Kamis, 28 Juni 2012

TADALAFIL




Tadalafil adalah salah satu senyawa golongan inhibitor/penghambat fosfodiesterase 5 (PDE 5), yaitu senyawa obat yang kini dipasarkan dengan nama dagang Cialis. Obat ini diindikasikan dalam terapi disfungsi ereksi. Selain itu, tadalafil juga dipasarkan dengan nama dagang Adcirca yang diperdagangkan untuk indikasi pulmonary arterial hipertension (PAH).

NAMA RUMUS KIMIA DAN DESKRIPSI

Rumus molekul : C12H19N3O4. (BM : 389,404)

Rumus Struktur

Nama IUPAC senyawa ini:
(6R-trans)-6-(1,3-benzodioxol-5-yl)- 2,3,6,7,12,12a-hexahydro-2-methyl-pyrazino [1', 2':1,6] pyrido[3,4-b]indole-1,4-dione


Cialis

Tadalafil adalah salah satu inhibitor fosfodiesterase (PDE) selektif, dengan selektivitas terbesar pada PDE tipe isoenzim 5 yang terlibat dalam metabolisme monofosfat siklik guanosin cGMP menjadi GMP dalam korpora kavernosa penis.

Selama rangsangan seksual, oksida nitrat dilepaskan dari ujung syaraf sel endotel dalam korpora kavernosa. Oksida nitrat tersebut kemudian mengaktifkan enzim guanilat siklase yang merangsang sintesis cGMP yang merelaksasi otot polos dan meningkatkan aliran darah kedalam korpora kavernosa dengan menghambat PDE 5. Tadalafil meningkatkan konsentrasi cGMP dalam korpora kavernosa penis, sehingga oksida nitrat merangsang relaksasi vaskuler.

SEJARAH

Tadalafil disetujui penggunaannya oleh FDA pada tanggal 21 November 2003. Tadalafil ditemukan dan dikembangkan oleh Glaxo Wellcome ( atau yang sekarang bernama GlaxoSmithKline) yang bekerjasama dengan ICOS pada tahun 1991. Dan pada 6 Oktober 2011, FDA menyetujui penggunaan tadalafil untuk terapi tanda dan gejala benign prostatic hyperplasia (BPH). BPH adalah kondisi pada pria dimana kelenjar prostat mengalami obstruksi yang mengakibatkan pembesaran aliran bebas urin. Gejala BPH dapat berupa buang air kecil secara mendadak, kesulitan buang air kecil, aliran urin yang melemah, buang air kecil yang lebih sering terutama pada malam hari. BPH dan disfungsi ereksi merupakan dua keadaan yang sering kali saling keterkaitan.

KEGUNAAN

Tadalafil digunakan secara oral sebagai terapi vasoaktif untuk memfasilitasi pencapaian fungsi ereksi seksual pada pria dengan disfungsi ereksi (disfungsi ereksi, impotensi). Pada uji placebo terkontrol selama 24 minggu pada pasien dengan disfungsi ereksi, termasuk pada pria dengan diabetes melitus atau mereka yang menjalani prostatektomi syaraf radikal, tadalafil (umumnya 5, 10 atau 20 mg) mampu memperbaiki kemampuan ereksi. Dalam uji klinis tersebut, pasien diizinkan memilih antara interval pemberian obat dengan aktivitas seksualnya. Pada uji klinis khusus dievaluasi kemanjuran tadalafil 20 mg selama 24 jam (kisaran 22-26 jam) dan selama 36 jam (kisaran 33-39 jam) setelah pemberian obat, pasien melaporkan bahwa setidaknya mereka menjalani satu masa koitus (hubungan seksual) yang sukses yang lebih tinggi dengan tadalafil dibandingkan dengan placebo, masing-masing 61 dan 64% pada 24 dan 36 jam pada kelompok pasien pengguna tadalafil, sedangkan pada kelompok placebo hanya sekitar 37%.

Penilain kebutuhan klinis untuk terapi disfungsi ereksi, harus mempertimbangkan efek psikologis pada pasien dan pasangan, termasuk pada terapi dengan tadalafil. Sehubungan dengan ketersediaan hayatinya pada pemberian oral, dan efektivitas terapi vasoaktif ( dengan inhibitor PDE 5: sildenafil, tadalafil, vardenafil), maka American Urological Association (AUA) mempertimbangkan obat ini sebagai terapi lini pertama pada penanganan disfungsi ereksi, kecuali jika dikontraindikasikan penggunaannya. Tadalafil memiliki onset yang lebih lambat, namun dengan durasi yang lebih panjang dibandingkan dengan sildenafil dan vardenafil. Namun, seperti halnya sildenafil dan vardenafil, terapi dengan tadalafil hanya akan efektif jika ada stimulasi seksual yang kuat.

DOSIS DAN CARA PEMBERIAN

Tadalafil diberikan peroral dengan atau tanpa makanan. Karena tadalafil digunakan secara oral, maka tadalafil lebih dapat diterima oleh penderita disfungsi ereksi dibandingkan dengan menggunakan terapi vasoaktif lainnya, seperti injeksi intrakavernosa atau suppositoria intrauretra atau perangkat mekanis tertentu.

Dalam hal ini produsen obat ini tidak memberikan rekomendasi waktu konsumsi obat guna mengantisipasi akvitas seksual yang akan dilakukan. Beberapa pasien akan mencapai ereksi yang maksimal pada waktu 30 menit setelah pemberian tadalafil, namun karena durasi kerjanya yang panjang (sampai 36 jam) maka penentuan waktu konsumsi tadalafil sebelum berhubungan seksual tidak terlalu penting untuk ditentukan.

Dosis inisiasi tadalafil adalah 10 mg yang diminum sebelum berhubungan seksual. Tergantung pada efektivitas dan toleransinya, dosis dapat ditingkatkan hingga 20 mg atau dikurangi hingga 5 mg. Frekuensi dosis maksimum yang direkomendasikan hanya 1 kali sehari. Sedangkan pada kondisi-kondisi berikut diperlukan penyesuaian dosis:
  1. Pasien dengan insufisiensi hati; pada pasien dengan ganggua fungsi hati ringan hingga sedang (Child-pugh kelas A dan B) dosis maksimum tadalafil tidak boleh lebih dari 10 mg perhari, dan tadalafil sangat tidak direkomendasikan penggunaannya pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat (Child-pugh kelas C)
  2. Penurunan Fungsi Ginjal; Pasien dengan penurunan fungsi ginjal ringan (bersihan kreatinin 51-80 ml/menit) tidak memerlukan penyesuaian dosis. Sedangkan pasien dengan penurunan fungsi ginjal sedang (bersihan kreatinin 31-50 ml/menit) sebaiknya memulai terapi dengan dosis inisiasi 5 mg perhari dan dengan dosis maksimum 10 mg yang diberikan tidak lebih sering dari sekali setiap 48 jam.  Sedangkan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berat (bersihan kreatinin kurang dari 30 ml/menit) maka dosis maksimum 5 mg yang diberikan tidak boleh lebih sering dari sekali dalam sehari.
  3. Seiring dengan terapi inhibitor CYP3A4: terapi tadalafil bersama dengan inhibitor CYP3A4 berpotensi menghambat sitokrom P450 (CYP) isoenzim 3A4 (misal: amprenavir, atazanavir, delavirdine, fosamprenavir, indinavir, itrakonazol, ketokonazol, lopinavir dalam kombinasi tetap dengan ritonavir, nelfinavir, ritonavir, saquinavir, tipranavir dalam kombinasi tetap dengan ritonavir), dosis tadalafil tidak boleh lebih dari 10 mg sekali dalam 72 jam. Dosis awal sebaiknya 5 mg pada pasien yang juga menerima terapi atazanavir, delavirdine, fosamprenavir, idinavir, nelfinavir, ritonavir, atau saquinavir.
  4. Seiring dengan terapi  pemblok α-adrenergik; penggunaan bersama tadalafil dan pemblok α-adrenergik harus sangat berhati-hati karena keduanya merupakan vasodilator, pada pasien yang hemodinamik stabil dengan pemblok α-adrenergik, dosis tadalafil adalah dengan dosis efektif minimumnya yaitu 5 mg.

KONTRAINDIKASI
  1. Penggunaan bersama dengan senyawa nitrat atau nitrit organik baik yang digunakan secara teratur maupun intermiten.
  2. Hipersensitivitas terhadap tadalafil atau salah satu komponen dalam formula obat

PERINGATAN
  1. Efek pada kardiovaskuler; aktivitas seksual berhubungan dengan tingkat resiko gangguan jantung, karena itu penilaian kondisi jantung sebelum dimulainya terapi tadalafil perlu dilakukan. Penyakit kardiovaskuler serius, termasuk infark miokard, kematian jantung mendadak, stroke, nyeri dada, jantung berdebar, dan takikardia dapat terjadi setelah penggunaan tadalafil. Umumnya kejadian tersebut terjadi pada pasien yang memang telah memiliki resiko penyakit kardiovaskuler. Terapi disfungsi ereksi, termasuk dengan tadalafil tidak direkomendasikan pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskuler. Tadalafil menginduksi vasodilatasi ringan, yang umumnya hanya menyebabkan penurunan tekanan darah sementara yang tidak signifikan secara klinis, bila obat ini digunakan tersendiri. Sehingga penggunaan tadalafil pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler harus sangat berhati-hati, karena berpotensi menimbulkan hipotensi. Tadalafil dan inhibitor PDE 5 lainnya dikontraindikasikan penggunaanya bersama senyawa nitrat dan nitrit organik karena berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Tadalafil sangat tidak direkomendasikan penggunaannya pada pasien dengan infark miokard (dalam waktu 90 hari) atau stroke (dalam 6 bulan terakhir), aritmia tak terkontrol, hipotensi (<90/50 mmHg), atau hipertensi tak terkontrol (>170/110 mmHg), atau pada mereka yang mengalami gagal jantung dalam 6 bulan terakhir, dan pada pasien yang mengalami angina tak terkontrol atau mengalami angina saat berhubungan seksual.
  2. Efek pada mata; tadalafil dapat mengakibatkan gangguan penglihatan (misal: pandangan kabur, perubahan penglihatan warna, konjungtivitis, sakit mata, lakrimasi meningkat dan edema periorbital). Tadalafil tidak direkomendasikan penggunaannya pada pasien dengan gangguan herediter retina degeneratif seperti retinitis pigmentosa.
  3. Efek pada pendengaran; penurunan atau kehilangan pendengaran mendadak dapat terjadi setelah terapi dengan PDE 5, termasuk dengan tadalafil.
  4. Efek pada saluran genitourinari; tadalafil dapat mengakibatkan ereksi berkepanjangan (lebih dari 4 jam) dan priapism (ereksi menyakitkan lebih dari 6 jam).

KEWASPADAAN UMUM
  1. Penilaian pasien; pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan menyeluruh harus dilakukan untuk mendiagnosa disfungsi ereksi, menemukan potensi penyebabnya, dan mengidentifikasi pengobatan yang tepat
  2. Terapi kombinasi disfungsi ereksi sangat tidak dianjurkan, karena tak adanya data keamanan dan kemanjuran terapi kombinasi tersebut.

KEWASPADAAN KHUSUS
  1. Kehamilan. Tadalafil masuk kategori B, namun tadalafil tidak diindikasikan penggunaannya pada wanita
  2. Laktasi. Tadalafil diekskresikan ke kelenjar susu tikus. Pada manusia tidak dketahui apakah tadalafil juga diekskresikan melalui kelenjar susu atau tidak, namun tadalafil tidak diindikasikan penggunaanya pada wanita.
  3. Pediatrik. Belum ada data yang mendukung keamanan dan khasiatnya pada anak-anak, namun tadalafil tidak diindikasikan penggunaannya pada anak-anak dan bayi.
  4. Geriatrik. Khasiat dan keamanan tadalafil pada geriatrik (lebih dari 65 tahun) adalah sama dengan pada kelompok usia yang lebih muda. Tak ada penyesuaian dosis berdasarkan umur. Walaupun mungkin sensitivitas tadalafil meningkat pada pasien geriatrik.
  5. Penurunan fungsi hati (lihat pada dosis)
  6. Penurunan fungsi ginjal (lihat pada dosis)

EFEK MERUGIKAN TADALAFIL YANG UMUM
  1. Sakit kepala
  2. Dispepsia
  3. Nyeri punggung
  4. Myalgia
  5. Hidung tersumbat
  6. Wajah kemerahan

INTERAKSI OBAT

Tadalafil dapat memberikan interaksi dengan obat-obat berikut ini:
  1. Senyawa pendonor oksida nitrat atau nitrit; berpotensi terjadinya interaksi farmakodinamik berupa peningkatan efek hipotensi termasuk pada penggunaan sediaan nitrit inhalasi. Penggunaan tadalafil dengan senyawa nitrat atau nitrit tersebut dikontraindikasikan. Efek hemodinamik aditif dapat dilihat ketika nitrogliserin sublingual diberikan 2,4, 8, dan 24 jam setelah pemberian dosis tadalafil, dan efek hemodinamik tersebut umumnya tak lagi terlihat setelah 48 jam.
  2. Obat-obat yang mempengaruhi enzim mikrosoma hati; tadalafil berpotensi berinteraksi secara farmakokinetik dengan obat-obat yang menghambat atau menginduksi enzim CYP3A4. Penggunaan bersama berpotensi meningkatkan resiko efek samping dari inhibitor PDE 5, yang dapat berupa hipotensi, perubahan visual dan priapism. Maka pada terapi bersama tersebut dosis dan frekuensi pemberian tadalafil harus dikurangi dan dilakukan pemantauan efek. Interaksi farmakokinetik (penurunan paparan tadalafil) terlihat pada penggunaan bersama dengan rifampisin, yang merupakan penginduksi CYP3A4. Karbamazepin, fenitoin dan phenobarbital juga berpotensi menginduksi CYP3A4.
  3. Alkohol; efek farmakodinamik (hipotensi ortostastik, peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah saat berdiri, pusing, sakit kepala) dapat diamati saat tadalafil digunakan bersama alkohol (0,7 g/kg, setara dengan 180 ml vodka proof 80 pada pria dengan berat badan 80 kg. Alkohol dan inhibitor PDE 5 keduanya adalah vasodilator. Hindari penggunaan alkohol saat terapi tadalafil.
  4. Teofilin; berpotensi terjadinya interaksi farmakodinamik (teofilin menyebabkan peningkatan denyut jantung)
  5. Warfarin; interaksi farmakodinamik (perubahan waktu protrombin) tidak mungkin.
  6. Antihipertensi; berpotensi terjadi efek farmadinamik berupa peningkatan efek hipotensi
  7. Aspirin
  8. Antasida
  9. Nizatidine

SARAN BAGI PASIEN
  1. Pasien perlu menginformasikan pada dokter tentang adanya riwayat penyakit kardiovaskuler atau serebrovaskuler (misal: angina, detak jantung tak beraturan, riwayat infark miokard atau stroke, tekanan darah rendah, tekanan darah tinggi tak terkontrol), atau penyakit darah (anemia sel sabit, myeloma, leukemia), atau penyakit ulkus peptikum sebelum memulai pengobatan apapun untuk disfungsi ereksi.
  2. Pasien juga perlu menginformasikan pada dokter tentang riwayat penyakit hati atau ginjal (penyakit ginjal stadium akhir yang memerlukan hemodialisis)
  3. Pasien juga harus menginformasikan adanya retinitis pigmentosa atau adanya riwayat kehilangan penglihatan yang parah.
  4. Pasien harus menginformasikan adanya resiko kehilangan penglihatan secara mendadak (neuropati optik iskemik anterior nonarteritik (NOIAN)) pada individu yang memiliki riwayat NOIAN.
  5. Perlu menginformasikan adanya kemungkinan gangguan visual (misal: semburat kebiruan pada objek, kesulitan membedakan antara biru dan hijau)
  6. Resiko gangguan pendengaran mendadak, maka terapi tadalafil perlu dihentikan secara mendadak
  7. Pasien perlu menginformasikan kondisi cacat penis, atau adanya riwayat ereksi berkepanjangan
  8. Pentingnya menghindari penggunaan tadalafil bersama senyawa nitrat atau nitrit organik
  9. Penggunaan bersama tadalafil dan obat-obat antihipertensi harus sangat berhati-hati
  10. Pentingnya rangsangan seksual untuk mencapai ereksi yang optimum setelah pemberian tadalafil
  11. Pentingnya menahan diri dari aktivitas seksual lebih jauh dan segera mencari pertolongan medis jika terjadi gejala penyakit kardiovaskuler pada saat awal dimulainya aktivitas seksual
  12. Segera dapatkan pertolongan medis jika terjadi gejala angina setelah penggunaan tadalafil
  13. Segera cari pertolongan medis jika ereksi berlangsung lebih dari 4 jam atau terasa sakit
  14. Pasien perlu mendapat pengertian bahwa tadalafil tidak melindungi terhadap penularan penyakit seksual seperti AIDS, pasien juga seharusnya mengerti tentang-tentang langkah-langkah pencegahan penularannya.

SEDIAAN

Tablet salut film Cialis® Lilly ICOS 5 mg, 10 mg dan 20 mg





Sumber: AHFS Drug Information


Senin, 25 Juni 2012

ASAM-BASA DAN APLIKASINYA DALAM ANALISIS SENYAWA

Penggolongan berbagai senyawa kimia dialam yang sangat melimpah baik dari segi jumlah maupun jenisnya berdasarkan sifat asam dan basa sangat membantu para ilmuwan dalam menyederhanakan obyek studi mereka, sehingga mempermudah proses pembelajaran berikutnya. Senyawa-senyawa dialam yang dapat dikelompokkan kedalam kelompok senyawa asam atau basa sangat melimpah jumlahnya, dengan tingkat keasaman dan kebasaan yang bervariasi.

Tentu tidak semua orang mengerti akan konsep asam dan basa ini, meski hampir dapat dipastikan setiap orang hampir setiap hari berhubungan dengan zat-zat baik yang bersifat asam maupun basa dalam kehidupannya. Sebagai contoh, makanan yang kita konsumsi umumnya bersifat asam, sedangkan produk-produk pembersih seperti sabun dan detergen bersifat basa. 

Istilah asam (acid) berasal dari bahasa Latin Acetum yang berarti cuka. Sedangkan istilah alkali (sebutan lain untuk basa) berasal dari bahasa Arab yang berarti abu. Basa digunakan dalam pembuatan sabun. Asam dan basa memiliki sifat khas yang saling menetralkan. Dialam, asam ditemukan dalam buah-buahan dan produk lain dari tanaman. Asam mineral yang lebih kuat telah dibuat pada pertengahan abad 19, seperti aqua forti (asam nitrat) yang digunakan dalam proses pemisahan emas.

Sifat asam dan basa juga sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan dan makhluk hidup pada lingkungan tersebut. Keasaman tanah akan akan berpengaruh terhadap kondisi tumbuhan yang ada diatasnya. Kualitas air juga ditentukan dengan mengukur tingkat keasamannya. Hujan asam bahkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan.

Umumnya senyawa asam atau basa murni (tidak bercampur dengan senyawa lain) yang ada dialam berbentuk larutan. Begitupun dalam keperluan analisis, umumnya dilakukan dalam bentuk larutannya.

SIFAT-SIFAT ASAM DAN BASA

Secara umum asam dan basa memiliki sifat yang berbeda dan berlawanan. 

Sifat-sifat asam:
  1. Rasanya masam ketika dilarutkan dalam air
  2. Asam terasa menyengat saat disentuh, terutama bila asam tersebut adalah asam kuat
  3. Dari segi reaktivitasnya, asam bereaksi kuat dengan kebanyakan logam, atau bersifat korosif terhadap logam
  4. Dari segi daya hantar listriknya, asam walaupun tidak selalu ionik, ia bersifat elektrolit atau dapat menghantarkan arus listrik.
Sifat-sifat basa:
  1. Rasanya pahit
  2. Terasa licin seperti sabun saat disentuh
  3. Dari segi reaktivitasnya, senyawa basa bersifat kaustik yaitu dapat merusak kulit jika senyawa basa tersebut berkadar tinggi
  4. Basa juga merupakan senyawa elektrolit atau dapat menghantarkan arus listrik
Berkaitan dengn asam basa ini, suatu larutan dapat dikelompokan menjadi larutan asam, basa dan netral. Meskipun larutan asam dan basa memiliki rasa yang sangat berbeda, namun membedakan senyawa asam dan basa dengan cara mencicipinya, bukanah cara yang bijaksana dan sanga tidak dianjurkan. Karena banyak senyawa asam atau basa tersebut yang akan menimbulkan efek merugikan yang berarti terhadap kesehatan. Sebagai contoh asam sulfat (H2SO4) dapat menyebabkan luka bakar yang serius. Penggunaan indikator asam basa adalah cara terbaik saat ini yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah larutan tersebut bersifat asam, basa, atau netral.

Sifat asam dan basa suatu larutan juga dapat ditunjukan dengan mengukur PHnya. PH merupakan suatu parameter yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman larutan. Larutan asam mempunyai PH yang lebih kecil dari 7, larutan basa mempunya PH lebih dari 7 dan larutan netral memiliki PH 7. Untuk mengukur PH dapat digunakan alat PH meter atau indikator PH (indikator universal).


TEORI ASAM BASA

Dipertengahan abad  ke 17, Kimiawan Jerman Johann Rudolf Glauber yang tinggal di Belanda, menghasilkan dan menjual berbagai bahan kimia asam dan basa. Dia dikenal sebagai insinyur kimia pertama. Pada masa itu pulalah dimulai studi mendalam mengenai asam dan basa ini. Boylem, rekan sezaman Glauber menemukan metode penggunaan pewarna yang diperoleh dari tanaman Roccella sebagai indikator asam dan basa. Pada saat itu telah diketahui bahwa senyawa asam dan basa memiliki sifat yang berlawanan dan dapat meniadakan satu sama lain. Sebelum perkembangan kimia asam didefinisikan sebagai sesuatu yang masam, dan alkali atau basa sebagai sesuatu yang akan menghilangkan atau menetralkan efek asam.

Awalnya ada kebingungan tentang sifat dasar asam. Pada saat itu oksigen dianggap sebagai komponen penting dari asam. Bahkan nama "Oksigen" yang dalam bahasa Yunani berarti "sesuatu yang masam" diambil karena adanya anggapan tersebut. 

Pada pertengahan abad 19, Davy menemukan bahwa hidrogen klorida (HCl) dalam larutan air memberikan sifat asam, namun senyawa ini tidak mengandung komponen oksigen. Fakta tersebut pun kemudian mematahkan anggapan sebelumnya yang menganggap bahwa sifat asam ditentukan oleh adanya unsur oksigen. Dan sebagai gantinya, ia mengusulkan bahwa hidrogen adalah komponen penting dalam asam.

Sifat asam pertama dapat diketahu secara kuantitatif pada akhir abad 19. Tahun 1884, Kimiawan Swedia Svante August Arrhenius mengemukan teori disosiasi elektrolit yang menyatakan bahwa elektrolit semacam asam, basa dan garam terdisosiasi menjadi ion-ion komponennya dalam air. Lebih lanjut ia mengatakn bahwa beberapa elektrolit terdisosiasi sempurna (elektrolit kuat) dan beberapa diantaranya hanya akan terdisosiasi sebagian (elektrolit lemah). Teori asam basa berkembang pesat sejak diungkapkannya teori ini.

Hingga kini, terdapat tiga 3 teori asam basa yang terkenal dan digunakan secara umum dalam dunia pendidikan. Teori tersebut adalah Teori Arrhenius, Teori Bronste-Lowry, dan Teori Lewis.

Teori Asam Basa Arrhenius

Tahun 1886, Arrhenius mengungkapkan teori asam basanya berdasarkan teori disosiasi elektrolit. Arrhenius mendefinisikan asam sebagai zat yang menghasilkan ion hidrogen (H+) dalam larutan. Sedangkan basa adalah zat yang menghasilkan ion hdroksida (OH-) dalam larutan. Penetralan antara asam dan basa dapat terjadi karena ion H+ dan OH- bereaksi membentuk molekul air (H2O).

Suatu senyawa asam seperti asam klorida (HCl) akan dinetralkan oleh natrium hidroksida (NaOH) dalam larutan amonia. Dalam kasus tersebut, akan diperoleh larutan jernih yang dapat dikristalkan untuk memisahkan senyawa natrium klorida (NaCl) maupun amonium klorida (NH4Cl) sebagai produk reaksi tersebut. Dalam kasus tersebut HCl bereaksi dengan NaOH membentuk garam NaCl dan air, dan dengan amonia (NH4OH) HCl bereaksi membentuk NH4Cl dan air. Prinsip reaksi pada keduanya adalah sama, yaitu reaksi netralisasi.

Jumlah ion H+ yang dapat dihasilkan oleh satu molekul asam disebut valensi asam, sedangkan ion negatif yang terbentuk dari asam setelah melepaskan ion H+ disebut ion sisa asam. Contoh-contoh senyawa asam adalah:
  1. HF (asam fluorida), bervalensi 1 dengan ion sisa F-
  2. HCl (asam klorida), valensi 1, ion sisa Cl-
  3. HBr (asam bromida), valensi 1, ion sisa Br-
  4. HCN (asam sianida), valensi 1, ion sisa CN-
  5. H2S (asam sulfida), valensi 2, ion sisa S2-
  6. HNO3 (asam nitrat), valensi 1, ion sisa NO3-
  7. H2SO4 (asam sulfat), valensi 2, ion sisa Sulfat
  8. H3PO4 (asam fosfat), valensi 3, ion sisa fosfat
  9. CH3COOH (asam asetat), valensi 1, ion sisa asetat
Basa Arrhenius adalah senyawa hidroksida logam M(OH)x yang dalam air terurai menjadi :
       M(OH)x ----->  Mx+   +     xOH-

Jumlah ion OH- yang dapat dilepaskan oleh molekul basa disebut valensi basa. Contoh beberapa senyawa basa adalah:
  1. NaOH (natrium hidroksida)
  2. KOH (kalium hidroksida)
  3. Mg(OH)2 (magnesium hidroksida)
  4. Ca(OH)2 (kalsium hidroksida)
  5. Fe(OH)3 (besi(III) hidroksida)
  6. Al(OH)3 (aluminium hidroksida)

Konsep pH, pOH dan pKw

Konsep pH


Jeruk nifis dan cuka sama-sama memiliki sifat asam, namun dengan tingkat keasaman yang berbeda. Derajat atau tingkat keasaman larutan bergantung pada konsentrasi ion H+ dalam larutan. Semakin besar konsentrasi  ion H+ maka semakin asam larutan tersebut.

Untuk menyatakan derajat keasamannya, maka Soren Lautiz Sorensen memperkenalkan suatu bilangan sederhana untuk menyatakan keasaman larutan tersebut. Bilangan ini diperoleh dari hasil logaritma konsentrasi ion H+ dalam larutan tersebut. Bilangan tersebut terkenal dengan istilah skala pH. Harga pH berkisar antara 1-14.

                     pH  = -log [H+]

Karena pH dan konsentrasi H+ dihubungkan dengan tanda negatif, maka makin besar konsentrasi H+ makin kecil nilai pH. Dan karena bilangan dasar logaritma adalah 10, maka larutan dengan nilai pH berbeda sebesar n, maka akan mempunyai perbedaan konsentrasi ion H+ sebesar 10n.
Sebagai contoh:
   [H+]   = 0,01 M, maka pH = 2
   [H+]   = 0,001 M, maka pH = 3
maka dapat disimpulkan bahwa, makin besar konsentrasi ion H+, maka makin kecil pHnya. Larutan dengan pH 1 memiliki keasaman 10 kali lebh besar dari larutan asam dengan pH 2.

Konsep pOH 

pOH analog dengan pH yaitu suatu cara untuk menyatkan kadar OH- pada larutan basa.

                  pOH  = -log [OH-]
Meskipun konsentrasi OH- dapat dinyatakan dengan pOH, tingkat kebasaan lebih lazim dinyatkan dengan pH, yaitu dengan nilai pH lebih dari 7. Semakin tinggi nilai pH maka semakin tinggi sifat basanya. Larutan pH 13, 10 kali lebih basa dibandingkan dengan larutan pH 12.

Konsep pKw

Hubungan antara pH dan pOH dapat diturunkan dari persamaan kesetimbangan air (Kw).

            Kw  =  [H+] x [OH-]

Jika kedua ruas persamaan diberi tanda negatif logaritma, maka diperoleh persamaan:

           -log Kw  =  -log [H+] x [OH-]
           -log Kw  =  (-log[H+]) + (-log[OH-])
Dengan p = -log, maka:

             pKw  =  pH + pOH

Pada suhu kamar, air memiliki harga Kw = 1x10-14 maka nilai pH + pOH = pKw = 14.

Pengukuran pH

Dalam penentuan pH larutan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan indikator, indikator universal maupun pH meter.

Penggunaan Indikator

Indikator yang digunakan untuk mengukur pH larutan adalah senyawa asam organik lemah yang dapat berubah warna pada rentang pH tertentu. Harga pH suatu larutan dapat diperkirakan dengan menggunakan trayek pH indikator. Suatu indikator mempunyai trayek perubahan warna yang berbeda-beda. Dengan demikian dari uji larutan dengan beberapa indikator akan diperoleh daerah irisan pH larutan. Contoh suatu larutan dengan brom timol biru (pH 6,0-7,6) berwarna biru, dengan fenoftalein (8,3-10,0) tidak berwarna, maka larutan tersebut mempunyai pH antara 7,6-8,3. Hal ini disebabkan jika brom timol biru berwarna biru, berarti pH larutan lebih besar dari 7,6 dan jika dengan fenoftalein tidak berwarna berarti pH larutan kurang dari 8,3.

Tabel trayek perubahan warna beberapa indikator pH dapat dilihat pada tabel ini.

Penggunaan Indikator Universal

pH suatu larutan juga dapat ditentukan dengan indikator universal, yaitu campuran beberapa indikator yang dapat menunjukan pH suatu larutan dari perubahan warnanya.

Tabel perubahan warna indikator universal dan beberapa contoh bahan makanan yang mewakili masing-masing pH dapat dilihat pada tabel ini.

Penggunaan pH meter

pH meter adalah alat pengukur pH dengan ketelitian yang lebih tinggi dibanding indikator.

Teori Asam Basa Bronsted-Lowry

Hidrogen klorida (HCl) dalam air bersifat asam dengan melepaskan ion H+, namun dalam benzena HCl tidak dapat melepaskan ion H+. Hal ini disebabkan airlah yang menarik atau mengikat ion H+ (proton) dari HCl. Sedangkan benzena, tidak memiliki kecenderungan untuk menarik ion H+, sehingga HCl tak terdisosiasi dalam benzena. Jadi dalam air, HCl terionisasi membentuk ion H3O+.

Menurut teori Bronsted-Lowry, asam adalah zat yang dapat menghasilkan dan mendonorkan proton (H+) pada zat lain, sedangkan basa adalah zat yang dapat menerima proton dari zat lain. Menurut teori ini, setiap zat dapat berperan sebagai asam maupun basa. Bila zat tertentu lebih mudah melepas proton, maka zat ini akan berperan sebagai asam, dan zat lainnya akan berperan sebagai basa, dan demikin pula sebaliknya. Dalam suatu larutan asam, air berepran sebagai basa.

HCl                         +             H2O        ->            Cl-           +             H3O+
Asam                             basa                    basa konjugat               asam konjugat

Dalam reaksi diatas HCl dan Cl- adalah pasangan asam-basa konjugasi yang dapat bersifat reversibel, dan dalam reaksi tersebut air berperan sebagai basa. Namun berbeda halnya, dengan saat air bereaksi dengan ion CO32-, ion tersebut berperan sebagai basa, sehingga air berperan sebagai asam.

H2O        +             CO32-                      ->            OH-         +             HCO3-
Asam                basa                                 basa konjugat              asam konjugat

Zat seperti air yang dapat berperan sebagai asam atau basa disebut sebagai zat amfoter. Air adalah zat amfoter yang khas. Reaksi antara dua molekul air akan menghasilkan ion hidronium dan ion hidroksida.

H2O        +             H2O        ->            OH-         +             H3O+
Asam                     basa            basa konjugat      asam konjugat

Teori Asam Basa Bronsted-Lowry

Teori asam basa Bronsted-Lowry ini dinyakan oleh kimiawan Denmark Johannes Nicolaus Bronsted dan kimiawan Inggris Thomas Martin Lowry pada tahun 1923. Teori mereka mengungkapkan konsep asam dan basa dalam lingkup yang lebih luas dari teori asam basa Arrhenius. Suatu zat dapat dikatakan asam jika zat tersebut mampu menghasilkan dan mendonorkan proton (H+) pada zat lain, sedangkan basa adalah zat yang dapat menerima proton (H+) dari zat lain. Berdasarkan teori ini, maka reaksi antara HCl dan NH3 dapat ditulis dengan persamaan berikut:

          HCl         +             NH3        ->            NH4Cl

Dibandingkan dengan toeri asam basa Arrhenius, teori Bronsted-Lowry memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam aplikasinya. Teori Bronsted-Lowry tidak hanya dapat diterapkan pada pelarut air, tapi juga pada pelarut-pelarut lain yang mengandung hidrogen, bahkan dapat juga diterapkan pada kondisi tanpa pelarut. Teori ini juga bermanfaat untuk menyatakan asam dan basa bukan hanya pada molekul, namun dapat juga pada anion atau kation.

Teori Asam Basa Lewis

Menurut Lewis suatu zat dapat dikatakan asam jika zat tersebut dapat menerima pasangan elektron bebas dan sebaliknya suatu zat dinyatakan basa jika zat tersebut dapat menyumbangkan sepasang elektron bebas. Konsep asam dan basa ini sangat membantu menjelaskan reaksi senyawa organik dan reaksi pembentukan senyawa kompleks yang tidak melibatkan ion hidrogen maupun proton. Sebagai contoh reaksi yang terjadi pada NH3 dan BF3 yang dapat ditulus dengan persamaan:

      NH3        +             BF3              ->            F3B-NH3.

Pada reaksi diatas NH3 dapat dikatakan basa karena memiliki sepasang elektron bebas, sedangkan BF3 kekurangan elektron, sehingga kedua senyawa tersebut saling bereaksi melalui sepasang elektron bebas yang digunakan bersama.

Berdasarkan kemampuan mengionnya, baik asam maupun basa dapat dibedakan kekuatannya, yaitu asam kuat dan asam lemah, serta basa kuat dan basa lemah.

TITRASI ASAM BASA

Titrasi merupakan salah satu metode analisis kuantitatif untuk mengetahui kadar zat dalam suatu larutan (sampel) dengan suatu larutan  standar yang telah diketahui konsentrasinya. Suatu zat yang akan ditentukan kadarnya disebut titran sedangkan larutan standar yang telah diketahui kadarnya disebut titer atau pentiter.

Titrasi biasanya dibedakan berdasarkan jenis reaksi yang terlibat dalam proses titrasi. Titrasi yang melibatkan senyawa asam-basa melalui reaksi netralisasi, maka disebut titrasi asam basa yang dapat berupa asidimetri (titer berupa senyawa asam) ataupun alkalimetri (titer berupa senyawa basa). Dalam sebuah titrasi pentiter ditambahkan tetes demi tetes hingga tercapai keadaan ekuivalen (dimana titran tepat habis bereaksi dengan titer), kondisi tersebut disebut titik ekivalen. Dalam sebuah titrasi, selalu diperlukan indikator yang akan berperan dalam menentukan kapan suatu titrasi harus dihentikan, yaitu pada titik akhir titrasinya. Titik akhir titrasi seharusnya mendekati titik ekivalennya, namun umumnya akan melebihi titik ekivalen tersebut.

Dalam menguji apakah suatu reaksi asam basa layak atau tidak untuk digunakan dalam titrasi, maka terlebih dahulu dibuat kurva titrasi. Kurva titrasi terdiri dari ploh pH atau pOH terhadap mililiter (ml) titer. Kurva akan bermanfaat untuk menilai kelayakan titrasi dan dalam pemilihan indikator yang tepat.


Kamis, 21 Juni 2012

KITA SEMUA BERPOTENSI GILA



Gila atau yang dikenal dalam istilah kedokteran skizofrenia, adalah sebuah penyakit kejiwaan yang dapat menimpa siapa pun. skizofrenia adalah salah satu gangguan/penyakit kejiwaan yang paling kompleks dan menantang. Sebuah gangguan yang bersifat heterogen atau merupakan perbauran antara pikiran-pikiran aneh, delusi, halusinasi, pengaruh-pengaruh yang tidak pantas dan gangguan fungsi. Berbagai perkembangan ilmiah telah banyak membantu kita mengetahui tentang fisiologi sistem syaraf pusat (SSP), patofisiologi, dan genetika yang diharapkan akan membantu kita untuk lebih memahami fenomena skizofrenia ini dimasa depan.

Skizofrenia sebagai gangguan kejiwaan dikarakteristik dengan adanya gangguan proses berfikir yang direspon dengan emosional yang buruk. Manivestasi klinik yang paling umum diantaranya:
  1. Halusinasi pendengaran
  2. Delusi paranoid (perilaku yang aneh)
  3. Proses berfikir dan bicara yang tak teratur
  4. Disfungsi sosial atau pekerjaan yang signifikan

Epidemiologi

Menurut Epidemiologic Catchment Area Study, Amerika serikat, prevalensi setiap manusia berpotensi mengalami skizofrenia sekitar 0,6-1,9%. Hanya dengan beberapa pengecualian, prevalensi penyakit ini hampir sama disemua negara didunia. Skizofrenia umumnya mulai timbul pada masa remaja akhir atau dewasa awal dan jarang terjadi pada remaja atau dengan usia lebih dari 40 tahun. Prevalensi pada pria dan wanita juga sebanding, namun onset (mulai timbulnya penyakit) umumnya lebih awal pada pria. Onset pada pria biasanya terjadi pada awal usia 20an, sedangkan pada wanita terjadi pada usia 20an akhir menjelang 30an.

Etiologi

Etiologi skizofrenia tidak diketahui secara pasti. Namun penelitian menunjukan adanya kelainan struktur dan fungsi otak pada penderita skizofrenia, namun perubahan ini tidak konsisten pada semua penderita. Skizofrenia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, kelainan patofisiologis diduga memainkan peranan penting dalam penentuan fenotip klinis yang berbeda-beda pada skizofrenia.

Sebuah model neurodevelopmental dikembangkan untuk mempelajari etiologi penyakit ini. Model ini menjelaskan bahwa skizofrenia berkembang sejak dalam rahim/kandungan dengan mekanisme yang belum diketahui, kemungkina proses ini berlangsung pada masa trimester kedua kehamilan, yang dibuktikan dengan adanya migrasi sel syaraf abnormal (Lesi skizofrenia). Lesi tersebut mengakibatkan abnormalitas permukaan sel, posisi sel, simetrisitas, koneksitas, dan pada akhirnya mengakibatkan abnormalitas fungsinya. Beberapa penelitian lain menengarai adanya:
  1. Keterkaitan antara infeksi saluran nafas atas pada trimester kedua kehamilan dengan skizofrenia
  2. Komplikasi obstetri dan hipoksia neonatal juga diduga berhubungan dengan etiologi skizofrenia
  3. Beberapa penelitian juga mengaitkan bobot lahir yang rendah (<2500 mg) kemungkinan juga berpengaruh pada skizofrenia
Penelitian juga menunjukan adanya penurunan ketebalan korteks dan peningkatan ukuran ventrikel pada otak sebagian besar penderita skizofrenia yang terjadi karena adanya gliosis. Gliosis adalah proliferasi sel glial sebagai kompensasi adanya perubahan pada penyakit degeneratif otak. 

Sejumlah penelitian menunjukan bahwa abnormalitas neuropsikologikal yang terjadi sejak usia 4 tahun kemungkinan besar akan berkembang menjadi skizofrenia. Penurunan pencapaian fungsi motorik normal dan gerakan abnormal pada anak usia 8 bulan kemungkinan juga berhubungan dengan kejadian skizofrenia. Temuan-temuan tersebut menunjukan kelainan fungsi otak terjadi jauh hari sebelum onset skizofrenia tersebut terjadi. 

Meskipun kelainan spesifik belum diketahui, namun bukti-bukti tersebut jelas mengindikasikan peranan genetik dalam perkembangan skizofrenia. Meskipun resiko skizofrenia pada setiap orang hanya sebesar 0,6-1,9%, namun resiko ini meningkat menjadi 10% pada setiap orang yang memiliki saudara tingkat pertama dengan skizofrenia, dan 3% pada seseorang yang memiliki saudara tingkat 2 dengan skizofrenia. Kedua orang tua yang memiliki skizofrenia, maka kemungkinannya 40% melahirkan anak-anak yang juga mengalami skizofrenia. Sedangkan pada studi skizofrenia pada bayi kembar, resiko skizofrenia pada kembar dizigotik masing-masing adalah 12% dan 14%, dan 48% pada bayi kembar monozigot. Resiko ini ditentukan oleh orang tua biologisnya, dan perubahan lingkungan selama perawatan anak ini tidak mengubah keadaan tersebut. 

Patofisiologi

Pemeriksaan dengan Computed Axial Tomography (CAT) Scans dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukan peningkatan ukuran ventrikel, khususnya dalam ventrikel ketiga dan ventrikel lateral dalam subtipe skizofrenia. Disamping itu juga terjadi penurunan ukuran otak. Penurunan ukuran otak ini ditunjukan dengan asimetri otak, pembesaran ventrikel temporal kiri dan penurunan ukuran kortikal yang jelas pada lobus temporal kiri. Dibandingkan dengan penurunan jumlah neuron didaerah otak, penurunan komunikasi aksonal dan dendritik antara sel dapat mengakibatkan hilangnya konektivitas yang penting dalam hal adaptivitas neuronal dan homeostasis SSP.

Perubahan Neurotransmiter

Setelah ditemukannya peran dopamin (DA) sebagai neurotransmiter pada tahun 1958, dan pengamatan bahwa obat antipsikotik adalah senyawa antagonis reseptor dopamin pascasinaps, maka dikembangkanlah hipotesis dopaminergik dalam patofisiologi skizofrenia. Hipotesis ini lebih berorientasi pada pengobatan psikotik dengan antipsikotik.

Ada 4 saluran dopaminergik yang berperan menguraikan asal, persyarafan, dan aktivitas fungsional utama dari masing-masing saluran serta efek dopaminergiknya. 4 saluran dopaminergik tersebut adalah:
  1. Nigrostriatal, yang berasal dari substansia nigra (area A9) dan berfungsi pada sistem ekstrapiramidal dan peregrakan
  2. Mesolimbik, yang berasal dari tagmentum ventral otak tengah (area A10), yang berfungsi dalam pengaturan gairah, memori, pengolahan stimulus dan motivasi perilaku.
  3. Mesokortikal, yang berasal dari tagmentum ventral otak tengah (area A10), yang berfungsi dalam pengaturan fungsi kognisi, komunikasi, sosial dan respon terhadap stres
  4. Tuberoinfundibular, berasal dari hipothalamus dan berfungsi dalam pengaturan pelepasan prolaktin.
Penderita skizofrenia ditengarai mengalami cacat pada reseptor dopamin. Penelitian dengan Positron emission tomography (PET) menunjukan adanya kelainan otak regional, termasuk peningkatan metabolisme glukosa dalam inti kaudata, dan penurunan aliran darah dan metabolisme glukosa pada lobus frontal dan lobus temporal kiri. Hal ini menunjukan adanya hiperaktivitas dopaminergik pada inti kaudata dan hipofungsi dopaminergik pada daerah frontotemporal. Studi PET dengan menggunakan ligan spesifik D2 menunjukan peningkatan kepadatan reseptor D2 pada inti kaudata dan penurunan kepadatan pada korteks. Penelitian PET ini juga menunjukan bahwa sub-populasi skizofrenia mungkin mengalami penurunan kepadatan reseptor D1 dalam inti kaudata dan korteks prefrontal. Hipofrontalitas mungkin berhubungan dengan kurangnya kemauan, salah satu gejala negatif pada skizofrenia. Gejala-gejala positif mungkin lebih berhubungan dengan hiperaktivitas reseptor dopamin pada mesokaudata, sedangkan gejala negatif berhubungan dengan hipofungsi reseptor dopamin pada korteks prefrontal. Reseptor D1 presinaptik di korteks prefrontal diduga terlibat dalam aktivitas glutamatergik yang mungkin berperan pada kekacauan memori seorang penderita skizofrenia.

Disfungsi glutamatergik juga berperan dalam etiologi skizofrenia. Sistem glutamatergik adalah sistem yang paling luas dalam merangsang sistem neurotransmitter diotak. Perubahan fungsi, baik hipo- maupun hiperaktivitas dapat menyebabkan keracunan neuronal. Persyarafan dopaminergik dari striatum ventral menurunkan aktivitas penghambatan aktivitas sistem limbik, dengan demikian dopaminergik menstimulasi gairah. 

Reseptor seretonergik yang hadir pada akson dopaminergik akan memberikan stimulus berupa penurunan pelapasan dopamin terutama dari striatum. Persebaran neuron serotonergik mirip dengan dopaminergik sehingga memungkinkan kedua sistem neurotransmiter ini untuk mempersyarafi daerah yang sama. Reseptor 5-hidroksitriptamin2 (serotonin2, 5-HT2) dan reseptor D4 ditemukan pada korteks. Pasien skizofrenia dengan hasil scan otak abnormal yang luas memiliki konsentrasi 5-HT dalam darah yang tinggi. Tingginya konsentrasi tersebut berhubungan dengan pembesaran ukuran ventrikel.

Patofisiologi primer pada skizofrenia adalah adanya abnormalitas salah satu atau beberapa neurotransmiter (baik dopaminergik, glutamatergik ataupun serotonergik), dan perubahan sejumalah neurotransmiter lainnya sebagai patofisiologi sekundernya. 

Skizofrenia adalah ganggauan kejiwaan yang kompleks dan melibatkan beberapa etiologi. Penelitian molekular yang melibatkan determinasi genetik menunjukan adanya perubahan pada protein G, metabolisme protein, dan proses subseluler lainnya yang mungkin untuk mengidentifikasi gangguan biologis terkait skizofrenia.

Presentasi Klinis

Kriteria diagnostik skizofrenia adalah:
  1. Adanya 2 atau lebih karakteristik gejala bertahan minimal dalam jangka waktu 1 bulan. karakteristik gejala tersebut adalah delusi, halusinasi, bicara tak beraturan, berperilaku sangat tidak teratur atau berberilaku katatonik, dan adanya gejala-gejala negatif. Gejala delusi aneh atau halusinasi yang mengandung kata-kata seperti dalam sebuah percakapan cukup mengindikasikan gejala skizofrenia.
  2. Disfungsi sosial/kerja. Pekerjaan, hubungan interpersonal, dan perawatan diri yang jauh dibawah tingkat biasanya sebelum onset skizofrenia.
  3. Durasi, tanda-tanda gangguan terus menerus selama minimal 6 bulan, yang dilengkapi dengan sekurang-kurangnya 1 bulan kriteria gejala 1 (kecuali bila dilakukan terapi).
  4. Skizoafektif atau gangguan mood
  5. Adanya gangguan yang bukan gangguan medis atau akibat penggunaan obat-obatan tertentu.
  6. Jika ada riwayat skizofrenia dan ditengarai kambuh, maka harus disertai delusi atau halusinasi selama sekurang-kurangnya 1 bulan.
Gejala-gejala (symptom) skizofrenia dikelompokan dalam 3 kelompok, yaitu gejala positif, negatif dan kognitif.
Gejala positif:
  1. Kecurigaan
  2. Pemikiran yang tidak biasa (termasuk delusi)
  3. Halusinasi
  4. Pemikiran yang tak beraturan
Gejala Negatif:
  1. Pemerataan afektif
  2. Alogia
  3. Anhedonia
  4. Avolition
Gejala kognitif:
  1. Gangguan perhatian
  2. Gangguan fungsi kerja memori
  3. Gangguan fungsi eksekutif
TERAPI

Tujuan Terapi
Farmakoterapi merupakan pengobatan utama dalam skizofrenia, karena tak mungkin pasien mendapatkan rehabilitasi psikososial yang efektif tanpa didampingi dengan terapi antipsikotik. Tujuan akhir yang jelas dari terapi skizofrenia ini harus ditegaskan pada awal mula terapi. Kerusakan fungsi psikososial pada penderita skizofrenia yang terbesar terjadi pada 5 tahun pertama episode skizofrenia dimulai, maka pada periode ini intervensi dengan antipsikotik harus dioptimalkan. Hal lain yang harus sangat diperhatikan dalam terapi ini adalah menghindarkan pasien dari resiko efek samping yang tidak diinginkan dengan menggunakan dosis efektif minimum, menekankan waktu yang cukup sebagai variabel utama guna tercapainya tujuan terapi, dan membatasi penggunaan obat yang nonresponsif terhadap pasien.

Secara umum pendekatan terapi skizofrenia adalah:
  1. Pengobatan dengan antipsikotik (terapi farmakologis)
  2. Terapi dukungan individual
  3. Terapi kognitif dan psikososial
  4. Dukungan dan psikoedukasi dari keluarga
  5. Dukungan sosial
  6. Manajemen kasus
  7. Dukungan keuangan
  8. Dukungan ketrampilan khusus
  9. Perumahan

Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis skizofrenia adalah suatu program rehabilitasi psikososial yang berorientasi pada peningkatan fungsi adaptif pasien. Program-program ini meliputi:
  1. Ketrampilan hidup dasar
  2. Pelatihan ketrampilan sosial
  3. Pendidikan dasar
  4. Program kerja
  5. Perumahan
Program yang ditujukan untuk pekerjaan dan perumahan dianggap sebagai intervensi yang lebih efektif bagi pasien skizofrenia yang serius. Program perawatan yang melibatkan keluarga juga dianggap efektif menurunkan lamanya perawatan di rumah sakit dan meningkatkan kemampuan sosial pasien dimasyarakat. 

Secara umum pendekatan terapi nonfarmakologis bagi pasien skizofrenia dapat dilakukan secara individual, maupun berkelompok dan dengan terapi perilaku kognitif. Terapi individual dilakukan dengan:
  1. Dukungan dan konseling
  2. Terapi personal
  3. Terapi ketrampilan sosial
  4. Pendidikan/pelatihan khusus untuk terapi rehabilitasi pekerjaan
Terapi secara berkelompok yaitu dengan interaksi sosial, dan terapi perilaku kognitif serta terapi kepatuhan.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Penilaian Sebelum Terapi Dimulai
Penilaian awal atas kondisi medis dan psikologis pasien yang diperlukan untuk menjamin ketepatan diagnosa pasien tersebut terutama pada pasien dengan status psikosis akut. Pengujian status mental, pengujian fisik dan neurologik, serta riwayat keluarga dan sosial, dan pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi kemungkinan adanya konsumsi obat-obatan yang menginduksi psikosis tersebut. Serangkaian pemeriksaan tersebut tidak hanya berguna untuk mengidentifikasi adanya kemungkinan patologi tertentu, namun juga berguna dalam menentukan terapi yang tepat sehubungan dengan potensi efek sampingnya. Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah tanda-tanda vital, hitung darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrokardiogram (EKG), glukosa serum puasa, lipid serum, fungsi tiroid, dan urinalisis.

Agen-agen Antipsikosis

Second-Generation Antipsychotics (SGA)
Obat-obat yang termasuk dalam golongan antipsikotik generasi kedua ini adalah aripiprazole, klozapin (clozapine), olanzapine, quetiapine, risperidone, dan ziprazidone. Semua SGA kecuali klozapin menjadi agen pilihan pertama untuk terapi skizofrenia. SGA dinilai hanya sedikit atau hampir tak memberikan efek samping  ekstrapiramidal (EPS). Selain itu SGA juga dinilai lebih efektif terutama dalam mengatasi gejala negatif dan kognitif serta tidak adanya efek tardive dyskinesia, dan kurangnya efek terhadap prolaktin serum. Meskipun profil efek samping dari SGA ini belum diketahui secara pasti, namun SGA dianggap lebih efektif  dalam pengobatan gejala negatif, kognitif, mood, maupun psikopatologi umum dibandingkan dengan FGA (First-Generation Antipsychotics). Tolerabilitas SGA juga lebih baik dibanding FGA. Para ahli kejiwaan mempercayai penggunaan SGA pada 5 tahun pertama sejak dimulai onset skizofrenia akan sangat membantu mencegah berbagai kerugian dan perkembangan penyakit yang lebih parah, dan tentu saja harus didampingi dengan rehabilitasi psikososial yang efektif untuk memperoleh hasil yang maksimum.

Risperidon memenuhi kriteria sebagai antipsikotik atipikal yang hanya sedikit memberikan efek samping ekstrapiramidal pada dosis rendah hingga sedang. Dosis optimal biasanya berkisar antara 4-6 mg perhari. Sedangkan pada dosis lebih dari 6 mg perhari profil risperidon lebih menyerupai FGA, karena tampaknya risperidon kehilangan profil atipikalnya pada dosis diatas 6 mg perhari. Sehingga pengobatan dengan dosis serendah mungkin perlu dilakukan dalam pengobatan skizofrenia dengan obat ini. Titrasi dosis kebawah juga tampaknya perlu dilakukan jika pasien tidak merespon pada awal pengobatannya. 

Olanzapine sangat jarang memberikan efek EPS jika digunakan pada dosis harian antara 10-20 mg perhari. Dan disarankan untuk membatasi dosisnya dibawah 20 mg perhari. Quetiapine berkhasiat sebagai antipsikotik dengan profil EPS yang jelas. Meskipun bertentangan dengan hasil studi efikasinya, dosis 500 mg sering digunakan untuk mencapai efek yang optimal dengan titrasi dosis hingga 800 mg perhari.

Ziprazidone 40-160 mg perhari tampaknya memiliki kemanjuran yang serupa dengan SGA lainnya, dengan tingkat respon meningkat pada dosis diatas 80 mg perhari. Aripiprazole efektif pada dosis 15-30 mg perhari.  Baik ziprazidone maupun aripiprazole memiliki potensi yang rendah terhadap efek kenaikan berat badan dibandingkan dengan SGA lainnya.

First-Generation Antipsychotics (FGA) atau Antipsikotik Tipikal
Termasuk dalam kelompok antipsikotik FGA ini antara lain klorpromazin, flufenazin, haloperidol, loksapin, molindon, mesoridazin, perfenazin, thioridazin, thiothiksen, dan trifluoperazin. Karena efek EPS yang dihasilkannya, khususnya tardive dyskinesia maka FGA tidak dapat dijadikan sebagai terapi lini pertama pada penanganan psikosis. Efek khasiat semua FGA adalah sama jika digunakan pada dosis equipotensinya.  Penggunaan dan pemilihan obat ini harus didasarkan pada kebutuhan untuk menghindari efek sampingnya. Obat dengan potensi tinggi seperti haloperidol cocok digunakan pada kondisi agitasi akut, sedangkan FGA dengan potensi sedasi tinggi seperti klorpromazin dapat digunakan pada saat pasien harus segera ditenangkan.



Sumber:
Pharmacotheraphy-Dipiro

Rabu, 20 Juni 2012

SILDENAFIL SITRAT

Sildenafil dikembangkan oleh sekelompok ilmuwan yang bekerja pada Pfizer Sandwich, di Inggris. Pada awalnya senyawa ini dikembangkan dengan maksud untuk terapi hipertensi dan angina pektoris, yang merupakan penyakit jantung iskemik. Hasil uji klinis pertama menunjukan bahwa senyawa ini tidak memberikan efek yang berarti pada angina, namun ditengarai dapat meningkatkan kemampuan ereksi.  Sehingga obat ini pun kemudian dipasarkan sebagai antidisfungsi ereksi dan dipatenkan pada tahun 1996 dan disetujui oleh FDA pada 27 Maret 1998. Sildenafil yang dipasarkan dengan nama dagang Viagra ini menjadi obat oral pertama dalam terapi disfungsi ereksi.

Sildenafil sitrat merupakan salah satu jenis obat baru yang masih dipasarkan sebagai produk patennya yaitu Viagra dan Revatio. Sildenafil merupakan salah satu senyawa yang digunakan dalam terapi disfungsi ereksi atau lebih dikenal dengan istilah antiimpotensi golongan inhibitor fosfodiesterase. Selain digunakan dalam terapi disfungsi ereksi, sildenafil juga digunakan dalam pulmonary arterial hypertension (PAH).

Mekanisme kerja obat ini adalah melalui penghambatan konversi trifosfat guanilat menjadi cGMP. Saat adanya rangsangan seksual, oksida nitrat dilepaskan oleh neuron atau sel endotel dijaringan penis sehingga meningkatkan aktivitas enzim guanilat siklase, suatu enzim yang bertanggung jawab mengkonversi trifosfat guanilat menjadi cGMP. cGMP merupakan neurotransmiter vasodilator pada jaringan. Katabolisme cGMP dimediasi oleh enzim fosfodiesterase.

Tiga isoenzim fosfodiesterase tipe 5 dengan selektivitas yang tinggi ditemukan pada jaringan genital, yang menurunkan katabolisme cGMP. Walaupun isoenzim ini juga ditemukan pada pembuluh darah perifer, otot polos trakea dan platelet. Penghambatan fosfodiesterase pada jaringan nongenital menghasilkan efek yang merugikan. 

Ketiga senyawa penghambat fosfodiesterase yang beredar dimasyarakat (sildenafil, vardenafil, dan tadalafil) memiliki profil farmakokinetik, interaksi obat-makanan, dan efek merugikan yang berbeda. Peringatan dan perhatian khusus harus diberikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler yang juga menerima sildenafil atau penghambat fosfodiesterase lainnya.

Sildenafil telah digunakan dalam rentang waktu yang lebih lama dibanding vardenafi maupun tadalafil dan memberikan hasil studi yang lebih baik. 

Kegunaan Medis Sildenafil

Sildenafil digunakan dalam berbagai kondisi berikut:

  1. Disfungsi seksual. Penggunaan utama sildenafil adalah dalam terapi disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan mempertahankan ereksi untuk menyelesaikan satu periode hubungan seksual.  Sildenafil kini merupakan terapi obat standar dalam penanganan disfungsi ereksi pada semua kondisi, termasuk pada pasien dengan diabetes melitus. Seseorang dengan terapi antidepresan mungkin akan mengalami disfungsi seksual yang dapat merupakan akibat dari penyakitnya ataupun sebagai akibat atas pengobatannya. Penelitian pada tahun 2003 menunjukan bahwa sildenafil mampu memperbaiki kemampuan seksual pria dengan depresi dan terapi antidepresan. Demikian pun pada wanita.
  2. Pulmonary arterial hipertension (PAH). Sildenafil bekerja dengan merelaksasi dinding arteri sehingga menyebabkan penurunan resistensi dan tekanan arteri. Dan pada akhirnya akan mengurangi beban kerja dari ventrikel kanan jantung dan memperbaiki gejala gagal jantung. Karena PDE-5 terutama tersebar pada otot halus dinding arteri pada paru dan penis, sildenafil bertindak selektif pada kedua daerah tersebut tanpa menvasodilatasi daerah lain ditubuh. Penggunaan sildenafil untuk indikasi ini disetujui oleh FDA pada tahun 2005. Sediaan sildenafil untuk indikasi PAH ini dipasarkan dengan nama dagang Ravetio, yang merupakan sediaan tablet putih bulat dengan isi sildenafil 20 mg pertablet. 
  3. Keluhan sakit yang berhubungan dengan tempat yang tinggi. Sildenafil juga telah terbukti efektif dalam pencegahan edema paru yang berhubungan dengan tempat tinggi seperti yang dialami pendaki gunung. 
Karena alasan efektivitasnya, kemudahan cara pemberian obat, dan rendahnya kejadian efek merugikan dari obat golongan inhibitor fosfodiesterase ini, maka obat-obat ini dijadikan terapi lini pertama untuk penanganan disfungsi ereksi terutama pada penderita muda.

Dosis 25-100 mg sildenafil mampu memperbaiki kemampuan ereksi pada 56-82% pasien. Dosis yang sama akan menghasilkan efek 65-80% pasien pengguna vardenafil dan 62-77% pasien pengguna tadalafil.

Sekitar 55% pasien disfungsi ereksi gagal merespon terapi sildenafil, pada kasus ini edukasi diperlukan untuk memperbaiki responnya, diantaranya dengan:
  1. Pasien harus terlibat dalam rangsangan seksual (foreplay)
  2. Sildenafil harus dikonsumsi saat perut kosong, setidaknya 2 jam sebelum makan untuk mendapatkan respon terbaik
  3. Konsumsi sildenafil disertai makanan berlemak akan mengurangi absorpsinya
  4. Seorang pasien yang gagal merespon terapi sildenafil pertama kali harus melanjutkan terapi hingga 5-8 dosis sebelum terapi ini dapat benar-benar dinyatakan gagal
  5. Beberapa pasien mungkin memerlukan titrasi (peningkatan bertahap) dosis sildenafil hingga 100 mg
Sildenafil dan semua inhibitor fosfodiesterase lainnya tidak diperbolehkan digunakan pada seseorang dengan fungsi ereksi normal dan tidak boleh dikombinasikan dengan agen antidisfungsi ereksi lainnya karena dapat mengakibatkan ereksi berkepanjangan.

Farmakokinetik

Sildenafil dengan dosis harian yang direkomendasikan sebesar 25-100 mg/hari memberikan onset sekitar 1 jam dengan durasi kerja yang pendek. Absorpsi sildenafil berkurang secara signifikan dari saluran cerna dengan adanya bahan makanan berlemak. Dosis yang lebih rendah dapat digunakan pada pasien dengan gagal ginjal atau gagal jantung berat, dosis yang direkomendasikan hanya 25 mg/hari. Semua inhibitor fosfodiesterase dikatabolisme melalui hati oleh enzim sitokrom P450 3A4 dan sebagian kecil melalui isoenzim lain pada enzim sitokrom tersebut. Sildenafil diekskresikan terutama melalui feses dan sebagian kecil melalui urin.

Penurunan dosis diperlukan pada pasien yang juga menerima terapi obat yang menghambat kerja enzim sitokrom P450 seperti simetidin, eritromisin, klaritromisin, ketokonazole, itrakonazole, ritonavir dan saquinavir. 

Efek Merugikan

Efek merugikan sildenafil dapat bersifat ringan hingga sedang yang terbatas pada beberapa individu. Penghentian penggunaan obat ini umumnya tidak memerlukan terapi khusus. Pada dosis yang direkomendasikan efek samping yang sering terjadi adalah sakit kepala, wajah pucat, dispepsia, hidung tersumbat dan pusing. Semua efek samping tersebut terjadi karena adanya penghambatan isoenzim fosfodiesterase pada jaringan ekstra genital.

Sildenafil menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sekitar 8-10 mmHg dan penurunan tekanan diastolik sekitar 5-6 mmHg selama 1-4 jam setelah pemberian sildenafil. Maka perlu diwaspadai kemungkinan adanya efek hipotensi pada pasien yang cenderung hipotensi atau pasien dengan penggunaan beberapa antihipertensi.

Sildenafil dapat meningkatkan sensitivitas terhadap cahaya, kaburnya penglihatan, dan kesulitan membedakan warna biru dan hijau yang terjadi pada sekitar 3-10% pasien. Hal ini terjadi karena hasil penghambatan fosfodiesterase tipe 6 pada sel-sel fotoreseptor diretina, efek ini terutama terjadi pada pasien yang menggunakan dosis lebih dari 100 mg/hari. Sildenafil dikontraindikasikan pada pasien dengan resiko masalah opthalmologik seperti Retinitis pigmentosa, yaitu suatu penyakit yang berhubungan dengan defisiensi fosfodiesterse.

Sildenafil juga menghambat isoenzim fosfodiestearse tipe 5 di trombosit yang secara teoritis dapat mengakibatkan penghambatan agregasi platelet. Meskipun sildenafil dalam kasus ini tidak mengakibatkan perdarahan, tapi penggunaan sildenafil bersamaan dengan agen antiplatelet harus diwaspadai kemungkinan terjadinya perdarahan.

Interaksi Obat

Penggunaan bersama senyawa nitrat organik dengan sildenafil dapat mengakibatkan hipotensi berat, melalui 2 faktor berikut:
  1. Dengan sendirinya senyawa nitrat organik berpotensi mengakibatkan hipotensi
  2. Senyawa nitrat organik memasok oksida nitrat tambahan yang menyebabkan stimulasi guanilat siklase dan meningkatkan level cGMP jaringan.
Atas kenyataan tersebut maka penggunaan sildenafil atau agen inhibitor fosfodiesterase lainnya kontraindikasi untuk digunakan bersama dengan nitrat organik.

Jika hipotensi berat terjadi selama pasien terpapar nitrat organik dan inhibitor fosfodiesterase maka pasien harus ditempatkan di Tredelenburg dan pemberian cairan secara agresif harus segera dilakukan. Jika hipotensi terus berlanjut maka pemberian agonis adrenergik seperti dopamin, levarterrenol, atau epinefrin dapat diberikan secara berhati-hati.

Menariknya, sumber makanan yang mengandung nitrat, nitrit atau L-arginin (suatu prekursor senyawa nitrat) tidak berinteraksi dengan inhibitor fosfodiesterase. Hal ini karena sumber makanan tersebut tidak meningkatkan kadar oksida nitrat dalam sirkulasi manusia.

Sildenafil tidak berinteraksi dengan obat antihipertensi. Metabolisme hepatik dari sildenafil dapat terhambat dengan adanya senyawa-senyawa obat yang menghambat enzim sitokrom P450 terutama pada isoenzim CYP 3A4 seperti simetidin, eritromisin, klaritromisin, ketokonazole, itrakonazole, ritonavir dan saquinavir, sehingga pasien ini memerlukan inisiasi dosis yang lebih rendah.




Sumber
Pharmacothepy-Dipiro
Wikipedia

OBAT TRADISIONAL AMAN?


Obat tradisional yang notabene terbuat dari bahan-bahan dari alam baik tumbuhan, hewan, maupun mineral secara umum dikenal oleh masyarakat sebagai produk yang aman dikonsumsi dengan asumsi bebas efek samping. Benarkah demikian?. Belum tentu. Obat tradisional yang murni berasal dari bahan alam, memang relatif lebih aman, karena komponen bahan alam tersebut yang beragam akan menghasilkan efek yang saling meniadakan. Artinya kalaupun ada efek merugikan dari bahan obat tersebut efek penawarnya akan dihasilkan dari komponen bahan tersebut pula. Namun akhir-akhir ini kita harus lebih waspada terhadap produk-produk obat tradisional yang beredar luas dan dipasarkan secara bebas dimasyarakat.

Kita tentu masih ingat bagaimana pada sekitar tahun 2008 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan begitu banyak produk jamu yang mengandung bahan kimia obat (BKO). Pada masa itu jamu-jamu yang beredar dimasyarakat diklaim mampu mengobati/menyembuhkan pegal-pegal, rheumatik, dan aneka rasa nyeri lainnya terbukti mengandung BKO dari golongan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), seperti ibuprofen, diklofenak dan lain-lain.

Namun pada sekitar tahun 2011, penambahan BKO kedalam produk obat tradisional telah beralih yang semula ditujukan sebagai antinyeri ke BKO yang berkhasiat sebagai aprodisiak yang umumnya ditambahkan dalam obat tradisional berlabel jamu sehat laki-laki atau jamu kuat laki-laki. Sildenafil, vardenafil, tadalafil, yohimbin dan metiltestosteron ditengarai dicampurkan pada sejumlah produk tersebut.

Penambahan BKO dalam sediaan obat tradisional bukan saja merupakan tindakan yang melanggar hukum, tapi juga dapat membahayakan kesehatan. Peraturan dinegara ini melarang adanya penambahan BKO dala sediaan obat tradisional. Penambahan BKO dalam obat tradisional ini berpotensi membahayakan kesehatan. Bagaimana tidak penambahan BKO ini dilakukan dengan "sembarangan" baik dari segi jumlah (dosis), cara pencampuran, dan kemungkinan interaksinya.

Selasa, 19 Juni 2012

TERAPI PROFILAKSIS ULKUS PEPTIKUM



Terapi penunjang (koterapi) pada ulkus peptikum sangat diperlukan terutama pada pasien ulkus peptikum terinduksi AINS. Penghentian penggunaan AINS pada dasarnya mutlak dilakukan apabila gejala ulkus ditengarai aktif. Penghentian penggunaan AINS umumnya akan mempermudah penanganan ulkus tersebut dengan menggunakan rejimen standar antagonis reseptor H2, pompa proton inhibitor (PPI), ataupun sukralfat. PPI umumnya lebih disukai karena memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat dibanding H2RA atau sukralfat.

Jika terpaksa penggunaan AINS pada pasien ulkus peptikum tidak dapat dihentikan, maka perlu dipertimbangkan alternatif berikut:

  1. Pengurangan dosis
  2. Beralih ke AINS yang relatif aman terhadap ulkus peptikum seperti asetaminofen, salisilat nonasetilasi, kombinasi dengan AINS selektif COX-2, atau mengganti seluruhnya dengan AINS selektif COX-2
PPI merupakan agen yang harus diberikan pada pasien ulkus dengan terapi AINS ini. Dan pada pasien-pasien ini perlu dipertimbangkan cara-cara lain untuk mengurangi resiko ulkusnya. Pemberian AINS dalam bentuk prodrug, atau dengan membuat formula AINS dalam bentuk tablet salut lepas lambat, terbukti tidak mampu mengurangi resiko ulkus peptikum. Sementara itu koterapi AINS dengan pemberian misoprostol atau PPI terbukti mampu mengurangi resiko ulkus peptikum dan komplikasinya pada saluran gastrointestinal.  Beralih ke AINS selektif COX-2 juga terbukti mengurangi resiko ulkus peptikum dan komplikasinya.

Misoprostol

Pemberian misoprostol dengan dosis 4x200 mcg terbukti mampu mengurangi resiko ulkus peptikum terinduksi AINS, namun efek samping berupa diare dan nyeri abdomen membatasi penggunaannya. Karena dosis 3x200 mcg sebanding khasiatnya dengan dosis 800 mcg/hari, maka dosis yang lebih rendah tersebut dapat diterapkan pada pasien yang tak mampu mentoleransi dengan baik dosis tinggi misoprostol ini. Pengurangan dosis hingga 400 mcg/hari atau bahkan lebih rendah lagi masih diperbolehkan untuk menghasilkan efek profilaksis ulkus peptikum ini. Sediaan dengan kombinasi dosis tetap 200 mcg dan diklofenak 50 atau 75 mg tersedia dan dapat membantu mengurangi resiko ulkus.

Antagonist Reseptor H2

Antagonist reseptor H2 seperti famotidin 40 mg terbukti efektif mampu mengurangi resiko ulkus duodenum tetapi tidak pada ulkus peptikum. Tak ada standar dosis antagonis reseptor H2 untuk koterapi ulkus. Meski demikian dosis antagonis reseptor H2 yang lebih tinggi seperti famotidin 2x40 mg atau ranitidin 2x300 mg terbukti mampu menurnkan resiko ulkus peptikum maupun ulkus duodenum, walaupun belum ada evaluasi terdokumentasi untuk membuktikannya. Antagonis reseptor H2 ini dapat digunakan sewaktu-waktu munculnya gejala yang berhubungan dengan dispepsia terinduksi AINS.

Inhibitor Pompa Proton (PPI)

Dosis standar omeprazole 1x20 mg atau lansoprazole 1x30 mg terbukti mampu mengurangi resiko ulkus peptikum dan ulkus duodenum terinduksi AINS. Pemberian koterapi omeprazole 1x20 mg terbukti lebih efektif dibanding 2x150 mg ranitidin.

AGEN-AGEN ANTIULKUS (ANTIMAAG)


Ulkus peptikum atau masyarakat lebih mengenal dengan istilah sakit maag, merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang cukup tinggi dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Ulkus peptikum juga relatif mudah terpicu kekambuhannya. Penanganan ulkus yang tepat tentu akan memberikan dampak yang lebih sesuai dengan keinginan. Terapi farmakologis ulkus peptikum umumnya melibatkan beberapa agen/obat antiulkus secara bersamaan. Tulisan ini akan sedikit mengulas tentang farmakologi, farmakokinetik, farmakodinamik, efikasi, keamanan, interaksi, dan tolerabilitas obat-obat antiulkus tersebut.

Agen antiulkus peptikum terdiri dari antasida, antagonis reseptor H2 (H2 resceptor antagonist (H2RA), penghambat/inhibitor pompa proton ( proton pump inhibitor (PPI)), sediaan bismuth, sukralfat dan prostaglandin. Berikut saya akan mencoba menguraikan masing-masing kelompok agen antiulkus tersebut.

Antasida

Antasida bekerja sebagai antiulkus peptikum dengan cara menetralisasi asam lambung, menonaktifkan pepsin dan mengikat garam empedu. Selain itu aluminium yang terkandung dalam antasida juga akan menekan pertumbuhan bakteri Helicobacter pylori (HP) dan meningkatkan pertahanan mukosa. Salah satu efek yang kurang menyenangkan dari antasida adalah kinerjanya yang tergantung pada dosis, garam magnesium (Mg) menyebabkan diare osmotik, sedangkan garam alumunium (Al) menyebabkan sembelit (konstipasi). Efek diare umumnya lebih dominan pada sediaan antasida yang mengandung garam Mg dan Al. Kandungan Al dalam antasida (kecuali Al fosfat) berinteraksi membentuk garam yang tidak larut dengan fosfor dan mengakibatkan penurunan absorpsi fosfor, sehingga beresiko mengakibatkan hipofosfatemia. Kondisi hipofosfatemia ini akan mudah dialami pasien-pasien dengan asupan nutrisi rendah fosfor, seperti pada penderita gizi buruk atau alkoholisme. Penggunaan bersama antasida yang mengandung Al dengan sukralfat akan semakin meningkatkan resiko hipofosfatemia dan toksisitasnya.

Antasida dengan kandungan Mg tidak boleh digunakan pada pasien dengan bersihan kreatinin (creatinine clearence) kurang dari 30 ml/menit karena ekskresinya akan terhambat. Hiperkalsemia dapat terjadi pada pasien yang menerima terapi kalsium karbonat (CaCO3) lebih dari 20 g/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal atau lebih dari 4 g/hari pada pasien gagal ginjal. Sindrom alkali susu (hiperkalsemia, alkalosis, batu ginjal, peningkatan nitrogen urea darah (blood urea nitrogen (BUN)), dan peningkatan konsentrasi kreatinin serum) dan muntah berkepanjangan dapat terjadi pada pasien dengan asupan nutrisi tinggi kalsium pada pasien alkalosis sistemik. 

Antasida juga dapat mengubah pola absorpsi dan ekskresi beberapa obat jika diberikan secara bersamaan. Interaksi bermakna dapat terjadi jika antasida diberikan secara bersamaan dengan suplemen besi, tetrasiklin, warfarin, digoksin, kuinidin, isoniazid, ketokonazol, dan florokuinolon. Interaksi ini dapat dicegah dengan cara memisahkan pemberian antasida dengan obat-obat tersebut diatas dengan selang waktu sekurang-kurangnya 2 jam.

Antasida memiliki durasi kerja yang pendek, sehingga diperlukan frekuensi pemberian antasida yang sering untuk mendapatkan efek netralisasi asam lambung yang terus menerus. Dosis tipikal antasida adalah 4x2tablet atau 4x1 sendok makan setiap setelah makan dan menjelang tidur. Pemberian antasida setelah makan meningkatkan durasi kerjanya dari 1 jam menjadi 3 jam. 

Antagonis Reseptor H2 (H2 Receptor Antagonist/ H2RA)

Kelompok obat ini terdiri dari famotidin, nizatidin, ranitidin dan simetidin. Obat-obat ini dapat diberikan dalam dosis harian tunggal ataupun terbagi dua, terutama diberikan setelah makan malam atau menjelang tidur malam. Pemberian obat ini dalam 2 dosis memberikan keuntungan berupa penekanan produksi asam lambung pada siang hari dan dalam mengatasi nyeri ulkus pada siang hari. 

Para perokok umumnya memerlukan terapi obat ini dengan dosis yang lebih tinggi atau dengan durasi pengobatan yang lebih lama. Obat ini dieliminasi diginjal, sehingga pada pasien dengan gagal ginjal memerlukan penyesuaian dosis dengan pengurangan dosisnya. 

Keempat jenis obat H2RA ini mempunyai tingkat keamanan yang sama baik pada penggunaan jangka panjang maupun jangka pendek. Trombositopenia adalah efek hematologi reversibel yang paling umum yang dapat terjadi selama terapi H2RA. 

Simetidin menghambat beberapa isoenzim CYP450 sehingga menimbulkan banyak interaksi dengan obat-obat lain seperti teofilin, lidokain, fenitoin dan warfarin. Sedangkan ranitidin tidak memiliki ikatan yang kuat dengan isoenzim CYP450 dibandingkan dengan simetidin, sehingga potensi interaksinya lebih kecil. Inilah alasan ranitidin lebih sering digunakan daripada simetidin.

Famotidin dan nizatidin tidak berinteraksi dengan obat-obat yang dimetabolisme hepatik pada isoenzim CYP450. Karena H2RA bekerja dengan menurunkan sekresi asam dan meningkatkan PH intragastrik, maka obat-obat ini dapat menurunkan ketersediaan hayati obat-obat yang absorpsinya tergantung PH yang lebih rendah seperti ketokonazol.

Inhibitor Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor/ PPI)

PPI terdiri dari omeprazole, esomeprazole, rabeprazole, pantoprazole dan lanzoprazole. Kerja PPI tergantung dosis. Obat ini bekerja dengan menghambat sekresi asam lambung basal dan terstimulasi. Penekanan asam lambung meningkat selama 3 sampai 4 hari pertama terapi dengan PPI dimulai, sebagai akibat semakin banyaknya pompa proton yang dihambat. Setelah terapi dihentikan, pemulihan sekresi asam lambung memerlukan waktu 3-5 hari. Karena PPI hanya akan menghambat pompa proton yang aktif mensekresikan asam, maka terapi dengan PPI ini akan efektif bila diberikan pada waktu 15-30 menit sebelum makan.

PPI diformulasikan dalam bentuk granul bersalut enterik sensitif PH yang kemudian dikemas dalam kapsul gelatin (omeprazole, esomeprazole, dan lanzoprazole), bubuk (lanzoprazole), tablet disintegrasi cepat (lanzoprazole), atau tablet salut enterik (rabeprazole, pantoprazole dan omeprazole yang dijual bebas). Produk intravena juga tersedia untuk zat aktif pantoprazole, lanzoprazole dan esomeprazole, namun masih dalam proses menunggu persetujuan FDA. Salut enterik sensitif PH tersebut akan mencegah degradasi dan protonasi prematur zat aktif dalam caira lambung yang asam. Lapisan enterik akan melarut dalam duodenum dengan PH lebih dari 6 sehingga zat aktif obat terlepas dan akhirnya diabsorpsi secara sistemik. 

Semua PPI memberikan efek penyembuhan terhadap ulkus yang sama jika diberikan dalam dosis terapi yang direkomendasikan. Ketika diberikan dosis yang lebih tinggi, maka dosis harus dibagi untuk menghasilkan efek kontrol asam lambung selama 24 jam. Penyesuaian/penurunan dosis tidak perlu dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal atau geriatrik, kecuali pada pada pasien dengan penyakit hati yang parah penyesuaian dosis diperlukan.

Penggunaan PPI jangka pendek (kurang dari 12 minggu) pada semua jenis akan memberikan efek merugikan yang sama. Karena PPI bekerja dengan meningkatkan PH intragastrik, maka obat ini dapat menghambat absorpsi obat-obat yang absorpsinya tergantung PH seperti ketokonazole dan digoksin. 

Omeprazole selektif menghambat sitokrom P450 isoenzim 2C19 dihati dan menyebabkan penurunan eliminasi fenitoin, diazepam dan R-warparin. Lanzoprazole dapat meningkatkan sedikit metabolisme teofilin, yang mungkin terjadi melalui induksi CYP1A. Rabeprazole dan pantoprazole tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kinerja enzim sitokrom (CYP) sehingga potensi interaksinya dengan obat-obat yang dimediasi enzim tersebut relatif rendah.

Semua PPI meningkatkan konsentrasi gastrin serum. Tingginya konsentrasi gastrin ini biasanya masih berada dalam kisaran normal dan akan kembali pada kondisi baseline sekitar 1 bulan setelah terapi PPI dihentikan. Penggunaan PPI juga dapat mengakibatkan hiperplasia enterochromaffin (ECL). Penggunaan PPI jangka panjang juga berkaitan dengan kanker lambung pada pasien positif infeksi HP.

Sukralfat

Sukralfat harus diberikan saat perut kosong untuk mencegah pengikatan protein dan fosfor dalam makanan. Hindari penggunaannya dalam dosis besar beberapa kali perhari. Lakukan pembatasan selang waktu konsumsi makanan dengan obat ini untuk mencegah interaksinya. Sembelit adalah efek merugikan yang paling sering terjadi dengan penggunaan obat ini. Mual, pusing dan mulut kering jarang terjadi. Kejang dapat terjadi pada pasien dialisis yang menerima terapi sukralfat dan antasida mengandung Al. Penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan hipofosfatemia. Penggunaan bersama sukralfat dengan florokuinolon oral, fenitoin, digoksin, teofilin, kuinidin, amitriptilin, ketokonazole, dan warfarin dapat menyebabkan penurunan ketersediaan hayati obat-obat tersebut. 

Prostaglandin

Misoprostol adalah analog prostaglandin E1 sintetis yang menghambat sekresi asam lambung dan memperbaiki pertahanan mukosa. Efek antisekretorik dihasilkan pada dosis 50-200 mcg. Sedangkan pada dosis lebih dari 200 mcg dapat memberikan efek sitoprotektif. Karena efek proteksi dihasilkan pada dosis yang lebih tinggi itu berarti bahwa efek proteksi ini tidak tergantung kerja antisekretoriknya. Walaupun tidak direkomendasikan oleh FDA, namun dosis 4x200 mcg atau 2x400 mcg dalam penyembuhan ulkus peptikum dan duodenum memberikan efek yang sebanding dengan H2RA atau sukralfat.

Diare merupakan efek merugikan yang paling sering terjadi dalam terapi obat ini yang terjadi pada sekitar 10-30% pasien. Nyeri abdomen, mual, pusing dan sakit kepala juga sering menyertai diare selama terapi misoprostol. Pemberian obat ini bersama atau setelah makan dan menjelang tidur dapat mengurangi resiko diare. Misoprostol dapat mengakibatkan kontraksi uterus sehingga membayakan bila digunakan saat hamil. 

Bismuth

Bismuth subsalasilat adalah satu-satunya sediaan garam bismuth yang tersedia di Amerika Serikat. Mekanisme penyembuhan ulkus yang paling mungkin adalah melalui efek antibakteri, efek lokal gastroproteksi, dan stimulasi sekresi prostaglandin endogen. Garam bismuth tidak menghambat sekresi asam lambung atau pun menetralisasikannya. Garam bismuth subsalasilat dinyatakan aman dengan sedikit efek merugikan jika digunakan pada dosis yang direkomendasikan. Karena insufisiensi ginjal dapat menurunkan ekskresi bismuth, maka penggunaan bismuth pada pasien gagal ginjal harus disertai peringatan. Bismuth subsalisilat dapat meningkatkan sensitivitas terhadap salisilat dan penyakit pendarahan, sehingga harus ada peringatan terhadap pasien yang juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalasilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam.





Sumber
Pharmacotherapy- Dipiro