Selasa, 29 Mei 2012

GAGAL JANTUNG DAN PENDEKATAN TERAPINYA



Kondisi pada penderita gagal jantung

Gagal Jantung adalah gejala-gejala klinis yang disebabkan oleh ketidamampuan jantung untuk memompakan sejumlah darah yang diperlukan dalam kegiatan metabolisme ke seluruh tubuh. Gagal jantung dapat disebabkan oleh penurunan fungsi pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) maupun akibat penurunan kontraktilitas miokard (disfungsi sistolik). Kendati demikian penyebab utama gagal jantung adalah penyakit arteri koroner atau hipertensi. Manivestasi utama dari gagal jantung adalah dispnea, kelelahan dan retensi cairan.

Gagal jantung merupakan gangguan yang bersifat progresif dimulai dari cedera miokard. Cedera tersebut mengakibatkan sejumlah respon untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output) yang memadai termasuk pada sistem syaraf simpatik seperti:

  1. Meningkatkan preload
  2. Vasokontriksi
  3. Remodeling/hipertropi ventrikel
dimana respon tersebut yang berperan pada munculnya gejala-gejala dan memacu prekembangan gagal jantung.

Penyebab timbulnya gagal jantung dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Disfungsi sistolik (penurunan kontraktilitas) yang dapat disebabkan oleh: 
  1. Penurunan masa otot (misal akibat infark miokard)
  2. Pelebaran kardiomiopati
  3. Hipertrofi ventrikel
  4. Tekanan darah yang berlebihan (dapat merupakan akibat dari hipertensi sistemik atau pulmonar dan stenosis katup aorta dan pulmonalis)
  5. Volume darah yang berlebihan akibat regurgitasi valvular 
Disfungsi diastolik (pembatasan pengisian ventrikel) yang dapat disebabkan oleh:
  1. Peningkatan kekakuan ventrikular
  2. Hipertrofi ventrikel (misal: kardiomiopati hipertrofik)
  3. Penyakit infiltrasi miokard (seperti: amiloidosis, sarkoidosis, fibrosis endomiokard)
  4. Infark dan iskemia miokard
  5. Stenosis katup mitral dan trikuspid
  6. Penyakit perikardial (seperti: perikarditis)


Mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik pada pasien gagal jantung

Patofisiologi gagal ginjal dapat dipahami melalui penjelasan model neurohormonal. Dimana aktivasi neurohormon-neurohormon endogen, seperti norepinefrin, angiotensin II, aldosteron, vasopresin dan dan sejumlah proinflamasi sitokin memainkan peranan penting pada remodeling ventrikel dan perkembangan gagal jantung selanjutnya. Sehingga dalam farmakoterapi gagal jantung ini, metode yang dikembangkan adalah metode untuk mengantagonis aktivasi neurohormonal tersebut, sehingga perkembangan lebih lanjut gagal jantung dapat dicegah.
  • Angiotensin II. Angiotensin II memegang peranan penting pada perkembangan yang memperburuk kasus gagal jantung melalui mekanisme peningkatan resistensi perifer, malalui vasokonstriksi yang signifikan. Kemampuan tersebut menyebabkan pelepasan AVP (arginin vasopresin) dan endothelin-1 yang juga menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Angitensin II juga memfasilitasi pelepasan norepinefrin dari terminal syaraf adrenergik yang mempertinggi aktivasi SNS. Hal ini menyebabkan retensi natrium melalui efek langsung pada tubulus ginjal dengan merangsang pelepasan aldosteron yang menyebabkan vasokostriksi arteri glomerular eferen yang berperan pada perfusi tekanan. Banyaknya neurohormon yang dirangsang pelepasannya oleh enzim angiotensin II inilah yang menjelaskan peranannya dalam perburukan kondisi gagal jantung melalui: hipertrofi ventrikel, remodeling ventrikel, apoptosis miosit (kematian sel), dan perubahan matriks ekstraselulur jantung.
  • Norepinefrin. Norepinefrin berperan penting pada vasokonstriksi, takikardia dan peningkatan kontraktilitas. Peningkatan kadar plasma norepinefrin berkorelasi langsung dengan peningkatan keparahan gagal jantung. Norepinefrin menyebabkan aktivasi SNS yang menyebabkan penurunan regulasi pada reseptor beta-1, sehingga menurnkan sensitivitas reseptor. Norepinefrin berkontribusi langsung pada hipertrofi ventrikel, remodeling ventrikel.
  • Aldosteron. Aldosteron memediasi retensi natrium, dan menyebabkan terjadinya kelebihan volume cairan dan edema. Peredaran aldosteron pada penderita gagal jantung meningkat sebagai akibat stimulasi pelepasan aldosteron pada korteks adrenal oleh angiotensin II untuk menurunkan bersihan hepatik sekunder dan akhirnya mengurangi perfusi hepatik. Retensi natrium telah diketahui sebagai indikasi gagal jantung, namun peranan langsung aldosteron diduga lebih penting pada perkembangan patofisiologi gagal jantung. Dimana aldosteron dapat menyebabkan fibrosis interstisial jantung melalui peningkatan deposisi kolagen pada matriks ekstraseluler jantung.
  • Peptida Natriuretik. Peptida natriuretik terdiri dari: atrial natriuretic peptide (ANP) pada atrium kanan, B-type natriuretic peptide (BNP) dalam ventrikel, dan C-type natriuretic peptide (CNP) yang ditemukan dalam otak dan tersedia dalam konsentrasi kecil pada sirkulasi darah. ANP dan BNP dirilis untuk merespon kelebihan tekanan dan volume darah. Konsentrasi ANP dan BNP meningkat pada pasien gagal jantung yang diduga berperan dalam menyeimbangkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) akibat natriuresis, diuresis, vasodilatasi, peningkatan kadar aldosteron, penurunan hipertrofi, dan penghambatan SNS dan sistem RAA. Akhir-akhir ini BNP digunakan sebagai biomarker pada prognosis, diagnosis, dan terapi. Pada pasien gagal jantung kronis, tingkat BNP berhubungan langsung dengan tingkat kematian, resiko kematian mendadak, gejala dan tingkat perawatan di rumah sakit.
  • Arginin Vasopresin (AVP). AVP adalah hormon peptida hipofisis yang berperan pada pengaturan cairan ginjal. Sekresi AVP berhubungan langsung dengan osmolalitas plasma dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Efek fisiologis AVP dimediasi oleh reseptor V1a dan V2. Reseptor V1a terdapat pada otot polos pembuluh darah dan miosit yang menyebabkan vasokonstriksi dan kontraktilitas otot jantung meningkat. Sedangkan reseptor V2 berada pada saluran pengumpul ginjal yang menstimulasi reabsorbsi air.
  • Mediator-mediator lain. Sitokin, interleukin, dan endothelin adalah mediator-mediator yang juga berperan dalam memperparah penyakit gagal jantung.

Manivestasi Klinis Gagal Jantung

Simptom atau gejala gagal jantung pada beberapa pasien relatif beragam. Namun secara umum akan merasakan gejala berikut: Sesak nafas dan kelelahan yang mengakibatkan intoleransi aktivitas fisik, Kelebihan cairan yang mengakibatkan kongesti paru dan edema perifer dan Dispnea. Pasien dapat juga mengalami syok kardiogenik.
Gejala:
  • Dispnea
  • Orthopnea
  • Dispnea parksismal nokturnal
  • Intoleransi akvitas fisik
  • Takhipnea
  • Batuk
  • Kelelahan
  • Nokturia
  • Hemoptisis
  • Nyeri abdomen
  • Anoreksi
  • Mual
  • Kembung
  • Asites
  • Perubahan status mental
Tanda:
  • Rales pulmonar
  • Edema paru
  • Efusi pleura
  • Respirasi chain-stokes
  • Takikardia
  • Kardiomegali
  • Edema perifer
  • Distensi vena jugular
  • Refluks hepatojugular
  • Hepatomegali

New York Heart Association mengklasifikasikan pasien gagal jantung kedalam 4 kelas berikut:
  1. Kelas I, yaitu pasien dengan sakit jantung, namun tidak mersakan adanya keterbatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan kelelahan yang berlebihan, dispnea, atau pun palpitasi.
  2. Kelas II, yaitu pasien penyakit jantung, dengan sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa dapat mengakibatkan kelelahan, dispnea, palpitasi atau angina.
  3. Kelas III, yaitu pasien penyakit jantung dengan keterbatasan aktivitas fisik. Pasien akan merasa nyaman dalam keadaan istirahat, dan akan mengurangi aktivitas fisik untuk menghindari timbulnya gejala.
  4. Kelas IV, yaitu pasien penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik tanpa menimbulkan gangguan. Gejala gagal jantung kongestif dapat terjadi meski dalam keadaan istirahat. Aktivitas fisik menyebabkan pasien mengalami ketidaknyamanan.
Sedangkan ACC/AHA membuat sistem klasifikasi penyakit gagal jantung kedalam 4 stadium:
  1. Stadium I, yaitu kelompok pasien yang beresiko tinggi mengalami gagal jantung yaitu penderita hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes.
  2. Stadium II, pasien dengan penyakit jantung struktural tanpa simptom. Dengan keadaan pernah mengalami infark miokard, hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi sistolik ventrikel kiri yang asimptomatis.
  3. Stadium III, pasien dengan penyakit jantung struktural dan menunjukan adanya gejala gagal jantung seperti disfungsi sistolik ventrikel kiri, dispnea, kelelahan, retensi cairan atau gejala gagal jantung lainnya.
  4. Stadium IV, pasien dengan simptom gagal jantung meski telah mendapatkan terapi yang maksimal. Pasien umumnya harus menjalani rawat inap secara berulang.

TERAPI GAGAL JANTUNG

Tujuan terapi gagal jantung adalah:
  1. Pemulihan fungsi transfortasi oksigen sistemik dan perfusi jaringan
  2. Menghilangkan edema paru
  3. Mencegah kerusakan jantung lebih lanjut
Terapi Non Farmakologis

Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) dapat direkomendasikan untuk terapi non farmakologis gagal jantung.

Terapi Farmakologis

Umumnya pasien dengan gagal ginjal simptomatis diterapi dengan kombinasi obat yang terdiri dari:
  1. Angiotensin Converting Enzim (ACE) inhibitor, atau inhibitor enzim pengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II. 
  2. Beta-bloker
  3. Diuretik
  4. Digoksin
Kombinasi obat-obat tersebut telah terbukti mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien.

Pemberian terapi ACE inhibitor pada pasien gagal jantung telah terbukti mampu meningkatkan  hidup, memperlambat perkembangan penyakit, dan menurunkan angka rawat inap di rumah sakit. Dosis harus ditentukan secara individual untuk memperbaiki kualitas hidup pasien tersebut. Jika pasien tersebut dikontraindikasikan untum menggunakan ACE inhibitor, maka obat golongan pemblok reseptor angiotensin II atau kombinasi hidralazin dinitrat dan mononitrat dapat dijadikan alternatif. Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan atau infark miokard juga harus menerima ACE inhibitor untuk mencegah timbulnya gejala gagal jantung dan mortalitas.

Beta-bloker seperti carvedilol, metoprolol CR/XL, dan bisoprolol juga terbukti cukup efektif mampu memperpanjang kelangsungan hidup, menurunkan angka rawat inap di rumah sakit dan kebutuhan akan transplantasi jantung, serta mampu memainkan mekanisme remodeling balik pada ventrikel kiri. Golongan obat ini harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simptomatik dengan dosis dimulai dari dosis terendah dan dititrasi hingga diperoleh dosis efektifnya. 

Terapi dengan diuretik sering disertakan pada pasien gagal jantung, namun ini bukan suatu keharusan, kecuali pada pasien gagal jantung dengan edema perifer dan atau kongesti paru.

Pada pasien gagal jantung, pemberian digoksin tidak berperan penting dalam fungsinya untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien, namun digoksin memberikan keuntungan simptomatis terutama pada pasien gagal jantung sedang hingga berat dan pada pasien yang mengalami takiaritmia supraventrikular (seperti fibrilasi atrium). Dosis digoksin harus disesuaikan untuk mempertahankan konsentrasi plasmanya berada pada rentang 0,5-1 ng/ml. Konsentrasi plasma yang lebih besar akan meningkatkan resiko toksisitasnya.

Antagonis aldosteron seperti spironolakton, pada dosis rendah terbukti mampu menurunkan angka mortalitas pada pasien gagal jantung kelompok III dan IV. Biaya rendah dan faktor keamanan obat golongan ini, sehingga patut dipertimbangkan pula penggunaan obat ini pada pasien gagal jantung kelompok lainnya. Terutama pada pasien-pasien yang harus menerima suplemen kalium, sehingga dosis suplemen kalium dapat dikurangi atau bahkan dihentikan. 






Senin, 28 Mei 2012

TERAPI HIPERTENSI



Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan dengan prevalensi yang cukup tinggi. Jumlah penderita hipertensi atau tekanan darah tinggi semakin hari semakin meningkat. Kemunculan hipertensi pada seseorang sering kali tidak disadari penderitanya, karena sering kali hipertensi bersifat asimptomatis atau tanpa gejala, dan baru disadari setelah timbulnya komplikasi pada masalah-masalah kesehatan lainnya, seperti stroke, gagal jantung, gagal ginjal dan lain-lain.

Hipertensi dikarakteristik dengan kondisi dimana tekanan darah seseorang lebih tinggi dari tekanan darah normal pada beberapa kali pengukuran dengan kondisi berbeda (santai, aktivitas ringan, dan aktivitas berat). Jadi diagnosa hipertensi tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan satu kali pengukuran tekanan darah.

Tingginya prevalensi hipertensi tentu tak lepas dari banyak faktor resiko penyebab hipertensi tersebut. Faktor resiko ini diantaranya:
  1. Faktor usia. Usia berbanding lurus dengan resiko hipertensi, artinya semakin tinggi usia seseorang maka semakin tinggi resikonya mengalami hipertensi. Secara umum, usia lebih dari 55  tahun pada pria dan lebih dari 55 tahun pada wanita merupakan faktor resiko hipertensi.
  2. Diabetes melitus
  3. Dislipidemia
  4. Mikroalbuminuria
  5. Riwayat keluarga dengan hipertensi atau penyakit kardiovaskuler
  6. Obesitas atau kegemukan 
  7. Kurang olahraga
  8. Perokok

Pada sebagian besar orang hipertensi bersifat asimptomatis (tanpa gejala) sehingga tak disadari. Untuk mengetahui seseorang masuk dalam kategori normal, prehipertensi, hipertensi, atau bahkan hipertensi berat maka harus dilakukan pengukuran tekanan darahnya. 

Hipertensi merupakan faktor resiko bagi gangguan-gangguan kesehatan pada sistem kardiovaskuler, sehingga seseorang yang telah memasuki kategori prehipertensi dan hipertensi harus dapat melakukan pengelolaan tekanan darah dengan baik sehingga tetap pada batas yang aman untuk mencegah timbulnya komplikasi dan kerusakan organ-organ. Sehingga seseorang dengan hipertensi ini perlu juga melakukan berbagai pemeriksaan laboratorium ataupun radiologi seperti:
  • Blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin serum
  • Profil lemak dalam darah (kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida)
  • Glukosa darah
  • Kalium darah
  • Urinalisis
  • Elektrokardiogram (EKG)
  • C-reactive protein dengan sensitivitas tinggi
Hipertensi berpotensi menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh seperti:
  1. Otak (stroke, dementia, trancient ischemic attack)
  2. Mata (retinopati)
  3. Jantung (hipertropi ventrikular, angina, infark miokardiak, gagal jantung)
  4. Ginjal (Gagal ginjal kronis)
  5. Arteri perifer 
Tujuan yang ingin dicapai dalam terapi hipertenesi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan hipertensi. Hipertensi tidak dapat disembuhkan, hanya dapat dikendalikan. Morbiditas dan mortalitas hipertensi ini berhubungan dengan kemungkinan kerusakan organ-organ lain seperti gagal ginjal, gagal jantung, ataupu stroke. JNC memberikan panduan dalam pengelolaan hiperetnsi yaitu dengan mempertahankan agar tekanan darah pasien sebagai berikut:
  • Sebagian besar penderita hipertensi <140 mm Hg
  • Pasien dengan diabetes melitus <130 mm Hg
  • Pasien dengan gagal ginjal kronis <130 mm Hg (GFR <60 mL/min, kreatinin serum >1,3 mg/dL pada wanita atau >1,5 mg/dL pada pria, atau albuminuria >300mg/hari atau >200 mg/g kreatinin)
Terapi hipertensi sebaiknya merupakan kombinasi antara terapi non farmakologis dan terapi farmakologis, kecuali jika hipertensi dapat diatasi hanya dengan terapi non farmakologis, maka terapi farmakologis sebaiknya dihindari.

Terapi Non Farmaologis

Semua pasien prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup selain akan membantu menurunkan tekanan sistolik darah juga akan membantu menghambat perkembangan hipertensi untuk tidak mengakibatkan kerusakan/komplikasi pada organ-organ. JNC71 merekomendasikan modifikasi gaya hidup yang telah terbukti mampu menurunkan tekanan sistolik darah sebagai berikut:
  1. Mengurangi bobot badan pada penderita obesitas dan mempertahankan agar indeks massa tubuh berkisar antara 18,5-24,9 kg/m2
  2. Melakukan diet terkontrol dengan mengkonsumsi cukup buah-buahan dan sayur, rendah lemak, dan mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak total
  3. Melakukan aktivitas olahraga secara teratur minimal 30 menit/hari
  4. Mengurangi/menghindari konsumsi alkohol
Disamping itu diet dengan asupan rendah garam (natrium) juga terbukti efektif membantu mengontrol peningkatan tekanan darah, selain itu juga harus menghentikan kebiasaan merokok.

Terapi Farmakologis

Terdapat 9 kelompok obat antihipertensi, yaitu: diuretik, beta-bloker, inhibitor ACE, pemblok reseptor angiotensin II, pemblok kanal kalsium yang merupakan antihipertensi primer. Sedangkan kelompok antihiperetnsi lainnya adalah alfa-bloker, vasodilator, agonis reseptor alfa2, dan inhibitor adrenergik.

Pada sebagian besar pasien terapi hipertensi esensial adalah dengan menggunakan diuretik golongan tiazid sebagai terapi pilihan pertama. Diurretik tiazid diantaranya: hidroklorotiazid (HCT), klortalidon, indapamid, dan metolazon. Sebagaimana direkomendasikan oleh JNC7, bagi pasien hipertensi esensial tanpa diagnosa penyerta. Meskipun diuretik juga sering digunakan dalam kombinasi dengan agen antihipertensi lainnya.

Sedangkan pada pasien-pasien dengan diagnosa penyerta (komplikasi) terapi hiperetnsinya sebagai berikut:
  1. Gagal jantung. Pada penderita hipertensi dengan komplikasi gagal jantung, terdapat 5 kelas antihipertensi yang dapat dijadikan pilihan. Inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzime) merupakan pilihan utama dalam terapi ini. Kaptopril, lisinopril, fisinopril, dan enalapril adalah contoh agen antihipertensi golongan inhibitor ACE ini. Penggunanaan diuretik sebagai agen tunggal maupun dalam kombinasinya juga diperbolehkan, terutama dari Loop diuretik seperti: furosemid dan bumetanid. Selain itu, dalam kasus hipertensi ini dapat pula digunakan adalah golongan beta-bloker, pemblok reseptor angiotensin II dan Pemblok kanal kalsium.
  2. Pasca infark myokardiak. Hipertensi merupakan faktor resiko yang penting terhadap timbulnya infark miokardiak, sehingga pada pasien hipertensi yang pernah mengalami infark miokardiak harus dapat mengontrol tekanan darahnya untuk menghindari terjadinya infark miokardiak terulang kembali. Agen antihipertensi yang digunakan dapat berupa inhibitor ACE atau beta-bloker.
  3. Pasien dengan resiko tinggi penyakit jantung koroner. Angina stabil kronis, angina unstabil, infark miokardiak adalah manivestasi dari penyakit koroner. Dalam kasus ini direkomendasikan penggunaan beta-bloker dan pemblok kanal kalsium kerja panjang.
  4. Diabetes melitus. Pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus disarankan menggunakan Inhibitor ACE dan atau pemblok reseptor bloker, sebagai pilihan utama dan kombinasi dengan diuretik sebagai pilihan kedua. Begitu pun dengan beta-bloker.
  5. Penyakit ginjal kronis. Inhibitor ACE dab pemblok kanal kalsium menjadi pilihan utama
  6. Pencegahan stroke, direkomendasikan kombinasi inhibitor ACE dan diuretik tiazid.
  7. Kehamilan. Hipertensi pada kasus kehamilan dapat diterapi dengan pemberian metildopa sebagai pilihan utama. Beta-bloker, labetolol, dan klonidin dapat dijadikan alternatif berikutnya.




JANTUNG DAN PROBLEMATIKANYA

Jantung adalah sebuah organ dalam (visera) kita yang sangat penting. Jantung sangat berperan dalam sistem sirkulasi atau peredaran darah kita yang akan menjamin terpenuhinya oksigen dan nutrisi bagi seluruh sel-sel tubuh kita.

Jantung adalah organ yang tak kita sadari kerjanya, namun bisa dipastikan jantung tak pernah berhenti bekerja untuk kehidupan setiap makhluk hidup, tanpa kecuali manusia tentunya. Keberadaan jantung dan manfaatnya akan kita sadari setelah jantung mengalami kondisi gangguan, atau sedang bekerja dalam kondisi yang kurang normal.

Penyakit jantung adalah penyakit yang mengganggu sistem peredaran darah atau menyerang jantung dan sel-sel jantung. Penyakit-penyakit jantung yang populer dimasyarakat kita diantaranya: penyakit jantung koroner, gagal jantung, angina, dan aritmia.

Laju denyut jantung atau kerja pompa jantung dikendalikan secara alami oleh suatu "pengatur irama" yang merupakan kelompok khusus sel yang disebut noodus sinoatrialis yang terletak pada dinding serambi kanan jantung. Sebuah impuls listrik yang ditransmisikan dari nodus sinoatrialis ke kedua serambi membuat keduanya berkontraksi secara serentak. Arus listrik ini selanjutnya diteruskan ke dinding-dinding bilik, yang pada gilirannya membuat bilik-bilik berkontraksi secara serentak. Periode kontraksi ini disebut systole.

Selanjutnya periode ini diikuti dengan sebuah periode relaksasi pendek sekitar 0,4 menit yang disebut diastole, sebelum implus berikutnya datang. Nodus sinoatrialis menghasilkan 60-72 impuls permenit ketika tubuh dalam keadaan santai. Produksi impuls-impuls ini juga dikendalikan oleh sistem syaraf otonom, yang bekerja diluar keinginan atau bawah sadar kita. 

Penyakit Jantung

Penyakit jantung adalah istilah umum yang merujuk pada berbagai penyakit yang mempengaruhi kinerja jantung. Penyakit jantung sering disebut pula dengan istilah penyakit kardiovaskuler.

Penyakit jantung umumnya mengacu pada kondisi yang melibatkan penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah yang dapat menyebabkan serangan jantung atau stroke. Kondisi jantung lain seperti infeksi dan hal-hal yang mempengaruhi otot jantung, katup atau irama jantung juga dianggap sebagai penyakit jantung.

Banyak penyakit jantung yang sebenarnya dapat dicegah atau diobati dengan mengikuti gaya hidup sehat.

Penyakit jantung dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor resiko penyakit jantung diantaranya:
  1. Faktor usia. Faktor usia merupakan salah satu faktor yang riskan menimbulkan penyakit jantung. 45 tahun keatas merupakan faktor resiko penyakit jantung pada pria. Wanita dengan usia 55 tahun keatas atau telah memasuki masa menopause juga merupakan faktor resiko.
  2. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga yang umumnya berhubungan dengan profil kolesterol.
  3. Diabetes, penyakit diabetes juga merupakan faktor resiko penyakit jantung. Kebanyakan penderita diabetes meninggal dunia akibat komplikasi diabetes terhadap fungsi jantung.
  4. Kebiasaan merokok, seorang perokok lebih beresiko terhadap penyakit jantung dibanding bukan perokok, terlebih jika perokok tersebut juga mengalami obesitas.
  5. Tekanan darah tinggi (hipertensi)
  6. Kegemukan atau obesitas. Semua penderita obesitas beresiko mengalami penyakit jantung, namun seseorang dengan obesitas tengah (perut buncit) lebih beresiko.
  7. Gaya hidup kurang sehat
  8. Stres, stres merupakan pemicu aritmia.

Gejala-gejala penyakit jantung tidak cukup spesifik, namun adanya tanda berikut dapat merupakan petunjuk awal adanya gangguan jantung yang harus anda waspadai.
  1. Nyeri. Jika otot tidak mendapatkan cukup darah (suatu keadaan yang disebut iskemi), maka otot juga tidak mendapat oksigen dalam jumlah yang memadai dan menyebabkan penimbunan hasil metabolisme dalam jaringan otot sehingga menyebabkan kram dan kejang. Angina merupakan perasaan sesak di dada atau perasaan dada seperti diremas-remas yang timbul jika otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup. Jenis dan beratnya nyeri atau ketidaknyamanan ini bervariasi pada setiap orang. Beberapa orang yang mengalami kekurangan aliran darah bisa tidak merasakan nyeri sama sekali ( suatu keadaan yang disebut silent ischemia).
  2. Sesak nafas. Sesak nafas merupakan gejala yang biasa ditemukan pada gagal jantung. Sesak merupakan akibat dari masuknya cairan ke dalam rongga udara di paru-paru (kongesti pulmonar atau edema pulmonar).
  3. Kelelahan dan kepenatan. Jika jantung tidak efektif memompa, maka aliran darah ke otot selama melakukan aktivitas akan berkurang sehingga menyebabkan penderita merasa lemah dan lelah. Gejala ini dapat bersifat ringan, untuk mengatasinya penderita biasanya mengurangi aktivitas fisik secara bertahap atau mengira gejala ini sebagai gejala penuaan biasa.
  4. Palpitasi atau jantung berdebar-debar.
  5. Pusing dan pinsan. Penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau kemampuan memompa yang buruk menyebabkan pusing dan pinsan.
Secara lebih detail, gejala-gejala penyakit jantung dapat dikelompokan sebagai berikut:
  1. Gejala penyakit jantung pada pembuluh darah (penyakit kardiovaskuler). Penyakit jantung tipe ini disebabkan oleh pembuluh darah yang mengalami penyempitan, tersumbat, atau penurunan elastisitas sehingga mengakibatkan jantung, otak dan bagian tubuh lain tidak menerima cukup aliran darah, yang akan menyebabkan gejala-gejala berikut: nyeri dada (angina), sesak nafas, sakit, mati rasa, lemah atau dingin di kaki atau tangan. Seseorang sering kali tak terdiagnosis memiliki penyakit kardiovaskuler hingga kondisi seseorang tersebut telah benar-benar memburuk. 
  2. Gejala penyakit yang disebabkan oleh denyut jantung yang abnormal (aritmia jantung). Aritmia jantung adalah detak jantung yang abnormal. Jantung bisa berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur saat seseorang mengalami aritmia. Gejala aritmia berupa: detak jantung yang terlalu cepat (tachycardia), detak jantung lambat (bradycardia), nyeri dada, sesak nafas, pusing, pinsan (syncope).
  3. Gejala penyakit jantung yang disebabkan oleh cacat jantung bawaan. Cacat jantung bawaan serius umumnya diketahui setelah bayi lahir ditandai dengan: warna kulit pucat dan kebiruan (cyanosis), pembengkakan kaki, perut dan daerah sekitar mata, sesak nafas selama menyusu. Sedangkan cacat jantung bawaan ringan umumnya baru terdiagnosa setelah masa kanak-kanak bahkan menjelang dewasa, yang umumnya ditandai dengan: mudah sesak nafas selama olahraga atau aktivitas fisik, mudah lelah selama olahraga atau aktivitas fisik, penumpukan cairan dijantung atau paru-paru, dan pembengkakan di tangan, pergelangan kaki atau kaki.
  4. Gejala penyakit yang disebabkan oleh penebalan otot jantung (cardiomyopathy). Kardiomyopati adalah penebalan dan kekakuan otot jantung. Gejalanya: sesak nafas saat beraktivitas atau bahkan pada saat santai, pembengkakan pergelangan kaki, kembung (distensi), kelelahan, denyut jantung tidak teratur, pusing, sakit kepala ringan dan pinsan.
  5. Gejala penyakit jantung yang disebabkan oleh infeksi jantung. Infeksi jantung dapat berupa: pericarditis yaitu infeksi pada jaringan yang mengelilingi jantung (pericardium), myocarditis yaitu infeksi pada lapisan otot tengah dinding jantung (myocardium), dan endocarditis yaitu infeksi pada membran dalam yang memisahkan ruang maupun katup jantung (endocardium). Gejala infeksi jantung dapat berupa: demam, sesak nafas, lemah dan kelelahan, pembengkakan dikaki dan perut, perubahan irama jantung, batuk terus-menerus, kulit ruam dan berbintik.
  6. Gejala penyakit jantung valvular. Jantung memiliki empat katup yaitu aorta, mitral, paru dan trikuspid yang dapat membuka dan menutup. Penyakit jantung valvular adalah penyakit jantung akibat kerusakan katup tersebut atau karena kondisi lain yang menyebabkan penyempitan (stenosis), kebocoran atau penutupan yang kurang tepat (prolapse). Gejalanya: kelelahan, sesak nafas, detak jantung tak teratur, kaki dan pergelangan kaki bengkak, nyeri dada, pinsan.

Penetapan Diagnosa Penyakit Jantung

Dalam menetapkan diagnosa penyakit jantung, biasanya terlebih dahulu dilakukan serangkaian pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut antara lain:
  1. Elektrokardiogram (EKG). EKG adalah pemeriksaan aktivitas listrik jantung. Pemeriksaan ini sangat penting dalam penetapan diagnosa penyakit jantung koroner  (PJK). Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui apakah telah ada tanda-tanda PJK, baik berupa serangan jantung terdahulu, penyempitan atau serangan jantung yang baru terjadi, yang masing-masing akan memberikan gambaran yang berbeda.
  2. Foto rontgen dada. Dari foto rontgen dapat dilihat ukuran jantung, serta ada atau tidaknya pembesaran. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seseorang telah mengalami PJK lanjut atau belum, atau bahkan PJK yang telah berkembang menjadi payah jantung.
  3. Pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan pada sampel darah yang diperlukan adalah: kolesterol, HDL, LDL, trigliserida, glukosa darah, HS CRP, troponin, CPK, MB-CK (pada waktu serangan), Lp(a), homosistein.
  4. Treadmill/Jentera. Alat ini digunakan dalam diagnosis PJK, yang berupa alat olahraga yang dihubungkan dengan monitor EKG. Prinsipnya adalah untuk merekam aktivitas fisik.
  5. Kateterisasi jantung. Kateterisasi jantung akan memberikan informasi terjadinya penyempitan atau penyumbatan pada pembuluh koroner.
  6. Multi slice CT Scan 64 slices untuk diagnosa penyakit jantung koroner. Pemeriksaan ini dapat dilakukan terhadap:
  • Pasien dengan keluhan nyeri dada yang tidak khas dan hasil pemeriksaan EKG dan treadmill yang meragukan, sehingga diperoleh informasi untuk menentukan tidakan selanjutnya.
  • Pasien pasca balonisasi/pemasangan stent atau operasi bypass koroner, untuk mengetahui keadaan koroner dalam perkembangan selanjutnya.
  • Mereka yang mempunyai faktor resiko tinggi, seperti penderita diabetes melitus, darah tinggi, kolesterol tinggi, perokok, usia lanjut, dan riwayat keluarga dengan panyakit jantung namun belum terdiagnosis mengalami penyakit jantung koroner. 


Minggu, 27 Mei 2012

KLOMIFEN SITRAT SEBAGAI AGEN ANTI INFERTILITAS


INFERTILITAS adalah keadaan dimana pasangan usia subur kesulitan untuk memperoleh keturunan. Infertilitas tidak sama dengan kemandulan. Pasangan suami istri dikategorikan mengalami infertilitas bila pasangan tersebut tidak juga mengalami pembuahan meski telah melakukan hubungan seksual secara teratur, tanpa kontrasepsi selama lebih dari setahun. Sedangkan kemandulan atau sterilitas adalah keadaan dimana seseorang perempuan telah mengalami pengangkatan rahim, atau pada seorang laki-laki yang telah dikebiri (dikastrasi)

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya infertlitas. Kasus infertil dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Dan sebagaimana kasus kesehatan lainnya, infertilitas juga memerlukan upaya terapi.

Klomifen merupakan salah satu senyawa aktif yang umum digunakan dalam pengobatan infertilitas baik pada laki-laki maupun perempuan. Klomifen yang tersedia dipasaran adalah tablet klomifen sitrat dengan kekuatan sediaan 50 mg. Klomifen merupakan senyawa non steroid yang memiliki sifat estrogenik dan antiestrogenik sekaligus yang digunakan untuk menginduksi ovulasi pada wanita anovulasi.

Biasanya klomifen digunakanuntuk penanganan kasus infertil pada wanita. Selain itu, klomifen juga digunakan pada kondisi abnormalitas menstruasi, ginekomastia, penyakit fibrokistik payudara, oligospermia, laktasi persisten, hiperplasia endometrial, anaplasia endometrial, regulasi siklus menstruasi pada pasien yang menggunakan kontrasepsi kalender.

Klomifen pada kasus infertil diberikan dengan dosis 2 kali sehari 50 mg atau 100 mg perhari selama 5 hari dimulai pada hari ke 5 dari siklus menstruasi. Dan sebaiknya diawali dengan dosis inisiasi sebesar 50 mg perhari selama 5 hari pada bulan pertama terapi.

Klomifen merupakan antagonis estrogen yang digunakan untuk terapi infertilitas pada wanita yang mengalami anovulasi. Klomifen sitrat merupakan campuran rasemat dari cis-klomifen dan trans-klomifen yang dapat bersifat sebagai agonis maupun antagonis estrogen. Penggunaan klomifen dalam ismer tunggalnya belum diuji. Klomifen meningkatkan sekresi gonadotropin dan merangsang terjadinya ovulasi. Peningkatannya sebanding dengan pulse LH dan FSH tanpa perubahan pulse frekuensi.

Mekanisme kerja klomifen adalah dengan merangsang terjadinya ovulasi pada wanita yang mengalami oligomenorhea atau amenorrhea dan disfungsi ovulasi. Klomifen berperan memblok penghambat estrogen pada hipotalamus yang menyebabkan pematangan gonadotropin dan akhirnya menyebabkan terjadinya ovulasi.

Terapi dengan klomifen ini mungkin tidak langsung berhasil dalam sekali siklus, namun pemberian klomifen lebih dari 6 siklus sangat tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko kanker ovarium.

Selama terapi kesuburan dengan menggunakan klomifen ini perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya reaksi obat merugikan dari klomifen, yang umumnya bertalian lansung dengan frekuensi dan dosis pemakaiannya. Dimana reaksi obat merugikan akan lebih potensial terjadi pada pasien yang menerima terapi klomifen dalam frekuensi dan dosis besar.

Reaksi obat merugikan yang sering terjadi antara lain:

  1. Pembesaran ovarium. Hal ini jarang terjadi pada dosis yang dianjurkan. 
  2. Pembentuka kista
  3. Gejala-gejala vasomotor seperti rasa panas saat berkedip
Pembesaran ovarium dan pembentukan kista dapat terjadi lebih sering dan fase luteal siklus menstruasi dapat berkepanjangan pada pasien yang menerima dosis lebih tinggi dan dapat pula mengakibatkan respon yang berkepanjangan. Jika pembesaran ovarium yang abnormal terjadi selama terapi, maka terapi klomifen ini harus dihentikan. Pembesaran maksimum ovarium dapat terjadi sampai beberapa hari setelah terapi klomifen dihentikan, walaupun biasanya pembesaran ovarium dan pembentukan kista akan menyusut secara spontan setelah terapi klomifen dihentikan. Kecuali jika ada indikasi kuat untuk laparatomi, umumnya pasien dengan pembesaran ovarium atau pembentukan kista memerlukan terapi pembedahan ini.

Reaksi obat merugikan lain yang sering terjadi selama penggunaan klomifen antara lain: rasa tidak nyaman pada pelvis, gangguan penglihatn, mual, muntah, peningkatan volume dan frekuensi urinari.

Sehubungan dengan reaksi merugikan klomifen, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:
  1. Klomifen tidak boleh digunakan pada pasien yang telah terbukti atau ditengarai mengidap kista
  2. Pasien harus mewaspadai tanda-tanda dan gejala stimulasi terhadap ovarium yang berlebihan, seperti nyeri pelvis selama terapi klomifen
  3. Pasien harus menghindari kegiatan yang memerlukan koordinasi fisik dan kesiagaan mental seperti menjalankan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor.
  4. Jika gangguan penglihatan terjadi selama terapi klomifen, maka terapi harus dihentikan dan dilakukan pemeriksaan opthalmologi
  5. Klomifen dikontraindikasikan pada pasien yang menderita penyakit hati atau ada riwayat penyakit hati

DIDROGESTERON DAN PENANGANAN ANCAMAN ABORTUS


Didrogesteron (dydrogesterone) adalah suatu hormon progetogen. Duphaston adalah contoh sediaan dagang yang mengandung didrogesteron yang diproduksi oleh Abbot. Didrogesteron digunakan secara luas pada penanganan kasus-kasus ginekologis. Didrogesteron umum digunakan dalam penanganan:

  1. Menorrhagia
  2. Dismenorrhea
  3. Pencegahan abortus spontan pada wanita dengan riwayat abortus (Abortus habitualis)
  4. Endometriosis
  5. Sindrom premenstruasi
  6. Terapi pengganti hormon
Rumus struktur didrogesteron


Sediaan dagang didrogesteron

Namun penggunaan didrogesteron pada kasus-kasus abortus ini kurang direkomendasikandibeberapa negara. Bahaya didrogesteron pada wanita hamil belum diketahui. (BNF 57.2009)

Didrogesteron adalah progestogen generasi baru yang kurang androgenik dibandingkan dengan progestogen generasi sebelumnya, seperti norethisteron, norgestrel maupun levonorgestrel. Disrogesteron merupakan analog Progesteron.

Penggunaan yang lebih umum dari didrogesteron adalah untuk terapi penggantian hormon/ hormone replacement therapy (HRT) pada wanita menopause atau premenopause dengan dosis 20 mg perhari selama 12-14 hari setiap siklus. Serta untuk indikasi proteksi endometrium dengan dosis 10-20 mg perhari selama 12-14 hari setiap siklus. Dalam HRT, didrogesteron relatif lebih aman dibanding progestogen lainnya, karena senyawa ini tidak memberikan efek androgenik. (Dipiro)

Sedangkan penggunaan didrogesteron pada kasus abortus yang mengancam atau abortus habitualis, diasumsikan dalam hubungannya dengan kasus insufisiensi luteal. Insufisiensi luteal mengakibatkan produksi progesteron ovarium yang tidak memadai dan akhirnya mengakibatkan sekretori endometrium yang tak lengkap dan implantasi sel telur pada dinding rahim yang tidak efektif. Abortus spontan dan abortus habitualis terjadi pada sekitar 15% kehamilan. 

Dalam penanganan abortus ini, didrogesteron diasumsikan memberikan peranan dalam dua tahapan berikut:
  1. Dengan mengembalikan fungsi luteal, sehingga mengurangi angka kejadian abortus pada trimester pertama kehamilan
  2. Melalui relaksasi otot polos uterus, sehingga janin lebih terlindungi.
Terakhir diketahui bukti bahwa respon imun ibu selama masa kehamilan juga berpengaruh terhadap keberhasilan terapi dengan didrogesteron ini. Dalam kasus abortus, didrogesteron memberikan angka keberhasilan hingga 70%. Kendati demikian Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia tidak merekomendasikan penggunaan didrogesteron untuk kasus abortus, karena resikonya yang belum diketahui dengan pasti. Di beberapa negara lain, penggunaan didrogesteron pada kehamilan diperbolehkan dengan alasan:
  1. Tidak memiliki efek penghambatan pada ovarium
  2. Tidak mengubah pola normal sekresi endometrium
  3. Tidak menghambat pembentukan progesteron plasenta pada masa awal kehamilan
  4. Tidak menyebabkan efek maskulinisasi pada janin perempuan, karena didrogesteron tidak memiliki efek androgenik.
Didrogesteron memiliki struktur yang hampir sama dengan progesteron alami, namun memiliki sifat unik yang potensial yaitu merupakan progestogen yang aktif pada pemberian oral. Didrogesteron diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral. 

Pada pemberian didrogesteron secara oral, didrogesteron memberikan keuntungan-keuntungan farmakologis dibandingkan dengan progesteron endogen, diantaranya:
  1. Aktif pada dosis rendah
  2. Memiliki sifat selektif progestonik tanpa aktivitas hormonal seperti halnya progestogen generasi terdahulunya
  3. Jumlah didrogesteron yang diabsorbsi dapat diperkirakan karena tidak dicerna pada saluran cerna
Didrogesteron dikarakteristik melalui aktivitas progestasional dan anti-estrogen. Potensi progestonik oral didrogesteron 20 kali lipat lebih besar dibandingkan progesteron. Didrogesteron juga tidak menghilangkan manfaat estrogen dan mengganggu organ-organ lain. Didrogesteron mempunyai afinitas yang rendah pada reseptor androgenik, itulah yang menyebabkan hormon sintetik ini tidak menghasilkan aktivitas androgenik meskipun digunakan pada dosis tinggi dan pada terapi jangka panjang.

Didrogesteron sebagaimana progestogen lainnya dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat tumor hati atau kerusakan hati. Selain itu dikontraindikasikan pula pada wanita yang menderita kanker payudara atau saluran genital, penyakit-penyakit arterial, perdarahan vaginal yang tak diketahui penyebabnya, dan porphyria akut. Progestogen juga tidak boleh digunakan pada wanita dengan riwayat kehamilan dengan idiopatic jaundice, pruritus, dan pemphigoid gestationis.

Pemberian progestogen (didrogesteron) ini harus dipantau pada pasien-pasien yang mengalami kondisi-kondisi yang dapat memperburuk retensi cairan, seperti: epilepsi,hipertensi, asma, migrain, disfungsi ginjal atau jantung, dan tromboembolism terutama pada penggunaan dosis tinggi. Begitu pun pada pasien dengan riwayat kerusakan hati dan depresi. Progestogen juga dapat menurunkan toleransi terhadap glukosa pada penderita diabetes melitus.

Didrogesteron dan progestogen lainnya berinteraksi dengan bosentan, karbamazepin, siklosporin, kumarin, diuretik, fosamprenavir, griseofulvin, lamotrigine, tizanidin, nelfinafir, nevirapin, okskarbazepin, phenindion, primidon, atorvastatin dan rosuvastatin.

Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan didrogesteron:
  1. Pendarahan, resiko meningkat sebanding dengan dosis
  2. Perubahan fungsi hati dengan atenia dan malaise
  3. Sakit kuning dan nyeri abdomen
  4. Ruam, pruritus, urtikaria, edema, dan angiodema
  5. Anemia hemolitik

Disarikan dari berbagai sumber: Dipiro, BNF, Wikipedia.

PENGGUNAAN BROMOKRIPTIN PADA KASUS-KASUS INFERTILITAS PADA WANITA



Bromokriptin adalah sebuah agonis dopamin derivat ergolin yang secara farmakologis digunakan dalam terapi tumor pituitari, penyakit parkinsons, hiperprolaktinemia, sindrome neuroleptik malignant, dan diabetes mellitus tipe 2. Dalam dunia medis penggunaan bromokriptin secara lebih luas diindikasikan untuk amenorrhea, infertilitas pada wanita, galaktorrhea, hipogonadism, dan akromegali yang disebabkan gangguan pada pituitari seperti hiperprolaktinemia. Dan sebagai indikasi off-label, bromokriptine juga digunakan dalam penanganan overdosis kokain. 

Rumus Struktur bromokriptin mesilat.

Pada kasus infertilitas wanita, penggunaan bromokriptin berhubungan dengan keadaan hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh gangguan pada kelenjar pituitari. Hiperprolaktinemia adalah keadaan dimana kadar prolaktin serum lebih dari 120 mcg/L. Hiperprolaktinemia memberikan dampak yang berarti pada sulitnya seorang perempuan mendapatkan kehamilan. Prolaktin adalah suatu sekret yang disekresikan oleh kelenjar pituitari anterior. Konsentrasi prolaktin dalam serum mencapai puncaknya pada saat tidur. Pengaturan sekresi prolaktin terjadi melalui efek penghambatan tonus pada hipotalamus oleh dopamin. Selama kehamilan, kadar prolaktin serum akan meningkat diatas normal. Sehingga pada wanita yang mengalami hiperprolaktinemia, akan susah mendapatkan kehamilan karena tingginya prolaktin serum mengesankan seseorang tersebut hamil.

Hiperprolaktinemia dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain: tumor kelenjar pituitari pensekresi prolaktin (prolaktinoma), dapat juga disebabkan oleh induksi berbagai jenis obat. Prolaktinoma dibedakan berdasarkan ukurannya menjadi:
  1. Mikroadenoma yang berukuran kurang dari 10 mm dan umumnya ukuran tersebut tidak bertambah
  2. Makroadenoma berukuran diameter lebih dari 10 mm terus tumbuh membesar dan dapat menginvasi bagian lain disekitarnya.
Obat-obatan yang dapat menginduksi terjadinya hiperprolaktinemia adalah:
  1. Antagonis dopamin seperti antipsikotik, fenitiazin, metoklopramid, domperidon
  2. Golongan obat-obatan yang menstimulasi pembentukan prolaktin seperti: metildopa, reserpin, estrogen 
  3. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRIs), 
  4. Benzodiazepin, 
  5. Antidepresan trisiklik
  6. Antidepresan monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
  7. Progestin
  8. Dexflenfluramin
  9. Antagonis reseptor H2
  10. Opioid
Hiperprolaktinemia sering terjadi pada wanita, dan beberapa kasus terjadi pada laki-laki. Pada wanita hiperprolaktinemia dapat menyebabkan terjadinya oligomenorrhea, amenorrhea, galaktomenorrhea, infertilitas, penurunan libido, hirsuitisme dan timbulnya jerawat. Sedangkan pada laki-laki hiperprolaktinemia dapat menyebabkan penurunan libido, disfungsi ereksi, infertilitas, penurunan masa otot, galaktorrhea, dan ginekomastia.

Terapi hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh obat-obatan dapat dilakukan dengan menghentikan penggunaan obat penginduksi. Sedangkan pada kasus lain, diperlukan adanya tindakan terapi farmakologi diantaranya dengan penggunaannya bromokriptin.

Bromokriptin adalah agonis reseptor D2 pertama yang digunakan dalam penanganan kasus hiperprolaktinemia. Bromokriptin telah terbukti efektif menormalkan kadar prolaktin serum, menormalkan menstruasi, dan mengurangi ukuran tumor 80-90% pada pasien setelah mengalami terapi 3-6 bulan. Bromokriptin menghambat pelepasan prolaktin dengan menstimulasi reseptor dopamin pasca sinaps di hipotalamus secara langsung. Hipotalamus melepaskan dopamin, yang merupakan hormon yang menginhibisi pelepasan prolaktin, sehingga pelepasan prolaktin terhambat. Penurunan kadar prolaktin serum akan akan terjadi setelah pemberian bromokriptin peroral, efek supresi maksimum terjadi setelah 8 jam dan bertahan hingga 24 jam. Dosisi inisiasi dapat dimulai dari 1,25-2,5 mg, sekali perhari pada saat menjelang tidur untuk meminimalkan efek merugikannya. Dosis dapat ditingkatkan bertahap setiap minggu sebesar 1,25 mg hingga diperoleh respon terapi yang diinginkan. Dosis terapi yang umumnya berkisar antara 2,5-15 mg perhari dalam dosis terbagi 2 atau 3. Meski pada beberapa orang dosis terapi dapat mencapai 40 mg perhari.

Namun, dalam kenyataan dokter jarang memberikan dosis inisiasi. Dalam hal ini dokter mungkin telah berpengalaman terhadap pasien-pasien sebelumnya, dimana pasien langsung menerima bromokriptin pada dosis terapi tanpa menimbulkan keluhan efek yang merugikan. Kendati demikian, apoteker sebaiknya mewaspadai kemungkinan adanya efek samping. Efek samping yang mungkin terjadi pada pemberian bromokriptin antara lain sakit kepala, pusing, mual, hipersensitif terhadap cahaya, dan gangguan saluran pencernaan. Bromokriptin sebaiknya diminum setelah makan.

Saat awal penggunaan bromokriptin apoteker sebaiknya menyarankan agar pasien memantau tekanan darahnya, atau setidaknya dengan mewaspadai gejala-gejala tekanan darah rendah (hipotensi). Bromokriptin berpotensi menyebabkan reaksi hipotensi pada beberapa hari pertama penggunaanya.

Pemberian bromokriptin bersama asam folat dalam terapi infertilitas dapat dibenarkan. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan proses kehamilan. Asam folat telah terbukti mampu menurunkan defek tuba neural yang dapat mengakibatkan terjadinya abortus spontan. Karena tuba neural tertutup selama 4 minggu pertama kehamilan, dimana umumnya kehamilan belum dapat diketahui, sehingga memberikan makanan kaya akan asam folat atau suplemen asam folat saat merencankan kehamilan sangat penting.

Penggunaan bersama bromokriptin dan asam folat relatif aman sebagai upaya mempersiapkan kehamilan. Tanpa adanya interaksi, hanya saja perlu dipertimbangkan kemungkinan untuk menghentikan bromokriptin setelah terjadinya kehamilan. Meski bromokriptin tidak terbukti teratogenik, namun efek paparannya pada uterus belum diketahui.

Pada saat penyerahan bromokriptin, apoteker harus menanyakan kemungkinan obat-obat lain yang mungkin dikonsumsi oleh pasien untuk memastikan tidak terjadinya interaksi yang merugikan selama penggunaan bromokriptin. Bromokriptin akan berinteraksi dan menyebabkan peningkatan toksisitas bromokriptin jika digunakan bersama dengan:
  • Alkohol
  • Antipsikotik
  • Domperidon
  • Eritromisin
  • Makrolida
  • Metoklopramid
  • Oktreotid
  • Phenilpropanolamin
Sedangkan penggunaan bersama bromokriptin dengan memantin dan metildopa dapat menyebabkan penurunan efek bromokriptin.

Kepada pasien juga harus diinformasikan tentang cara penyimpanan bromokriptin yang baik. Bromokriptin sangat peka terhadap cahaya, meski umumnya kemasan bromokriptin sudah cukup nelindungi, namun sedapat mungkin sediaan bromokriptin disimpan pada tempat yang terhindar dari paparan cahaya langsung.




Sabtu, 26 Mei 2012

PENGOBATAN RASIONAL


Pengobatan merupakan serangkaian kegiatan untuk mendapatkan kesembuhan. Dalam pengobatan ini selain penderita atau pasien, pengobatan juga melibatkan beberapa profesional kesehatan yang utama seperti dokter dan apoteker, dan dalam beberapa kasus profesional kesehatan lainnya juga turut terlibat seperti laboratoris, radiologis, dan nutrisionis.

Upaya pengobatan adalah segala tindakan medik yang dilakukan untuk meringankan beban penderitaan pasien, yang tak terbatas hanya pada pemberian obat. Dalam pengobatan yang rasional, pengobatan harus sesuai dengan kondisi pasien, selanjutnya pasien melakukan pengobatan sesuai petunjuk dan anjuran dokter.

Proses pengobatan meliputi:

Anamnesis

Anamnesis merupakan keluhan-keluhan yang dialami pasien yang disampaikan kepada dokter. Anamnesis bertujuan untuk memberikan informasi pada dokter tentang penyakit pasien yang memerlukan banyak pengetahuan mengenai penyakit, patofisiologi, serta cara penularannya. Dalam anamnesis dokter mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Keluhan pasien
  2. Riwayat penyakit dan lamanya sakit
  3. Sifat penyakit, apakah akut, kronis atau kambuhan
  4. Upaya pengobatan yang telah dilakukan
  5. Obat apa saja yang telah dikonsumsi
  6. Faktor pencetus/penyebab, resikonya dan atau sumber penularannya
  7. Riwayat keluarga, adakah keluarga pasien yang mengalami sakit serupa

Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien meliputi:
  1. Pemeriksaan fisik, pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi dan pernafasan (respirasi). Pemeriksaan keluhan demam, batuk dan pilek dengan melihat dinding faring, palpasi dan perkusi dinding dada serta auskultasi, frekuensi nafas dan suhu.
  2. Pemeriksaan laboratorium, dalam penentuan suatu diagnosa dokter sering kali memerlukan data laboraorium baik sampel darah, sputum, feses maupun urin. Seperti pada penentuan diagnosa anemia, diabetes atau pun hepatitis.
  3. Pemeriksaan penunjang, pemeriksaan ini dapat berupa pemeriksaan radiologis seperti foto thoraks dalam mendeteksi tuberculosis (TB) dan pembengkakan jantung.

Penegakan Diagnosa

Penegakan diagnosa merupakan kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan anamnesis maupun klinis. Diagnosa dapat bersifat pasti maupun masih berupa kemungkinan (suspek). Penetapan diagnosa akan sangat menentukan keputusan intervensi terapi terhadap pasien. Sehingga penegakan diagnosa yang salah akan sangat beresiko pada terjadinya pengobatan yang salah pula.

Pemilihan Intervensi Pengobatan

Setelah dokter mentukan diagnosa pasien, langkah berikutnya dalam pengobatan adalah menentukan pilihan intervensi pengobatan/terapi bagi pasien tersebut. Intervensi terapi dapat berupa intervensi dengan obat, atau intervensi tanpa obat, atau kombinasi keduanya.
  • Intervensi dengan obat (terapi farmakologis), dalam intervensi ini dokter dapat memberikan terapi dengan meresepkan berbagai sediaan farmasi baik sediaan oral, topikal maupun parenteral. Dalam terapi obat oral dan topikal, terapi ini akan melalui tahapan:
  • Peresepan, meliputi: pemilihan jenis obat, dosis, cara dan lama pemakaian; informasi dan edukasi kepada pasien; permintaan dokter kepada apoteker untuk menyediakan obat. Dalam penulisan resep dokter dihadapkan pada kenyataan yang berpotensi pada tidak rasionalnya pengobatan seperti: pengetahuan medik dan tekanan/permintaan pasien yang sering berdampak pada ketidakpuasan pasien, keyakinan dokter tentang suatu obat, sebagai pengaruh medico-industry, kebutuhan dan ketersediaan obat
  • Penyediaan Obat, penyediaan obat jadi maupun racikan yang sesuai dengan standar prosedur yang telah ditentukan secara lege artis.
  • Penyerahan Obat kepada Pasien. Dalam penyerahan obat kepada pasien, Apoteker selaku pihak yang berwenang menyerahkan obat pada pasien harus memastikan obat yang diserahkan sesuai resep dan dilengkapi dengan informasi yang benar. Penyerahan obat yang tepat harus dijamin dari sejak penyiapan, peracikan, pengemasan, pencantumnan label dan petunjuk pemakaian obat tersebut.
  • Pemakaian obat oleh pasien. Pemahaman dan ketaatan pasien sangat mempengaruhi keberhasilan terapi. Ketidakpatuhan pasien dapat menimbulkan efek samping, retensi kuman, efek yang tidak diharapkan dan kegagalan terapi.
Sedangkan dalam pemberian obat parenteral (injeksi) harus didasarkan pada pertimbangan:
  • Perlu efek obat yang cepat, misal pada penanganan syok anafikatik
  • Kondisi pasien tidak mungkin menerima obat oral
  • Obat tidak diabsorbsi, misalnya injeksi prokain penisilin
  • Dilakukan secara benar, ole pihak yang berwenang dan berhak
  • Mutu alat suntik dan proses sterilisasinya
  • Mutu obat suntiknya, ketersediaan alat suntik dan perlengkapan penunjang seperti kapas dan alkohol
Kebiasaan yang keliru dalam pemberian obat suntik:
  • Memberikan obat suntik tanpa indikasi, yang hanya bertujuan untuk memuaskan pasien
  • Dosis tidak tepat, satu spuit terdiri dari dua obat atau lebih
  • Satu jarum suntik yang digunakan untuk banyak pasien tanpa proses sterilisasi terlebih dahulu
  • Spooling jarum suntik dengan aquadest tidak sama dengan sterilisasi


  • Intervensi Tanpa Obat (Terapi Non Farmakolgis). Terapi suatu penyakit tidak selalu harus dengan konsumsi obat-obatan, namun dapat juga berupa tindakan lainnya. Terapi non farmakologis ini dapat berupa anjuran peningkatan mutu gizi, anjuran menghentikan kebiasaan merokok dan atau minum alkohol, ataupun anjuran olahraga dan melakukan diet tententu.
  • Intervensi Gabungan (Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi), misal pada penanganan pasien diabetes, selain pasien menerima terapi obat, pasien juga harus menjaga pola makan dan mengaktifkan kegiatan olahraga.
Pemilihan Obat

Dalam pemilihan obat perlu dipertimbangkan:
  1. Efek terapi yang diperlukan
  2. Kelas terapi yang sebaiknya diberikan
  3. Pertimbangan manfaat dan resiko sesuai dengan kondisi pasien
  4. Keamanan obat (efek samping, kontraindikasi)
  5. Harga obat dan biaya pengobatan
Penentuan Dosis, Cara dan Lama Pemberian

Beberapa kondisi pasien memerlukan dosis individual. Cara pemberian obat yang sederhana akan lebih menjamin ketaatan pasien. Lama pemberian dan waktu konsumsi obat yang tepat juga harus diperhatikan.

Penulisan Resep

Penulisan resep merupakan hasil keputusan terapi yang dituangkan dalam bentuk permintaan obat kepada apoteker. Resep harus ditulis dengan baik dan mudah dibaca sehingga akan mencegah kesalahan interpretasi resep tersebut oleh apoteker.

Pemberian Informasi

Pasien harus menerima informasi dan edukasi mengenai:
  1. Keadaan penyakitnya
  2. Cara mencegah dan mengatasi penyakit tersebut
  3. Cara penggunaan obat
  4. Waktu/lama pemakaian obat
  5. Efek samping obat, dan apa yang harus dilakukan bila terjadi efek samping yang berbahaya
  6. Bahayanya bahan kimia yang tidak perlu
  7. Bersabar menunggu kesembuhan merupakan cara yang lebih aman
Tindak Lanjut Pengobatan

Tindak lanjut pengobatan meliputi:
  1. Apakah obat tersebut memberi efek terapi seperti yang diharapkan?, jika iya, kapan terapi harus dihentikan; jika tidak, penggunaan obat dihentikan, diganti dengan obat lain, dilakukan pemeriksaan ulang, atau dilakukan perujukan pasien pada sarana kesehatan yang lebih baik.
  2. Apakah timbul efek samping atau efek lain yang tidak diharapkan?, jika iya, hentikan pemakaian obat, minum antidotum, dan ganti dengan obat lain.

Dalam satu rangkaian pengobatan, sedapat mungkin pasien menerima pengobatan yang rasional. Dalam pengobatan yang rasional juga terkandung pengertian penggunaan obat yang rasional. Menurut WHO, penggunaan obat yang rasional akan memenuhi kriteria berikut:
  1. Sesuai dengan indikasi penyakit
  2. Obat tersedia dengan harga yang terjangkau
  3. Diberikan dalam dosis yang tepat
  4. Cara pemberian yang tepat dengan interval waktu yang tepat pula
  5. Lama pemberian obat yang tepat
  6. Obat yang efektif dengan mutu terjamin dan aman
Pengobatan rasional ini kemudian terkenal dengan slogan 4T dan ETMA, yaitu:
  1. Tepat indikasi-diagnosis
  2. Tepat dosis
  3. Tepat cara dan interval pemberian
  4. Tepat lama pemberian
  5. ETMA (Efektif, Terjangkau, Mutu terjamin dan Aman)
Istilah rasional dalam pengobatan adalah pengobatan yang dilakukan secara tepat termasuk terhadap pasien:
  1. Tepat penilaian kondisi pasien
  2. Tepat informasi
  3. tepat tindak lanjut

Pengobatan yang tidak rasional dapat dinilai dari gejala ketidakrasionalan pemakaian obat maupun gejala yang dtimbulkan akibat pengobatan tersebut. Gejala ketidakrasionalan dapat berupa:
  1. Peresepan berlebihan (over prescribing)
  2. Peresepan yang kurang (under prescribing)
  3. Peresepan yang salah atau tidak tepat (incorect prescribing)
  4. Peresepan yang boros (extravagant prescribing)
  5. Peresepan banyak jenis (multiple prescribing)
Penggunaan obat yang tidak rasional dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa:
  1. Pemberian obat bagi penderita yang tidak memerlukan obat (obat tanpa indikasi)
  2. Pemakaian obat yang tidak sesuai indikasi penyakit
  3. Pemakaian obat yang tidak sesuai anjuran
  4. Obat dengan toksisitas tinggi sementara obat lain yang lebih aman tidak digunakan
  5. Pemakaian obat dengan harga mahal
  6. Obat yang belum secara ilmiah terbukti manfaat dan keamanannya
  7. Pemakaian obat yang jelas-jelas mempengaruhi kebiasaan atau persepsi keliru dari masyarakat terhadap pengobatan
Dampak penggunaan obat yang tidak rasional:
  • Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, secara langsung maupun tidak penggunaan obat yang tidak rasional akan menghambat penurunan angka morbiditas dan mortalitas.
  • Dampak terhadap biaya pengobatan, pengobatan yang tidak rasional berarti pemborosan.
  • Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek yang tidak diharapkan seperti resiko efek samping yang meningkat, terjadinya resistensi kuman, dan resiko penularan suatu penyakit.
  • Dampak psikososial, sebagian pasien akan memandang bahwa pengobatan akan efektif bila diberi obat suntik, pemberian oralit dianggap bukan obat, dan pandangan bahwa perbaikan gizi hanya bisa dilakukan dengan pemberian vitamin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan obat yang tidak rasional:
  1. Pembuat resep (dokter), dokter yang kurang pengetahuan, ketrampilan dan tidak percaya diri, pengalaman praktek sehari-hari yang keliru, aktivitas promosi yang bias dari industri farmasi, tekanan permintaan dari pasien, generalisasi pengobatan penyakit, waktu diagnosa yang terbatas.
  2. Pasien/masyarakat; ketidaktahuan terapi pengobatan, pengalaman sebelumnya yang salah (misalnya, pasien yang pernah mengalami diare dan sembuh setelah disuntik maka saat diare lagi maka pasien pun minta disuntik)
  3. Sistem perencanaan dan pengelolaan obat
  4. Kebijaksanaan obat dan pelayanan kesehatan
  5. Lain-lain misalnya informasi dan iklan obat, persaingan praktek dan memberikan pengobatan yang sesuai dengan permintaan pasien.


Jumat, 25 Mei 2012

PARASETAMOL



Parasetamol merupakan salah satu zat aktif yang cukup populer dikalangan masyarakat. Bahkan mungkin dapat dikategorikan sangat terkenal. Parasetamol sebagai agen antianalgesik (andti nyeri) dan antipiretik (penurun demam) sangat mudah didapatkan secara bebas dari mulai warung-warung, apotek, rumah sakit dan semua sarana pelayanan kesehatan lainnya.


Nama dan Struktur Kimia Parasetamol

Parasetamol memiliki nama kimia sistematis sebagai N-(4-hidroksifenil)ethanamide. Parasetamol juga dikenal dengan nama asetaminofen. Parsetamol memiliki rumus molekul C8H9NO2 dengan bobot molekul 151,17 g/mol. 

Struktur parasetamol terdiri dari sebuah cincin benzen yang tersubstitusi oleh gugus hidrokdil (-OH) dan atom nitrogen dari gugus amida yang berada pada posisi para (1,4), sehingga senyawa tersebut dinamai dengan para-asetaminofenol yang kemudian lebih dikenal dengan parasetamol. Parasetamol merupakan metabolit aktif dari phenacetine, yang juga merupakan agen analgesik dan antipiretik. Parasetamol lebih disukai karena parasetamol tidak bersifat karsinogenik pada dosis terapi.





Rumus struktur parasetamol

Klasifikasi

Menurut peraturan perundangan-undangan parasetamol diklasifikasikan sebagai obat bebas, artinya sediaan oral parasetamol ini dapat diperdagangkan secara bebas, untuk mendapatkan parasetamol tidak diperlukan resep dokter.

Sedangkan menurut aktivitas farmakologinya, parasetamol digolongkan kedalam kelas antiinflamasi nonsteroid (AINS) yang lebih populer digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Aktivitas antiinflamsi parasetamol tidak signifikan, sehingga tidak direkomendasikan penggunaannya sebagai antiinflamasi. Namun demikian parasetamol memiliki aktivitas yang serupa dengan AINS.

Kegunaan Medis

Parasetamol dalam dunia farmasi dan kedokteran digunakan pada kondisi:
  1. Demam (antipiretik). Parasetamol digunakan untuk menurunkan panas demam yang dapat digunakan pada semua golongan umur pasien. World Health Organization (WHO) merekomendasikan penggunaan parasetamol pada anak dengan suhu badan lebih dari 38,5 derajat celcius. Parasetamol meiliki aktivitas antipriretik yang lebih rendah dari ibuprofen. Kendati demikian parasetamol telah memberikan peran yang telah terbukti pada penanganan analgesik dan antipiretik pada pediatrik (pasien anak-anak).
  2. Nyeri. Parasetamol digunakan secara luas terhadap manivestasi nyeri ringan hingga sedang pada berbagai bagian tubuh. Parasetamol memiliki sifat analgesik yang sebanding dengan aspirin, namun sifat antiinflamsinya lebih rendah. Parasetamol dapat ditoleransi lebih baik daripada aspirin pada pasien dengan produksi asam lambung yang tinggi dan atau dengan pendarahan saluran cerna. Parasetamol dapat menghilangkan nyeri artritis ringan, namun tidak berefek pada penyebab nyeri tersebut yaitu peradangan yang mendasarinya, kemerahan dan pembengkakan sendi. Efektivitas parasetamol yang digunakan dalam kombinasi dengan opioid lemah seperti kodein masih diragukan. Sedangkan kombinasinya dengan opioid kuat seperti morfin telah terbukti dapat mengurangi dosis opioid.

Mekanisme Kerja

Hingga saat ini mekanisme kerja yang lengkap dari parasetamol belum dipahami seluruhnya. Mekanisme kerja utamanya adalah dengan penghambatan pada kerja enzim siklooksigenase (COX) yang lebih banyak pada COX-2. Jika dibandingkan sifat analgesik dan antipiretiknya dengan aspirin atau AINS lainnya, aktivitas antiinflamasinya dibatasi oleh beberapa faktor, salah satunya disebabkan karena tingginya kadar peroksida pada daerah yang mengalami inflamasi. Belakangan diketahui bahwa aktivitas analgesik disebabkan oleh sebuah metabolit arasetamol yang berikatan pada reseptor TRPA1 pada sumsum tulang belakang untu menekan transduksi sinyal dari lapisan dangkal tanduk belakang untuk mengurangi rasa nyeri. Selektivitas parasetamol pada enzim COX-2 tidaklah selektif. Enzim COX  merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam metabolisme asam arakhidonat membentuk prostaglandin H2, yang merupakan agen pro inflamasi. AINS bekerja dengan memblokir langkar tersebut. Enzim COX sangat aktif saat berada dalam kondisi teroksidasi. Parasetamol mengurangi teroksidasinya enzim COX sehingga menghambat pembentukkan senyawa pro-inflamasi, sehingga menurunkan set-titik pada pusat termoregulasi. Parasetamol juga memodulasi kanabinoid endogen. Parasetamol yang dimetabolisme menjadi AM404, suatu senyawa yang memiliki beberapa aktivitas, yang mana menghambat pengambilan kembali kanabinoid endogen atau anandamide vaniloid oleh neuron. Pengambilan kembali anandamide akan menurunkan tingkat sinaptik dan aktivitas reseptor nyeri utama (nociceptor) dari tubuh, dan TRPV1 (nama lain reseptor vaniloid). Melalui penghambatan pengambilan kembali anadamide maka tingkat sinap tetap tinggi dan memungkinkan reseptor TRPV1 tak terpengaruh sebagaimana yang dilakukan oleh kapsaisin.  Selanjutnya AM404 menghambat saluran natrium seperti mekanisme yang terjadi pada anestesi lidokain dan prokain. 

Efek Merugikan Parasetamol

Pada dosis yang direkomendasikan, efek samping parasetamol tergolong ringan. Berbeda dengan aspirin, parasetamol tidak menyebabkan pengenceran darah dan gangguan ulkus peptikum. Dibandingkan dengan ibuprofen yang dapat menyebabkan diare, mual dan nyeri abdomen, parasetamol lebih dapat ditoleransi. Pada penggunaan jangka panjang parasetamol dapat menyebabkan:
  1. Komplikasi saluran cerna seperti pendarahan
  2. Kerusakan ginjal dan hati
  3. Parasetamol dimetabolisme dihati dan bersifat hepatotoksik
  4. Efek merugikan parasetamol tersebut akan semakin berat pada pasien dengan kerusakan hati atau pada alkoholik kronis
  5. Pengguna parasetamol kronis juga beresiko mengalami kanker darah
Parasetamol juga relatif aman digunakan pada wanita hamil karena tidak mempengaruhi penutupan duktus arteriosus janin. Namun sebuah penelitian pada Oktober 2010, telah mengaitkan adanya hubungan pada penggunaan parasetamol dengan kemandulan pada wanita yang belum pernah melahirkan. Tidak seperti opioid, parasetamol tidak menyebabkan euforia, namun ada indikasi dapat menimbulkan gangguan psikologis. 

Overdosis

Overdosis parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati.






Kamis, 24 Mei 2012

TRANS FATTY ACIDS

TRANS FATTY ACIDS, SIFAT, 
DAN 
MEKANISME PEMBENTUKANNYA

Reaksi Pembentukkan Trans Fatty Acids


Sebagaimana telah diketahui, trans fatty acids terbentuk sebagi produk sampingan pada proses hidrogenasi parsial minyak nabati. Istilah hidrogenasi mengacu pada reaksi hidrogen dengan senyawa organik. Hidrogenasi digunakan untuk memodifikasi minyak dan lemak. Hidrogenasi katalitik, yaitu reaksi hidrogenasi dengan menggunakan katalis logam seperti nikel, platina dan palladium yang merupakan teknik yang umum digunakan.

Reaksi hidrogenasi ini berfungsi untuk:
  1. Memperbaiki stabilitas rasa, menjaga kualitas minyak, mengurangi kandungan asam linolenat yang sangat reaktif, mencegah tengik akibat oksidasi, dan mencegah rasa tidak enak setelah minyak digunakan untuk menggoreng.
  2. Merubah sifat fisik dari cair menjadi padat/semipadat, atau menjadikan teksturnya seperti mentega.
Hidrogenasi sempurna terhadap asam lemak tak jenuh akan menghasilkan asam lemak jenuh. 



Hidrogenasi sempurna suatu minyak akan menghasilkan semua asam lemak dalam keadaan jenuh. Hal ini menyebabkan produk minyak terhidrogenasi parsial sempurna mempunyai tekstur yang terlalu padat untuk dijadikan bahan makanan. Sehingga dalam industri pengolahan minyak, minyak diolah secara hidrogenasi parsial katalitik hingga dihasilkan produk yang mempunyai tekstur sesuai dengan keinginan.

Dalam hidrogenasi parsial, hanya sebagian dari asam lemak tak jenuh yang terhidrogenasi menjadi asam lemak jenuh. Sebagai efek samping, sebagian asam lemak cis akan mengalami perubahan konfigurasi menjadi trans, trans fatty acids.

Proses hidrogenasi terhadap minyak nabati berlangsung melalui proses:
  1. Minyak nabati terrafinasi dan bubuk katalis nikel dipompakan ke dalam reaktor dan dipanaskan hingga suhu 120-188 derajat celcius pada tekanan 1-6 atm.
  2. H2 dipompakan ke dalam reaktor melalui bagian bawah reaktor dan didispersikan oleh sebuah pengaduk secara terus menerus
  3. Setelah hidrogenasi selesai, minyak disaring untuk memisahkan katalis. Minyak hasil penyaringan dipompakan kedalam tangki penyimpanan.

Ada dua tipe reaktor yang digunakan dalam proses hidrogenasi parsial ini:
  1. Reaktor selektif. Reaktor ini menggunakan temperatur dan konsentrasi katalis yang lebih tinggi, dengan tekanan dan tingkat agitasi yang lebih rendah, serta menggunakan katalis nikel khusus. Reaktor ini digunakan dalam pembuatan margarin.
  2. Reaktor non selektif. Reaktor ini memerlukan katalis dan temperatur yang lebih rendah dengan tekanan tinggi.
Pada reaksi hidrogenasi parsial ini, gas H2 akan diabsorbsi oleh katalis, kemudian katalis melemahkan ikatan H-H. Senyawa asam lemak membentuk kompleks dengan katalis, melalui ikatan rangkapnya, sehingga rigiditas ikatan rangkap berkurang, kemudian terbentuk ikatan dengan hidrogen.

Dari proses hidrogenasi parsial ini tidak terjadi penambahan atom H pada asam lemak, namun asam lemak akan mengalami perubahan konfigurasi dari cis menjadi trans. Dimana asam lemak tak jenuh cis akan memutar 180 derajat sehingga terbentuk konfigurasi trans-nya.




Reaksi hidrogenasi parsial

Sifat-sifat Trans Fatty Acids

Isomer-isomer baru yang terbentuk selama proses hidrogenasi parsial (isomer posisional atau geometrik) memberikan perbedaan-perbedaan sifat fisikokimia dari senyawa asal; sebelum hidrogenasi parsial berlangsung. Perbedaan letak ikatan rangkap menyebabkan sedikit perbedaan titik leleh. Tetapi pembentukan isomer trans fatty acids menyebabkan perubahan sifat yang drastis.

Sifat-sifat tersebut adalah:
  1. Trans fatty acids memiliki titik leleh yang jauh lebih tinggi dari isomer cis-nya. Sebagai contoh asam oleat (cis 18:1) memiliki titik leleh 13,5 derajat celcius sedangkan asam elaidat sebagai isomer trans-nya memiliki titik leleh 43,5 derajat celcius.
  2. Isomer cis berkonsistensi cair pada suhu kamar, sedangkan isomer trans berkonsistensi padat.
  3. trans fatty acids kurang reaktif dan lebih resisten terhadap reaksi oksidasi
  4. Dalam tubuh manusia, trans fatty acids dimetabolisme seperti asam lemak jenuh, tidak seperti asam lemak tak jenuh cis.
  5. Secara fisik trans fatty acids kurang fleksibel dibanding isomer cis, struktur trans fatty acids lebih merentang dan lebih rigid.