengubah ekspresi permukaan reseptor transferrin 1 (TfR1). Jika transferrin telah sangat jenuh (normalnya, kejenuhan/saturasi transferrin adalah 30%), kelebihan zat besi kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi darah dalam bentuk molekul dengan berat  molekul rendah (misal sitrat). Non–transferrinbound
iron (NTBI) atau molekul besi yang tak berikatan dengan transferrin tersebut mudah diserap oleh sel-sel tipe tertentu termasuk hepatosit (sel-sel hati) dan kardiomiosit (sel-sel jantung). Penyerapan NTBI yang berlebihan berkontribusi pada terjadinya cedera seluler yang termediasi oleh oksidan. Sebuah fraksi dari NTBI adalah sebuah molekul redoks-aktif dan besi dalam plasma yang labil. Meskipun ada metode untuk mengukur kadar NTBI dan besi plasma labil, namun tak adanya standarisasi dan korelasi klinisnya membatasi penggunaan metode tersebut.

Prekursor Eritroid
Prekursor eritroid adalah situs utama pemanfaatan/penggunaan besi. Sel-sel mengekspresikan level TfR1 dan memediasi masuknya transferrin-besi ke siklus endosom. Pada proses pengasaman endosom, besi dilepaskan dan kemudian dieksport oleh DMT1. 

Makrofag Retikuloendothelial
Sel-sel retikuloendothelial berfungsi pada penyimpanan besi melalui pengaturan hepsidin. Pada kondisi keseimbangan, sel-sel ini melepaskan sekitar 25 mg zat besi perhari. Karena tempat peredaran transferrin-besi hanya mensirkulasikan kurang dari 3 mg besi, maka sel retikuloendothelial merupakan kompartemen yang paling dinamis bagi besi-besi tersebut. Sel-sel ini mengalami pembalikan sekitar 10 kali perhari. 

Setelah dibebaskan dari heme besi dapat disimpan sebagai ferritin atau dieksport ke dalam sistem sirkulasi. Ferritin adalah protein kompleks untuk penyimpanan besi yang terdiri dari 24 monomer ferritin yang terdiri dari rantai dengan molekul berat dan ringan. 

Hepatosit
Hepatosit menyerupai retikuloendothelial yang merupakan tempat penyimpanan besi dalam bentuk ferritin. NTBI kemungkinan menjadi kontributor utama penyimpanan besi dalam hepatosit dimana tranferrin mengalami kejenuhan tinggi. Lebih penting dalam pengaturan kadar besi ini adalah bahwa hepatosit merupakan pengatur dalam hal produksi hepsidin. Hepsidin berperan sebagai hormon hipoforremia. Sebagai konsekuensinya besi akan tertahan didalam eritrosit duodenum dan penyerapannya akan terhambat; retensi besi didalam makrofag retikuloendothelial akan menurunkan omset kerjanya. Produksi hepsidin hepatoseluler merupakan sinyal yang merefleksikan inflamasi (peradangan), status besi, aktivitas eritopoeitik dan tegangan oksigen.
  1. Inflamasi. Hepsidin adalah sebuah protein fase akut tipe II yang memediasi hipoforemia terkait infeksi dan peradangan. Protein ini awalnya diidentifikasi sebagai peptida antimikroba dengan struktur mirip defensin. Namun aktivitas antimikroba dari hepsidin itu memerlukan konsentrasi yang jauh lebih tinggi dari nilai yang dapat ditemukan pada sirkulasi. Sifat hipoforemik hepsidin hadir dalam proses adaptasi terhadap evolusi mikroorganisme, karena hepsidin menurunkan ketersediaan besi dalam sirkulasi terhadap bakteri yang menyerang. Sinyal inflamasi meningkatkan ekspresi hepsidin yang sebagian besar dimediasi oleh interleukin-6.
  2. Status besi. Status besi mengatur ekspresi hepsidin melalui 2 mekanisme yaitu penyimpanan besi dihati dan level besi dalam sirkulasi darah. Penyimpanan besi dihati mempengaruhi ekspresi hepatik dari molekul signaling ekstraseluler.
  3. Aktivitas enteropoeitik. Ekspresi hepsidin akan menurun secara nyata ketika terjadi peningkatan enteropoeisis seperti proses pengeluaran darah (perdarahan), hemolisis dan pemberian enteropoeitin. Sinyal dapat dimediasi oleh pelepasan molekul melalui prekursor eritroid. 
  4. Tekanan oksigen. Dalam kondisi hipoksia, faktor transkripsi HIF mengatur ekspresi membran protease matriptase-2 yang memotong hemojuvelin dari permukaan hepatoseluler dan melemahkan sinyal hepsidin.
PENYAKIT-PENYAKIT KELEBIHAN BESI

Gangguan/penyakit yang berhubungan dengan kelebihan besi diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi yang mendasari cacat/defek pada sumbu hepsidin-ferroportin, pematangan eritroid atau transport besi.

Gangguan Sumbu hepsidin-ferroportin
Gangguan bentuk ini merupakan bentuk primer kelebihan zat besi yang merupakan subtipe hemokromatosis herediter. Dari 6 bentuk gangguan dalam kelompok ini, 5 diantaranya merupakan fenotif hemokromatosis herediter klasik (peningkatan saturasi transferrin, peningkatan ferritin serum, hematokrit normal dan kelebihan zat besi pada jaringan). Patofisiologi dari kelima gangguan tersebut adalah sama yaitu ketidakmampuan memediasi pengaturan penurunan ferroportin.

Gangguan paling umum pada sumbu hepsidin-ferroportin adalah hemokromatosis herediter terkait dengan HFE. Sekitar 10% populasi kelompok ini mengalami mutasi pada C282Y HFE. Walaupun penetrasi homozigositas biokimia untuk mutasi ini cukup besar (36-76%), penetrasi penyakit jauh lebih rendah yaitu sekitar 2-38% pada laki-laki dan 1-10% pada wanita. Faktor polimorfisme atau lingkungan atau gabungan kedua faktor tersebut merupakan faktor resiko yang sangat mempengaruhi penyakit ini. Umumnya pasien dengan penyakit hemokromatosis herediter terkait HFE ini tidak dapat bertahan hidup hingga usia pertengahan atau tidak sampai masa menopause pada wanita.

Kelima bentuk hemokromatosis herediter dengan fenotif klasik disebabkan oleh mutasi dalam ferroportin yang mengganggu regulasi hepsidin, hal ini menyebabkan kelebihan kadar ferroportin yang memediasi eksport zat besi.

Gangguan Maturasi/Pematangan Eritroid
Gangguan besi pada kelompok ini dapat berupa kelebihan zat besi sekunder yang disebut sebagai anemia kelebihan besi. Gangguan atau penyakit ini ditandai dengan:
  • inefektivitas eritropoeisis, 
  • apoptosis pada prekursor eritroid tertentu
  • kegagalan pematangan eritroid
  • ekspansi sekunder eritropoeisis 
Pengaturan hepsidin berhubungan dengan sinyal molekul yang berhubungan dengan terjadinya anemia atau hipoksia. Pengaturan penurunan hepsidin terus berlanjut meski tubuh telah kelebihan beban zat besi. Transfusi eritrosit berkontribusi nyata pada penumpukan beban besi pada penderita penyakit ini. Yang termasuk dalam kelompok gangguan ini adalah:
  1. Thalasemia. Diseluruh dunia terdapat sekitar 15 juta orang yang divonis menderita alfa-thalasemia atau beta-thalasemia. Kelebihan besi merupakan penyebab utama parahnya penyakit, baik pada pasien yang menerima transfusi reguler maupun tidak. Saat ini thalasemia diterapi dengan terapi khelasi, transferin eksogen, hepsidin eksogen atau agonis hepsidin yang mungkin akan efektif dimasa depan.
  2. Anemia Sideroblastik Bawaan. Anemia sideroblastik adalah gangguan heterogen sintesis heme primer (baik bawaan maupun keturunan) ataupun sekunder. Gangguan ini dapat berupa sindromik atau nonsindromik. Bentuk bawaan disebabkan oleh mutasi gen yang diperlukan untuk produksi prekursor heme. Besi seharusnya dimasukkan kedalam cincin akhir protoporpirin IX yang terakumulasi dalam mitokondria, memproduksi karakter cincin sideroblastik. Sebagian bentuk bawaan tersebut dapat diobati (misalnya dengan piridoksin). Kelebihan zat besi ini dapat diterapi dengan phebotomy (bila memungkinkan) atau khelasi atau keduanya.
  3. Anemia Diseritropoeitik Bawaan. Anemia kelompok ini merupakan sekelompok gangguan yang beragam yang mengakibatkan cacat pada produksi eritrosit dan sering disertai hemolisis ringan. Anemia ini dikarakteristik sebagai anemia makrositik atau normositik dengan jumlah retikulosit yang rendah sejak kelahirannya. Diagnosis ini dapat ditentukan dengan dasar karakteristik morfologi eritoblast. Transfusi dapat menjadi terapi dalam gangguan ini yang dibarengi dengan khelasi untuk penanganan kelebihan besi yang ditimbulkannya.
  4. Sindrom Myelodiplastik dan Anemia Aplastik. Kelainan ini merupakan kelainanan bawaan atau dapatan yang ditandai oleh hematopoeisis yang tidak efektif dan sitopenias perifer yang berhubungan dengan kelebihan zat besi, terutama bila diperburuk dengan kondisi transfusi eritrosit ganda.
Gangguan Transportasi Besi
Patofisiologi umum penyakit ini adalah adanya insufisiensi pengiriman zat besi yang tidak mencukupi untuk pembentukan heme, meskipun telah terjadi penimbunan besi. Dan sebagai konsekuensinya adalah terjadinya anemia atau penurunan level hepsidin meskipun telah terjadi penimbunan besi. Hipotransferrinemia adalah sebuah kondisi langka dimana terjadi penurunan konsentrasi transferrin. 

Hemokromatosis Neonatus
Hemokromatosis neonatus adalah kondisi kelebihan zat besi sistemik yang parah yang berhubungan dengan bayi baru lahir yang mengalami kegagalan hati. Hemokromatosis ini sangat berbeda dengan bentuk hemokromatosis lainnya, dalam hal ini kondisi primernya adalah karena adanya cedera hepatoseluler, dan kelebihan zat besi sebagai dampak sekundernya. Kendati demikian kelebihan zat besi lebih lanjut turut berperan pada kerusakan hati lebih lanjut.

Lokalisasi Kelebihan Zat Besi
Lokalisasi kelebihan zat besi dapat mengakibatkan:
  1. Neurodegenerasi dengan akumulasi besi pada otak. Neurodegenerasi dengan akumulasi zat besi pada otak atau neurodegeneration with brain iron accumulation (NBIA) umumnya terjadi akumulasi besi pada ganglia basal yang mengakibatkan terjadi gangguan progresif gerakan ekstrapiramidal. Mutasi pada pantothenate kinase–associated neurodegeneration gene (PANK2) bertanggung jawab pada sebagian besar kasus ini. 
  2. Ataksia Friedreich's. Mutasi pada frataxin bertanggung jawab pada terjadinya kondisi ini. Manivestasi pada jantung dan neurologis pada kasus ini disebabkan adanya cedera mitokondria yang dimediasi besi. 
Cedera Seluler yang Dimediasi oleh Besi
Kelebihan zat besi dapat melukai sel terutama dengan mengkatalisis produksi spesies oksigen reaktif secara berlebihan yang melebihi kapasitas sistem antioksidan seluler. Spesies oksigen tersebut menyebakan peroksidasi lemak, oksidasi asam amino, fragmentasi protein dan kerusakan DNA. Terapi phebotomy dapat membantu menghilangkan besi dari dalam tubuh. Selain itu terapi khelasi juga bermanfaat dalam hal ini. Pemberian vitamin C harus dihindari pada pasien dengan kelebihan zat besi karena dapat meningkatkan produski spesies oksigen rekatif sehingga semakin memperburuk kerusakan seluler.








Sumber


Minggu, 21 Oktober 2012

β-THALASEMIA




β-thalasemia adalah anemia herediter yang disebabkan oleh adanya defek/cacat pada produksi hemoglobin. β-thalasemia yang diakibatkan oleh adanya penurunan produksi rantai β-globin, berdampak pada banyak organ-organ tubuh penderita tersebut dan akan sangat berhubungan dengan tingkat morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian). Oleh karena itu seorang pasien β-thalasemia memerlukan teapi seumur hidupnya. Dan terapi ini memerlukan biaya yang relatif besar. 

Thalasemia adalah salah satu kelainan genetik yang paling umum didunia. Ada sekitar 4,83% populasi thalasemia diseluruh dunia, termasuk didalamnya 1,67% yang merupakan populasi penderita thalasemia heterozigot, baik α-thalasemia dan β-thalasemia. Selain itu terdapat 1,92% pembawa hemoglobin sabit, 0,92% pembawa (carrier) hemoglobin E, dan 0,29% pembawa hemoglobin C. Dengan demikian tingkat kelahiran bayi-bayi dengan gangguan/penyakit globin baik homozigot maupun heterozigot termasuk α-thalasemia dan β-thalasemia tidak kurang dari 2,4 per 1000 kelahiran dimana 1,96 diantara memiliki penyakit sel sabit dan 0,44 diantaranya memiliki penyakit thalasemia.

PATOLOGI MOLEKULAR DAN SELULAR

β-thalasemia disebabkan oleh adanya lebih dari 200 titik yang mengalami mutasi, dan kadang pula disebabkan oleh adanya delesi (penghapusan) namun hal ini jarang terjadi. Secara klinis thalasemia bersifat heterogenus karena lesi genetik yang bervariasi dapat mengakibatkan kerusakan sintesis rantai globin yang bervariasi pula. Namun variabilitas genotip pada lokus yang dikenali tidak cukup mampu untuk menjelaskan perbedaan fenotif pada masing-masing individu dengan genotif yang sama. Perbedaan antara genotip dan fenotip terutama pada thalasemia intermedia dan hemoglobin E. Namun faktor-faktor genetik yang telah diketahui umumnya tidak cukup untuk menjelaskan perbedaan tanda-tandanya, dan kemungkinan diantaranya terdapat modifikasi genetik.

Baru-baru ini diketahui adanya sebuah protein penstabil α-hemoglobin yang mengikat dan menstabilkan sebuah rantai bebas, sehingga menghambat produksi oksigen reaktif dan mengurangi kerusakan eritrosit oksidatif. Protein ini tampaknya memodulasi gambaran klinis dari β-thalasemia dalam sebuah model murine.

Hemolisis dan eritopoisis tak aktif sama-sama menyebabkan anemia yang terjadi pada thalasemia. Kontribusi dari kedua proses patofisiologis tersebut berbeda dalam berbagai bentuk thalasemia. Berikut adalah ilustrasi rantai kompleks yang terjadi dalam eritrosit yang menghasilkan percepatan kerusakan periferal.



Gambar 1
Peristiwa Kompleks yang Terjad Pada Eritrosit

Sumsum tulang pasien dengan thalasemia dibandingkan dengan orang sehat (tanpa thalasemia) mengandung 5-6 kali jumlah prekursor eritroid dan 15 kali jumlah sel apoptosis pada tahap polikromatofilik dan ortokromik. Percepatan apoptosis merupakan penyebab utama eritopoesis tak aktif yang disebabkan karena adanya kelebihan deposisi rantai α dalam prekursor eritroid. meskipun mekanismenya tidak diketahui dengan jelas. Dalam eritopoesis normal, mekanisme apoptosis tampaknya memainkan peran dalam pengaturan yang diperlukan dalam pematangan eritroid normal. Percepatan apoptosis dikaitkan dengan peningkatan paparan ekstraseluler Phosphatidilserin yang merupakan sinyal penting pada penghapusan melalui aktivasi makrofage yang jumlahnya meningkat pada pasien dengan thalasemia.


MANIFESTASI KLINIS DAN TERAPI PENDUKUNGNYA
  • Transfusi rutin untuk mempertahankan level hemoglobin setidaknya 9-10 g/dl memungkinkan perbaikan pertumbuhan dan perkembangan serta mengurangi heptosplenomegali karena hematopoesis ekstramedullary serta cacat tulang. Dalam terapi transfusi beberapa hal berikut harus sangat diperhatikan yaitu: titik akhir optimalnya adalah level hemoglobin 9-10 daripada 10-12, penggunaan teknik leukodepletion (leukodeplesi), dilakukannya pengujian virus (termasuk hepatitis B dan C, HIV dan HTLV-I), dan penggunaan perangkat akses-vena. Dalam terapi ini tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi akumulasi zat besi dan alloiimunisasi, mengurangi munculnya kejang demam sebagai reaksi transfusi nonhemolitik, mengurangi transmisi sitomegalovirus, mengurangi alloimunisasi, mengurangi resiko infeksi melalui transfusi, serta meningkatkan efektivitas terapi dan kenyamanan serta kepatuhan pasien.
  • Kelasi (chelation), dalam hal ini diberikan dosis individual deferoksamin, pengembangan kelator oral dan mengkombinasikannya dengan terapi kelasi lainnya. Tujuan kelasi adalah untuk mengurangi efek samping tak diinginkan seperti gangguan pendengaran dan displasia tulang serta untuk meningkatkan efikasi terapi dan meningkatkan kepatuhan pasien.
  • Terapi dukungan endokrin dapat dilakukan dengan pemberian terapi hormon pengganti (hormon seks, tiroid, dan pertumbuhan), pemberian agen fertilitas, dan pemberian inhibitor osteoklast. Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan pematangan seksual  dan pencegahan osteoporosis. 



Gambar 2
Manajemen Thalasemia dan Komplikasinya



KELEBIHAN ZAT BESI; PATOGENESIS, PENGUKURAN DAN TERAPI

Kelebihan zat besi pada seorang penderita thalasemia merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Deposisi zat besi ini terjadi pada organ-organ dalam seperti jantung, hati dan kelenjar endokrin, yang kemudian menyebabkan kerusakan jaringan dan disfungsi organ-organ tersebut. Serangan jantung dapat terjadi akibat adanya kelebihan zat besi dan sering kali berakibat kematian. Kelebihan zat besi pada penderita thalasemia dapat terjadi karena adanya penimbunan zat besi yang berlebihan pada berbagai organ dan atau karena penyerapan zat besi yang berlebihan dari saluran gastrointestinal. Paradoksnya, penyerapan zat besi dari usus (saluran gastrointestinal) akan tetap tinggi meskipun tubuh telah kelebihan beban akan zat besi tersebut.

Hepsidin adalah sebuah molekul peptida kecil yang dapat menghambat penyerapan zat besi dari usus. Level hepsidin akan meningkat saat level penyimpanan zat besi meningkat. Level hepsidin pada penderita thalasemia intermedia dan mayor tidak tepat rendah. Selanjutnya serum dari penderita thalasemia akan menghambat ekspresi r-RNA pada sel HepG2 yang menunjukan adanya faktor humoral yang meregulasi hepsidin. Pengamatan ini menunjukan bahwa pemberian hepsidin atau agen lain yang dapat meningkatkan ekspresi hepsidin mungkin bermanfaat untuk mengurangi penyerapan zat besi.

Pengukuran noninvasif pada kondisi penyimpanan besi harus dilakukan untuk evaluasi dan manajemen terapi kelasi. Pengukuran ferritin serum dianggap sebagai indikator untuk mengetahui kondisi penyimpanan besi. Kadar ferritin kurang dari 2500 mg/ml menjamin kelangsungan hidup pasien yang lebih baik dan mengurangi resiko serangan jantung. Namun pengukuruan ferritin serum tidak dapat diandalkan bila pasien juga menderita penyakit hati. Terapi invasif dapat dilakukan dengan biopsi hati. Pengukuran noninvasif langsung pada penyimpanan besi dapat dilakukan dengan metode magnetic susceptometry (dengan menggunakan seperangkat superconducting quantum-interference), metode ini lebih baik dan lebih akurat dibandingkan dengan metode biopsi hati. 

Namun perlu diketahui juga bahwa pengukuran yang akurat terhadap penyimpanan besi dihati tidak dapat menggambarkan kondisi penyimpanan besi pada organ-organ lainnya misal pada jantung. Sehingga kini perlu dikembangkan metode invasif untuk pengukuran penyimpanan besi pada jantung. Magnetic resonance imaging (MRI) untuk pengukuran besi di jantung menimbulkan banyak masalah sehingga tidak memungkinkan aplikasinya. T2-gradientecho sequencing tampaknya bermanfaat dalam pengukuran besi di jantung pada penderita thalasemia karena sensitivitasnya terhadap hemosiderin. 

Adanya penimbunan zat besi pada jaringan merupakan salah satu efek merusak yang timbul akibat adanya kelebihan zat besi dalam tubuh. Adanya non–transferrin-bound iron (besi yang terikat pada molekul lain selain transferrin) merupakan suatu bentuk besi yang menghasilkan efek toksisitas yang tinggi, molekul besi semcam ini terbentuk karena kapasitas pengikatan transferrin yang telah terlampaui. Non–transferrin-bound iron sangat beracun karena dapat mengkatalisis pembentukan spesies oksigen yang reaktif melalui reaksi Fenton. Non–transferrin-bound iron, merupakan molekul besi yang labil didalam plasma dan kadarnya dapat diukur secara langsung dan berguna secara klinis guna melakukan pemantauan terapi kelasi besi. 

Terapi kelasi besi telah terbukti mampu meningkatkan harapan hidup banyak pasien thalasemia. Deferoksamin merupakan pengkelat besi yang paling banyak digunakan, cara pemberiannya secara parenteral memberikan dampak yang menyakitkan sehingga menurunkan tingkat kepatuhan pasien, efek samping yang relatif tinggi dan biaya yang relatif mahal menjadi penyebab keterbatasan penggunaan agen ini.

Berkaca dari deferoksamin, maka pengembangan agen pengkelat oral menjadi sebuah keharusan. Deferipron terbukti sebagai kelator oral yang aman dan efektif meskipun awalnya agen ini dianggap tidak memadai dan diduga dapat memperburuk fibrosis hati. Pemberian deferipron jangka panjang tidak berhubungan dengan kerusakan hati. Efek samping umum dari deferipron diantaranya adalah arthralgia, mual,  dan gejala gastrointestinal lainnya, fluktuasi enzim hati, leukopenia, dan efek samping yang jarang adalah agranulositosis dan defisiensi seng (zink). 

Deferipron memiliki beberapa keunggulan dibandingkan deferoksamin. Deferipron dapat menembus membran sel dan mengkelat spesies besi intraseluler yang toksik. Dalam sebuah studi pendahuluan, kadar hemoglobin meningkat dan menurunkan kebutuhan akan transfusi pada pasien dengan thalasemia hemoglobin E yang dirawat dengan deferipron selama rata-rata 50 minggu. Dan yang lebih penting dari itu, bukti terbaru menunjukan bahwa deferipron lebih efektif daripada deferoksamin dalam hal penghapusan/peniadaan zat besi dalam jantung. 

Pendekatan terbaru dalam terapi kelasi besi ini adalah dengan pemberian terapi kombinasi deferipron dan deferoksamin. Studi ini menunjukan bahwa besi intraseluler terkelasi oleh deferipron kemudian ditransfer ke dalam plasma untuk dikelasi dengan agen kelator yang lebih kuat yaitu deferoksamin (deferoksamin disebut sebagai “shuttle hypothesis”), sebagai konsekuensinya akan lebih banyak besi yang diekskresikan. Selain itu terapi kombinasi ini juga dapat meningkakan kepatuhan pasien karena dosis penyuntikan deferoksamin yang lebih kecil sehingga pasien tidak menderita kesakitan yang berlebihan akibat penyuntikannya.

Sejumlah kelator oral kini sedang dikembangkan. Deferasiroks (ICL670) menjanjikan keberhasilan dan mungkin memiliki efektivitas yang serupa dengan deferipron. 

Singkatnya semakin banyak bukti yang menunjukan bahwa deferipron merupakan alternatif deferoksamin yang dapat diterima. Kombinasi deferipron dan deferoksamin tampaknya menjanjikan, namun hal ini masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut.

HIPERKOAGULABILITAS

Fenomena tromboemboli, baik vena maupun arteri, tidak jarang terjadi pada pasien dengan thalasemia, khususnya pada pasien yang mengalami splenektomi dan jarang menerima transfusi. Kelainan pada tingkat faktor koagulasi dan faktor-faktor penghambatnya menyebabkan terjadinya kondisi hiperkoagulasi kronis. 

Kelainan pada membran eritrosit berkontribusi pada terjadinya hiperkoagulasi. Peroksidasi membran lipid meningkatkan ekspresi permukaan fosfolipid anionik seperti phosphatidilserin. Paparan fosfatidilserin pada eritrosit sangat berhubungan dengan ekspresi marker aktivasi platelet. Eritrosit yang terpapar fosfatidilserin juga dapat berkontribusi langsung pada kerusakan vaskuler yang dapat diamati pada penderita thalasemia. Selain itu eritrosit dan trombosit seorang penderita thalasemia mengandung spesies oksigen reaktif yang lebih tinggi dan level gluthation intraseluler yang lebih rendah. Selanjutnya dieprlukan sebuah studi sebelum memberikan kesimpulan rekomendasi untuk memberikan terapi profilaksis antikoagulasi, terapi antiplatelet, atau kombinasi keduanya pada pasien thalasemia yang beresiko (selama kehamilan atau pasca operasi) atau secara rutin, khususnya pada pasien yang telah menjalani splenektomi.

TRANSPLANTASI STEM-CELL HEMATOPOEITIK

Transplantasi stem-cell hematopoeitik untuk penderita thalasemia hanya tersedia sebagai pendekatan kuartif. Tingginya biaya, kecocokan HLA dan keterkaitannya dengan donor menyebabkan terbatasnya penggunaan terapi ini.

Pasien beresiko rendah (pasien thalasemia kelas 1 dan 2 menurut klasifikasi Lucarelli, suatu metode klasifikasi untuk menilai faktor resiko untuk memprediksi hasil dan prognosis dan derajat hepatomegali, adanya fibrosis portal pada biopsi hati dan efektivitas terapi kelasi sebelum transplantasi) menghasilkan keberhasilan terapi transplantasi dengan sumsum tulang, namun pasien thalasemia kelas 3 (memiliki kerusakan hati yang luas dan adanya kelebihan zat besi) kurang berhasil jika menerima terapi transplantasi ini. Rejimen persiapan baru (termasuk hidroksi urea, azathioprin, fludarabin, busulfan dan siklofosfamid) secara substansial meningkatkan keberhasilan transplantasi stem-cell pada pasien thalasemia kelas 3 dengan usia kurang dari 17 tahun. Tingkat kelangsungan hidup pasien adalah sebesar 93%, dan tingkat penolakan sebesar 8%.




Sumber tulisan






Rabu, 17 Oktober 2012

COKLAT DAN PERBAIKAN FUNGSI KOGNITIF



Ada gemar mengkonsumsi coklat?. Disamping semua kekhawatiran yang ditimbulkan akibat kebiasaan mengkonsumsi coklat seperti obesitas atau timbulnya jerawat, konsumsi coklat juga terbukti memberikan manfaat bagi konsumennya. Dalam sebuah "Occasional Notes" www.nejm.org sebuah website yang selalu memberikan review-review penelitian dalam dunia medis dan pengobatan ini menulis tentang salah satu manfaat konsumsi coklat. Dalam catatan tersebut dijelaskan bahwa adanya korelasi yang signifikan antara konsumsi coklat dan peningkatan fungsi kognitif.

Dalam artikel tersebut jelas disebutkan bahwa konsumsi coklat mampu meningkatkan fungsi kognitif seseorang. Fungsi kognitif adalah fungsi aktivitas mental secara sadar seperti berfikir, belajar, mengingat dan kemampuan berbahasa. Fungsi kognitif juga meliputi kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, perencanaan, penilaian, pengawasan dan evaluasi.

Diet tinggi flavonoid yang banyak terkandung dalam bahan makanan berbahan dasar nabati telah terbukti mampu meningkatkan/memperbaiki fungsi kognitif seseorang. Secara khusus, sebuah penelitian melaporkan adanya keterkaitan erat antara kebiasaan mengkonsumsi flavonoid dengan adanya penurunan resiko demensia, dan bersamaan dengan itu meningkatkan kinerja pada beberapa uji kognitif dan fungsi kognitif meningkat pada pasien usia lanjut. Demensia adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya penurunan fungsional yang disebabkan oleh kelainan pada otak.

Flavanol sebuah sub kelas dari flavonoid yang banyak terkandung dalam kakao, teh hijau, anggur merah dan beberapa buah-buahan lainya tampaknya efektif dalam memperlambat atau bahkan mengembalikan kinerja fungsi kognitif yang terjadi seiring proses penuaan. Diet flavanol juga menunjukan adanya peningkatan pada fungsi endothelial. Selain itu flavanol juga dapat menurunkan tekanan darah karena adanya vasodilatasi pada pembuluh darah perifer dan otak. Peningkatan fungsi kognitif akibat pemberian ekstrak polifenol kakao (coklat) juga telah diamati pada tikus Wistar–Unilever.


Sabtu, 13 Oktober 2012

TERAPI OVERDOSIS OPIOID



Overdosis analgesik opioid dapat dicegah dan berpotensi mengakibatkan kematian dari praktek peresepan obat yang tidak rasional, pemahaman yang tidak memadai tentang kondisi pasien dan resiko penggunaan obat yang salah (medication error), kesalahan dalam pemberian obat, dan penyalahgunaan obat. Ada tiga hal yang harus dipahami tentang toksisitas opioid ini:
  1. overdosis analgesik opioid dapat bersifat mengancam jiwa (menimbulkan kematian) akibat efek toksiknya pada berbagai organ yang kompleks.
  2. sifat farmakokinetik normal sering terganggu selama overdosis dan keracunan dan dapat pula terjadi perpanjangan intoksikasi yang dramatis
  3. durasi kerja toksisitas opioid bervariasi tergantung pada variasi formulasi opioid, dan kegagalan dalam mengenali formulasi opioid tersebut dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan tindakan terapinya, dan tak jarang mengakibatkan kematian.
EPIDEMIOLOGI OVERDOSIS

Jumlah kejadian overdosis analgesik opioid sebanding dengan jumlah opioid yang beredar dan diresepkan dimasyarakat. Sejak tahun 1997 hingga 2007 peresepan obat analgesik opioid di Amerika Serikat meningkat 700%, dan pada kurun waktu yang sama tersebut peresepan metadon meningkat hingga 1200%. Pada tahun 2010 National Poison Data System yang menerima dan mencatat kasus-kasus yang berhubungan dengan keracunan obat melaporkan bahwa lebih dari 107.000 kasus paparan analgesik opioid, dimana lebih dari 27.500 kasus diantaranya menerima analgesik opioid dari fasilitas kesehatan. Ada tumpang tindih antara penyakit psikiatri dan sindrom nyeri kronis. Pasien dengan gangguan kecemasan dan depresi lebih beresiko mengalami overdosis opioid dibandingkan dengan pasien lain yang tidak mengalami kondisi tersebut, karena pasien dengan gangguan kecemasan dan depresi umumnya menerima dosis opioid yang lebih tinggi. Pasien tersebut juga kemungkinan menerima agen hipnotif-sedatif (penenang), misal benzodiazepin yang sering beresiko mengalami overdosis dan kemungkinan lebih jauh menyebabkan kematian. 

PATOFISIOLOGI ANALGESIK OPIOID

Opioid dapat meningkatkan aktivitas pada satu lebih pasangan protein G transmembran, yang dikenal sebagai reseptor opioid mu, delta dan kappa. Reseptor opioid diaktifkan oleh peptida endogen dan ligan eksogen; morfin belakangan diketahui sebagai senyawa protipikal. Reseptor-reseptor tersebut terdistribusi secara luas pada seluruh tubuh manusia, dimana reseptor yang berada pada thalamus anterior dan ventrolateral, amigdala, dan akar ganglia dorsal akan memediasi nosisepsi. Dengan adanya kontribusi dari neuron dopaminergik, reseptor opioid batang otak memodulasi respon pernafasan untuk hiperkarbia dan hipoksemia, dan reseptor pada inti Edinger–Westpha okulomotor mengontrol konstriksi pupil. Agonis opioid mengikat reseptor pada saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus.

Reseptor opioid mu bertanggung jawab pada efek klinis yang dominan yang disebabkan oleh opioid. Studi pada tikus knockout mengkonfirmasi bahwa agonisme ini memediasi analgesia dan ketergantungan opioid. Selanjutnya, pengembangan toleransi, dimana dosis meningkat untuk mencapai efek klinis yang diinginkan, melibatkan ketidakmampuan progresif opioid mu untuk menyebarkan signal setelah mengikat opioid. Desensitisasi reseptor adalah titik kritis yang berperan pada perkembangan toleransi. 

Namun toleransi analgesik dan depresi pernafasan akibat opioid bukan semata-mata terkait dengan desensitisasi reseptor mu tersebut. Kondisi toleransi terjadi ketika pasien belajar untuk mengasosiasikan efek penguatan opioid dengan signal lingkungan untuk meprediksikan pemberian obat. Opioid yang digunakan saat hadirnya signal maka akan mengalami pelemahan efek, sebaliknya pemberian opioid yang dilakukan saat tidak adanya signal akan mengakibatkan pencapaian efek puncak. Toleransi depresi pernafasan tampaknya berkembang pada tingkat yang lebih lambat dari toleransi analgesik. Pasien dengan riwayat penggunaan opioid jangka panjang akan mengalami peningkatan resiko depresi pernafasan, dimana toleransi tertunda dapat menyebabkan penyempitan therapeutic window.

TOKSIKOKINETIK ANALGESIK OPIOID

Farmakokinetik analgesik opioid tertentu seperti absorpsi, onset kerja, bersihan, waktu paruh dan volume distribusi seringkali tidak relevan dengan kondisi overdosis. Sebagai contoh, terbentuknya bezoar (akumulasi massa/benda asing yang membentuk bulatan didalam perut, biasanya berupa rambut atau serat) dapat menyebabkan laju absorpsi opioid yang tidak menentu, penundaan pengosongan lambung, dan penurunan motilitas usus akibat penggunaan opioid itu sendiri menyebabkan absorpsi opioid tersebut lebih lambat dan berkepanjangan. Sebaliknya perilaku yang terkait dengan penggunaan opioid yang salah, misal insufflating atau penyuntikan tablet analgesik, pemanasan pacth fentanil, atau pemasangan lebih dari satu patch fentanil, sering mengakibatkan peningkatan laju absorpsi yang tak terduga. 

Setelah absorpsi, sebagian besar obat-obatan termasuk analgesik opioid akan mengalami eliminasi farmakokinetik orde pertama, dimana satu fraksi konstan dari obat dikonversi melalui proses enzimatik persatuan waktu. Dalam kondisi overdosis, tingginya kadar obat dapat mengalahkan kemampuan enzim untuk mengkonversinya, proses ini dikenal dengan istilah saturasi. Saturated biologic processes (proses biologi yang telah mengalami kejenuhan) ditandai dengan transisi kinetik dari orde pertama ke orde nol. Ada dua fenomena penting yang terjadi pada kinetika orde nol:
  1. Adanya peningkatan sedikit dosis obat dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma obat yang tidak proporsional sehingga mengakibatkan terjadinya intoksikasi.
  2. Sejumlah konstan dari obat dapat dihilangkan persatuan waktu
Bertemunya beberapa efek toksikokinetik dapat menyebabkan efek toksisitas yang mungkin berat, dengan onset tertunda, atau pun adanya efek terapi yang berkepanjangan.

MANIFESTASI KLINIS OVERDOSIS ANALGESIK OPIOID

Toxidrome (sebuah sindrome yang disebabkan oleh adanya racun dalam tubuh) klasik dari intoksikasi opioid ini diantaranya apnea (kondisi suspensi pernafasan eksternal), pingsan (sinkop) dan miosis. Sine qua non (kondisi, temuan atau tanda yang tidak akan mungkin hadir tanpa adanya penyakit atau kondisi yang diduga) pada keracunan opioid adalah adanya depresi pernafasan. Pemberian dosis terapi opioid pada seseorang tanpa tolernasi menyebabkan penurunan aktivitas pernafasan dengan tingkat penurunan yang tergantung pada tingkat dosis yang diberikan. Penurunan pernafasan merupakan gejala yang paling mudah diamati dan puncaknya adalah apnea. Tingkat pernafasan 12x/menit atau kurang pada seseorang dengan kondisi yang tidak sedang tidur fisiologis jelas menunjukan adanya keracunan opioid akut terlebih bila disertai dengan miosis atau stupor. Adanya miosis saja tidak cukup untuk menyimpulkan adanya diagnosis keracunan opioid.

Gambar 1
Temuan Klinis pada Intoksikasi Analgesik Opioid

Ingesti banyak zat dapat menghasilkan reaksi normalisasi dan midriasis pupil, sebagaimana juga dapat menyebabkan keracunan dari meperidin, propoksifen atau tramadol. Sebaliknya overdosis dari obat opioid, agen antikonvulsan dan agen sedatif-hipnotif lainnya dapat menyabakan miosis dan koma, namun umumnya tanpa adanya depresi pernafasan.

Kegagalan oksigenasi didefinisikan sebagai kejenuhan oksigen kurang dari 90% sedangkan pasien menghirup udara ambien dan dengan ventilasi yang memadai untuk mencapai tegangan karbon dioksida normal (tekanan parsial karbon dioksida) sering disebabkan oleh edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh beberapa kondisi. Salah satu penyebab yang mungkin adalah inspirasi terjadi pada glotis yang tertutup sehingga menyebabkan penurunan tekanan intraaortik dan lebih lanjut menyebabkan ekstravasasi cairan. Atau penyebab lain yang mungkin adalah adanya cedera paru akut yang mungkin timbul dari mekanisme yang sama dengan yang dipostulasikan untuk edema paru neurogenik. Dalam skenario ini, respon vasoaktif simpatik terhadap stres pada seseorang yang telah pulih dari kondisi intoksikasi berujung pada kebocoran paru perifer.

Hipotermia mungkin terjadi akibat tidak adanya respon yang persisten dalam lingkungan yang dingin atau akibat kesalahan dalam upaya pemulihan intoksikasi opioid dengan cara merendam pasien dalam air. Selain itu seseorang yang pingsan yang terinduksi opioid dapat mengalami rhabdomyolisis, gagal ginjal myoglobinurik dan sindrom kompartemen. Abnormalitas laboratorium lain yang mungkin terjadi adalah konsentrasi aminotransferase dalam hubungannya dengan cedera hati yang disebabkan oleh parasetamol atau hipoksemia. Kejang dikaitkan dengan overdosis tramadol, propoksifen dan meferidin.

DIAGNOSIS OVERDOSIS

Kehadiran hipopnea atau apnea, miosis, dan pingsan harus mengarahkan dokter untuk menduga kemungkinan diagnosis intoksikasi analgesik opioid yang mungkin disimpulkan dengan memperhatikan tanda-tanda fisik, riwayat pengobatan dan pemeriksaan fisik. Pada pasien dengan depresi pernafasan berat, pemulihan ventilasi dan oksigenasi lebih diutamakan dari pada memperoleh riwayat pengobatan pasien atau melakukan pemeriksaan fisik atau tes diagnostik.

Setelah kondisi pasien stabil, dokter harus menanyakan semua analgesik opioid yang pernah digunakannya, parasetamol dan obat terlarang dan berbahaya lainnya dan menanyakan apakah pasien memiliki kontak dengan siapa pun yang menerima pengobatan nyeri kronis atau ketergantungan. Dalam melakukan pemeriksaan fisik dokter harus mengevaluasi ukuran dan reaktivitas pupil dan tingkat pernafasan dan temuan auskultasi yang mengarah pada edema paru. Pasien harus benar-benar telanjang untuk menemukan kemungkinan adanya patch fentanil. Dokter juga harus melakukan palpasi otot, kekompakannya, pembengkakan dan kelembutan yang menjadi ciri sindrom kompartemen. Akhirnya kadar plasma parasetamol juga harus ditentukan, untuk melihat adanya kemungkinan hepatotoksisitas parasetamol.

Analisis urin kualitatif diperlukan untuk melihat kemungkinan penggunaan obat-obatan terlarang. Namun penemuan akan adanya penggunaan obat-obatan terlarang ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap keputusan tindakan yang akan diambil, hal ini karena pada dasarnya terapi overdosis opioid tidak terlalu berbeda.

TERAPI OVERDOSIS

Pasien dengan apnea memerlukan stimulus mekanis dan farmakologis. Untuk pasien yang pingsan dengan tingkat pernafasan 12x/menit atau kurang ventilasi harus diberikan dengan bag-valve mask; chin-lift dan
jaw-thrust  harus dilakukan untuk memastikan bahwa posisi anatomis membantu untuk mengurangi hiperkarbia. Meskipun hubungan antara tekanan parsial karbon dioksida dan cedera paru-paru akut tidak jelas, memberikan ventilasi yang memadai adalah respon sederhana yang bermanfaat mengembalikan oksigenasi dan mencegah lonjakan simpatik yang dapat memicu edema paru setelah pemulihan apnea dengan resiko minimal.

Nalokson adalah salah satu antidot untuk overdosis opioid yang merupakan antagonis kompetitif reseptor mu  yang membalikan semua tanda-tanda overdosis opioid. Nalokson akan aktif jika diberikan melalui rute parenteral, intranasal atau pun pulmonar. Pada pasien dengan ketergantungan opioid, konsentrasi plasma awal dari nalokson harus lebih rendah karena volume distribusinya lebih tinggi dan waktu paruh eliminasinya lebih panjang dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami ketergantungan apioid. Onset kerja nalokson kurang dari 2 menit pada orang dewasa jika diberikan melalui suntikan intravena, dengan durasi kerja yang jelas sekitar 20-90 menit, satu periode kerja yang lebih pendek dibandingkan dengan kebanyakan opioid.

Dosis nalokson bersifat empiris. Dosis efektif sangat tergantung pada besarnya analgesik opioid yang diterima oleh pasien, afinitas relatif dari nalokson dalam posisi analgesik opioid pada ikatannya dengan reseptor mu, berat badan pasien dan tingkat penetrasi dari analgesik pada sistem syaraf pusat. Karena sebagian besar informasi tidak diketahui, maka untuk menentukan dosis efektifnya sangat bergantung pada terapi percobaan. Dosis awal nalokson untuk orang dewasa adalah 0,04 mg, jika tidak ada respon dosis harus ditingkatkan setiap 2 menit, dosis maksimum 15 mg. Jika tidak ada pengurangan gejala depresi pernafasan setelah pemberian 15 mg nalokson, ini berarti bahwa penyebab depresi pernafasan tersebut bukanlah overdosis opioid. Kembalinya toksisitas opioid setelah pemberian dosis tunggal nalokson sering bersifat sementara, adanya depresi pernafasan berulang merupakan indikasi diperlukannya infus kontinue.

Nalokson dapat diberikan tanpa perlu khawatir termasuk pada pasien dengan ketergantungan opioid. Kekhawatiran bahwa nalokson akan membahayakan pasien dengan ketergantungan opioid tidak beralasan. Tanda-tanda yang tidak menyenangkan seperti menguap, lakrimasi, piloereksi, diaforesis, myalgia, mual dan diare memang mungkin terjadi namun hal itu tidak mengancam jiwa. Selain itu pasien dengan toleransi opioid sering kali memiliki respon yang memadai terhadap nalokson untuk meningkatkan tingkat pernafasan. Setelah tingkat pernafasan meningkat setelah pemberian nalokson pasien harus diobservasi selama 4-6 jam sebelum akhirnya pemberian nalokson dihentikan.

Metode pemberian alternatif untuk nalokson adalah melalui intubasi intratrakeal, prosedur yang memastikan keamanan pemberiannya bersamaan dengan prosedur oksigenasi dan ventilasi. Pasien yang mengalami intoksikasi akibat penggunaan formulasi opioid long-acting atau  extended-release dapat mengalami depresi pernafasan berulang atau memerlukan infus nalokson atau intubasi intratrakeal yang dilakukan diunit gawat darurat.

Setelah kondisi pasien, selanjutnya harus diteliti dan dipastikan bahwa pada permukaan tubuh pasien tidak terdapat patch fentanil. Pacth fentanil sering menyebabkan intoksikasi tertunda. Aksila, perineum, skrotum dan orofaring harus diperiksa dan jika ditemukan pacth fentanil harus segera dilepaskan dan kulit harus didekontaminasi dengan air dingin dan sabun. Pada pasien yang mungkin menelan pacth fentanil maka harus dilakukan irigasi dengan polietilen glikol untuk mempercepat penghapusan patch.

Adanya hipoksemia persisten setelah pemberian nalokson dapat menandakan adanya negative-pressure edema paru. Pada kasus hipoksemia ringan perawatan suportif saja telah cukup, namun pada kasus yang berat diperlukan pemberian intubasi orotrakeal dan ventilasi positive-pressure. Resolusi cedera paru dapat dilakukan dengan aspirasi isi lambung yang biasanya dilakukan dalam 24 jam. Karena kemungkinan penyebab cedera paru tersebut bukan karena kelebihan cairan maka upaya pengurangan volume intravaskular dengan menggunakan diuretik sering kali tidak efektif dan bahkan dapat memperburuk kondisi gagal ginjal myogloburik, jika ada. Nalokson telah dipandang keliru sebagai penyebab edema paru. Namun pada kasus overdosis opioid yang fatal, edema paru hampir selalu terjadi, termasuk yang terjadi pada kasus sebelum dikembangkannya nalokson. Penelitian terbaru telah menunjukan bahwa edema paru tidak berkembang pada pasien yang menerima nalokson dalam dosis besar dan dengan cara infus kontinue. Akhirnya, auskultasi tanda-tanda edema paru yang sering tidak jelas pada pasien dengan apnea, menjadi jelas setelah pemberian nalokson.

Rhabdomyolisis yang didefinisikan sebagai kondisi dimana konsentrasi kreatinin-kinase lima kali atau lebih tinggi dari kisaran normal terakhir harus diterapi dengan resusitasi cairan untuk mencegah presipitasi (pengendapan) mioglobin dalam tubulus ginjal; pemberian bikarbonat tidak memperbaiki kondisi. Pasien dengan sindrom kompartemen harus harus menerima konsultasi darurat bedah untuk kemungkinan fasciotomy. Pasien dengan hipotermia mungkin memerlukan pemanasan segera. Peningkatan konsentrasi aminotransferase, adanya parasetamol dalam darah, atau keduanya menunjukan kemungkinan perlunya terapi dengan asetilsistein. Akhirnya perlu dilakukan identifikasi penyebab overdosis untuk menentukan perawatan lanjutan yang tepat bagi pasien tersebut.






Sumber
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1202561


Kamis, 11 Oktober 2012

TUBERCULOSIS, RESISTENSI OBAT DAN SEJARAH PENGOBATAN MODERN



Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi yang membunuh sekitar 2 juta orang setiap tahunnya.  Multidrug-resistant (MDR) tuberculosis disebabkan oleh adanya konvensi strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid (INH) dan rifampisin yang merupakan tulang punggung dalam terapi tuberculosis. MDR diperkirakan menimpa sekitar 500.000 penderita tuberculosis pertahunnya. Resistensi anti-TB telah dipelajari sejak tahun 1940an.

Dalam sebuah presentasinya pada tanggal 24 Maret 1882, Robert Koch menyatakan bahwa TB merupakan sebuah penyakit yang pada abad 19 menyebabkan kematian pada sekitar 25% dari semua kematian di Massachusetts dan New York serta menewaskan sekitar seperempat penduduk Eropa. Koch meringkas sejumlah penemuan-penemuan pentingnya dalam sebuah naskah yang dipublikasikan Berliner Klinische Wochenschrift, sehingga dia memenangkan Nobel pada tahun 1905.

Namun sepanjang penelitian tentang TB, perkembangan penemuan terapi TB agak tertinggal. Baru sekitar 60 tahun kemudian yaitu tahun 1943, streptomisin ditetapkan sebagai anti-TB pertama yang dinyatakan efektif. Pada tahun 1944 seorang penderita TB menerima suntikan streptomisin dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya itu. Baru setelah itu diikuti dengan berbagai penemuan agen-agen anti-TB lainnya. The British Medical Research Council melakukan studi klinis pertama kali untuk menguji efektivitas streptomisin pada tahun 1948. Dari studi acak terkontrol tersebut, banyak penderita yang dinyatakan sembuh namun tidak sedikit pula yang mengalami kekambuhan, dan pada saat isolat mikobakteri dibiakan menunjukan adanya resistensi terhadap streptomisin.

Thiacetazone dan asam para-aminosalisilat merupakan dua agen anti-TB yang ditemukan kemudian. Ketika salah satu agen tersebut digunakan bersamaan dengan streptomisin, tingkat kesembuhan pasien meningkat dengan resiko resistensi yang menurun.

Tahun 1951 isonicotinic acid hydrazide (isoniazid)  atau yang sering disingkat dengan istilah INH diuji dan dinyatakan efektif sehingga segera diperkenalkan dan dipergunakan secara luas dimasyarakat. Penemuan INH kemudian diikuti dengan penemuan-penemuan agen baru yaitu pirazinamid pada tahun 1952, cycloserine (1952), ethionamide (1956), rifampin (1957), dan ethambutol (1962).

Dengan tingkat efikasi yang memadai dan cara pemberian obat yang mudah, penemuan rifampisin telah merevolusi metode terapi TB. Namun setiap penemuan anti-TB baru selalu diikuti dengan pemilihan mutasi resistensi untuk agen tersebut. Resistensi terhadap rifampisin segera diamati sejak pertama kali agen tersebut digunakan.

Uji laboratorium menunjukan bahwa penggunaan INH sebagai monoterapi memiliki tingkat resistensi yang tinggi, penekanan laju resistensi terjadi saat INH yang diberikan dalam kombinasi bersama streptomisin atau asam para-aminosalisilat. Penelitian ini menyebabkan pemberian terapi multidrugs (kombinasi) lebih disukai untuk terapi TB, sebagaimana terapi untuk penyakit menular lainnya atau kanker. Dan pada akhirnya berdasarkan studi klinis diberbagai negara yang dipimpin oleh British Medical Research Council, menyarankan terapi kombinasi dengan menggunakan 4 agen anti-TB dalam terapi pasien TB. INH dan rifampisin menjadi tulang punggung dalam terapi ini yang diberikan selama 6-8 bulan.

Resistensi obat, merupakan suatu kondisi yang menantang yang selalu memerlukan penelitian. TB baik yang disebabkan oleh strain yang rentan terhadap obat maupun yang resisten terhadap obat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, gizi buruk, dan pemukiman kumuh.

KEBIJAKAN PEMBERANTASAN TB

Optimisme bahwa TB akan menjadi salah satu penyakit yang akan segera tereliminasi bukan hanya dominasi negara-negara kaya. International Conference on Primary Health Care di Alma-Ata (sekarang disebut Almaty) pada tahun 1978 mendelegasikan semua negara di dunia untuk mendukung tujuan dari “health for all by the year 2000.” Dimana pemberantasan penyakit cacar telah diumumkan setahun sebelumnya.

Kusta dan TB memerlukan terapi obat dan tindak lanjut perawatan untuk menjamin kesembuhannya, sehingga setiap negara memerlukan penyiapan pembiayaan yang memadai untuk itu. Namun TB merupakan penyakit yang persisten dengan kemiskinan.

Tahun 1993, WHO menggunakan disabilityadjusted life-years, sebagai alat untuk mengukur "efektivitas biaya" pada intervensi kesehatan yang diberikan dengan memperhitungkan faktor mortalitas, morbiditas dan usia dan menyimpulkan bahwa kemoterapi TB jangka pendek dinyatakan "hemat biaya". WHO kemudian mempromosikan program DOTS (directly observed therapy, short-course) sebagai strategi pemberantasan TB. Menurut strategi ini diagnosis TB dapat ditetapkan hanya dengan menggunakan uji mikroskopik, terlepas dari ketidakpekaan obat dan ketidakmampuan teknis untuk mendeteksi resistensi obat dan pendekatan pengobatan harus didasarkan pada penggunaan empiris agen lini pertama dari anti-TB.

Fasilitas yang berbasis pengendalian infeksi tidak termasuk dalam bagian strategi DOTS ini. Namun demikian, negara-negara miskin di dunia yang mengembangkan program ini telah banyak terbantu dengan semakin banyaknya nyawa yang dapat diselamatkan dari TB. Namun demikian anak-anak dengan TB, seseorang dengan TB disertai HIV mengalami peningkatan resiko terinfeksi strain TB yang resisten terhadap obat.

MDR TB SECARA GLOBAL

Pergeseran kebijakan dari anggapan bahwa pemberantasan TB memerlukan biaya pengobatan yang mahal ke paradigma baru bahwa pemberantasan TB dianggap hemat biaya dianggap sebagai "konstruksi sosial penyakit". Namun demikian strain M. tuberculosis yang resisten terhadap obat terus bermunculan dan menular akibat pengobatan empiris dengan agen anti-TB lini pertama tidak efektif bagi mereka yang telah terinfeksi strain yang resisten. Infeksi HIV semakin memperparah kondisi epidemi TB. Akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an telah dilaporkan tentang perkembangan resistensi TB ini. Dalam laporan ini disebutkan bahwa transmisi udara terhadap strain tak terdeteksi dan tak terobati memainkan peran utama dalam perkembangan MDR TB ini.








Rabu, 10 Oktober 2012

STUDI KASUS PADA PASIEN DENGAN CEDERA HATI AUTOIMUN




Seorang pria berusia 55 tahun datang menemui seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan atas beberapa keluhan yang dirasakannya. Pria tersebut mengatakan bahwa telah selama seminggu dia mengalami hidung tersumbat, sakit kepala, menggigil, mual ringan, dan sensasi berkabut (kekaburan penglihatan), serta merasakan bahwa matanya menguning. Dia juga mengatakan bahwa urinnya lebih gelap (pekat) dan malaise beberapa hari sebelum kunjungannya ke dokter ini. Dia tidak merasakan adanya nyeri abdomen (perut), pruritus, muntah, melena atau hematochezia, dia tidak mengukur suhu badannya namun ia merasakan adanya demam.
Apa yang terjadi dengan pria tersebut???

Pernyataan pasien tentang adanya gejala urin yang gelap dan ikterus skleral, maka jaundice (penyakit kuning) merupakan diagnosa yang potensial yang patut dicurigai untuk kondisi ini. Baik itu jaundice obstuktif atau pun nonobstruktif. Jaundice nonobstruktif umumnya disebabkan oleh sebab-sebab berikut:
  • Infeksi, terutama infeksi virus (adanya sumbatan hidung dan sakit kepala merupakan salah satu gejala kondisi ini)
  • Kanker (padat atau hematologi)
  • Obat atau racun ( termasuk alkohol dan obat herbal)
  • Penyakit autoimun
Sedangkan penyakit obstruktif dapat bersifat lunak/benign (berupa baru atau striktur) maupun ganas/malignant

Sejarah Medis Pasien
Lebih lanjut dari kondisi ini, diketahui bahwa sejarah medis pasien diantaranya adalah adanya hipertensi, hiperlipidemia, alergi musiman, nefrolitiasis, dan episode campak pada usia 9 tahun adalah merupakan komplikasi pernafasan yang rumit yang mengharuskan sang pasien ini mengalami trakeostomi. Dari sejarah medis dikeluarganya diketahui adanya kanker testis pada saudara laki-lakinya. Pekerjaan pasien adalah sebagai seorang engineer. Dia tidak memiliki riwayat tranfusi darah, pemasangan tato, penggunaan tembakau (rokok) dan obat-obatan terlarang. Konsumsi alkohol 1-2 gelas permalam. Perjalanan terakhir yang dilakukan adalah ke Pulau Turks dan Caicos pada 4 bulan sebelum kunjungan pengobatan ini. Obat-obatan yang pernah atau sedang dikonsumsinya antara lain: aspirin, atenolol, hidroklorotiazid, lovastatin, fexofenadin, minyak ikan, acidophilus, vitamin D dan kalsium karbonat. Pasien mengaku tidak menggunakan parasetamol atau obat-obat bebas lainnya atau pun suplemen herbal dalam kurun waktu 6 bulan terakhir.

Hipertensi dan hiperlipidemia menunjukan adanya sindrom metabolik yang meningkatkan kemungkinan penyakit hati berlemak nonalkoholik. Penggunaan alkohol oleh pasien juga dapat dianggap sebagai faktor predisposisi yang potensial pada kerusakan hati, dalam hal ini kebiasaan konsumsi alkohol tidak dapat dianggap remeh, bahkan pada penggunaan/konsumsi alkohol dalam jumlah sangat kecil pun akan berakibat fatal pada pasien dengan penyakit hati okultisme. Hampir semua obat dapat dihubungkan dengan kondisi kerusakan hati. Dan dari semua obat yang dikonsumsi pasien ini, lovastatin merupakan obat yang paling dikhawatirkan memperparah kerusakan hati. Kemungkinan penggunaan antibiotik akan semakin memperparah kondisi ini. Antibiotik merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak menyebabkan kerusakan hati. Perjalanan terakhir yang dilakukan pasien juga dapat merupakan faktor penyebab gangguan kesehatan yang dialami sang pasien. Dalam perjalanan, penularan penyakit infeksi virus seperti hepatitis A sangat mungkin terjadi. Namun dalam hal ini, pasien dapat dipastikan tidak terinfeksi hepatitis A, karena infeksi virus ini memiliki masa inkubasi 28 hari.

Pada tiga setengah tahun yang lalu, melalui pemeriksaan fisik rutin diketahui bahwa pasien mengalami peningkatan sedikit level enzim hati. Tingkat aspartat amonitransferase sebesar 35 U/liter (kisaran normal 2-35 U/liter), dan level alanin aminotransferase sebesar 47 U/liter (kisaran normal 0-45 U/liter). Sedangkan level alkalin fosfatase, bilirubin dan albumin normal. Level aspartat aminotransferase dan alanin aminotransferase kembali meningkat setahun kemudian saat pasien mulai menggunakan simvastatin untuk terapi hiperlipidemianya (untuk menurunkan kadar LDL serum). Dan pada pemeriksaan 2 bulan kemudian, level aspartat dan alanin aminotransferase kembali mengalami sedikit peningkatan, sejak dilakukannya peningkatan dosis simvastatin (2 kali dosis sebelumnya). Sejak dua bulan penggunaan dosis simvastatin yang lebih tinggi ini level aspartat dan alanin aminotransferase meningkat menjadi 63 U/liter dan 93 U/liter. Kondisi tersebut menyebabkan penggunaan simvastatin dihentikan. Satu bulan kemudian level aspartat aminotransferase meningkat menjadi 130 U/liter, alanin aminotransferase 202 U/liter dan alkalin fosfatase meningkat menjadi 140 U/liter (kiaran normal 30-130 U/liter), sedangkan level bilirubin dan albumin normal. Tes antibodi terhadap hepatitis B dan C negatif. Level besi, kapasitas pengikatan besi (iron-binding) dan ferritin normal. Level alfa-antitripsin rendah yaitu 79 mg/dl (kisaran normal 113-263 mg/dl) dengan fenotif MZ.

Pasien asimptomatis. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh seorang hepatologist, pengujian menunjukan adanya ikterus skleral, nyeri tekan pada perut, hepatosplenomegali. limfadenopati, dan kelianan-kalianan lainnya. Level aspartat aminotransferase 62 U/liter dan alanin aminotransferase 102 U/liter, alkali fosfatase 90 U/liter, bilirubin 1,1 mg/dl, INR 1,0 dan albumin 4,5 g/dl. Dari biopsi hati diketahui adanya steatosis ringan tanpa fibrosis dan kelainan klinis lainnya yang signifikan. Pada pewarnaan Periodic acid–Schiff (PAS) dengan diastase menunjukan tidak adanya tetesan alfa1-antitripsin, dan pewarnaan besi menunjukan tidak adanya penumpukan besi. Enzim hati kembali normal 3 tahun kemudian, dan dimulailah terapi dengan lovastatin. Dan pada pemeriksaan fisik rutin setahun kemudian (4 bulan sebelum kunjungan ke dokter ini) kondisi enzim-enzim hati tersebut masih normal.

Dari sejarah medisnya pasien menunjukan penyakit hati nonalkoholik. Namun kebiasaan pasien mengkonsumsi alkohol juga sangat memungkinkan mengakibatkan kerusakan/penyakit hati ini. Terlebih dalam biopsi tidak memungkinkan untuk membedakan penyakit hati tersebut apakah alkoholik atau nonalkoholik. Selain itu pula pasien menunjukan adanya kombinasi gejala yang berhubungan dengan penyakit hati alkoholik atau pun nonalkoholik. Adanya perubahan enzim aminotransferase yang sering kembali ke kondisi normal adalah salah satu gejala kondisi tersebut. Ada kemungkinan peningkatan enzim aminotransferase berhubungan dengan penggunaan agen statin (terutama pada peningkatan dosis). Fenotif MZ umumnya tidak berhubungan dengan penyakit endorgan serius. Kerusakan hati dapat terlihat pada pasien yang mengalami defisiensi alfa1-antitripsin akibat akumulasi protein abnormal pada retikulum endoplasma. Hasil negatif pada pewranaan diastase-PAS menunjukan tidak adanya akumuluasi yang signifikan.

Pemeriksaan dan Penetapan Diagnosa
Pengujian pada saat pemeriksaan ini menunjukan tekanan darah 138/73 mm Hg, denyut jantung 63 kali permenit, suhu badan 36,7 derajat celcius, saturasi oksigen 98% sementara pasien sedang menghirup udara ambien. Ikterus skleral tanpa nyeri tekan abdomen dengan ujung hati teraba kurang dari lebar 1 jari dibawah kostal. Tidak ada splenomegali atau ascites yang terdeteksi. Pasien tidak sedang kebingungan dan tidak memiliki asterixis. Studi laboratorium menunjukan panel metabolisme dasar normal dan hitung darah lengkap.  Level aspartat aminotransferase 1545 U/liter dan alanin aminotransferase 2655 U/liter, alkali fosfatase 399 U/liter, total bilirubin 5,3 mg/dl, bilirubin direct 4,0 mg/dl dan albumin 3,8 9/dl. Dengan kondisi ini pasien disarankan untuk datang ke unit gawat darurat.

Hasil pemeriksaan laboratorium tersebut menunjukan adanya kerusakan hati yang parah. Dimana kadar enzim aminotransferase meningkat secara nyata, dan tinggi kadar alkali fosfatase dan bilirubin menunjukan adanya luka hepatoseluler. Level aminotransferase yang lebih dari 1000 U/liter adalah indikasi khas untuk adanya cedera iskemik, cedera virus, cedera yang berkaitan dengan penggunaan obat atau keracaunan dan penyakit hati autoimun. Meskipun adanya penyakit batu empede akut yang disertai dengan choledocholithiasis dapat memungkinkan adanya temuan klinis serupa ini, namun tidak adanya nyeri tekan abdomen telah mengeliminasi kemungkinan ini. Hepatitis virus akut dan kerusakan hati yang terinduksi obat adalah 2 diagnosa yang paling mungkin dalam hal ini. Informasi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah pasien memerlukan perawatan di rumah sakit atau tidak. Adanya ensefalopati dan koagulopati menunjukan adanya gagal hati akut, dan untuk itu pasien memerlukan evaluasi dan pengobatan lebih lanjut. Dan dalam kasus ini sepanjang nilai INR tidak meningkat dan pasien tetap terhidrasi dan menjaga nutrisi, maka pasien tidak sepenuhnya memerlukan rawat inap di rumah sakit.

Pasien ini kemudian dirawat di unit pelayanan kedokteran umum untuk penanganan hepatitis akut. Pasien berada dalam kondisi stabil dan tanpa gejala. Hasil uji INR 1,1 dan tes antigen untuk hepatitis B, antibodi permukaan, anti IgM dan antibodi hepatits A semuanya negatif. Berdasarkan PCR assay virus hepatitis C juga negatif, begitu pun untuk cytomegalovirus dan uji serologi untuk Epstein–Barr virus. Pengujian kadar parasetamol dan salisilat serum masih berada dibawah batas referensi, tes etanol negatif, begitu pun uji obat terlarang dalam urin juga negatif. Level imunoglobulin kuantitatif yang signifikan yaitu IgG sebesar 1740 mg/dl (kisaran normal 620-1520 mg/dl) dengan tingkat IgA dan IgM normal.

Tidak adanya ensefalopati dan koagulopati menyebabkan dokter lebih yakin bahwa pasien mengalami cedera hati akut ketimbang gagal hati akut, dan tetap menduga kuat bahwa penggunaan statin terlibat dalam hal ini.

Pemeriksaan lebih lanjut adalah dengan biopsi hati. Pada pemeriksaan ini terlihat adanya fibrosis dan steatosis. Penemuan biopsi ini konsisten untuk cedera hati autoimun, dan fibrosis menunjukan kronisitasnya. Prednison harus diberikan dan mungkin juga azathioprine. Prognosis untuk remisi biokimia yang sangat baik, pada sebagian besar pasien dengan hepatitis autoimun akan mengalami peningkatan biokimia dalam kurun waktu 2 minggu setelah dilakukannya terapi inisiasi imunosupresif.

3 bulan setelah dimulainya terapi dengan prednison dan azathioprine level enzim hati kembali normal. Kemudian terapi prednison dihentikan secara bertahap dan dilanjutkan dengan terapi tunggal azathioprine selama lebih dari setahun.







Artikel asli
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcps1011784





Sabtu, 06 Oktober 2012

MENGENANG SEJARAH DIABETES MELITUS (200 TAHUN DIABETES MELITUS)




Diabetes melitus telah dikenal sejak 1500 tahun sebelum masehi, dan dikenal pertama kali oleh bangsa Mesir kuno. Kala itu diabetes melitus dianggap sebagai suatu keadaan yang aneh dimana seseorang buang air kecil secara berlebihan dan mengalami penurunan berat badan secara drastis. Istilah diabetes melitus merefleksikan keadaan bahwa urin yang dikeluarkan penderita memiliki rasa manis. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Aretaeus seorang tabib Yunani yang hidup pada sekitar tahun 80-138 sesudah masehi. Tahun 1776 Mathews Dobson melakukan pengukuran glukosa dalam urin penderita tersebut dan menemukan adanya konsentrasi gula yang tinggi pada penderita tersebut.

Diabetes melitus mulai diakui sebagai sebuah entitas klinis sejak didirikannya New England Journal of Medicine and Surgery pada tahun 1812. Prevalensi diabetes melitus ini pada saat itu belum terdokumentasikan, dan belum ada pengetahuan tentang mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya penyakit ini. Pengobatan yang efektif juga belum tersedia. Selama 200 tahun proses intervensi terhadap diabetes melitus ini, berbagai perkembangan pengetahuan, upaya pendekatan terapi dan pencegahannya telah mengalami kemajuan pesat. Berbagai upaya terapi dan pencegahan telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan mencegah komplikasi pada penderitanya. Berbagai studi dan penelitian seputar diabetes melitus dan penyakit gangguan metabolisme lainnya berkembang dengan sangat pesat.

Ironisnya, meski berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan terapi diabetes melitus telah berkembang sangat pesat, namun upaya penyembuhannya masih sulit untuk dipahami. Pada sekitar 2 abad yang lalu hanya pasien dengan defisiensi insulin yang parah yang akan terdeteksi sebagai penderita diabetes melitus, sedangkan pasien dengan defisiensi insulin yang lebih ringan mungkin akan lolos dari vonis diagnosa tersebut. Sedangkan  saat ini, hanya ada sedikit pasien diabetes melitus yang mengalami defisiensi/kerusakan insulin parah, melainkan lebih banyak diantaranya merupakan penderita diabetes melitus dengan gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin. Prevalensi diabetes melitus meningkat drastis pada kurun waktu 3-4 dekade terakhir, yang menyebabkan diabetes melitus menjadi salah satu epidemi yang paling umum dan serius yang dijumpai dimasyarakat.

Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan seputar diabetes melitus tak lepas dari peran serta aktif para peneliti yang selalu melakukan penelitian-penelitian penting. Beberapa peneliti diantaranya berhasil memenangkan Hadiah Nobel. Para peneliti yang berhasil memenangkan Hadiah Nobel seputar diabetes melitus diantaranya:
  1. F.G. Banting and J.J.R. Macleod yang memenangkan Nobel pada tahun 1923 dalam kontribusinya sebagai penemu insulin (kategori obat)
  2. C.F. Cori and G.T. Cori pada tahun 1947 memenangkan Nobel dalam kontribusinya sebagai penemu jalur konversi katalitik glikogen (kategori obat)
  3. B.A. Houssay tahun 1947 memenangkan Nobel dalam kontribusinya sebagai penemu peran hormon yang dilepaskan lobus hipofisis anterior dalam metabolisme gula (kategori obat)
  4. F. Sanger tahun 1958 memenangkan Nobel dalam kontribusinya sebagai penemu struktur protein terutama insulin (kategori kimia)
  5. E.W. Sutherland tahun 1971 berkontribusi pada penemuan mekanisme kerja hormon (kategori obat)
  6. R. Yalow tahun 1977 berkontribusi pada pengembangan  pada peptida hormon (kategori obat)
  7. E.H. Fischer and E.G. Krebs tahun 1992 berkontribusi pada penemuan mengenai fosforilasi protein reversibel sebagai mekanisme pengaturan biologik (kategori obat)

LANDASAN ILMIAH YANG DIGUNAKAN DALAM PENDEKATAN TERAPI

Studi pada Metabolisme Glukosa
Dalam 200 tahun terakhir, kemajuan seputar regulasi metabolisme glukosa telah sedemikian rupa berkembang. Dimulai pada abad 19, Claude Bernard menunjukan bahwa pengaturan kadar glukosa darah tidak hanya ditentukan oleh laju penyerapan karbohidrat dari makanan tapi juga oleh hati yang memainkan peran sentral pada produksi glukosa dari prekursor nonglukosa. 

Penelitian lain menginvestigasi adanya enzim yang bertanggungjawab pada pembentukan dan pemecahan glikogen. Hormon yang dihasilkan oleh hipofisis anterior berperan mengatur metabolisme glukosa dan terjadinya diabetes. Selain itu fosforilasi protein reversibel oleh protein kinase dan penemuan AMP siklik serta peranannya pada pengaturan aktivitas hormon, terutama pada epinefrin dan glukagon, yang mana keduanya berperan untuk meningkatkan kadar glukosa darah dan akhirnya berkontribusi pada terjadinya hiperglikemia diabetes. 

Peran Pankreas dan Insulin
Tahun 1889, Joseph von Mering dan Oskar Minkowski menemukan bahwa menghilangnya pankreas pada anjing mengakibatkan diabetes yang fatal, memberi petunjuk pertama bahwa pankreas memainkan peranan penting dalam pengaturan kadar glukosa.

Tahun 1910, Edward Albert  Sharpey-Schafer dalam hipotesisnya menyatakan bahwa diabetes disebabkan karena kekurangan zat kimia tunggal yang dihasilkan oleh pankreas yang disebut insulin. Istilah insulin berasal dari bahasa Latin yang berarti pulau dan mengacu pada sel-sel islet pankreas dari langerhans. 

Tahun 1921, Frederick Banting and Charles Best mengekstraksi insulin dari sel islet pankreas anjing. Bersama dengan James Collip and John Macleod mereka berhasil memurnikan insulin pankreas sapi dan merupakan insulin yang pertama kali digunakan untuk mengobati pasien diabetes. Produksi insulin dan penggunaannya dalam terapi diabetes dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Penggunaan insulin pada saat itu telah terbukti meningkatkan harapan hidup pasien. 

Sifat Kimia, Biologi dan Fisiologi Insulin
Struktur kristal tiga dimensi insulin pertama kali ditentukan oleh Dorothy Hodgkin, seorang ilmuwan yang pernah memenangkan Nobel karena keberhasilannya dalam mendeterminasikan struktur vitamin B12. Donald Steiner’s tahun 1967 mendemonstrasikan bahwa molekul insulin dua peptida berasal dari prekursor proinsulin. Insulin adalah hormon pertama yang di kloning dan diproduksi secara masal guna kepentingan terapi dengan menggunakan teknologi DNA-recombinant

Pengembangan radioimunoassay pata tahun 1959 untuk penetapan insulin oleh Rosalyn Yalow and Solomon Berson memungkinkan pengukuran kuantitatif fungsi sel beta pankreas pada hewan dan manusia. Radioimunoassay menjadi satu alat yang ampuh untuk pengukuran protein, metabolit dan senyawa kimia lain yang hadir dalam konsentrasi yang sangat rendah. Dengan mengukur konsentrasi insulin serum, maka diagnosa diabetes dapat ditegakan dengan lebih tepat. 

PATOGENESIS DIABETES MELITUS

Resistensi Insulin dan Defisiensi Insulin
Telah diketahui bersama bahwa diabetes melitus merupakan gangguan yang kompleks dan merupakan penyakit yang heterogenous. Diabetes melitus tipe 1 merupakan diabetes yang umum terjadi pada orang muda akibat adanya kerusakan autoimun pada sel beta pankreas yang menyebabkan berkurangnya produksi insulin. Sedangkan diabetes melitus tipe 2 umumnya terjadi pada golongan lanjut usia dengan kelebihan berat badan. Peningkatan berat badan umumnya disebabkan oleh konsumsi makanan tinggi lemak, tinggi kalori dan gaya hidup yang sangat erat berhubungan dengan tingginya prevalensi diabetes melitus tipe 2.

Harold Himsworth merupakan orang pertama yang pada tahun 1936 mengungkapkan bahwa diabetes melitus dapat terjadi akibat adanya resistensi insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin merupakan salah satu patogenesis penting pada diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi karena adanya resistensi insulin dan atau kerusakan sel-sel pankreas.

Sebuah fenotif klinis yang disebut sindrom metabolik ditandai dengan adanya resistensi insulin, obesitas tubuh bagian atas, hipertensi, hipertrigliseridemia dan rendahnya HDL kolesterol merupakan faktor-faktor resiko terjadinya intoleransi glukosa dan diabetes. Orang dengan kondisi tersebut juga beresiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskular.

Faktor Genetik
Faktor genetik adalah fakor lain yang juga memainkan peranan penting pada terjadinya penyakit diabetes. Diabetes melitus baik tipe 1 maupun 2 merupakan suatu gangguan poligenik, dimana beberapa gen dan faktor lingkungan saling bersinergi pada perkembangan penyakit ini. Beberapa bentuk diabetes (seperti diabetes pada neonatus atau diabetes dengan onset maturitas)  adalah karena adanya single-gene yang mempengaruhi sel beta pankreas. Prevalensi diabetes melitus tipe ini sekitar 1-2% dari seluruh kasus diabetes melitus. Alel-alel pada lokus antigen leukosit merupakan kromosom yang berperan dalam hal ini.

Dominasi genetik pada terbentuknya diabetes melitus tipe 2 belum banyak diketahui.

PENCEGAHAN DAN TERAPI DIABETES MELITUS

Pendekatan preventif dan kuratif terhadap diabetes melitus telah berubah sejak ditemukannya insulin. Perkembangannya sangat pesat. Beberapa penelitian fokus pada biosintesis insulin manusia yang telah meniadakan reaksi merugikan pada tempat penyuntikan hingga penemuan jarum suntik yang sangat kecil yang memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam penggunaannya, penemuan alat yang bukan hanya memantau glukosa darah tetapi juga melakukan pengukuran hemoglobin terglikasi.

Strategi pengobatan dan komplikasi diabetes juga telah mengalami perbaikan yang mengesankan. Efek yang menguntungkan telah terbukti pada penggunaan pemblok reseptor angiotensin, ACE inhibitors, dan pembatasan protein terbukti mampu mengurangi resiko komplikasi nefropati. Transplantasi ginjal juga telah terbukti mampu meningkatkan harapan hidup pasien dengan penyakit ginjal diabetikum stadium lanjut. Selain itu fotokoagulasi laser telah menolong jutaan pasien diabetes dengan komplikasi retinopati. Kemajuan transplantasi sel islet pankreas juga sangat mengesankan. Studi terbaru juga melaporkan bahwa pembedahan bariatrik untuk menurunkan berat badan lebih efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah dibandingkan dengan terapi medis standar pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2.

Perawatan diabetes telah sedemikian rupa mengalami perbaikan dengan melibatkan banyak bidang keahlian kesehatan mulai dari dokter, apoteker, perawat, nutrisionis, podiatris dan lain-lain. Peningkatan kontrol glukosa telah terbukti mengurangi resiko komplikasi mikrovaskular pada pasien dengan diabetes melitus tipe 1.

Pengobatan diabetes melitus dan hasilnya pada penurunan resiko kematian dan komplikasi kardiovaskular adalah satu isu penting. Studi Steno-2 yang menunjukan bahwa intervensi multifaktor yang bertujuan untuk melakukan kontrol glukosa terbukti mampu menurunkan resiko kematian akibat komplikasi kardiovaskular sebesar 50%.

PREVALENSI DIABETES MELITUS DISELURUH DUNIA

Tampaknya peningkatan perbaikan upaya pencegahan dan pengobatan diabetes melitus tidak dibarengi dengan semakin membaiknya kondisi kesehatan masyarakat. Prevalensi diabetes melitus diseluruh dunia meningkat secara drastis. Kesulitan dalam menerapkan kebiasaan pencegahan diabetes melitus menjadi tantangan tersendiri ditemukannya suatu pola yang dapat mengubah prilaku masyarakat untuk hidup dengan gaya yang lebih sehat, sehingga prevalensi diabetes melitus diharapkan akan menurun.

TANTANGAN MASA DEPAN

Mengingat lonjakan populasi masyarakat dengan diabetes melitus yang meningkat tajam agaknya menjadi tantangan tersendiri bagi para ilmuan untuk mengembangkan metode baru yang dapat mencegah munculnya generasi-generasi baru dengan diabetes melitus. Ada banyak kesempatan untuk mengimplementasikan upaya pencegahan publik. Evaluasi dan pembatasan yang ketat terhadap kandungan trans fatty acids pada produk makanan, mengurangi item makanan dengan komposisi kalori tinggi, mengenakan pajak khusus bagi makanan dengan kandungan gula tinggi, dan pembatasan peredaran makanan dengan kandungan lemak tinggi  dapat menjadi salah satu cara yang dapat ditempuh pemerintah guna menurunkan angka prevalensi diabetes melitus.

Modifikasi gaya hidup menjadi kunci utama pada pencegahan diabetes, namun tentu saja hal ini tidak mudah untuk dilakukan.



Sumber
Artikel asli dapat didownload disini

Jumat, 05 Oktober 2012

AGEN-AGEN ANTIEMETIK UNTUK KEMOTERAPI YANG MENGINDUKSI MUAL DAN MUNTAH



Sebagaimana telah diketahui secara umum bahwa penggunaan agen-agen antineoplastik (kemoterapi) berpotensi menginduksi mual dan muntah. Penggunaan agen-agen antiemetik (antimual) sangat lazim dalam upaya pencegahan mual dan muntah akibat kemoterapi. Tersedia banyak agen antiemetik yang dapat digunakan dalam hal ini. Berikut akan saya paparkan agen-agen antiemetik yang dapat digunakan.

Agen Antiemetik dengan Indeks Terapi Tinggi

Antagonis 5-HT3
Diperkenalkannya agen antiemetik antagonis 5-HT3 pada tahun 1990an telah merubah dan merenovasi manajemen mual dan muntah akibat kemoterapi. Saat ini ada 5 agen antagonis 5-HT3 yang telah dikenal dan dipergunakan secara luas dimasyarakat, yaitu: ondansetron, granisetron, dolasetron, tropisetron dan yang terbaru adalah palonosetron. Obat ini digunakan untuk profilaksis mual dan muntah akibat kemoterapi dengan potensi emetogenisitas sedang hingga tinggi. Dari studi random diketahui bahwa keempat agen antagonis 5-HT3 yang tertua memiliki potensi yang sama dan menunjukan kesetaraan terapeutik. Efek samping obat-obat ini relatif rendah. Efek samping yang paling umum dan termasuk ringan adalah sakit kepala, peningkatan level enzim transaminase hati dan konstipasi. Dosis tunggal ataupun ganda harian memberikan efektivitas yang sama dan pada dosis yang telah disetujui penggunaannya, formulasi oral memiliki ekivalensi terapeutik dengan sediaan intravenanya. Uji klinis terhadap ondansetron dan granisetron menunjukan bahwa khasiat obat-obat ini lebih rendah pada kasus mual dan muntah tertunda dibandingkan dengan mual dan muntah akut. Agen ini hanya sedikit memberikan aktivitas pada kasus emesis (mual dan muntah) tertunda yang diinduksi cisplatin.

Tahun 2003 sebuah agen baru 5-HT3 yaitu palonosetron telah disetujui penggunaannya oleh FDA. Agen baru ini mempunyai sifat yang berbeda dari agen 5-HT3 lainnya yang lebih tua dalam hal waktu paruh eliminasinya yang lebih panjang dan afinitasnya yang lebih tinggi pada reseptor 5-HT3. Dalam 3 studi acak yang membandingkan palonosetron dengan agen 5-HT3 lainnya, palonosetron lebih unggul dalam penanganan emesis akibat kemoterapi dengan emetogenisitas sedang hingga tinggi. Studi tersebut juga menunjukan bahwa palonosetron memiliki efektivitas dan kemanan yang lebih baik dibandingkan dengan antagonis 5-HT3 terdahulunya.

Antagonis Reseptor Neurokinin-1
Antagonis reseptor neurokinin-1 merupakan kelas terbaru dari obat antiemetik yang efektif untuk pencegahan mual dan muntah akibat kemoterapi. Aprepitant (Emend, Merck) disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 2003 dalam formulasi oral.

Kortikosteroid
Kortikosteroid telah diketahui terbukti efektif dalam penanganan emesis sejak 25 tahun yang lalu. Kortikosteroid efektif dalam mengatasi emesis pada pasien yang menggunakan agen kemoterapi dengan potensi emetogenisitas yang rendah. Dalam hal ini kortikosteroid dapat diberikan sebagi agen tunggal. Namun, kortikosteroid akan lebih menguntungkan bila digunakan secara kombinasi dengan agen antiemetik lainnya. Terutama bila dikombinasikan dengan antagonis reseptor 5-HT3. Kortikosteroid efektif baik pada emesis akut maupun emesis tertunda. Deksametason dan metilprednisolon merupakan kortikosteroid yang paling sering digunakan.


Agen Antiemetik dengan Indeks Terapi Rendah

Sejumlah agen termasuk metoklopramid, butirophenon, fenotiazin, kanabinoid dan olanzapin adalah agen-agen yang termasuk dalam kelompok agen antiemetik dengan indeks terapi rendah. Obat-obat ini umumnya memiliki potensi dan efikasi yang rendah dan potensi efek merugikan yang lebih besar dibandingkan dengan agen antiemetik dengan indeks terapi tinggi. Selain itu, database yang mendukung penggunaannya kurang memaadai. Fenotiazin merupakan agen tertua yang paling banyak digunakan dalam hal ini. Fenotiazin cocok digunakan sebagai profilaksis pada pasien yang menerima kemoterapi dengan potensi emetogenisitas yang rendah.

Metoklopramid pada dosis standar dan seperti halnya fenotiazin juga merupakan antagonis dopaminergik D2 yang memiliki spektrum penggunaan yang hampir sama. Efektifitas metoklopramid meningkat seiring peningkatan dosisnya.

Nabilone dan dronabinol sebagai kanabinoid sintetik juga terbukti memiliki efek antiemetik terutama untuk mengatasi emesis akibat penggunaan kemoterapi dengan potensi emetogenisitas ringan hingga sedang. Namun adanya efek samping seperti hipotensi postural dan dysphoria telah membatasi penggunaannya.

Olanzapin mengantagonis beberapa reseptor neurotransmiter termasuk dopamin dan reseptor 5-HT menunjukan efektivitasnya dalam mengatasi mual dan muntah

Benzodiazepin merupakan contoh antiemetik dari kelas lain yang meski aktivitas antiemetiknya sederhana, namun adanya efek antiansietas dari obat ini akan sangat membantu mengatasi emesis.




Sumber
Artikel asli dapat didownload disini